“Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon”

(1)

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DI PT.

BANK DANAMON

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NADYA

FEBRINA

RITONGA

NIM : 090200347

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DI PT.

BANK DANAMON

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NADYA

FEBRINA

RITONGA

NIM : 090200347

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Muhammad Hayat, SH NIP. 195008081980021001

Pembimbing II

Syamsul Rizal, SH, M.Hum NIP. 196402161989111001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Wakil


(4)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. O. K. Saidin, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Syamsul Rizal, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada ayahanda Abdul Manan Ritonga dan ibunda Sadariah Purba, SH. MM, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera


(5)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan, kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2015


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Keaslian Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 15

A. Pengertian Hak Tangungan ... 15

B. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan... 17

C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan... 19

D. Objek dan Subjek Hak Tanggungan... 21

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI ... 29

A. Pengertian Eksekusi... 29

B. Dasar Hukum Eksekusi ... 36

C. Asas-Asas Eksekusi ... 38

D. Eksekusi Hak Tanggungan ... 42

BAB IV PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN KREDIT BERMASALAH DI PT. BANK DANAMON ... 45


(7)

A. Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 45

B. Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 57

C. Parate Eksekusi Hak Tangungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 69

D. Hambatan Yang Dihadapi Bank Danamon Dalam Melaksanakan Parate Eksekusi Hak Tanggungan ... 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Lahirnya lembaga hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, disambut baik oleh pelaku usaha perbankan di Indonesia. Lembaga Hak Tanggungan dinilai dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan hak atas tanah dan bangunan yang sebelumnya menggunakan lembaga Hipotik. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan dalam melakukan Eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon, bagaimana alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dan bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif dengan mengadakan penelitian pada PT. Bank Danamon Medan.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon adalah ketidakmauan debitur dalam memenuhi kewajibannya, kedua ketidak mampuan debitur untuk membayar kewajibannya. Ketidakmampun debitur dalam memenuhi kewajibannya adalah kurangnya analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sewaktu permohonan kredit dimohonkan. Alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dapat dilakukan dengan Penjadwalan Kembali (Rescheduling), Penataan Kembali (Restructuring), Persyaratan Kembali (Reconditioning) serta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela. Apabila jalan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka dapat dilakukan melalui Penyelesaian Melalui Pengadilan Negeri, Penyelesian Melalui Pengadilan Niaga, Penyelesaian Melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Penyelesaian Melalui Arbitrase. Eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dilakukan sendiri oleh PT. Bank Danamon. Eksekusi hak tanggungan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan kredit bermasalah bank. Parate eksekusi Hak Tanggungan berperan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efisien terutama dibandingkan dengan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Secara kuantitatif, parate eksekusi Hak Tanggungan telah berhasil mengurangi jumlah kredit bermasalah PT Bank Danamon.


(9)

ABSTRAK

Lahirnya lembaga hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, disambut baik oleh pelaku usaha perbankan di Indonesia. Lembaga Hak Tanggungan dinilai dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan hak atas tanah dan bangunan yang sebelumnya menggunakan lembaga Hipotik. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan dalam melakukan Eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon, bagaimana alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dan bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif dengan mengadakan penelitian pada PT. Bank Danamon Medan.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon adalah ketidakmauan debitur dalam memenuhi kewajibannya, kedua ketidak mampuan debitur untuk membayar kewajibannya. Ketidakmampun debitur dalam memenuhi kewajibannya adalah kurangnya analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sewaktu permohonan kredit dimohonkan. Alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dapat dilakukan dengan Penjadwalan Kembali (Rescheduling), Penataan Kembali (Restructuring), Persyaratan Kembali (Reconditioning) serta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela. Apabila jalan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka dapat dilakukan melalui Penyelesaian Melalui Pengadilan Negeri, Penyelesian Melalui Pengadilan Niaga, Penyelesaian Melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Penyelesaian Melalui Arbitrase. Eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dilakukan sendiri oleh PT. Bank Danamon. Eksekusi hak tanggungan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan kredit bermasalah bank. Parate eksekusi Hak Tanggungan berperan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efisien terutama dibandingkan dengan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Secara kuantitatif, parate eksekusi Hak Tanggungan telah berhasil mengurangi jumlah kredit bermasalah PT Bank Danamon.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam menggalakkan pembangunan, khususnya dibidang material melalui kegiatan perkreditan. Untuk menciptakan peranan tersebut, bank harus mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik dengan cara mempertahankan posisi likuiditasnya dan menjaga keseimbangan antara sumber dana yang diperolehnya dari masyarakat dengan penyaluran dana tersebut kembali kepada masyarakat.1

Bank memperoleh sumber dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dalam pelaksanaannya, tidak semua pengembalian kredit yang disalurkan kepada masyarakat dapat berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Adakalanya bank, karena suatu sebab tertentu harus menghadapi resiko kerugian yang timbul sebagai akibat kegagalan dari debitur dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Kredit. Resiko ini disebut sebagai resiko kredit (credit risk). Apabila resiko ini tidak dimitigasi dengan baik oleh bank, maka jumlah kredit bermasalah bank akan meningkat dan

1

Achmad Anwari, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Jakarta, Balai Aksara, 1981, hal. 15.


(11)

selanjutnya akan meningkatkan persentase Non Performing Loan (NPL) terhadap total pinjaman, dimana hal ini akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank tersebut.

