Penggunaan metode spool track dalam menelaah pola pergerakan harian katak bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

(1)

PENGGUNAAN METODE

SPOOL TRACK

DALAM MENELAAH POLA PERGERAKAN HARIAN

KATAK BERTANDUK (

Megophrys montana

)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,

JAWA BARAT

IRWAN DWI SUSANTO

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PENGGUNAAN METODE

SPOOL TRACK

DALAM MENELAAH POLA PERGERAKAN HARIAN

KATAK BERTANDUK (

Megophrys montana

)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,

JAWA BARAT

IRWAN DWI SUSANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

IRWAN DWI SUSANTO. E34050369. “Penggunaan Metode Spool Track dalam Menelaah Pola Pergerakan Harian Katak Bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat”.Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan DONES RINALDI

Penelitian mengenai pergerakan amfibi, termasuk tentang pilihan metode yang sesuai, telah banyak dilakukan di luar negeri, tetapi di Indonesia baru Sholihat (2007) dan Muliya (2010) yang pernah tercatat melakukan penelitian sejenis. Penelitian ini bertujuan 1) melakukan uji coba berbagai bahan dalam membuat alat yang dipakai dalam metode spool track serta melihat dampak pemakaian alat terhadap M. montana.; 2) Memetakan pola pergerakan harian M. montana dan penggunaan mikrohabitat M. montana di TNGGP.

Penelitian ini dilakukan di Jalur Ciwalen dan Cibereum, TNGGP. Empat macam spool dicobakan kepada katak dan pergerakan katak diamati setiap tiga jam selama 72 jam. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Terdapat Tujuh individu katak yang berhasil diamati pergerakannya selama 72 jam dengan menggunakan spool yang beratnya dibawah 10%, yaitu tiga katak jantan dan empat katak betina. Selain itu juga terdapat satu katak jantan yang berhasil diamati selama 72 jam dengan menggunakan spool dengan berat di atas 10% dari bobot tubuhnya.

Bahan pembuat spool yang cukup baik digunakan selama pengamatan berbeda untuk katak jantan dan katak betina. Untuk katak jantan bahan terbaik terbuat dari sedotan dan plastik mika, sedangkan untuk katak betina bahan terbaik adalah palet plastik dan belahan tempat bubuk carambol. Uji kruskal wallis terhadap pergerakan katak menunjukkan pergerakan setiap 3 jam pada siang hari adalah berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina (H= 0,296, df=1, P>0,05). Sedangkan pergerakan setiap 3 jam pada malam hari adalah berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina (H= 0,000, df=1, P<0,05). Uji kruskal wallis juga menunjukkan rata-rata pergerakan katak jantan setiap 3 jam pada siang dan malam hari tidak berbeda nyata (H=0,000, df=1, P< 0,05). Hal ini berbeda dengan pergerakan betina setiap 3 jam menunjukkan perbedaan nyata pada siang dan malam hari (H= 0,049. df=1, p<0,05). Hal ini disebabkan pada siang hari betina lebih sering diam dibandingkan malam hari.

Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa sebagian besar katak jantan dan katak betina memiliki aktivitas yang sama pada siang hari yaitu tidur di tempat yang terlindung dari matahari seperti di bawah serasah, di bawah batu, di bawah log kayu dan di lubang akar pohon agar tubuhnya tidak kekeringan. Hasil pengamatan terhadap penggunaan mikrohabitat menunjukkan bahwa pada siang dan malam hari, M. montana paling banyak mengunakan substrat serasah basah. Dengan banyaknya penggunaan serasah basah sebagai mikrohabitatnya, maka tumbuhan sebagai penghasil serasah perlu dipertahankan keberadaannya.


(4)

SUMMARY

IRWAN DWI SUSANTO. E34050369. The Application of Spool Track Method In the Assessment of Daily Movement Pattern of Asian Horned frog (Megophrys montana) In Gede Pangrango National Park, West Java. Supervised by: MIRZA DIKARI KUSRINI and DONES RINALDI

Studies on amphibian movement have been reported abroad, including selection of appropriate method. However, there is only two study on amphibian movement reported in Indonesia by Sholihat (2007) and Muliya (2010). This study aims to 1) find suitable material for spool track that well suited with body weight of M. montana., 2) map daily movement patterns of M. montana and describe microhabitat use of M. montana in Gede Pangrango National Park.

