Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

R N ABDELINA H 070200356

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

R N ABDELINA H 070200356

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H, M. Hum NIP. 1966 0303 1985 08 1001

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof. Dr. H Tan Kamello, S.H, M.S Malem Ginting, S.H, M.Hum NIP. 1962 1042 1198 803 1004 NIP. 1957 0715 1983 03 1002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan Segala Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis. Penulis juga tidak lupa menghanturkan terimakasih yang teristimewa kepada Ayahanda A.Hutapea, S.H, M.Hum dan Ibunda Tiorlina, S.H yang telah merawat, mendidik dan banyak memberikan doa, kasih sayang, nasehat, perhatian, serta dukungan kepada penulis, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996”.

Adapun penulisan skripsi ini disusun sesuai dengan judul tersebut, guna memenuhi tugas dan syarat kelulusan kegiatan akademik untuk meraih gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, yang dilatarbelakangi oleh keingintahuan dari penulis terhadap parate eksekusi dalam hak tanggungan yang dapat ditempuh oleh kreditor jika debitor melakukan cidera janji atau wanprestasi, maka kreditor dapat langsung mengeksekusi barang jaminan debitor tanpa harus campur tangan dari Pengadilan dan atau tanpa melalui grosse akta notaris.

Keadaan ini menjadi sebuah kontradiksi dengan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen dalam meningkatkan pembangunan nasional, yang bertitik berat pada bidang ekonomi dalam mengelola kekuatan potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi rill dengan memanfaatkan sarana permodalan yang ada sebagai sarana pendukung utama dalam pembangunan tersebut.


(4)

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dalam penyusunan skripsi ini. Akan tetapi penulis menyadari bahwa didalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan baik dari segi teknis maupun dari segi substantif, oleh karena itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian penulis telah berusaha menyajikan penulisan skripsi ini dengan semaksimal mungkin, hal ini tentunya tidak terlepas dari petunjuk, pengarahan,bimbingan dan dukungan yang diberikan oleh para dosen, keluarga serta teman-teman seperjuangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM). Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku PD I; Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM selaku PD II; dan Bapak Muhammad Husni, S.H, MH, selaku PD III;

4. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memperhatikan dan memberi semangat kepada para mahasiswa-mahasiswi departemen hukum keperdataan, termasuk penulis;

5. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kemudahan dalam mengajukan judul skripsi penulis;

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H, M.Hum, selaku Ketua Program Kejuruan yang telah mendidik juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(5)

7. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello S.H., M.S, selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penasihat Akademik Penulis, yang telah membimbing penulis serta telah meluangkan waktu, pikiran, ilmunya dan pengertian bagi penulis dalam mendiskusikan skripsi ini;

8. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dosen pembimbing II yang juga telah membimbing penulis dengan banyak membagikan ilmu-ilmu dan berbagai pengalaman yang berharga yang inspiratif pada tiap kuliah serta memberikan kesabaran dan pengertian kepada penulis sebagai masukan dalam penulisan skripsi ini;

9. Segenap Dosen dan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 10. Seluruh Staff bagian Administrasi dan Kakak-Kakak Cleaning Service

yang telah memberikan kemudahan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Terkhusus untuk orang-orang yang sangat penulis sayangi: Joel Tyson dan adinda Adhyakson M.H Hutapea dan Dolly Arman Hutapea, yang telah banyak memberikan doa, perhatian, dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini;

12. Teman–teman seperjuangan stambuk 2007, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas doa, dukungan dan rasa kesaudaraan yang telah dibina selama ini dan bersama-sama berjuang selama berkuliah di Universitas Sumatera Utara. Terkhusus buat Obbie Afri Gultom, S.H dan


(6)

Masnur Sidauruk, S.H yang sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

13. Sahabat-sahabat Penulis yaitu: Linda S.H, Yovie Hentrika, Amd, Yunita(Yuyun), dan Sari Muliani, Amd . Terimakasih atas dukungan, perhatian, dan persahabatan yang koperataif, bersahabat serta bersahaja yang telah dibina bersama penulis.

Demikian akhir kata yang Penulis hanturkan, mohon maaf yang sedalam-dalamnya apabila ada kesalahan-kesalahan dalam menyebutkan nama maupun gelar. Atas perhatiannya Penulis ucapakan terimakasih.

Medan, Agustus 2011

Hormat Penulis,

R N ABDELINA H


(7)

ABSTRAK

R N Abdelina H ∗

Prof.Dr.H. Tan Kamello,SH,M.S ∗∗ Malem Ginting,SH,M.Hum ∗∗∗

Hak Tanggungan Janji-janji Eksekutorial yang tertuang di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah bagian terpenting dari suatu hak tanggungan. Karena dengan adanya janji tersebut suatu objek hak tanggungan dapat secara lancar dimintakan eksekusinya, sehingga pengembalian modal kreditor dapat berjalan dengan lancer. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), eksekusi untuk penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu Parate Eksekusi, berdasarkan Title Eksekutorial dan penjualan Sukarela dibawah Tangan. Hambatan-Hambatan yang dihadapi dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan adalah hambatan dari pihak debitor yang tidak kooperatif terhadap proses penjualan tidak melalui lelang sedangkan dan yang selanjutnya adalah hambatan yuridis.

Dana di bidang perkreditan sangat penting dalam kegiatan perekonomian, maka sudah semestinya hukum mampu memperlancar dan memelihara hubungan antara pemberi dan penerima kredit serta pihak terkait untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Melalui suatu lembaga hak jaminan yang dianggap paling efektif dan aman menurut perbankan adalah Jaminan Hak Tanggungan. Karena dalam hak tanggungan mudah untuk mengidentifikasi objek hak tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, disamping itu hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu daripada tagihan yang lainnya dengan hasil pelelangan dari objek hak tanggungan yang menjadi agunan kredit. Pemanfaatan lembaga parate eksekusi hak tanggungan merupakan cara untuk mempercepat pelunasan pihutang kepada kreditor.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana Kekuatan Mengikat Atas-atas Janji-Janji Eksekutorial Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ,Bagaimana Pelaksanaan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 serta Hambatan-Hambatan Apa Saja Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Atas Objek Jaminan Dalam Hak Tanggungan. Metode penulisan yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut adalah metode penelitian hukum normatif yakni metode penelitian yang mengandalkan data dan informasi tentang hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun hukum tersier.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗ Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ∗∗∗ Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN... 20