Untuk memitigasi resiko kredit, bank melakukan berbagai upaya diantaranya melakukan proses seleksi dan evaluasi yang ketat dalam pemberian kredit kepada debitur, menutup asuransi terhadap kredit yang diberikan, hingga mensyaratkan adanya agunan kepada debitur sebagai jaminan atas kredit yang diberikan. Dalam praktek perbankan sehari-hari, agunan tersebut dapat diikat dengan lembaga jaminan Gadai berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) dan lembaga jaminan Fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, apabila agunan tersebut merupakan benda bergerak, atau dengan lembaga Hak Tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disingkat Undang-undang Hak Tanggungan), apabila agunan tersebut berupa tanah dan atau bangunan. Akan tetapi, lembaga jaminan yang disebutkan terakhir lebih disukai oleh bank, karena nilai agunan berupa tanah dan atau bangunan mempunyai collateral coverage yang relatif stabil dari pada lembaga jaminan lainnya. 2

2

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (suatu konsep dalam menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 310 dan 311.


(12)

Nilai agunan berupa tanah dan atau bangunan biasanya akan mengalami peningkatan nilai jual (nilai ekonomis) dari tahun ke tahun terutama di kota-kota besar. Berbeda dengan nilai agunan berupa barang bergerak yang biasanya justru mengalami penurunan atau penyusutan seiring dengan bertambahnya waktu. Bank juga beranggapan bahwa jaminan yang bersifat kebendaan berupa tanah, akan lebih memberikan rasa aman dan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusinya apabila debitur cidera janji atau wanprestasi terhadap kewajibannya.

Suatu kredit dapat digolongkan sebagai kredit bermasalah ketika kredit tersebut termasuk ke dalam kategori Kurang Lancar, Diragukan dan Macet dilihat berdasarkan prospek usaha, kinerja (performance), dan kemampuan membayar yang dimiliki oleh debitur. Penggolongan kualitas kredit ini didasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, sebagaimana yang kemudian beberapa kali diubah melalui PBI Nomor 8/2/PBI/2006, PBI Nomor 9/6/PBI/2007 dan terakhir kali diubah melalui PBI Nomor 11/2/PBI/2009.

Dalam praktiknya, bank mempunyai beberapa alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dapat dilakukan berdasarkan kemampuan dan itikad baik dari debitur. Alternatif penyelesaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi penyelesaian secara kompromi (compromised settlement) dan penyelesaian secara non kompromi (non compromised settlement). Sebagai


(13)

contoh dari alternatif compromised settlement yang dapat dilakukan oleh bank adalah restrukturisasi kredit (restructuring) atau penjadualan kembali (rescheduling) untuk debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar. Bank juga dapat melakukan pembaruan utang (novasi) maupun pengalihan utang debitur kepada pihak ketiga (subrogasi) untuk debitur yang masih bersifat kooperatif dalam menyelesaikan kreditnya.

Bank juga akan mempertimbangkan alternatif penyelesaian dengan menerima penyerahan secara sukarela atas agunan milik debitur sebagai pemenuhan atau pembayaran utangnya. Dalam dunia perbankan, penyerahan agunan debitur tersebut dikenal dengan istilah Agunan Yang Diambil Alih (AYDA). Akan tetapi apabila debitur sudah tidak mempunyai kemampuan membayar dan tidak kooperatif kepada bank untuk menyelesaikan kredit bermasalahnya, maka bank akan menempuh upaya non compromised settlement dengan melakukan proses hukum berupa eksekusi terhadap agunan

yang diberikan oleh debitur. Upaya ini pada dasarnya merupakan upaya terakhir yang dilakukan oleh bank, mengingat prosesnya memerlukan biaya penanganan yang cukup besar dan waktu penyelesaian yang relatif lebih lama.

Lahirnya lembaga hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, disambut baik oleh pelaku usaha perbankan di Indonesia. Lembaga Hak Tanggungan dinilai dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang


(14)

jaminan hak atas tanah dan bangunan yang sebelumnya menggunakan lembaga Hipotik. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan dalam melakukan Eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Konsep ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam tulisan ini disebut KUHPerdata) dikenal sebagai Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.

Dengan konsep parate eksekusi, pemegang Hak Tanggungan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi Hak Tanggungan, dan tidak perlu juga meminta penetapan pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal debitur cidera janji.3 Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Konsep ini merupakan terobosan atas proses eksekusi yang ada sebelum lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan, dimana eksekusi atas grosse akta hipotik hanya

3

Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah


(15)

dapat dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu yang lama dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan Parate Eksekusi Hak Tanggungan. Namun demikian, dalam praktiknya segala kemudahan dan kelebihan parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang menyebabkan proses Parate Eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi berbagai hal, antara lain adalah ketidaksesuaian substansi hukum Undang-undang Hak Tanggungan yang mengatur tentang parate Eksekusi Hak Tanggungan itu sendiri, tindakan dan paradigma dari aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang ada pada masyarakat termasuk juga paradigma debitur sebagai pihak tereksekusi Hak Tanggungan.

Namun demikian, dalam praktiknya segala kemudahan dan kelebihan parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang menyebabkan proses Parate Eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi berbagai hal, antara lain adalah ketidaksesuaian substansi hukum Undang-undang Hak Tanggungan


(16)

yang mengatur tentang parate Eksekusi Hak Tanggungan itu sendiri, tindakan dan paradigma dari aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang ada pada masyarakat termasuk juga paradigma debitur sebagai pihak tereksekusi Hak Tanggungan.