Research was conducted at Ciwalen and Cibereum. Four types of spool were tried to selected frogs and movements were observed every three hours for 72 hours. Data from observations were then analyzed descriptively and quantitatively. Seven frogs (3 males, 4 females) were observed for 72 hours, each using a spool weight under less than 10% of body mass and there are one male frog were successfully observed using a spool weight more 10% from their body mass.

Results showed that suitable spool equipment materials differ for males and females according to their body mass. The best materials for the male frog are made by plastic straws and mica, while for female frog it is made from plastic and piece of carambol powder plastic. Kruskal Wallis test on eight frogs indicated that the movement of every 3 hours during the day are significantly differ between male frogs and female frogs (H = 0.296, df = 1, P> 0.05). While the movement of every 3 hours during the night were significantly differ between male frogs and female frogs (H = 0.000, df = 1, P <0.05). Kruskal Wallis test also shows the average male frog movement every 3 hours in the day and night were not significantly different (H = 0.000, df = 1, P <0.05) in which males did not move much. In the contrary, there is significant differences between day and night 3 hourly movement for female (H = 0.049. df = 1, p <0.05). Females tend to move more during the night compared to afternoon.

From observation, it appears that most of the male and female frogs have similar activities during the day, which is sleeping in a protected area away from the sun, such as under leaf litter, rocks, and logs or burrowing in the wood in tree root holes. The purpose of burrowing aims to avoid drought and retain moisture. Observations on microhabitats use showed that most frogs used wet leaf litter during the day and night. Therefore plants as producer of leaf litter needs to be protected.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Penggunaan Metode Spool Track dalam Menelaah Pola Pergerakan Harian Katak Bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” adalah benar-benar karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Pebruari 2011

Irwan Dwi Susanto NIM. E34050369


(6)

Judul Penelitian : Penggunaan Metode Spool Track dalam Menelaah Pola Pergerakan Harian Katak Bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Nama : Irwan Dwi Susanto NIM : E34050369

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Ir. Dones Rinaldi MSc.F NIP. 19651114 199002 2 001 NIP. 19610518 198803 1 002

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Ketua

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1988 di Jakarta dari pasangan Sutrisno dan Nur Syamsiyah. Pendidikan formal ditempuh pada TK Sejahtera 1 (1992), SD Negeri 05 Pagi Jakarta (1993), SLTP Negeri 77 Jakarta (1999), dan SMA Negeri 77 Jakarta (2002). Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2006.

Selama kuliah di IPB penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain di HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) sebagai Ketua Departemen Kewirausahaan dan Anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA pada periode kepengurusan tahun 2004/2005. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di TN. Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan pada tahun 2007 dan di TN Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat pada tahun 2008, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Indramayu dan TN. Gunung Ceremai pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Eks-Situ (PUKES) di Penangkaran Reptil Megacitrindo dan PUSPIPTEK Tangerang pada tahun 2008 dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN. Ujung Kulon, Banten pada tahun 2009.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi berjudul “Penggunaan Metode Spool Track dalam Menelaah Pola Pergerakan Harian Katak Bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta (Ibu dan Almarhum Bapak), kakak (Emma) dan adik (Devi) atas semua doa, kasih sayang yang tak pernah putus serta dukungan baik moril dan materi kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.ScF sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.

3. Prof. Ir. Dudung Darusman, MA, Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc dan Ir. Edje Djamhuri sebagai dosen penguji dalam sidang komprehensif yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu di bagian staf tata usaha Departemen Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas bantuan dan kelancaran administrasi.

5. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan staf yang telah memberikan kemudahan dalam perizinan pelaksanaan penelitian.

6. Boby Darmawan, S.Hut, M. Irfansyah Lubis, S.Hut dan Neneng Sholihat, S.Hut sebagai supervisor yang banyak membantu dalam pengambilan data. 7. Tim Javanus (Panda, Salomo, Neneng, Wista dan Uphie) atas semangat dan

bantuan serta dukungan saat di lapangan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Keluarga besar Tarsius’42 dan FAHUTAN atas pembelajaran, semangat, dan motivasi selama proses belajar.