A. Pengertian Hak Tanggungan ... 20

B. Objek dan Subjek Hak Tanggungan 1. Objek Hak Tanggungan ... 22

2. Subjek Hak Tanggungan ... 24

C. Beberapa Asas Hak Tanggungan ... 26

D. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan ... 31

E. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan ... 32

F. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ... 36

BAB III : TINJAUAN HUKUM MENGENAI EKSEKUSI ATAS HAK TANGGUNGAN ... 44

A. Pengertian Eksekusi ... 44


(9)

C. Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Title

Eksekutorial... 57

D. Eksekusi Hak Tanggungan Di Bawah Tangan ... 59

E. Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan ... 60

BAB IV : PARATE EKSEKUSI DALAM HAK TANGGUNGAN... 63

A. Analisis Terhadap Kekuatan Janji-Janji Eksekutorial Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ……….. 63

B. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 …... 67

C. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi atas Objek Jaminan Hak Tanggungan ... 74

BAB V : KESIMPULAN dan SARAN ... 82

1. Kesimpulan ... 82

2. Saran ………... 83


(10)

ABSTRAK

R N Abdelina H ∗

Prof.Dr.H. Tan Kamello,SH,M.S ∗∗ Malem Ginting,SH,M.Hum ∗∗∗

Hak Tanggungan Janji-janji Eksekutorial yang tertuang di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah bagian terpenting dari suatu hak tanggungan. Karena dengan adanya janji tersebut suatu objek hak tanggungan dapat secara lancar dimintakan eksekusinya, sehingga pengembalian modal kreditor dapat berjalan dengan lancer. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), eksekusi untuk penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu Parate Eksekusi, berdasarkan Title Eksekutorial dan penjualan Sukarela dibawah Tangan. Hambatan-Hambatan yang dihadapi dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan adalah hambatan dari pihak debitor yang tidak kooperatif terhadap proses penjualan tidak melalui lelang sedangkan dan yang selanjutnya adalah hambatan yuridis.

Dana di bidang perkreditan sangat penting dalam kegiatan perekonomian, maka sudah semestinya hukum mampu memperlancar dan memelihara hubungan antara pemberi dan penerima kredit serta pihak terkait untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Melalui suatu lembaga hak jaminan yang dianggap paling efektif dan aman menurut perbankan adalah Jaminan Hak Tanggungan. Karena dalam hak tanggungan mudah untuk mengidentifikasi objek hak tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, disamping itu hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu daripada tagihan yang lainnya dengan hasil pelelangan dari objek hak tanggungan yang menjadi agunan kredit. Pemanfaatan lembaga parate eksekusi hak tanggungan merupakan cara untuk mempercepat pelunasan pihutang kepada kreditor.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana Kekuatan Mengikat Atas-atas Janji-Janji Eksekutorial Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ,Bagaimana Pelaksanaan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 serta Hambatan-Hambatan Apa Saja Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Atas Objek Jaminan Dalam Hak Tanggungan. Metode penulisan yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut adalah metode penelitian hukum normatif yakni metode penelitian yang mengandalkan data dan informasi tentang hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun hukum tersier.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗ Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ∗∗∗ Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Meningkatnya pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil, makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.1

1

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Kegiatan pembangunan di bidang ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang cukup besar, karena merupakan salah satu faktor penentu dalam pelaksanaan pembangunan.

Bagi masyarakat, perorangan atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif atau produktif sangat membutuhkan pendanaan dari bank sebagai salah satu sumber dana, yang diantaranya dalam bentuk perkreditan, agar mampu mencukupi dalam mendukung kegiatan usahanya. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi kredit (bank/kreditor) dan penerima kredit (nasabah/debitor) serta semua pihak yang berkepentingan mendapat perlindungan hukum sebagai upaya mengatasi timbulnya risiko bagi kreditor di masa yang akan datang. Oleh karena itu, keberadaan lembaga jaminan amat diperlukan karena dapat memberikan kepastian, dan perlindungan hukum bagi pemberi dana/kreditor dan penerima dana /debitor.


(12)

Meningkatnya pembangunan mengakibatkan peningkatan dana pembangunan. Dana pembangunan yang tersedia antara lain disalurkan melalui perbankan, dana ini perlu dilindungi karena dana tersebut merupakan dana masyarakat. Jika dana tidak dapat dikembalikan maka akan menimbulkan ganggungan (stagnasi) dalam pembangunan yang akan mengakibatkan keresahan masyarakat.

Dalam kegiatan-kegiatan usahanya, bank melakukan kegiatan berupa pemberian kredit/pinjaman. Bentuk pemberian kredit ini tentunya akan menghasilkan bunga yang relatif tinggi dibandingkan jika ditanam dalam bentuk surat berharga yang menghasilkan Deviden. Namun jika dilihat dari risikonya maka penanaman dana dalam pemberian kredit ini memiliki risiko dalam pengembalian kredit.

Dalam pemberian kredit, bank harus melakukan tindakan pengamanan terhadap kucuran pemberian kredit yang diberikan kepada nasabah. Hal ini penting untuk melindungi dana masyarakat yang dikelola oleh bank dalam penyaluran kredit. Oleh karena itu maka bank harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemberian kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian;

2. Bank harus mempunyai keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitor dalam melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Keyakinan ini diperoleh setelah melakukan penilaian mengenai watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitor;


(13)

3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya kepada bank;

4. Harus memperhatikan syarat-syarat perkreditan yang sehat.

Kredit yang diberikan oleh bank dapat mengandung risiko. Risiko ini menyangkut pengembalian kredit tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu:

1. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis (Perjanjian Kredit);

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat;

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham;

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (Legal Lending Limit).2

Dalam penyaluran kredit, bank memerlukan jaminan dari kreditor. Hal ini sangat urgen sebab jaminan tersebut akan diperlukan jika suatu waktu debitor wanprestasi. Dalam hal terjadi kredit macet, barang yang dijadikan jaminan lazimnya akan dijual untuk menutupi kewajiban debitor, untuk itu dilakukan perjanjian penjaminan. Perjanjian penjaminan ini merupakan perjanjian yang sifatnya accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.

2

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 2000), hal. 393


(14)

Benda yang lazim digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah. Tanah dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai barang jaminan yang relatif aman, karena disamping tidak mudah hilang dan rusak, harga tanah dapat terus meningkat, terlebih lagi apabila lokasi tanah yang dijadikan agunan berada di tengah perkotaan dan strategis. Semakin banyak kebutuhan dan permintaan atas tanah, semakin tinggi harga tanah.3

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang selanjutnya dikenal dengan istilah UUHT, mulai berlaku efektif Luas tanah tidak akan bertambah sedangkan kebutuhan akan tanah akan terus meningkat, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria telah mengatur tentang jaminan hak tanggungan atas tanah. Dalam Pasal 51 UUPA disebutkan: “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan yaitu pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, dalam Pasal 25,33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.”