Dalam aspek substansi hukum, konsistensi terhadap pengaturan tentang Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan masih perlu dipertanyakan kembali, mengingat dalam Penjelasan Umum Angka 9 dari Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa konsep Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut tetap mengacu kepada Pasal 224 Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR). Pasal 26 Undang-undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (mengenai eksekusi dan hal lain dalam Pasal 14 Undang-undang Hak Tanggungan), peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Ketentuan ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri dalam praktik eksekusi Hak Tanggungan di lapangan, mengingat apabila eksekusi Hak Tanggungan tetap mengacu kepada Pasal 224 HIR tersebut, maka eksekusi tersebut tetap harus berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (fiat pengadilan).4 Seharusnya pelaksanaan parate eksekusi tidak mendasarkan pada Pasal 224 HIR dan 258

4


(17)

Rechtsreglement Buiten Gewesten (selanjutnya disingkat RBG) seperti yang

disebutkan oleh Penjelasan Umum Angka 9 tersebut. 5 Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya sikap pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung yang tidak membenarkan penjualan objek hipotik oleh kreditur melalui lelang tanpa ada Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal ini termuat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986. Putusan Mahkamah Agung ini malah membuat rancu pelaksanaan eksekusi berdasarkan Parate Eksekusi Hak Tanggungan. Dalam Putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 214 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akte hipotik yang memakai irah-irah seharusnya dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Putusan ini juga menyatakan bahwa Parate Eksekusi yang dilakukan dengan tanpa meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri meskipun didasarkan pada Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata adalah perbuatan melawan hukum dan mempunyai konsekuensi hukum batalnya hasil lelang yang telah dilakukan.

Faktor permasalahan tersebut pada akhirnya membuat perbankan tidak dapat menjalankan eksekusi hak tanggungan dengan mudah sesuai dengan cita-cita pembentukan Undang-undang Hak Tanggungan sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan.

5

Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik

Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2008, hal.


(18)

Padahal kemudahan untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan sangat membantu Bank dalam menyelesaikan kredit macet atau kredit bermasalahnya. Bank akan semakin mengalami kerugian apabila kredit macet tersebut tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif cepat. Hal ini disebabkan karena selain harus menanggung kerugian atas kredit macet tersebut, Bank juga harus mencadangkan sejumlah dana tertentu selama kredit macet tersebut belum terselesaikan.

Berdasarkan Pasal 44 ayat 1 dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. Khusus untuk kredit bermasalah dalam status kolektibilitas macet, bank harus membuat cadangan PPA sebesar 100% (seratus persen) dari total nilai kredit tersebut dikurangi dengan nilai agunan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah. Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian dalam pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh PT Bank Danamon. Pembatasan ini dilakukan dengan tujuan agar penulis dapat lebih fokus dalam melakukan analisa yang dilakukan. Selanjutnya penulis menuliskannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: "Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif


(19)

Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT. Bank Danamon".

B. Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon?

2. Bagaimana alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon? 3. Bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit

bermasalah di Bank Danamon?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon.

2. Untuk mengetahui alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon.

3. Untuk mengetahui eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi kegumanfaatpenelitian skripsi ini adalah : 1. Secara Teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan Hukum


(20)

keperdataan khususnya dalam pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan.

2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan yaitu pihak bank maupun debitur dalam kaitannya dengan penyelesaian kredit bermasalah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.6

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUH Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

6

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2003, hal. 32.


(21)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari


(22)

teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul "Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT> Bank Danamon" ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan


(23)

Tanggungan, Ciri dan Sifat Hak Tanggungan, Proses Pembebanan Hak Tanggungan, Obyek dan Subyek Hak Tanggungan.

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian Eksekusi, Dasar Hukum Eksekusi, Asas-Asas Eksekusi serta Eksekusi Hak Tanggungan

Bab IV. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Kredit Bermasalah di PT. Bank Danamon

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Dadamon, Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon, Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon serta Hambatan Yang Dihadapi Bank Danamon Dalam Melaksanakan Parate Eksekusi Hak Tanggungan.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Tanggungan

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk terciptanya perangkat aturan tentang Hak Tanggungan, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dengan berlakunya UUHT lembaga jaminan hipotik dan credietverband yang berkaitan dengan tanah, dinyatakan tidak berlaku lagi. Keberadaan UUHT sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian hukum dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaan, yang bersifat sangat pentingdalam mendukung sektor keuangan dan perbankan di Indonesia.

Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah:

Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada


(25)

kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya.

Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.7

Lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam KUH Perdata.

Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Hak Tanggungan, pada dasarnya adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya

7

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2005, hal.13.


(26)

meliputi benda-benda tersebut.8

Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu Undang-undang Hak Tanggungan memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda-benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

B. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Berdasarkan Angka 3 Penjelasan Umum dari Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Dalam batang tubuh Undang-undang Hak Tanggungan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur yang lain.

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu

8

Purwahid Patrik, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1989, hal. 52.


(27)

berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitur cidera janji (wanprestasi).

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg

bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.9 Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak

9

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


(28)

tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan demikian pelunasan sebagian hutang debitur tidak menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa hal yang telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan. Sehingga hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.

C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Tahap pembebanan hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Hak


(29)

Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pembebanan hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan, yaitu sebagai berikut:10

1. Tahap Pembebanan Hak Tanggungan

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, “pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. 2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, “pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pasal 13

ayat (2) menyatakan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan,

10

Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertiftkatnya,


(30)

termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.11

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan12.

D. Objek dan Subjek Hak Tanggungan

1. Objek Hak Tanggungan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

11

Ibid.

12

Boedi Harsono dan Sudarianto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT,


(31)

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah:

a. Hak milik. b. Hak guna usaha. c. Hak guna bangunan.

d. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak tanggungan.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak tanggungan merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak-hak tanggungan, sebagaimana yang disebut diatas, adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disamping itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah berbunyi:

Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.


(32)

Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah....”, dari cara penyebutan mana kita tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak tanggungan kalau tanah diatas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.13

Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut” mengingatkan kita pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan “dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal, namun disini disyaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya. Kalau kita biasa membayangkan apa yang menjadi satu-kesatuan dengan tanah adalah apa yang berada di atas tanah, maka

13

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak


(33)

menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah yang ada diatasnya. Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk di dalamnya.

