BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya
pejantan siap berbiak dan katak betina mendatangi lokasi berkumpulnya pejantan siap kawin tersebut. Katak pohon Jawa katak jantan memiliki ciri khusus saat
melakukan aktivitas berbiak. Ciri ini dimulai dengan aktivitas calling. Pada bagian bawah mulut terdapat selaput yang digunakan katak jantan untuk membuat
suara. Katak jantan mengeluarkan suara dimulai pada saat katak melakukan aktivitas menunggu Gambar 11 a. Katak jantan kemudian mendatangi katak
jantan lain untuk melakukan panggilan bersama Gambar 11 b. Katak jantan saling mengeluarkan suara dengan menggembungkan bagian selaput di bawah
mulut yang dapat terlihat pada Gambar 11 c.
Gambar 11 Katak pohon Jawa katak jantan yang sedang melakukan aktivitas berbiak. Ket : a Katak jantan yang sedang menunggu b Katak jantan
akan loncat mendekati pejantan lain c Katak jantan dengan posisi bersuara.
Katak betina mendatangi lokasi berbiak dengan kondisi siap berbiak. Katak betina siap berbiak ditandai dengan perut yang menggembung dan berisi dengan
telur-telur yang matang. Kematangan telur ini dapat dilihat dengan menggembungnya bagian pangkal perut. Gambar 12 a menunjukkan katak betina
mendatangi lokasi berbiak dengan menyusuri pinggiran sungai. Katak betina siap berbiak mendekati kumpulan pejantan dan menunjukkan bagian pangkal perut
yang menggembung Gambar 12 b. Aktivitas katak betina siap berbiak pada saat siang hari dapat diamati pada Gambar 12 c yaitu perut menggembung dan berisi
penuh telur.
Gambar 12 Katak betina siap berbiak. Ket : a Katak betina siap berbiak dari pepohonan b Katak betina siap berbiak yang menyusuri sungai c
Katak betina siap berbiak pada saat siang hari. Pengamatan terhadap pasangan yang melakukan amplexus terlihat dari
ukuran katak betina siap berbiak Gambar 13 yang memiliki ukuran SVL rata- rata 60,55
– 65,65 gram, dengan SD 1,56 dan berat rata-rata 14,50 gram sampai 23,75 gram dengan SD 2,99; sementara katak jantan memiliki SVL rata rata
32,50 mm sampai 45 mm dengan SD 3,46 dan berat rata-rata antara 3,25 gram sampai 5,50 gram dengan SD 0,07 Tabel 2. Katak betina lebih besar daripada
katak jantan ditemukan pada seluruh pasangan yang ditemukan. Katak betina berada di bawah pejantan dengan posisi kaki depan memeluk bagian dada dan
kaki belakang berada di pangkal perut.
Gambar 13 Perbandingan pasangan amplexus. Ket : a Pasangan di sela bebatuan b Pasangan di ranting c Pasangan di daun.
Tabel 2 SVL Snouth Vent Lenght dan berat katak yang melakukan amplexus
Pasangan Katak betina
Katak jantan
svl mm berat gram
svl mm berat gram
p4 64,25
14,50 44,15
5,00
p5
62,35 16,25
40,60 4,25
p6 60,55
18,75 50,85
4,50
p7
61,95 15,00
41,10 4,25
p11 65,65
18,50 46,45
5,50
p12
61,65 18,00
43,00 4,00
p13 62,98
21,00 38,10
3,25
p14
63,42 23,25
41,00 4,25
p15 63,40
23,75 41,18
3,50
p16
64,40 18,50
41,40 3,25
p17 60,85
18,00 41,06
4,00
Aktivitas berbiak ditandai dengan banyaknya katak jantan yang berkumpul dan bersuara, adanya pasangan yang berhasil amplexus, dan keberadaan sarang.