Dalam hal ini, secara kelembagaan Undang-undang Hak Tanggungan sudah ada, akan tetapi yang diatur hanya sebatas objek hak tanggungan. Namun berdasarkan ketentuan peralihan yaitu Pasal 57 UUPA masih diberlakukan ketentuan Hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Buku II KUHPerdata; dan ketentuan Credietverband diatur dalam staatblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatblad 1937-190.

3


(15)

pada tanggal 9 April 1996 dalam Lembaran Negara Indonesia Nomor 42 tahun 1996 serta penjelasannya dalam Lembaran Negara Nomor 3632, maka hak tanggungan menjadi satu-satunya Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah. Dengan demikian ketentuan Credietverband dan Hipotek dalam Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi, hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 29 UUHT.

Kehadiran UUHT memberikan kemudahan baik kepada kreditor maupun debitor. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri yang melekat pada hak tanggungan yaitu:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (Droit de Preferent) hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat(1) UUHT;

2. Selalu mengikuti objek hak tanggungan yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (Droit De Suite) dijelaskan dalam Pasal 7 UUHT;

3. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.4

4

Purwahid Patrick, Hukum Jaminan Edisi Revisi UUHT, (Bandung: FH Undip, 2001), hal. 53


(16)

Dalam pelaksanaan eksekusi ini , jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 UUHT, mengenal ada tiga macam eksekusi, yaitu:

a. Parate Eksekusi Hak Tanggungan

Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak khusus yaitu hak preferent untuk menjual objek eksekusi atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan di muka umum.

b. Eksekusi Title Eksekutorial Hak Tanggungan

Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yang maksudnya mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

c. Penjualan Sukarela di Bawah Tangan

Atas kesepakatan antara pemberi kredit dengan penerima kredit sebagai pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan di bawah tangan. Hal ini dilakukan jika akan diperoleh harga yang lebih tinggi yang menguntungkan semua pihak.

Dalam kaitannya dengan parate eksekusi hak tanggungan, berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT terdapat perbedaan pendapat dikalangan praktisi


(17)

hukum. Terhadap hal ini beberapa penafsiran dari ketentuan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT, yaitu:

Pendapat pertama, pelelangan hak tanggungan pertama adalah berdasarkan janji-janji dalam memberikan kuasa untuk menjual dan tergolong sukarela. Oleh karena itu masih memerlukan persetujuan dan harga limit dari si pemberi hak tanggungan. Pendapat ini sempat dianut oleh BUPLN (sekarang DJPLN) sebagaimana tercermin dalam petunjuk penegasan dalam Surat Edaran Kepala BUPLN No. SEBI/21/PN/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang petunjuk pelaksanaan Pasal 6 UUHT. Surat edaran yang dimaksud tersebut telah dicabut dengan Surat Edaran Kepala BUPLN No.19/PN/2000 tanggal 23 Agustus 2000 dan selanjutnya pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan. Dengan adanya surat edaran tersebut maka semua lelang berdasarkan hak tanggungan dalam pandang BUPLN adalah lelang eksekusi.

Pendapat Kedua, menganggap bahwa Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT adalah Parate Eksekusi dan karenanya tidak memerlukan persetujuan debitor dan tidak memerlukan campur tangan pengadilan. Dengan demikian sesuai dengan pandangan yang kedua, Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT secara formal menurut hukum positif kewenangan Parate Eksekusi Pertama sudah dapat dilakukan oleh bank (baik swasta maupun pemerintah) dengan mengajukan permintaan lelang Objek Hak Tanggungan kepada Kantor Lelang Negara.


(18)

Pendapat Ketiga, menganggap pelelangan umum hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT bukan merupakan parate eksekusi. Akan tetapi merupakan eksekusi berdasarkan titel (alas hak) yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan, bedanya dalam Pasal 6 UUHT dikhususkan pada pemegang hak tanggungan pertama. Pandangan ini berdasarkan argumentasi bahwa pelelangan hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT baru dapat dilaksanakan jika sudah ada Akta Pembebanan Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Karena itu berdasarkan Pasal 26 UUHT jo Pasal 224 HIR dan/atau Pasal 258 RBG menurut pandangan yang ketiga ini pelelangan hak tanggungan yang pertama juga harus dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. 5

Perbedaan penafsiran ini dapat dipahami karena peraturan pelaksanaan hak tanggungan telah ada, khususnya mengenai pelaksanaan parate eksekusi, sehingga berdasarkan Pasal 26 UUHT, selama belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mengaturnya dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 UUHT, peraturan mengenai eksekusi hipotek yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini (UUHT), terhadap eksekusi hak tanggungan dalam pelaksanaannya tidak lagi mengacu pada ketentuan Hipotek dan Credietverband.

5

Bachtiar Sibarani, Parate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis, (vol.15, September , 2001), hal. 10


(19)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi ini mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.” Maka perlu dirumuskan permasalahan yang akan dibahas, agar sistematika dan pembahasan penulisan dalam skripsi ini lebih teratur serta untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian oleh para pembaca skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Kekuatan Mengikat Atas Janji-Janji Eksekutorial Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ?

2. Bagaimana Pelaksanaan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996?

3. Hambatan-Hambatan Apa Saja Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Atas Objek Jaminan Dalam Hak Tanggungan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan mengikat atas janji-janji eksekutorial dalam pelaksanaan parate eksekusi ditinjau dari undang-undang nomor 4 tahun 1996.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dari parate eksekusi menurut undang-undang nomor 4 tahun 1996.


(20)

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan parate eksekusi atas objek jaminan dalam hak tanggungan.

Manfaat penulisan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Memberikan manfaat dan kegunaan bagi pihak-pihak yang berminat untuk memakai, memperdalam, dan melakukan analisis sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Jaminan mengenai Parate Eksekusi dalam Hak Tanggungan.

2. Secara Praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi pihak kreditor dalam melaksanakan parate eksekusi atas hak tanggungan.

D. Keaslian Penulisan

“Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996” yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum pernah ditulis menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Walaupun ada terdapat judul yang hampir sama dengan skripsi ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda.