2. Subjek Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan adalah: a. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam pemberian hak tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


(34)

Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi hak tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.

Selanjutnya syarat, bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.

Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan hak tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran hak tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi hak tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditor. Praktiknya, sebelum berlakunya Undang-Undang


(35)

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditor merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima hak tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik renternir, yang menyalahgunakan peraturan hak tanggungan ini.14

b. Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima hak tanggungan, yang sesudah pemasangan hak tanggungan akan menjadi pemegang hak tanggungan, yang adalah juga kreditor dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang hak tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitor wanprestasi, memiliki persil jaminan.

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang hak

14

H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama Jakarta: Penerbit CV Trisula, 1997, hal. 22.


(36)

tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditor. Menentukan siapa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisa bertindak sebagai pemberi hak tanggungan. Karena seorang pemegang hak tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek hak tanggungan bahkan memperjanjikan. Bahwa objek hak tanggungan akan menjadi milik pemegang hak tanggungan, kalau debitor wanprestasi adalah batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang hak tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah orang alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer venootschap. Ini membawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer bisa bertindak sebagai pemegang hak tanggungan, mengingat bahwa Perseroan Komanditer di indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun harus diakui, dalam praktik sehari-hari kita melihat adanya pengakuan secara


(37)

tidak resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri.15

15

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu, Bandung: Citra aditya Bakti, 1997, hal. 268.


(38)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI

A. Pengertian Eksekusi

Tartib, mengatakan bahwa :

Eksekusi adalah merupakan tahap akhir dari penyelesaian suatu perkara perdata di Pengadilan. Ini berarti, bahwa dengan diputusnya suatu perkara di Pengadilan, maka suatu sengketa itu masih belum berakhir. Sengketa itu baru dikatakan berakhir, apabila putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT) itu telah selesai dieksekusi secara sempurna.16 Menurut M. Yahya Harahap “eksekusi ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara, biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak tergugat”.17

Eksekusi adalah upaya paksa. Dikatakan demikian, karena merupakan upaya untuk melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir (baik putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap maupun putusan hakim dengan perintah uitvoerbaar bij voorrad, yang telah memperoleh izin atau persetujuan pelaksanaan dari Ketua pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung dan akta dengan secara paksa, karena pihak yang kalah perkara tidak mau memenuhi bunyinya putusan secara sukarela atau debitur tidak membayar hutang pokok beserta bunganya.

16

Tartib, Catatan Tentang Parete Eksekusi, Varia Peradilan tahun XI - No. 124 Januari 1996, hal. 148.

17

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 6.


(39)

Oleh karena itu maka perkataan "eksekusi" atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan dengan bantuan “kekuatan umum". Dengan "kekuatan umum" ini dimaksudkan polisi, kalau perlu militer (angkatan bersenjata).

Sebagaimana juga telah diterangkan, maka putusan pengadilan yang perlu dieksekusi atau dilaksanakan itu hanyalah putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah "condemnatoir" saja, artinya mengandung suatu "penghukuman" atau "konstitutif", tidak perlu dieksekusi atau dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan deklaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula.

Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk : 1. Menyerahkan suatu barang

2. Mengosongkan sebidang tanah 3. Melakukan suatu perbuatan tertentu 4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan 5. Membayar sejumlah uang.18

Eksekusi atau pelaksanaan terhadap diktum-diktum tersebut di atas, yang tidak berupa pembayaran sejumlah uang sering juga dinamakan eksekusi riel.

18


(40)

Pelaksanaan atau eksekusi suatu putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, mendapatkan pengaturan secara khusus dalam Pasal 225 HIR dengan judul “tentang beberapa acara khusus" (Van enige bijzondere rechtsplegingen).

Disini diterangkan, bahwa apabila seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, maka apabila pihak yang dihukum untuk melakukan perbuatan tersebut tidak suka melakukannya, pihak yang berkepentingan harus menghadap kepada hakim lagi untuk meminta agar perbuatan tersebut dinilai dengan sejumlah uang. Menurut ketentuan ayat 2 dari Pasal 225 itu, maka Ketua Pengadilan Negeri membawa persoalan itu ke sidang pengadilan lagi dan setelah mendengar atau setelah si berutang dipanggil dengan patut, pengadilan menolak permohonan atau mengabulkannya untuk sejumlah uang yang diminta atau untuk suatu jumlah uang yang kurang dari itu dan selanjutnya menghukum si berutang untuk membayar uang tersebut. Dengan demikian maka diktum yang tadinya berbunyi : "menghukum si tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu", sekarang diganti dengan diktum yang berbunyi : "menghukum si tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat".

Sebagaimana kita telah melihat, kalau diktum sudah berupa penghukuman untuk membayar sejumlah uang itu, maka diktum yang demikian itu dapat diwujudkan, artinya itu dapat dilakukan eksekusinya menurut ketentuan-ketentuan Pasal 197 HIR dan selanjutnya dari HIR :


(41)

penyitaan terhadap harta benda si tergugat, pelelangan harta benda tersebut, dan seterusnya, sampai penggugat menerima jumlah uang yang menjadi haknya menurut putusan pengadilan.

Sebenarnya, hakim yang mengabulkan gugatan dengan menghukum si tergugat untuk melakukan perbuatan yang disebutkan dalam amar (diktum) itu, sudah harus memperhitungkan kemungkinan tentang tidak akan dilaksanakannya secara sukarela perbuatan tersebut dan di dalam amar (diktum) putusan tersebut sudah harus memberikan pula penghukuman membayar sejumlah uang sebagai gantinya, sekedar hal itu diminta oleh penggugat. Kalau perbuatan yang menurut diktum putusan harus dilaksanakan oleh si tergugat itu berupa suatu perbuatan yang dengan mudah dapat dilakukan juga dikuasakan (dalam diktum putusan) untuk melaksanakannya sendiri atas biaya si tergugat. Namun juga disini, kalau si tergugat kemudian tidak mau membayar biaya tersebut, masih juga diperlukan putusan hakim lagi yang menghukumnya untuk membayar biaya tersebut. Suatu perbuatan yang dengan mudah dapat dilakukan orang lain (artinya tidak usah oleh tergugat sendiri) adalah misalnya membuat sebuah kandang ayam. Lain halnya dengan membuat sebuah lukisan.

Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat


(42)

dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan, oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memebri kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan comdemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan. Putusan declaratoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya. Karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana-sarana pemaksa untuk menjalankannya.

Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan secara sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu oleh pihak yang dikalahkan. Apabila suatu perkara telah diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka pihak yang dikalahkan secara sukarela dapat melaksanakan putusan tersebut. Dengan demikian maka selesailah perkaranya tanpa bantuan dari Pengadilan dalam melaksanakan putusan tersebut. Tetapi terkadang ditemui suatu keadaan pihak yang kalah tidak menjalankan keputusan pengadilan sehingga dalam kapasitas ini ditempu jalan eksekusi (upaya paksa).


(43)

Akan tetapi mungkin bahkan sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa. Pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat mohon pelaksanaan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa (execution forcee).

Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.

Dalam RV ada juga suatu kemungkinan untuk menetapkan uang paksa, yang dimaksudkan untuk mendorong si tergugat melakukan perbuatan yang harus dilakukannya menurut diktum putusan (Pasal 606 RV). Apabila perbuatan yang diperintahkan dalam putusan itu tidak dilakukan, maka penggugat tinggal langsung menuntut pembayaran jumlah uang paksa yang telah menjadi haknya untuk dieksekusikan menurut cara yang berlaku untuk melaksanakan penghukuman membayar sejumlah uang.

Dalam Pasal 606 a RV itu ditegaskan juga bahwa lembaga uang paksa itu tidak dapat diterapkan dalam suatu putusan yang mengandung diktum penghukuman membayar sejumlah uang.

Oleh karena penghukuman untuk membayar sejumlah uang itu selalu dapat diwujudkan, maka sudah semestinya bahwa tidaklah perlu ia disertai penetapan uang paksa. Karena itu, kalau ada suatu putusan yang menghukum


(44)

membayar sejumlah uang dan mencantumkan uang paksa untuk penghukuman itu, putusan tersebut adalah keliru.

Suatu persoalan lagi yang menyangkut eksekusi suatu putusan pengadilan adalah masalah “ penyanderaan “ atau gijzeling “ yang oleh HIR diperbolehkan dan diatur dalam hal tidak terdapatnya sama sekali/tidak terdapatnya cukup barang-barang kepunyaan si tergugat (si terhukum) untuk menjamin pelaksanaan putusan (Pasal 209). Penyanderaan terhadap seorang terhukum yang tidak mempunyai apa-apa lagi itu, dimaksudkan untuk memaksa sanak keluarganya membayar apa yang harus dibayar menurut putusan pengadilan itu.

Mengenai lembaga penyanderaan atau gijzeling itu, dapat diterangkan bahwa Mahkamah Agung dengan surat edarannya tertanggal 22 Januari 1964 kepada semua Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia telah menyatakan pendapatnya, bahwa penyanderaan seseorang adalah bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan oleh karena itu menginstruksikan para hakim untuk tidak menggunakan peraturan-peraturan mengenai penyanderaan (gijzeling) itu sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal-Pasal 209 sampai dengan 224 HIR (258 Rbg).

Meskipun telah timbul pendapat-pendapat pro dan kontra terhadap surat edaran Mahkamah Agung tersebut, dimana pihak yang tidak menyetujui pendapat Mahkamah Agung mengemukakan bahwa ketidak mampuan si berutang itu sering dibuat sendiri oleh debitur dengan itikad yang buruk, dan


(45)

bahwa masih ada peraturan-peraturan tentang penyanderaan itu di berbagai negara lain.

Meskipun demikian dapatlah dikatakan bahwa penyanderaan yang dilaksanakan tersebut bertentangan dengan perikemanusiaan.

B. Dasar Hukum Eksekusi

Ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, eksekusi itu dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran hutang.

Disebut eksekusi riil apabila sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar putusan atau diktum putusan itu ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan rill, dan disebut eksekusi pembayaran uang apabila hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan itu ialah melakukan pembayaran sejumlah uang.19

Eksekusi pembayaran uang diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208, plus Pasal 224 HIR/Pasal 206 sampai dengan Pasal 240, plus Pasal 258 RBg. Pada umumnya eksekusi bentuk ini bersumber dari perjanjian hutang atau penghukuman membayar ganti kerugian berdasarkan wanprestasi. Namun secara kwantitatif, eksekusi ini hampir bersumber dari penghukuman membayar hutang. Apabila tergugat sebagai debitur enggan melunasi pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya secara sukarela,

19


(46)

terbukalah kewenangan pengadilan menjalankan putusan secara paksa melalui eksekusi, dengan jalan penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. dari hasil penjualan lelang secara nyata, masih diperlukan berbagai tata cara dan pentahapan yang dibarengi dengan berbagai macam persyaratan. “Boleh dikatakan, penjualan lelang dan penyerahan uang hasil penjualan lelang kepada pihak penggugat (pihak yang menang) merupakan tahap akhir proses eksekusi pembayaran sejumlah uang”.20

Untuk eksekusi bentuk ini, telah ditentukan prosedur dan formalitas yang agak rumit, dan hal ini memang diperlukan agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan yang merugikan penggugat pada pihak yang lain.