9. Keluarga besar HIMAKOVA khususnya KPH-Phyton.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian dengan judul “Penggunaan Metode Spool Track dalam Menelaah Pola Pergerakan Harian Katak Bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan data dasar dalam rangka upaya konservasi katak bertanduk (Megophrys montana) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan tidak tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian baik dalam penyajian isi materi, maupun tata bahasa maupun dalam hasil yang diperoleh sebagai akibat dari belum optimalnya usaha. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Pebruari 2011

Irwan Dwi Susanto NIM. E34050369


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ...v

DAFTAR LAMPIRAN ...vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Tujuan ...3

1.3 Manfaat ...3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Kekerabatan ...4

2.2 Morfologi ...4

2.3 Habitat dan Penyebaran ...5

2.4 Aspek Perilaku ...6

2.5 Pergerakan Amfibi ...7

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...9

3.2 Alat dan Bahan ...10

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ...11

3.4 Prosedur Pengumpulan Data ...11

3.4.1 Kegiatan Pendahuluan ...11

3.4.2 Uji Coba Pembuatan Alat untuk Pembuatan Spool Track ...11

3.4.3 Pola Pergerakan Harian M. montana ...14

3.4.4 Penggunaan Mikrohabitat oleh M. montana ...15

3.5 Analisis Data ...15

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah TNGGP ...18

4.2 Flora dan Fauna TNGGP ...18

4.3 Kawasan Wisata ...20


(11)

4.4.1 Curug Cibeureum ...20

4.4.2 Ciwalen ...22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ...23

5.1.1 Penggunaan Metode Spool Track ...23

5.1.2 Pola Pergerakan M. montana ...24

5.1.3 Penggunaan Mikrohabitat M. montana ...29

5.2 Pembahasan ...31

5.2.1 Penggunaan Spool Track dalam Menelaah Pergerakan Katak ...31

5.2.2 Pola Pergerakan M. montana di TNGGP ...33

5.2.3 Penggunaan Mikrohabitat M. montana di TNGGP ...34

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...37

6.2 Saran ...37


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Beberapa Ukuran SVL dan Berat M. montana dari Berbagai Penelitian ...5

2. Jenis Data Yang diambil ...11

3. Pemilihan Bahan Pembuatan Spool Track pada Penelitian M. montana...13

4. Waktu Pengamatan Pergerakan M. montana ...14

5. Komposisi Bobot Tubuh Katak Jantan dan Betina Sebelum dan Sesudah Pemakaian Spool Track ...24

6. Perbandingan Pergerakan antara Katak Jantan dan Katak Betina pada Waktu Malam dan Siang Hari ...25

7. Nilai Alur Kelurusan Katak Jantan dan Betina pada Masing-masing Lokasi ..26

8. Aktivitas Katak Bertanduk pada Waktu Siang dan Malam ...28


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Penyebaran Megophrys montana di Dunia ...6

2. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ...9

3. Beberapa Alat yang Digunakan dalam Penelitian ...10

4. Spool Track (1) Bahan 1, (2) Bahan 2, (3) Bahan 3, dan (4) Bahan 4 ...14

5. Habitat pada Jalur Interpretasi antara HM 23-25 ...21

6. Habitat Dekat Curug 3 ...21

7. Katak Jantan yang Mati saat Uji Coba ...23

8. Rata-rata Pergerakan Katak dari Badan Air ...25

9. Rata-rata Pergerakan Katak pada Siang dan Malam Hari ...27

10. Denah Lokasi dan Pergerakan Katak yang Diamati di Cibeureum ...28

11. Denah Lokasi dan Pergerakan Katak yang Diamati di Ciwalen...29

12. Fluktuasi Suhu Tubuh Katak terhadap Suhu Lingkungan ...31

13. Kulit Katak yang Berubah Warna setelah Pengamatan 72 Jam ...33


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Hasil Pengamatan M. montana (Jantan 1) di Ciwalen ...41