Hasil pengamatan selama 9 bulan terdapat frekuensi perjumpaan 271 katak jantan dan 40 katak betina yang melakukan aktivitas berbiak Gambar 14. Katak jantan
berkumpul pada satu lokasi dengan area ±20 m
2
dengan kondisi vegetasi dan lokasi yang berbeda. Keberadaan lokasi air menjadi pedoman dalam menentukan
titik pertemuan katak jantan dan katak betina. Jumlah katak jantan dan katak betina berkumpul terbanyak terjadi pada bulan Desember seiring dengan awal
musim penghujan.
Gambar 14 Grafik frekuensi pertemuan katak jantan dan katak betina selama penelitian Desember 2008-November 2009 kecuali pada bulan
Januari, Februari, dan Maret.
Tanda menunjukan tidak dilakukan
5.1.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak Waktu berbiak diawali dengan peristiwa amplexus sampai pada peristiwa
peletakan sarang. Waktu berbiak terjadi pada sepanjang malam dengan intensitas tinggi pada saat mulai terjadi hujan. Pada Gambar 15 diperlihatkan katak jantan
yang berkumpul dan melakukan aktivitas calling. Pertemuan katak terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan jumlah katak mencapai 64 ekor dimana 51
ekor sedang bersuara.
Gambar 15 Grafik pertemuan katak jantan berkumpul dan katak jantan bersuara tahun 2009.
Aktivitas amplexus terjadi sebanyak 19 kali selama pengamatan berlangsung. Aktivitas ini dapat dilihat pada Tabel 3 dengan dominansi cuaca
gerimis. Penemuan frekuensi amplexus paling banyak ditemukan pada Gayonggong A dengan jumlah katak jantan 3 sampai 5 ekor dengan 1 ekor katak
betina individu katak betina yang berbeda. Tabel 3 Waktu amplexus di seluruh lokasi penelitian
No
Tanggal Waktu
amplexus jam,
WIB Jumlah
katak jantan
Katak jantan
bersuara Jumlah
katak betina
Substrat Cuaca
1 24-Des-08
01.03 5
4 1
Congkok Mendung
2 26-Des-08
21.00 3
2 1
Kecubung Gerimis
3 27-Des-08
19.54 2
2 1
Babakoan Gerimis
4 18-Apr-09
19.00 5
5 1
Kecubung Cerah
Tanda menunjukan tidak dilakukan
No
Tanggal Waktu
amplexus jam,
WIB Jumlah
katak jantan
Katak jantan
bersuara Jumlah
katak betina
Substrat Cuaca
5 02-Mei-09
19.20 4
4 1
Kecubung Cerah
6 14-Mei-09
21.45 6
1 2
Kecubung Gerimis
7 14-Mei-09
02.30 3
3 2
Kecubung Gerimis
8 14-Mei-09
02.35 4
3 1
Kecubung Gerimis
9 02-Jun-09
18.30 2
1 1
Kecubung Hujan
10 02-Jun-09
21.00 3
3 1
Kecubung Hujan
11 04-Jun-09
20.15 3
2 1
Kecubung Gerimis
12 04-Jun-09
20.45 3
2 1
Kecubung Gerimis
13 04-Jun-09
23.20 3
2 1
Congkok Gerimis
14 06-Jun-09
23.30 3
3 1
Congkok Gerimis
15 06-Jun-09
23.30 3
2 1
Babakoan Gerimis
16 20-Nov-09
19.30 3
3 1
Congkok Gerimis
17 21-Nov-09
19.13 4
3 1
Batu Gerimis
18 24-Nov-09
20.40 7
6 1
Kecubung Cerah
19 24-Nov-09
23.15 7
4 1
Kecubung Cerah
Berdasarkan pengamatan lebih banyak katak melakukan amplexus pada rentang waktu 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Pada rentang jam ini
terdapat 12 pasangan amplexus yang menyebar dari jam 18.00 WIB sampai 20.00 WIB dan jam 20.00 WIB sampai 22.00 WIB. Waktu terawal katak melakukan
amplexus terjadi pada jam 18.30 WIB dan diakhiri jam 02.35 WIB. . Pertemuan amplexus terendah terjadi pada rentang jam 00.00 WIB sampai jam 02.00 WIB.