Apalagi ditinjau dari segi praktek, eksekusi bentuk ini pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang cermat dalam pelaksanaannya. Aturan rincian tata tertib eksekusi bentuk ini, dapat dilihat dalam Pasal 195 sampai dengan 208 HIR/206 sampai dengan 240 RBg.

Sedangkan Tartib, mengatakan :

Eksekusi terhadap putusan Hakim ada 3 macam yakni :

a. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, 208 RBg).

b. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR, 259 RBg).

c. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk mengosongkan barang tak bergerak (eksekusi

20

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 59.


(47)

riil, Pasal 1033 RV).21

C. Asas-Asas Eksekusi

Asas-Asas eksekusi meliputi:

1. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan pengadilan tidak semuanya mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, sehingga tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Meski dalam kasus-kasus tertentu undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks ini ekskusi dilaksanakan bukan sebagai tindakan menjalankan putusan pengadilan, tetapi menjalankan eksekusi terhadap bentuk-bentuk hukum yang dipersamakan undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Beberapa bentuk pengecualian eksekusi yang dibenarkan undang-undang tersebut meliputi : pelaksanaan putusan terlebih dahulu, pelaksanaan putusan provisi, akta perdamaian, dan eksekusi terhadap grose akta.

2. Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum (condemnatoir)

Eksekusi dapat dijalankan hanya untuk putusan yang bersifat condemnatoir, yakni putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur

penghukuman. Adapun ciri yang dijadikan indikator menentukan suatu

21


(48)

putusan bersifat condemnatoir, dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:

a. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.

b. Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah dan rumah.

c. Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu. d. Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau

keadaan.22

3. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Pelaksanaan isi putusan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan jalan sukarela dan dengan jalan eksekusi. Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika tergugat bersedia memenuhi dan menaati putusan secara sukarela, tindakan eksekusi tidak perlu dilakukan.

Bentuk menjalankan putusan secara sukarela, pihak yang kalah memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan padanya. Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi

22


(49)

apabila pihak tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Keengganan tergugat menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut “eksekusi”.23

4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan yang dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita pengadilan yang bersangkutan.

Kewenangan menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 Ayat (1) RBg. Menurut ketentuan Pasal 195 Ayat (1) HIR disebutkan : “hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu”.

Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex officio. Kewenangan Ketua secara ex officio meliputi : sejak melakukan sita eksekusi dan pelaksanaan lelang, yaitu sejak dari proses pertama sampai dengan tindakan pengosongan dan penjualan barang yang dilelang kepada pembeli atau sampai penyerahan dan penguasaan barang kepada para penggugat/pemohon eksekusi pada eksekusi riil.

Kewenangan secara ex officio dapat dibaca dalam Pasal 197 Ayat HIR atau Pasal 209 RBg. Gambaran konstruksi hukum kewenangan menjalankan

23


(50)

eksekusi dengan singkat adalah sebagai berikut:24

1) Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi ;

2) Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri adalah secara ox officio;

3) Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk surat penetapan ;

4) Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah panitera atau jurusita Pengadilan Negeri.

5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan

Eksekusi tidak boleh menyimpang dari amar putusan, karena jika terjadi penyimpangan dari amar putusan, maka ada hak tereksekusi untuk menolak pelaksanaannya. Keberhasilan eksekusi antara lain salah satunya ditentukan oleh kesempurnaan dan kelengkapan amar putusan yang baik/sempurna dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang kuat dan hasil pemeriksaan yang lengkap dan teliti terhadap bukti-bukti, saksisaksi serta pihak berdasarkan gugatan yang baik.

24


(51)

D. Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 20 Ayat (1) :

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Pasal 20 Ayat (2):

Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semua pihak. Pasal 20 Ayat (3):

Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut, Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu :


(52)

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan.

2. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak Tanggungan memuat kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA", dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan

eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apbaila debitur cidera janji, siap untuk di eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Hukum Acara Perdata, atau

3. Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.

Berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf b Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa titel eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Hak Tanggungan dapat dijadikan dasar penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Adapun dalam ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak


(53)

Tanggungan dikemukakan tiga jenis eksekusi Hak Tanggungan yaitu :

1. Apabila debitur cidera janji, maka kreditur berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum;

2. Apabila debitur cidera janji, berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum;

3. Atas kesepakatan pemberi dan pemenang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan.


(54)

BAB IV

PELAKSANAAN PARATE ESEKUSI HAK TANGGUNGAN KREDIT

BERMASALAH DI PT. BANK DANAMON

A. Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Danamon

Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas kredit itu sendiri.25 Semula pengaturan mengenai penggolongan kolektibilitas kredit terdapat dalam ketentuan sebagai berikut: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tentang

penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan atas Aktiva. peraturan tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan Surat Keputusan Direkstur Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

b. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 20 Februari 1998 Tentang Kualitas Aktiva Produktif.

c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 Tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tentang Perubahan atas

25

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 552.


(55)

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

Pada tahun 2005, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang kemudian beberapa kali diubah melalui PBI Nomor 8/2/PBI/2006, PBI Nomor 9/6/PBI/2007, dan terakhir kali diubah melalui PBI Nomor 11/2/PBI/2009. Keempat ketentuan PBI yang penulis sebutkan terakhir ini, mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi segala ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang Penilaian Kualitas Aktiva bank umum sebelumnya.

Kredit bermasalah bank merupakan resiko kredit yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan profitabilitas suatu bank apabila tidak ditangani dengan baik. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana yang terakhir kali dirubah dengan PBI Nomor 11/2/PBI/2009, telah menetapkan kualitas kredit berdasarkan faktor penilaian yang terdiri dari prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar debitur.26

Penilaian terhadap prospek usaha debitur meliputi penilaian terhadap potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau

26

Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005.