(21)

Penulis menyusun skripsi ini berdasarkan literatur-literatur yang diperoleh dari perpustakaan, Perundang-undangan yang berkaitan dengan parate eksekusi hak tanggungan, karya ilmiah dan juga melalui bantuan para pihak. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk mengantarkan kepada pemahaman yang benar mengenai judul skripsi ini maka terlebih dahulu kita harus melihat tinjauan kepustakaan dari skripsi ini. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan, yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hak Tanggungan menjadi satu-satunya Lembaga Hak Jaminan atas tanah.6

Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan Asas Pemisahan Horizontal,

6

Boedi Harsono, Makalah pada lokakarya Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan Angkatan III, (Jakarta, 18-19 Juli 1996), hal. 1


(22)

yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.7

“ Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:

8

Pengertian Parate Eksekusi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan dari suatu perikatan yang telah dibuat oleh kreditor dan debitor, secara langsung tanpa melalui proses pengadilan dan/atau turut prosedur hukum acara.

Suatu putusan perkara perdata tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan, oleh karena itu maka setiap putusan hakim haruslah dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai kekuatan eksekutorial.

9

Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Parate Eksekusi adalah “Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai title eksekutorial, dimana pemegang hak tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan hak preferentnya secara langsung tanpa melalui

7

Purwahid Patrik, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT. (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1989), hal. 52

8

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 13.

9

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 160


(23)

keputusan hakim atau grosse akta notaris”.10 Sedangkan Pengertian Parate Eksekusi menurut Kamus Hukum yaitu “Pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.”11

Dalam menjaring debitor yang nakal dan melakukan wanprestasi atau cidera janji, bank kerap kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Meskipun dalam proses beracara di pengadilan menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan, sesungguhnya sejarah perbankan Indonesia telah mewariskan senjata yang paling ampuh dan cepat dalam memberantas kredit macet yakni Parate Eksekusi atau mengeksekusi sendiri (melelang) agunan tanpa campur tangan pengadilan.

12

Dalam ilmu hukum pemberian kewenangan mengenai parate eksekusi ini didasarkan atas doktrin yang antara lain menyatakan bahwa suatu perjanjian yang pasti atau tidak telah mengandung sengketa seperti pihutang yang telah pasti (fixed loan). Hal seperti ini sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak yang berkepentingan tanpa campur tangan pengadilan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pengertian parate eksekusi ini menjadi kabur sebagai akibat dari adanya putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan eksekusi Grosse Akta dalam sengketa parate eksekusi. Hal ini mengakibatkan

10

Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 32

11

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 339

12


(24)

adanya kerancuan antara parate eksekusi dengan eksekusi. Menurut doktrin parate eksekusi ini adalah penjualan yang berada di luar hukum acara dan tidak diperlukan adanya penyitaan, tidak melibatkan juru sita, kesemuanya diselesaikan seperti orang yang menjual sendiri barangnya di depan umum.

Pengaturan tentang parate eksekusi khususnya yang diberikan kepada pemegang hipotek diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi :

“ Namun diperkenankanlah kepada si berpihutang hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terhutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu ”

Dari pasal tersebut diketahui bahwa Undang-undang memberikan kepada pemegang hipotek pertama untuk menjual langsung atas kekuasaan sendiri barang objek hipotek tanpa melalui pengadilan. Agar hak tersebut melekat pada diri pemegang hipotek serta pelaksanaannya sah menurut hukum, harus dicantumkan klausul Eigenmachtige Verkoop (the Right to Sale), yaitu klausul yang secara mutlak memberi kuasa kepada pemegang hipotek menjual objek hipotek. Jadi berdasarkan kesepakatan, debitor memberi hak kepada kreditor untuk menjual sendiri objek hipotek tanpa melalui pengadilan, apabila debitor wanprestasi.

Disamping Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Parate Eksekusi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 6 UUHT yang berbunyi :“Apabila debitor cidera janji,


(25)

pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Dari Pasal 6 UUHT tersebut memberikan hak bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan saja dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat dimana objek hak tanggungan berada, apabila akan melakukan eksekusi atas objek hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang debitor dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi).

Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (kewenangan tersebut dimiliki demi hukum), maka Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.13

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi Penulisan Skripsi ini agar tujuan dapat lebih baik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan:

13

Sutan Remy Syahdani, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan, (Jakarta:Institut Bankir Indonesia, 1999), hal. 46


(26)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis suatu Peraturan atau Perundang-undangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif14. Dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.15

2. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari Perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat. Perundang-Undangan yang digunakan pada skripsi ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agrari, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan serta Peraturan Perundang-undangan lain yang di dalamnya membahas mengenai parate eksekusi hak tanggungan.

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI, 1982), hal. 52

15

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hal. 33


(27)

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian dan/atau pendapat pakar hukum. Sedangkan Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penyusunan skripsi ini yaitu dengan cara menggunakan Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian Kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang disebut dengan data sekunder berupa Perundang-undangan, Karya ilmiah para ahli, Sejumlah buku-buku, Artikel-artikel baik dari surat kabar, majalah maupun media elektronik.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.


(28)

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, Pasal atau doktrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.16

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang baik, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Penulisan skripsi ini memerlukan suatu sistematika penulisan yang teratur yang penulis bagi dalam bab per bab, dimana masing-masing bab saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Adapun yang menjadi sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V (lima) Bab, dimana terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai Latar Belakang Penulisan Skripsi, Perumusan Masalah, yang dilanjutkan dengan Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengertian Hak Tanggungan, Objek dan Subjek Hak Tanggungan, Beberapa Asas Hak Tanggungan, 16

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneltian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 45.


(29)

Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan, Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan, dan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit pada Bank.

BAB III : TINJAUAN HUKUM MENGENAI EKSEKUSI ATAS HAK TANGGUNGAN Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengertian Eksekusi, Parate Eksekusi Hak Tanggungan, Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Title Eksekutorial, Eksekusi Hak Tanggungan di Bawah Tangan dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan.

BAB IV : PARATE EKSEKUSI DALAM HAK TANGGUNGAN Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Analisis Terhadap Kekuatan Berlakunya Janji-Janji Eksekutorial di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Pelaksanaan Parate Eksekusi Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi Atas Objek Hak Tanggungan.

BAB V : KESIMPULAN dan SARAN Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini. Pada bagian ini penulis menyimpulkan keseluruhan uraian pembahasan dari isi skripsi ini dan juga memberikan saran-saran yang mungkin berguna untuk pembaca serta demi kepastian hukum dalam pelaksanaan parate eksekusi dalam hak tanggungan.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A.Pengertian Hak Tanggungan

Setelah menunggu beberapa tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 9 April 1996 diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut dengan Undang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang ini merupakan Undang-Undang-undang baru yang penting bagi seluruh sistem hukum perdata yang berkenaan dengan sistem pemberian kredit.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:

“ Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.” 17 Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa Hak Tanggungan adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan dan/atau tanah Hak Guna Usaha memberikan kedudukan utama kepada kreditor-kreditor tertentu yang akan menggeser kreditor lain dalam hal si berhutang (debitor) cidera janji atau wanprestasi dalam pembayaran hutangnya, dengan perkataaan lain dapat dikatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama lebih Preferent terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 6UUHT, yang mengatakan “apabila debitor

17


(31)

cidera janji (wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut untuk pelunasan hutangnya.”