Gambar 16 Jumlah dan penyebaran waktu amplexus katak pohon Jawa, berdasarkan pengamatan pada bulan Desember 2008 sampai
November 2009 N=19.
Habitat berbiak katak pohon Jawa terdapat hampir di seluruh jalur pengamatan. Pengamatan pendahuluan pada bulan November sampai bulan
Desember 2008 menunjukkan beberapa lokasi berbiak katak pohon Jawa. Aktivitas berbiak berada di sekitar sumber air. Sumber air utama di sepanjang
jalur Ciwalen sampai Cibeureum yaitu berasal dari air terjun, dan di dua titik sumber air berasal dari air hujan yang membentuk kolam periodik. Lokasi
penelitian terbagi atas 11 lokasi pengamatan berbiak dan 1 lokasi pengamatan suara. Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokan
ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Pada gambar 17 menunjukkan lokasi utama katak melakukan proses berbiak.
Gambar 17 Lokasi utama katak pohon Jawa berbiak Mulia 2009. Lokasi pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa terbagi menjadi 4
lokasi besar yaitu sebagai berikut : a. Air terjun Cikundul
Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung Pangrango. Lokasi merupakan daerah dengan kondisi vegetasi yang cukup rapat
dan didominasi oleh Kecubung. Substrat dasar perairan berupa pasir, kerikil, batu, dan tanah dan aliran air yang relatif tenang dengan debit 0,10 m
3
detik. Kondisi ini dijadikan lokasi katak berbiak karena pada lokasi dijumpai bekas sarang pada
daun Markisah dan daun Kecubung serta ditemukan berudu katak pohon Jawa. Pada area air terjun Cikundul ini ditemukan tiga lokasi berbiak Gambar 18.
Gambar 18 Aliran sungai Cikudul. Ket: a Lokasi Cikundul A; b Cikundul B; c Cikundul C.
b. Air terjun Cibereum Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung
Gede. Lokasi pengamatan dengan dominasi bebatuan dan vegetasi dominan oleh tumbuhan Kecubung. Lokasi tersebut merupakan habitat riparian yang merupakan
salah satu aliran sungai dari air terjun Cibeureum. Substrat dasar sungai berupa batu, akar, dan kayu dengan debit 0,02 m
3
detik. Lokasi ini disinyalir menjadi tempat katak melakukan akivitas perkawinan dengan ditemukannya katak yang
sedang berkumpul dan melakukan aktivitas bersuara pada saat pengamatan. Pada lokasi ini juga ditemukan bekas sarang pada tumbuhan Kecubung dan sarang di
sela bebatuan serta di temukan berudu di sepanjang aliran sungai. Lokasi ini terbagi menjadi tiga lokasi kecil tempat katak jantan berkumpul dan melakukan
aktivitas berbiak yaitu Cibeureum A, Cibeureum B, Cibeureum C, dan Cibeureum D Gambar 19.
Gambar 19 Aliran sungai Cibeureum. Ket: a Cibeureum A Cibeureum B; b Cibeureum C; c Cibeureum D.
c. Rawa Gayonggong Lokasi ini berada pada HM 25 dan dipotong oleh keberadaan jembatan kayu
Gambar 20 a Gambar 20 d. Aliran sungai ditemukan di bawah jembatan ini dengan debit 0,03 m
3
detik. Kondisi vegetasi didominasi oleh Kecubung yang hidup di sekitar jembatan. Kondisi substrat dasar sungai berupa pasir , tanah,
kerikil, dan sampah plastik. Keberadaan bekas sarang, berudu, dan katak yang berkumpul merupakan indikasi bahwa di tempat ini digunakan katak sebagai
tempat bagi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak. Pada lokasi ini juga ditemukan dua kolam periodik yang tergenang air pada saat hujan turun Gambar
20 b Gambar 20 c.
Gambar 20 Jembatan kayu di HM 25. Ket: a Gayonggong A; b Gayonggong B; c Gayonggong C; d Gayonggong D.
d. Jalur Ciwalen
Gambar 21 Kolam periodik di HM 0 resort Mandala Wangi.