(56)

afiliasi, dan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Penilaian terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-komponen yang terdiri dari : perolehan laba, struktur permodalan, arus kas, dan pembayaran kewajiban. Semua faktor penilaian tersebut akan menentukan kualitas kredit debitur dan mengklasifikasikannya kedalam penggolongan kualitas kredit sebagai berikut:

1. Lancar

Kredit dengan kualitas lancar memiliki karakteristik sebagai berikut: debitur mempunyai kegiatan usaha yang memiliki potensi pertumbuhan yang baik, pasar yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian, memiliki kualitas manajemen yang sangat baik, mempunyai tenaga kerja yang memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau pemogokan kerja, perusahaan afiliasi atau grup stabil dan mendukung usaha (apabila bagian dari grup), mempunyai upaya pengelolaan lingkungan hidup yang baik, perolehan laba tinggi dan stabil, mempunyai permodalan yang kuat, likuiditas dan modal kerja kuat, pembayaran pokok dan bunga tepat waktu sehingga tidak ada tunggakan, hubungan debitur dengan bank baik, debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi kredit lengkap, tidak terdapat pelanggaran perjanjian kredit, penggunaan dana sesuai dengan pengajuan pinjaman, sumber pembiayaan dapat diidentifikasi dengan jelas dan disepakati oleh bank dan debitur.


(57)

Kredit dengan kualitas dalam perhaitan khusus memiliki karakteristik sebagai berikut : kegiatan usaha debitur memiliki potensi pertumbuhan yang terbatas, posisi debitur di pasar baik dan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian, debitur mempunyai manajemen yang baik, memiliki tenaga kerja yang pada umumnya memadai dan pernah mengalami perselisihan/pemogokan tenaga kerja yang telah diselesaikan dengan baik, mempunyai upaya pengelolaan lingkungan hidup yang kurang baik, perolehan laba cukup baik namun memiliki potensi menurun, mempunyai permodalan cukup baik, likuiditas dan modal kerja umumnya baik, terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 90 (Sembilan puluh) hari, hubungan debitur dengan bank cukup baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat, dokumentasi kredit lengkap, terdapat pelanggaran perjanjian kredit yang tidak prinsipil, penggunaan dana kurang sesuai dengan pengajuan pinjaman namun jumlahnya tidak material, sumber pembayaran dapat identifikasi dan disepakati oleh bank dan debitur.

3. Kurang Lancar

Kredit dengan kualitas kurang lancar memiliki karakteristik sebagai berikut: kegiatan usaha debitur menunjukkan potensi pertumbuhan yang sangat terbatas atau tidak mengalami pertumbuhan, posisi debitur di pasar dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian, debitur mempunyai


(58)

manajemen yang cukup baik, memiliki tenaga kerja berlebihan dan terdapat perselisihan/pemogokan tenaga kerja dengan dampak yang cukup material bagi kegiatan usaha debitur, upaya pengelolaan lingkungan hidup kurang baik dan belum mencapai persyaratan minimum yang ditentukan oleh peraturan perundangan, perolehan laba rendah, mempunyai rasio utang terhadap modal yang cukup tinggi, likuiditas kurang dan modal kerja terbatas, terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai yang telah melampaui 90 (Sembilan puluh) hari sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari, hubungan debitur dengan bank memburuk dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya atau tidak terdapat hasil analisis bank atas informasi keuangan yang disampaikan debitur, dokumentasi kredit kurang lengkap, terdapat pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit yang cukup prinsipil, penggunaan dana kurang sesuai dengan pengajuan pinjaman dengan jumlah yang cukup material, sumber pembayaran berasal dari sumber lain dari yang disepakati.

4. Diragukan

Kredit dengan kualitas diragukan memiliki karakteristik sebagai berikut: kegiatan usaha debitur menurun, posisi debitur di pasar sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian, manajemen debitur kurang berpengalaman, memiliki tenaga kerja berlebihan dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan keresahan dan terdapat perselisihan/pemogokan tenaga kerja yang berdampak cukup material bagi


(59)

kegiatan usaha debitur, debitur belum melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang berarti, perolehan laba sangat kecil atau negatif, mempunyai rasio utang terhadap modal yang tinggi, likuiditas sangat rendah, terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari, hubungan debitur dengan bank semakin memburuk dan informasi keuangan tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya, dokumentasi kredit tidak lengkap, terdapat pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit, penggunaan dana kurang sesuai dengan pengajuan pinjaman dengan jumlah yang material, sumber pembayaran tidak diketahui, sementara sumber yang disepakati sudah tidak memungkinkan.

5. Macet

Kredit dengan kualitas macet memiliki karakteristik sebagai berikut: kelangsungan usaha debitur sangat diragukan dan sulit untk pulih kembali, debitur kehilangan pasar sejalan dengan kondisi perekonomian yang menurun, manajemen debitur sangat lemah, memiliki tenaga kerja berlebihan dalam jumlah yang besar sehingga menimbulkan keresahan dan terdapat perselisihan/pemogokan tenaga kerja dengan dampak yang material bagi kegiatan usaha debitur, debitur belum melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang berarti dan memiliki kemungkinan untuk dituntut di pengadilan, debitur mengalami kerugian yang besar,


(60)

mempunyai rasio utang terhadap modal yang sangat tinggi, mempunyai kesulitan likuiditas, terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari, hubungan debitur dengan bank sangat buruk dan informasi keuangan tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya, tidak terdapat dokumentasi kredit, terdapat pelanggaran yang sangat prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit, sebagian besar penggunaan dana tidak sesuai dengan pengajuan pinjaman, tidak terdapat sumber pembayaran yang memungkinkan.