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan, yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hak tanggungan menjadi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah.18

Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan Asas Pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.

19

Pada Prinsip Hukum Perdata BW menganut Asas Perlekatan Vertikal, yang mana hak milik atas sebidang tanah yang di dalamnya mengandung pemilikan dari segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah ( Pasal 571 BW).

18

Boedi Harsono, Op Cit, hal. 1

19


(32)

Oleh karena itu, untuk menghindari keraguan mengenai hal ini, maka pada Pasal 4 ayat (4) UUHT mengisyaratkan perlunya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah tersebut, apakah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut dengan bangunan tanam-tanaman yang ada diatasnya.

B. Objek dan Subjek Hak Tanggungan 1. Objek Hak Tanggungan

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa Hak atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah:20

a. Hak Milik;

b.Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan.

Hak-hak atas Tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal dan diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hhutang selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:

20

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.146


(33)

a. Hak Pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat di pindahtangankan dan dibebani dengan hak tanggungan;

b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek hak tanggungan. Bahkan secara tradisional dari Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut.

UUHT menetapkan bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. UUHT tidak memerinci hak guna bangunan yang mana yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak guna bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ada tiga macam, yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.

Dari tiga macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan bahwa hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak


(34)

Tanggungan, dikarenakan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.

2. Subjek Hak Tanggungan

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:21

a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan (debitor);

b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang diberikannya.

Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :

a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;

b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang diberikan.

21


(35)

Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Asing. Dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai salah satu objek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan apabila memenuhi syarat. Sebagai pemegang hak tanggungan yang berstatus Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus berkedudukan di Indonesia. Oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak Tanggungan, sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia (penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT).

Apabila salah satu pihak, pemberi hak tanggungan atau pemegang tak tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih. Bagi mereka yang akan menerima hak tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan dari Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada (harus telah ada dan masih ada) pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.


(36)

C.Beberapa Asas Hak Tanggungan

Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (Preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas pihutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;

2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.22

3. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas. Asas Spesialitas maksudnya wajib dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas maksudnya wajib dilakukan dengan akta

22

Sutan Remy Sjahdani, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan; Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, (Bandung:Alumni, Bandung, 1999), hal. 383


(37)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.23

Disamping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam APHT. Hal ini berarti suatu hak tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari hutang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian dari benda yang dibebani hak tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam APHT yang bersangkutan.

Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri. Dengan kata lain pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan.24

23

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia / Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Djambatan, 1997), hal. 15, 38

24

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta:Prenada Media, 2004), hal. 190

Maria S.W. Sumardjono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang dengan dua puluh tahun. Hak Guna


(38)

Bangunan dapat diperoleh dari tanah negara ataupun tanah (hak) milik orang lain.25

Berbeda dengan pendapat para ahli hukum sebelumnya, Maria S.W.Sumardjono berpendapat bahwa pemegang Hak Guna Bangunan adalah sekaligus pemegang hak atas tanah dan bangunannya. Dengan perkataan lain hak atas tanah dan bangunan berada disatu tangan atau tidak terpisah. Apabila Hak Guna Bangunan itu (dalam pengertian pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan) akan dibebani dengan hak lain, maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah pembebanannya dengan hak sewa atas bangunan, yang berarti yang menjadi objek sewa menyewa adalah bangunan dan bukan (hak atas) tanahnya. Konstruksi yuridis Hak Guna Bangunan tidak memungkinkan bahwa seseorang mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang hak atas tanahnya.

26

Menurutnya apabila konsep tersebut diterapkan dalam pemilikan satuan rumah susun (apartemen), maka jelas pemegang Hak Guna Bangunan semula adalah developer/perusahaan pembangunan rumah susun. Bila kemudian seseorang membeli satuan rumah susun (apartemen) untuk dirinya, maka disamping pemilikan satuan rumah susun tersebut yang bersifat individual dan terpisah, juga meliputi pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) tersebut. Konsekwensinya adalah bahwa pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas

25

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implememtasi, (Jakarta: Buku, 2001), hal. 145

26


(39)

tanah (Pasal 8 UU HMSRS). Bagi warga negara asing yang tidak merupakan subjek Hak Guna Bangunan, pemilikan apartemen diperbolehkan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak pakai.27

Alasan pemilikan apartemen/bangunan tersebut terpisah dari status penguasaan hak atas tanahnya, karena berlakunya asas pemisahan horizontal dalam Hukum Tanah Nasional, menurut Maria S.W. Sumardjono menunjukkan kesalahan dalam penerapannya (miskonsepsi dan misaplikasi). Asas itu menurutnya mengandung pengertian, bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya, kecuali jika menurut kenyataan pemilikan bangunan dan penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan. Terhadap pengertian Hak Guna Bangunan sudah jelas bahwa asas pemisahan horizontal tidak berlaku.

28

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun 1960 jo Peraturan Ditektur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 59/DDA/1970 ditegaskan bahwa dalam hal peralihan Hak Guna Bangunan diperlukan izin yang pada intinya mewajibkan pemohon untuk memberikan keterangan tentang jumlah tanah atau rumah yang sudah dipunyainya beserta isteri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya untuk menentukan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau tidak. Peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya dimaksudkan mengadakan pengawasan

27

Ibid, hal. 146

28


(40)

terhadap pemindahan hak atas tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UUPA, misalnya berkaitan dengan persyaratan subjek hak atas tanah.29

Berkaitan dengan penerapan asas pemisahan horizontal tersebut, Bachtiar Effendie mengatakan bahwa tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Ketentua-ketentuan Pokok Agraria yang secara tegas telah menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut. Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut tidak selalu mutlak diterapkan kendatipun Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk mencabut Pasal 500 jo Pasal 571 ayat 1 jo Pasal 601 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata). Penerapan asas pemisahan horizontal haruslah secara kasuistis/perkasus sehingga dengan demikian penyelesaian kasus tersebut akan dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

30

Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota, bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan (tanaman diatasnya), pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan/tanaman di atasnya.