Lokasi ini terdapat di HM 0 dan terdapat kolam periodik sebagai tempat katak berbiak. Lokasi kolam berada di belakang resort Mandala Wangi dengan
jumlah air yang berbeda tergantung dari keberadaan air hujan periodik Gambar 21. Pada kolam ini didominasi oleh Kecubung dengan substrat dasar berupa
serasah, pasir, tanah, dan kerikil. Pada malam hari ditemukan katak jantan yang sedang berkumpul dan melakukan aktivitas calling, serta ditemukan berudu katak
pohon Jawa. Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokkan
ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Kondisi ini didukung oleh parameter yang sesuai bagi katak pohon Jawa untuk melakukan
aktivitas perkawinan, yaitu dari jenis vegetasi, kemiringan, pH, kedalaman air, debit, dan substrat Tabel 4. Pengelompokan ini menunjukkan kesamaan kondisi
fisik yang sama yaitu berada pada habitat riparian. Tabel 4 Kondisi habitat mikro di lokasi penelitian
No lokas
i Nama
lokasi Vegetasi
dominan Substrat
Kemiringan
o
pH Kedalaman m
Debit m
3
detik 1
Cikundul A Kecubung
Batu, kerikil, tanah, akar
3 6
0,21 0,11
2
Cikundul B Kecubung
Kerikil, tanah, pasir
3 6
0,16 0,11
3
Cikundul C Babakoan
Batu, kerikil, tanah, akar
6 -
-
4
Cibeureum A
Kecubung Batu, akar,
kayu 3
6 0,21
0,02
5 Cibeureum
B Kecubung
Lumut, batu, kerikil, pasir
3 6
0,27 0,06
6 Cibeureum
C Kecubung
Tanah, pasir, serasah, akar,
kayu 5
6 0,08
0,01
7
Cibeureum D
Kecubung Serasah,
pasir- 10
6 -
-
8
Gayonggong A
Kecubung Tanah,pasir,
kerikil, dan sampah
plastik 3
6 0,13
0,03
9
Gayonggong B
Congkok Tanah, batu,
kayu , serasah, pasir
6 0,12
-
10 Gayonggong
C Kecubung
Kayu, serasah 3
6 -
-
11 Gayonggong
D Kecubung
Lumut, pasir, tanah, kayu
6 -
-
12 Ciwalen
Kecubung Serasah, akar,
pasir 4
6 -
-
5.1.3 Sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa Pada perilaku berbiak katak pohon Jawa, proses perkawinan dimulai saat
pertemuan antara katak jantan dan katak betina yang merupakan proses percumbuan. Katak jantan mengeluarkan suara yang berfungsi untuk menarik
perhatian katak betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 224 dari 271 frekuensi katak jantan yang ditemukan melakukan aktivitas bersuara. Urutan
berbiak katak pohon Jawa bisa disarikan sebagai berikut: 1 katak jantan memanggil, 2 katak betina merespon panggilan katak jantan, 3 Katak betina
memilih katak jantan yang sesuai, 4 Posisi amplexus, 5 pencarian lokasi bersarang, 6 pengeluaran telur, 7 katak berpisah setelah katak jantan membuahi
telur yang dikeluarkan katak betina. Pejantan katak pohon Jawa umumnya mengambil posisi kurang dari 3 m
dari permukaan tanah dan melakukan panggilan pada tempat terbuka seperti pada ranting atau cabang tumbuhan Gambar 22 a. Katak jantan yang berkumpul
kemudian saling berpasangan untuk menarik perhatian katak betina Gambar 22 b. Katak betina datang pada lokasi perkawinan Gambar 22 c dan mendekati
pejantan. Suara katak jantan semakin nyaring dan katak betina tertarik untuk
mendekati pasangan katak jantan yang paling nyaring dan sesuai dengan keinginan katak betina. Katak betina mendekati katak jantan kemudian katak
jantan menaiki tubuh katak betina amplexus Gambar 22 d. Pada posisi amplexus ini katak betina membawa katak jantan untuk masuk ke dalam air
sampai waktu tertentu Gambar 22 e. Pasangan tersebut naik lagi dan mencari daun Kecubung yang sesuai untuk peletakan sarang Gambar 22 f. Setelah
penentuan daun yang akan dipakai untuk sarang, pasangan saling menggerakkan kaki belakang dan menghasilkan busa foam. Telur keluar beserta sperma katak
jantan Gambar 22 g. Setelah seluruh isi telur pada perut katak betina habis kemudian katak betina menutup sarang. Katak berpisah setelah prosesi selesai.