Penggolongan kualitas kredit berdasarkan karakteristik tersebut diatas dilakukan terhadap kredit debitur dengan segmentasi kredit bisnis/komersil dan korporasi. Khusus untuk kredit konsumer dan kredit kecil lainnya, penggolongan kualitas kredit dapat hanya ditentukan berdasarkan payment record saja, yaitu berdasarkan ketepatan pembayaran kewajiban debitur, serta

ada atau tidaknya tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga oleh debitur yang digolongkan berdasarkan jumlah hari tunggakannya. Penggolongan ini akan memudahkan bank karena dapat dilakukan secara otomatis oleh sistem kredit yang digunakan oleh bank. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang menerangkan bahwa penetapan kualitas kredit dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran


(61)

pokok dan/atau bunga, untuk:

a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan jumlah:

1) Lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit “sangat memadai” (strong). b) Memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang

berlaku, dan

c) Memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3).

2) Lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dapat diandalkan (acceptable).

b) Memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon adalah ketidakmauan debitur dalam memenuhi kewajibannya, kedua ketidak mampuan debitur untuk membayar kewajibannya. Ketidakmampun debitur dalam memenuhi kewajibannya adalah kurangnya analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sewaktu permohonan kredit dimohonkan dan debitur tidak mempunyai itikad baik (good faith) untuk memenuhi kewajibannya yaitu membayar pengembalian kredit yang telah diterimanya yang terdiri dari komponen pokok, bunga dan biaya, serta denda apabila kewajiban tersebut telah menunggak.

2. Alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dapat dilakukan dengan Penjadwalan Kembali (Rescheduling), Penataan Kembali (Restructuring), Persyaratan Kembali (Reconditioning) serta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela. Apabila jalan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka dapat dilakukan melalui Penyelesaian Melalui Pengadilan Negeri, Penyelesian Melalui Pengadilan Niaga, Penyelesaian Melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Penyelesaian Melalui Arbitrase.

3. Eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dilakukan sendiri oleh PT. Bank Danamon. Eksekusi hak tanggungan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan kredit


(2)

bermasalah bank. Parate eksekusi Hak Tanggungan berperan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efisien terutama dibandingkan dengan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Secara kuantitatif, parate eksekusi Hak Tanggungan telah berhasil mengurangi jumlah kredit bermasalah PT Bank Danamon.

B. Saran

1. PT. Bank Danamon hendaknya mengoptimalkan lagi pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan untuk penyelesaian kredit bermasalah, mengingat pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan lebih efektif dengan biaya yang relaif murah dan jangka waktu penyelesaian yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan eksekusi Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri. PT. Bank Danamon hendaknya juga mengoptimalkan lagi kerjasama dengan Balai Lelang Swasta yang mempunyai jaringan calon pembeli lelang dan kemampuan marketing yang baik sehingga tanah dan atau bangunan yang menjadi obyek lelang dapat laku terjual dengan cepat.

2. Dirjen Kekayaan Negara dan Lelang yang membawahi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) hendaknya meningkatkan kembali upaya sosialisasi terhadap mekanisme pembelian tanah dan atau bangunan melalui lelang agar masyarakat mengetahui prosedur dan mekanisme pembelian lelang tersebut. KPKNL maupun Pengadilan Negeri hendaknya


(3)

tidak melakukan penundaan atau pembatalan proses lelang eksekusi yang dimohonkan oleh Bank apabila terdapat keberatan atau perlawan dari debitur maupun pihak ketiga yang belum nampak kebenaran dan kejelasan dari perlawanan tersebut.

3. Pemerintah bersama dengan DPR RI hendaknya memberikan prioritas dan melakukan percepatan terhadap revisi Undang-undang Hak Tanggungan, khususnya terhadap pasal-pasal yang bertentangan atau tidak konsisten dalam mengatur pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, terutama mengenai parate eksekusi Hak Tanggungan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Anwari, Achmad, 1981, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Balai Aksara, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.

Daud, A. Wahab, 2002, H.I.R. Hukum Acara Perdata, Pusbakum, Jakarta. Downes, John dan Goodman, Jordan Elliot, 2006, Kamus Istilah Keuangan

dan Investasi, Elekmedia Komputindo, Jakarta.

Djumhana, Muhammad, 2006, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Sinar Grafika, Jakarta.

Harsono, Boedi, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (suatu konsep dalam menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Indra, H. M. Ridhwan, 1997, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan,

Cetakan Pertama : Penerbit CV Trisula, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan, 2005, Hak Tanggungan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Patrik, Purwahid, 1989, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.


(5)

Poesoko, Herowati, 2008, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta.

Satrio, J, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu, Citra aditya Bakti, Bandung.

Sembiring, Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, CV Mandar Maju, Bandung. Sinungan, Muchdarsyah, 1984, Dasar-dasar dan Teknik Managemen Kredit,

PT Bina Aksara, Jakarta.

Sjahdeini, Sutan Remy, 1999, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung.

---, 1999, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung.

Soerjadi, Sidharta P, 1978, Segi-segi Hukum Perkreditan di Indonesia dalam simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perkreditan, BPHN ed, Bina Cipta, Jakarta.

Subekti R, 1989, Hukum Acara Perdata, Penerbit Bina Cipta, Bandung.

---, 2003, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, Dalam: Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, MARI, Jakarta.

Sudrajat, Sutardja, 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertiftkatnya, Mandar Maju, Bandung.

Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta.


(6)

B. Perundang-Undangan:

KUH Perdata

undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

C. Makalah

Harsono, Boedi dan Wiriodarsono, Sudarianto, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Makalah Seminar Nasional, Bandung, 27 Mei 1996.

Tartib, Catatan Tentang Parete Eksekusi, Varia Peradilan tahun XI - No. 124 Januari 1996.