31

29

Ibid, hal. 146-147

30

Bachtiar Effendie, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 90

31

Ibid, hal. 91


(41)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal penguasaan hak guna bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan/tanaman yang berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal tidaklah dapat dipertahankan lagi secara mutlak.

D.Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap, yaitu Pemberian Hak Tanggungan dan Pendaftaran Hak Tanggungan. Tata cara pembebanannya wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (1); Pasal 11 ayat (1); Pasal 12; Pasal 13 dan Pasal 14 UUHT.

Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :

1. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) sesuai dengan peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UUHT);

2. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi :

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan; b. Domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan;

c. Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan;

d. Nilai Tanggungan;


(42)

Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dan jika hutangnya belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan.32

3. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota);

4. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 12 UUHT).

E.Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT, terhadap pembebanan hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Selain itu di dalam Pasal 13 ayat (5) jo ayat (4) UUHT juga dinyatakan bahwa hak tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, hak tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena jika tidak dilakukan pendaftaran itu pembebanan hak tanggungan tersebut tidak diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Sedangkan berakhirnya hak tanggungan tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT, yang menyatakan bahwa hak tanggungan berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut :

32

Sunaryo Basuki, HGU, HGB , Hak Pakai Sebagaimana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No.40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Magister Kenotariatan Dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 36


(43)

1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.

Hapusnya hutang itu mengakibatkan hak tanggungan sebagai Hak Accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari hutang debitor yang menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya hutang tersebut juga mengakibatkan hapusnya hak tanggungan;

2. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan apabila debitor atas persetujuan kreditor pemegang hak tanggungan menjual objek hak tanggungan untuk melunasi hutangnya, maka hasil penjualan tersebut akan diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya dikembalikan kepada debitor. Untuk menghapuskan beban hak tanggungan, pemegang hak tanggungan memberikan pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut kepada pemberi hak tanggungan (debitor). Dan pernyataan tertulis tersebut dapat digunakan oleh kantor pertanahan dalam mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan yang bersangkutan, (sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 UUHT);

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek hak tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak


(44)

tanggungan dan pemberi hak tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek hak tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya, apabila pembeli tersebut membeli benda tersebut dari pelelangan umum.

Pembeli yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang (yang daerah kerjanya meliputi letak objek hak tanggungan yang bersangkutan) untuk menetapkan pembersihan tersebut dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang tersebut diantara para yang berpihutang (kreditor) dan para pihak berhutang (debitor) dengan peringkat mereka menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (3) UUHT).

Dan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tidak berlaku apabila : a. Pembelian dilakukan secara sukarela (tanpa melalui lelang);

b. Dalam APHT yang bersangkutan secara tegas diperjanjikan oleh para pihak bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT).

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Alasan hapusnya hak tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari sebidang tanah tertentu yang dijaminkan.

Dengan demikian, berarti setiap pemberian hak tanggungan harus memperhatikan dengan cermat hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak


(45)

atas tanah yang dibebankan dengan hak tanggungan. Oleh karena itu, setiap hal yang menyebabkan hapusnya hak atas tanah tersebut demi hukum juga akan menghapuskan hak tanggungan yang dibebankan diatasnya, meskipun bidang tanah dimana hak atas tanahnya tersebut hapus tetapi masih tetap ada, dan selanjutnya telah diberikan pula hak atas tanah yang baru atau yang sama jenisnya. Dalam hal yang demikian, maka kecuali kepemilikan hak atas tanah telah berganti, maka perlu dibuatkan lagi perjanjian pemberian hak tanggungan yang baru, agar hak kreditor untuk memperoleh pelunasan mendahulu secara tidak pari passu dan tidak prorata dapat dipertahankan.

Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria atau Peraturan Perundang-undangan lainnya yang mengatur pula tentang hal-hal yang mengakibatkan hapusnya hak atas tanah. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dijadikan objek hak tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, hak tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.

Menurut Pasal 22 UUHT setelah hak tanggungan dihapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada bukti tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Adapun sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh kantor pertanahan. Jika sertifikat sebagaimana dimaksud diatas, karena sesuatu


(46)

sebab tertentu tidak dikembalikan kepada kantor pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah hak tanggungan.

F.Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank

Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini berarti dalam kegiatan sehari-hari bank pada umumnya selalu berusaha menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian mengelola dana tersebut untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit.

Selain daripada itu, dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Jadi, untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitor yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, Bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya


(47)

dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama antara bank dan nasabah yang telah dituangkan dalam perjanjian kredit.

Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah mengembalikan pinjaman dengan tepat waktu, di dalam permohonan kredit, bank perlu mengkaji permohonan kredit, yaitu sebagai berikut:

1. Character (Kepribadian)

Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian atau watak dari calon debitornya. Karena watak yang tidak baik akan menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak baik pula. Perilaku yang tidak baik ini termasuk tidak mau membayar hutang dan/atau cidera janji (wanprestasi). Oleh karena itu, sebelum kredit diluncurkan atau diberikan, maka harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon debitor berkelakuan baik atau tidak. Dimana debitor tidak terlibat tindakan-tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk atau tindakan-tindakan pidana lainnya yang tidak terpuji;

2. Capacity (Kemampuan)

Seorang calon debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksi kemampuannya untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jenis bisnisnya atau kinerja bisnisnya sedang menurun, kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya kinerja bisnis dari calon debitor itu karena biaya, sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan


(48)

biaya lewat pelunasan kredit, maka kinerja bisnisnya atau trend dipastikan akan semakin membaik.

3. Capital (Modal)

Permodalan yang dimiliki dari seorang debitor juga merupakan hal yang penting dan harus diketahui oleh calon kreditornya karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai korelasi dengan tingkat kemampuan debitor dalam membayar kredit. Jadi, masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi hal terpenting. Sehingga dapat diketahui misalnya lewat laporan keuangan perusahaan debitor, yang apabila perlu diisyaratkan audit oleh independent auditor.

4. Collateral (Agunan)

Tidak diragukan lagi bahwa betapa pentingnya fungsi agunan dalam setiap pemberian kredit. Agunan merupakan the last resort bagi kreditor, dimana akan direalisasikan atau dieksekusi jika suatu hari kredit benar-benar dalam keadaan macet.

5. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)

Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnisnya dari pihak debitor, misalnya jika bisnis debitor adalah dibidang bisnis yang selama ini diproteksi atau diberikan hak monopoli oleh pemerintah. Jika misalnya terdapat perubahan policy dimana


(49)

pemerintah mencabut proteksi atau hak monopoli, maka pemberian kredit terhadap perusahaan tersebut harus ekstra hati-hati.33

Menurut Munir Fuady, selain menerapkan prinsip 5 C’s juga menerapkan apa yang dinamakan dengan prinsip 5 P’s, sebagai berikut:

34

1. Party (Para Pihak)

Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Pihak pemberi kredit dalam hal ini adalah bank harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak penerima kredit dalam hal ini debitor, mengenai bagaimana karakter, kemampuan dan sebagainya.

2. Purpose (Tujuan)

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak bank (kreditor). Karena harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat meningkatkan pendapatan (income) kegiatan usaha atau perusahaan dari debitor. Dari pemberian kredit itu pihak bank (kreditor) harus pula mengawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit.

3. Payment (Pembayaran)

Perlu diperhatikan pula apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitor apakah sudah cukup tersedia dan aman. Sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang disalurkan kepada debitor tersebut, dapat dibayar kembali oleh debitor yang bersangkutan pada kreditor.

33

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cetakan Ke-2. Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 21-22

34


(50)

4. Profitability (Perolehan Keuntungan)

Unsur perolehan laba dan /atau keuntungan oleh debitor tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit yang disalurkan. Untuk kreditor harus mengantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow dan sebagainya.

5. Protection (Perlindungan)

Perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitor merupakan hal yang terpenting bagi kreditor. Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari perusahaan (holding), ataupun jaminan pribadi pemilik perusahaan sangat diperhatikan.

Diantara kelima prinsip tersebut salah satu hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah collateral. Collateral adalah berupa barang-barang yang diserahkan oleh debitor kepada bank selaku kreditor sebagai jaminan terhadap pembayaran kembali atas kredit yang diterimanya. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitor untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu.35

Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang membutuhkan penyediaan dana yang cukup Oleh sebab itu, apabila dalam menyalurkan kredit, bank tersebut meminta kepada debitor untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya.

35


(51)

besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Walaupun didalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan bahwa segala kebendaan orang yang berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu meminta supaya benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara yuridis. Dengan demikian, apabila debitor tidak menepati janjinya atau cidera janji (wanprestasi), maka bank dapat melaksanakan haknya dengan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor lainnya untuk mendapatkan pelunasan hutangnya.

Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran hutang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditor.36

Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25; Pasal 33; Pasal 39; Pasal 51 dan Pasal 57.

36

Effendi Perangin-angin, Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, (Jakarta:Rajawali Pers, 1981), hal. 9


(52)

Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna bangunan. Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan Undang dan dalam Pasal 57 UUPA dinyatakan bahwa selama Undang-Undang tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotek dan Creditverband.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan-ketentuan mengenai hipotek atas tanah yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband yang terdapat dalam Staatsblad 1937 Nomor 190 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Karena dipandang tidak sesuai lagi dengan sistem hukum keperdataan dalam hukum jaminan dan kebutuhan kegiatan perkreditan, dan sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.

Dengan terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama didalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan


(53)

jaminan, karena memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditor pemegang hak tanggungan dibandingkan dengan kreditor lainnya.37

Lembaga Hak Tanggungan sebagai perwujudan dari amanat Pasal 51 jo Pasal 57 UUPA, berlandaskan pada hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yang menyatakan bahwa tanah terpisah dengan segala sesuatu yang berada diatasnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa apabila hukum adat tidak mengenal hak kebendaan sebagaimana dalam hukum perdata barat. Searah dengan hal itu, apabila hak tanggungan mendasarkan diri secara konsisten pada hukum adat maka hak tanggungan tidak mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana yang dimiliki oleh hipotek yang melekat pada hak kebendaan. Ciri-ciri yang menonjol dari hak tanggungan yang menyebabkan memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat baik melalui simpanan giro, tabungan dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat berupa pinjaman kredit.

Dengan demikian, dari uraian diatas dapat dirasakan bahwa masalah jaminan ini sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemberian kredit.

38

37

Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hal. 15

38

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 18


(54)

BAB III

TINJAUAN HUKUM MENGENAI EKSEKUSI ATAS HAK TANGGUNGAN

A.Pengertian Eksekusi

Pengertian Eksekusi secara umum, adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata dalam “menjalankan putusan pengadilan”. Maksudnya yaitu melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. Eksekusi baru dapat dilakukan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Istilah Eksekusi dalam Bahasa Indonesia disebutkan sebagai “pelaksanaan putusan”. Eksekusi diartikan sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang juga merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara.39

Suatu putusan perkara perdata tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan, oleh karena itu maka setiap putusan hakim haruslah dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial terhadap suatu putusan hakim atau putusan pengadilan adalah adanya suatu kata-kata atau irah-irah pada kepala

39

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 119


(55)

putusan itu yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Pada dasarnya ada 2 (dua) bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu:40

1. Eksekusi Riil, yaitu eksekusi yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil yang :

a. Telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicata);

b. Bersifat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad, provisionally enforaceable);

c. Berbentuk provisi (interlocutory injunction); dan d. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan pada putusan pengadilan saja, tetapi dapat juga didasarkan pada bentuk akta tertentu yang oleh Undang-Undang ”disamakan” nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pembayaran sejumlah uang, antara lain berupa :

a. Grosse Akta Pengakuan Hutang; b. Grosse Akta Hipotek;

c. Creditverband;

40

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 24


(56)

d. Hak Tanggungan (HT); e. Jaminan Fiducia

Yahya Harahap mengidentifikasikan ada 3 (tiga) perbedaan yang mendasar antara Eksekusi Riil dan Eksekusi Pembayaran Uang, yaitu:

1. Eksekusi Riil Mudah dan Sederhana, sedangkan Eksekusi Pembayaran Uang Memerlukan Tahap Sita Eksekusi dan Penjualan Eksekusi.

Secara teoritis pada Eksekusi Riil tidak diperlukan prosedur dan formalitas yang rumit, dalam arti cara eksekusinya sangat sederhana dan tinggal menjalankan keputusan pengadilan sehingga eksekusinya tidak diatur secara terinci dalam Undang-Undang.

Berbeda dengan Eksekusi Pembayaran Uang yang harus melalui berbagai tahap untuk melaksanakannya dan diperlukan syarat serta tata cara yang tertib dan terinci, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan yang dapat merugikan para pihak. Secara garis besar pelaksanaan eksekusi pembayaran uang melalui tahap proses executoriale beslag dan dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan kantor lelang.

2. Eksekusi Riil Terbatas pada Putusan Pengadilan, sedangkan Eksekusi Pembayaran Uang meliputi Akta Yang Disamakan Dengan Putusan Pengadilan.