Sarang biasanya diletakkan di atas permukaan daun maupun di bawah permukaan daun Gambar 22 h.
Gambar 22 Urutan berbiak katak pohon Jawa. Ket : a Katak jantan melakukan aktivitas calling b Katak jantan saling beradu suara c Katak betina
siap berbiak d Amplexus e Pasangan memasuki perairan f Menuju tempat peletakan sarang g Pembuatan sarang h Sarang di bawah
daun. Posisi amplexus katak pohon Jawa adalah axilary. Katak jantan berada di
punggung katak betina, kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah perut sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak
betina. Kaki depan katak jantan seperti menekan perut katak betina sehingga bagian perut katak betina menggembung ke bawah Gambar 23.
Gambar 23 Posisi berbiak katak pohon Jawa Axillary.
Ilustrasi urutan perkawinan disajikan pada contoh pengamatan tanggal 24 Desember 2008 di Cikundul A karena memiliki jumlah katak yang banyak dan
sedang bersuara. Terdapat lima katak jantan yang sedang berkumpul dan sedang melakukan aktivitas pemanggilan dengan suara panggilan pendek. Aktivitas ini
dimulai pada jam 19.00 WIB dengan suhu udara 16
o
C dengan kelembapan relatif 90. Kondisi kemungkinan terjadi perkawinan didukung dengan kondisi kawasan
yang sedang gerimis. Kondisi ini berlangsung hingga jam 00.30 WIB dengan kondisi hujan semakin deras. Pada jam 00.45 WIB hujan berhenti, dan katak
kembali melakukan aktivitas suaranya. Pada jam 01.00 WIB datang katak betina. Terjadi perubahan intensitas suara yang semakin sering dan terjadi
pengelompokkan penkatak jantan menjadi tiga, dua pasangan dan satu katak jantan. Pejantan yang sendiri tidak melakukan aktivitas suara.
Pejantan yang berpasangan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian katak betina. Pada jam 01.17 WIB katak betina menghampiri seekor pejantan dan
terjadilah amplexus. Suhu pejantan 18,8
O
C dan katak betina 18,8
O
C. Pasangan amplexus segera meninggalkan kelompok tersebut dan kemudian turun ke aliran
sungai. Pasangan tersebut segera masuk ke dalam air sampai jam 02.00 WIB akhirnya naik ke permukaan. Suhu air pada saat itu 17,5
O
C dan kondisi suhu udara 18
O
C. Tepatnya pada jam 02.21 WIB pasangan tersebut berpisah. Kondisi ini diawali dengan gerakan katak betina yang agresif membenamkan diri sampai
katak jantan melepaskan kaki depan sehingga katak jantan berpisah dari tubuh katak betina.
Kejadian ini berulang beberapa kali pada berbagai lokasi. Untuk mengetahui perilaku lanjutan yang dilakukan katak setelah amplexus dilakukan pengamatan
pada terrarium buatan. Data tanggal 14 Mei 2009 Tabel 5 menunjukan waktu berbusa selama 10 menit, keluar telur 3 jam 17 menit, dan total waktu berbiak 3
jam 40 menit. Demikian pula dengan tiga kejadian berikutnya pada tanggal 4 Juni 2009 terjadi 3 amplexus pada 3 terrarium yang berbeda dengan menghasilkan
data total waktu 11 jam 30 menit, 6 jam 13 menit, dan 6 jam 55 menit. Usaha pencarian perilaku berbiak secara alami tetap dilakukan dan tepatnya tanggal 21
November 2009 pada Cibeureum D ditemukan kejadian katak bersarang di antara
bebatuan di atas kolam. Terdapat 3 sarang dalam jarak ± 1 meter. Hal ini membuat pengamatan terfokus pada lokasi tersebut.
Pada jam 18.00 WIB dilakukan survey pada lokasi tersebut dan hanya ditemukan 4 katak jantan dan hanya 1 katak jantan yang bersuara. Pengamatan
dilakukan terus menerus untuk memantau kedatangan katak betina. Pada jam 18.43 WIB katak betina datang dari arah air terjun. Katak betina langsung
melompat ke dalam kolam dan kemudian menghampiri kumpulan pejantan. Pada jam 19.13 WIB, terjadi amplexus. Kondisi lokasi yang relatif basah walau tidak
ada hujan karena berdekatan dengan air terjun membuat bebatuan menjadi basah dan lembab. Pejantan lain terus melakukan panggilan namun pada jam 19.26 WIB
pasangan amplexus masuk ke kolam dan naik lagi pada jam 19.32 WIB. Katak
naik ke celah bebatuan dan segera membuat busa. Busa keluar tepat pada jam 19.37 WIB dan telur pertama keluar pada jam 19.43 WIB hingga menutup sarang
pada jam 20.10 WIB. Katak berpisah pada jam 20.20 WIB dengan katak jantan meloncat dari punggung katak betina dan segera katak betina meninggalkan lokasi
bersarang. Total waktu yang digunakan katak untuk berbiak hanya 1 jam 13 menit.
Pengamatan waktu berbiak katak pohon Jawa dapat dilihat pada tabel 5 yang menunjukkan pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa. Katak pohon Jawa
melakukan aktivitasnya pada jam 18.00 WIB atau pada saat matahari tenggelam. Aktivitas berbiak katak dimulai pada saat katak melakukan aktivitas calling
dengan lama 30 menit sampai 8 jam 30 menit. Aktivitas amplexus dimulai saat katak jantan menaiki tubuh katak betina. Katak betina membawa katak jantan di
punggungnya dan menuju lokasi bersarang. Lama waktu mencari lokasi sarang ini terjadi 53 menit sampai 8 jam 30 menit. Lamanya waktu pencarian tergantung
kecocokan terhadap peletakan sarang. Aktivitas pembuatan sarang dimulai pada saat katak betina telah menetukan
lokasi bersarang dan mulai melakukan serangkaian gerakan sampai terbentuk busa. Busa terbentuk setelah kaki belakang dan katak betina digosokkan pada
bagian punggung katak betina selama 6 sampai 28 menit. Proses keluarnya telur terjadi setelah setengah bagian busa dibentuk. Telur dikeluarkan melalui anus
katak betina, ditarik dan diletakkan ke dalam busa. Busa ditutup setelah proses
pengeluaran telur dan sperma selesai. Sarang ditutup dengan busa dan dibentuk membulat. Proses berbiak katak pohon Jawa terjadi 1 jam 13 menit sampai 11 jam
30 menit. Tabel 5 Pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa dimulai dari jam 18.00 WIB
Tanggal Durasi
jam : menit Total
waktu jam :
menit Total waktu
tanpa calling jam : menit
Calling Amplexus
Bertelur Menutup
sarang Berbusa
keluar telur
Pengamatan di dalam terrarium 14-05-09
8:30 0:53
0:10 3:17
0:20 12:10
3:40 04-06-09
2:15 8:30
0:13 1:20
0:17 13:45
11:30 04-06-09
2:45 2:35
0:28 2:52
0:18 8:58
6:13 04-06-09
5:20 3:30
0:25 2:33
0:27 3:36
6:55 06-06-09
5:30 6:30
Jam 06.00 WIB berpisah 06-06-09
5:30 6:30
Jam 06.00 WIB berpisah Pengamatan di alam
21-11-09 0:43
0:30 0:06
0:27 0:10
1:56 1:13
24-12-08 7:03
1:17 Jam 02.21WIB berpisah