Jika dilihat dari bentuk timbulnya eksekusi, maka Eksekusi Riil hanya mungkin terjadi dan diterapkan berdasarkan putusan pengadilan,


(57)

sedangkan dalam Eksekusi Pembayaran Uang tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan saja, tetapi dapat juga didasarkan pada bentuk akta tertentu yang oleh Undang-Undang “disamakan” nilainya dengan putusan pengadilan.

3. Sumber Hubungan Hukum Yang Dipersengketakan

Dilihat dari sumber hubungan hukum yang disengketakan, pada umumnya Eksekusi Riil adalah upaya hukum yang mengikuti persengketaan “hak milik” atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan.

Adapun Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, dasar hubungan hukumnya sangat terbatas sekali. Semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan “perjanjian hutang-pihutang” dan ganti rugi berdasarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat tidak dapat menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam waktu tertentu.41

B. Parate Eksekusi Hak Tanggungan

Dalam menjaring debitor yang nakal dan melakukan wanprestasi atau cidera janji, Bank kerap kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu dan biaya yang banyak, meskipun dalam proses beracara di

41


(1)

Untuk mengantisipasi agar proses penjualan objek jaminan dapat dilakukan dengan baik serta memberikan perlindungan hukum bagi para pihak, maka sebagai antisipasi dalam proses pemberian kredit bank dapat melakukan beberapa langkah, antara lain sebagai berikut :

a. Melakukan cek terhadap sertifikat hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit di Badan Pertanahan Kabupaten/Kota untuk memastikan bahwa sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan tidak sedang dibebani Hak Tanggungan atau hak-hak lain, sehingga bank memperoleh kepastian atas status tanah yang akan dijadikan Objek jaminan;

b. Bank mensyaratkan dalam kebijakan perkreditannya yang mewajibkan debitor menyerahkan asli sertifikat hak atas tanah, dan sertifikat Hak Tanggungan disimpan oleh bank; dan

c. Mewajibkan debitor membuat surat pernyataan yang menyebutkan bahwa hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit bebas dari sengketa dengan pihak lain, tidak sedang dijaminkan atau dibebani dengan hak tanggungan bank lain serta ketersediaan untuk dilakukan penjualan baik secara lelang maupun di bawah tangan, jika suatu hari debitor melakukan cidera janji (wanprestasi).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat atau dikemukakan pada Bab sebelumnya, maka ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan yaitu:

1. Hak Tanggungan Janji-janji Eksekutorial yang tertuang di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah bagian terpenting dari suatu hak tanggungan. Karena dengan adanya janji tersebut suatu objek hak tanggungan dapat secara lancar dimintakan eksekusinya, sehingga pengembalian modal kreditor dapat berjalan dengan lancar;

2. Pada Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tertanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara, mengatur pelaksanaan eksekusi dapat melalui 3(tiga) cara, yaitu: a. Penjualan barang jaminan melalui lelang, yaitu penjualan barang di muka

umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara;

b. Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang berupa penjualan barang jaminan yang dilakukan dengan cara dibawah tangan berdasarkan persetujuan para pihak baik yang dilakukan secara tertulis maupun lisan; dan


(3)

c. Penebusan barang jaminan, yaitu pencairan barang jaminan yang dilakukan oleh penjamin hutang dalam rangka penyelesaian hutang, dengan syarat barang jaminan yang ditebus, nilainya paling sedikit sama dengan nilai perikatan.

3. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Parate Eksekusi atas Objek Jaminan Hak Tanggungan yang pertama adalah hambatan dari pihak debitor yang tidak kooperatif terhadap proses penjualan tidak melalui lelang sedangkan dan yang selanjutnya adalah hambatan yuridis.

B. Saran

Selanjutnya dari pembahasan di atas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Kepada kalangan Perbankan agar lebih meningkatkan pemahaman mengenai Eksekusi Hak Tanggungan khususnya mengenai Parate Eksekusi Hak Tanggungan guna kelancaran pelaksanaan Parate Eksekusi;

2. Sebaiknya peraturan tentang Parate Eksekusi Hak Tanggungan dan Peraturan Lelang dibuat dalam satu kesatuan sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam praktek.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU-BUKU

Asikin, Zainal dan Amiruddin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Djumhana, M. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya. Bandung. Fuady, Munir. 2002. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era

Global. Citra Aditya Bakti. Bandung.

_________. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer Nasional. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Harahap, Yahya.M 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Sinar Grafika. Jakarta.

Mamudji, Sri dan Soerjono Soekanto. 2007. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan. Kencana. Jakarta.

_________________________. 2004. Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-hak Atas Tanah. Prenada Media. Jakarta.

Patrick Purwahid. 2001. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. FH UNDIP. Semarang.

_____________. 1989. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. FH UNDIP. Semarang.

Perangin-angin, Effendi. 1991. Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Rajawali Pers. Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Salindeho, John. 1994. Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Sinar Grafika. Jakarta. Satrio, J. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan


(5)

Setijoprodjo, Bambang. 1996. Pengamanan Kredit Perbankan Yang di Jamin oleh Hak Tanggungan. Lembaga Kajian hukum Bisnis USU Medan. Medan.

Situmorang, Victor M. dan Sitanggang, Cormentyna. 1993. Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi. Rineka Cipta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1982. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Mascjhoen. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Liberty. Yogyakarta.

Subekti, R. 1989. Hukum Acara Perdata. Bina Cipta. Bandung. Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Sutan Remy Syahdeni. 1999. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi oleh perbankan. Institut Bankir. Jakarta.

________. 1999. Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi oleh perbankan. Bandung.

Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika. Jakarta.

Usman, Rachmadi. 1999. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).


(6)

3. MAKALAH dan JURNAL HUKUM

Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia atau Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria. Djambatan. Jakarta.

______________. 1996. Makalah pada Lokakarya Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan, Angkatan III. Jakarta

Sibarani, Bachtiar. 2001. Parate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis vol.15.


Dokumen yang terkait

“Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon”

2 84 95

Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon

1 72 94

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 19

0 0 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dan Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penunda

0 2 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tah

0 0 22

KAJIAN HUKUM TERHADAP SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG Kajian Hukum Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Skmht) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (Studi pada Kantor Not

0 2 13

KAJIAN HUKUM TERHADAP SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG Kajian Hukum Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Skmht) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (Studi pada Kantor Not

0 2 22

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 134

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 239

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI TENTANG HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996 ( Studi Di PT. Bank BRI Tbk Cabang Praya ) - Repository UNRAM

0 0 24