26-12-08 3:00
1:00 Jam 22.00 WIB hilang
27-12-08 1:54
0:22 Jam 20.16 WIB hilang
18-04-09 1:20
5:15 Jam 00.35 WIB hilang
02-05-09 1:00
3:15 Jam 10.15 WIB hilang
14-05-09 3:45
1:45 Jam 23.30 WIB hilang
14-05-09 8:30
1:30 Jam 04.00 WIB berpisah
02-06-09 0:30
1:50 Jam 20.20 WIB berpisah
02-06-09 3:00
4:00 Jam 01.00 WIB berpisah
20-11-09 0:45
0:45 Jam 21.30 WIB berpisah
24-11-09 2:20
0:20 Jam 22.25 WIB hilang
24-11-09 5:25
0:45 Jam 01.15 WIB hilang
Keterangan : warna merah = aktivitas pengamatan direkam penuh
Sarang yang dibuat terdiri dari dua jenis yaitu sarang di daun dan sarang di batu. Adapun perbedaan kedua jenis sarang ini dapat dilihat di bawah ini:
a. Sarang di daun Kecubung Brugmansia suaveolens mendominasi hampir dikeseluruhan
lokasi penelitian. Peletakan sarang lebih banyak di tumbuhan Kecubung walaupun juga ditemukan pada jenis tumbuhan lain seperti Babakoan Eupatorium
sordidum dan Congkok Curculiga caviculata. Ketiga tumbuhan ini terdapat di seluruh lokasi penelitian. Habitat tumbuhan ini berada pada pinggir kolam atau
pinggiran aliran sungai. Peletakan sarang di daun dapat dilakukan pada permukaan daun atau di
bawah daun. Sarang lebih banyak ditempatkan di permukaan daun Kecubung, namun ada juga sarang yang diletakkan pada bawah permukaan daun seperti yang
ditemukan pada Cikundul A yaitu sarang menggantung dibawah daun, dan
kondisi daun tidak menutup. Sarang jatuh ke air dengan kondisi daun tetap utuh tanpa ada perubahan fisik daun. Ilustrasi kondisi peletakan sarang digambarkan
pada Gambar 24.
Gambar 24 Sketsa peletakan sarang di daun Kecubung. Peletakan sarang di daun Babakoan cenderung berada di bawah permukaan
daun, namun ada juga yang berada di permukaan daun Gambar 25 c. Setelah sarang jadi, daun menutup dan membentuk corong. Kondisi daun yang dipilih
ialah daun tua karena setelah beberapa hari daun akan rontok dan membawa berudu jatuh ke air. Sarang pada tumbuhan Congkok jarang ditemui. Peletakan
sarang pada tumbuhan ini hanya di temukan pada Gayonggong A. Kondisi vegetasi di sekitar kolam memang banyak ditumbuhi Congkok. Sarang diletakkan
pada bawah permukaan daun karena bentuk daun yang membulat ke dalam gambar 25 b.
Gambar 25 Peletakan sarang di daun. Ket : a Sarang di balik daun Kecubung b Sarang pada daun Congkok c Sarang pada daun Babakoan.
b. Sarang di Sela Bebatuan Peletakan sarang di bawah bebatuan sangat jarang terjadi. Peristiwa ini
hanya terjadi pada satu lokasi yaitu lokasi Cibeureum C. Keadaan sarang di celah bebatuan ditemukan pada lokasi ini dengan kondisi habitat yang dipenuhi oleh
bebatuan. Sebelum bulan Agustus 2008 kondisi sekitar kolam masih terdapat beberapa tumbuhan Kecubung dan Congkok.
Pada pengamatan bulan Desember 2008 ditemukan bekas sarang. Pada awal bulan Agustus diadakan pembersihan lingkungan pada jalur wisata air terjun
Cibeureum. Kondisi sekitar kolam menjadi kering bulan Agustus merupakan bulan kering sehingga tumbuhan Kecubung dan Congkok tidak tumbuh lagi.
Sampai pada bulan November yang merupakan awal musim penghujan ditemukan lokasi sarang di bawah bebatuan. Sarang berada tepat pada aliran air yang
menyelinap di antara bebatuan Gambar 26. Kondisi sekitar sarang juga terdapat sedikit rumput kering dan ranting pohon.
Gambar 26 Sketsa peletakan sarang di sela bebatuan. Sarang yang ditemukan pada tanggal 20 November 2009 jam 15.00 WIB
sebanyak 5 sarang. Namun pada saat jam 18.00 WIB dilakukan pengamatan lagi, sarang tersisa 3 buah, diduga sarang telah dirusak oleh hewan lain. Kondisi ini
diperbaiki lagi oleh katak dengan melakukan perkawinan lagi dan meletakkan sarang di tempat sarang lama. Peletakan sarang kembali ini dapat menjadi indikasi
bahwa katak akan kembali ke tempat semula meletakkan sarang Gambar 27.
Gambar 27 Sarang di sela bebatuan. Dalam peristiwa perkembangbiakan terjadi gangguan yaitu berupa gangguan
pada katak betina yang sedang diteliti dengan metode pergerakan spool track Gambar 28 a, gangguan katak jantan lain Gambar 28 b dan Gambar 28 c, dan
serangan dari hewan lain seperti sigung Gambar 28 d dan kelelawar. Gangguan juga disebabkan oleh aktivitas pengamat yang terlalu dekat dengan pasangan
berbiak.
Gambar 28 Gangguan selama proses perkawinan. Ket : a Gangguan dengan pemakaian spool track b Gangguan dari individu lain saat amplexus
c Gangguan individu lain saat bersarang d Gangguan oleh Sigung.
5.1.4 Akustik suara katak jantan Dari seluruh pengamatan ditemukan 234 dari 271 frekuensi pejantan yang
sedang berkumpul. Pengambilan data dilakukan pada 5 individu yang telah di identifikasi akan melakukan proses berbiak. Pengamatan dilakukan pada saat
katak mulai melakukan aktivitas suara dan ditemukan tiga pola suara umum yang dapat dijumpai pada katak pohon Jawa yaitu suara pendek, suara panjang, dan
suara pendek lirih. Ketiga suara tersebut digambarkan dalam bentuk oscilogram, spectrogram, dan power spectrum. Pola ini terbentuk setelah dilakukan penataan
ulang suara melalui pembersihan suara dari noise dan suara pengganggu seperti suara air, katak lain, dan serangga malam. Pengambilan contoh suara diambil pada
tanggal 29 Desember 2008 jam 19.57 WIB selama 30 menit dengan lokasi Rawa Gayonggong. Pada saat pengambilan data suara, cuaca relatif cerah dengan
kondisi suhu 16
o
C dan kelembaban mencapai 89 . Dari rentang waktu ini dapat di lihat pola suara katak umum secara keseluruhan.
Gambar 29 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1891
+- 24 dan spectrum level dBHz: 36.
Gambar 30 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan panjang katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1463
+- 24 dan spectrum level dBHz: 36.
Gambar 31 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek lirih katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz:
1053 +- 22 dan spectrum level dBHz: 75.
Pola umum dari 5 katak jantan yang sedang bersuara dapat di gambarkan pada Tabel 6 yang menunjukkan parameter rata-rata mean dan jarak range
pada tiap level pulse duration, pulse frequency, dan amplitude. Tabel 6 Mean dan range dari suara katak jantan yang berhasil direkam
Pulse duration
ms
Pulse dominant
frequency Hz
Maximum amplitude Hz
Frequency amplitude Hz
N individuals=5 ; n calls=68
Mean SD 12,48
2199,25 0,04
2100,57
Range 8,75-21,31
1968,75-3093,75 0,03-0,05
2061,11-2258,21
5.2 Pembahasan