2. Hasil Pengamatan M. montana (Jantan 2) di Ciwalen ...42

3. Hasil Pengamatan M. montana (Jantan 3) di Cibeureum ...43

4. Hasil Pengamatan M. montana (Jantan 4) di Cibeureum ...44

5. Hasil Pengamatan M. montana (Betina 1) di Ciwalen ...45

6. Hasil Pengamatan M. montana (Betina 2) di Cibeureum ...46

7. Hasil Pengamatan M. montana (Betina 3) di Ciwalen ...47

8. Hasil Pengamatan M. montana (Betina 4) di Ciwalen ...48

9. Hasil Perhitungan Uji Kruskall Wallis ...49

10. Perhitungan Uji Chi Kuadrat Nilai Alur Kelurusan ...50

11. Sketsa Pergerakan Jantan 1 ...51

12. Sketsa Pergerakan Jantan 2 ...51

13. Sketsa Pergerakan Jantan 3 ...52

14. Sketsa Pergerakan Jantan 4 ...52

15. Sketsa Pergerakan Betina 1 ...53

16. Sketsa Pergerakan Betina 2 ...53

17. Sketsa Pergerakan Betina 3 ...54


(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Megophrys montana merupakan salah satu jenis katak yang terdapat di Indonesia dengan penyebaran yang masih belum banyak diketahui. Sejauh ini penyebaran katak tersebut hanya diketahui di Pulau Jawa, sedangkan untuk di luar Pulau Jawa hanya tercatat dari Sumatera Barat, tetapi identitasnya masih dipertanyakan (Iskandar 1988).

Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal (Alikodra 2002). Arah pergerakan untuk amfibi dipengaruhi oleh kondisi habitat (Duellman dan Trueb 1986).

Penelitian mengenai pergerakan amfibi telah banyak dilakukan, namun hampir semuanya dilaporkan di luar negeri, diantaranya adalah Martof (1953); Dole (1965); Bheskove dan Jameson (1980); Daugherty dan Sheldon (1982); Pope dan Matthews (1999); Lemckert dan Brassil (2000); Schwarzkopf dan Alford (2002); Roznik et al (2009). Pada umumnya penelitian tersebut merupakan katak yang memiliki habitat akuatik dan terestrial. Penelitian tentang katak terestrial sendiri dilakukan oleh Dole (1965); Daugherty dan Sheldon (1982); Schwarzkopf dan Alford (2002), Lemckert dan Brassil (2000) dan Roznik et al (2009).

Penelitian mengenai pergerakan katak di Indonesia sangat sedikit, dimana tercatat hanya dua yang dilakukan di Indonesia yaitu oleh Sholihat (2007) mengenai Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga dan yang terbaru Muliya (2010) mengenai Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Mikrohabitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Penelitian-penelitian pergerakan amfibi di luar negeri pada umumnya menggunakan peralatan canggih, salah satunya adalah radio tracking. Namun dari berbagai penelitian di luar negeri, penelitian mengenai pergerakan amfibi dapat dilakukan tanpa mengunakan alat radio tracking, salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan metode tali atau spool track (lihat dole 1965 mengenai pergerakan musiman Rana pipiens dan Lemckert dan Brassil 2000 mengenai


(16)

pergerakan M iterates). Lemckert dan Brassil (2000) juga mendapatkan bahwa spool track tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pergerakan katak. Penggunaan metode spool track oleh Lemckert dan Brassil (2000) dilakukan karena penelitian pergerakan dengan metode radio tracking tidak menghasilkan data yang lengkap pada pergerakan malam hari. Penelitian mengenai pergerakan amfibi di Indonesia sebelumnya (Sholihat 2007 dan Muliya 2010) tidak menggunakan radio tracking sebagai alat penelaah pergerakan tetapi menggunakan metode spool track. Salah satu alasan menggunakan spool track

dalam menelaah pergerakan katak karena alat ini lebih sederhana dan lebih murah.

Hilangnya dan fragmentasi habitat saat ini merupakan ancaman paling serius bagi hidupan liar di seluruh dunia, sehingga menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana pola dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bentang alam serta tanggapan satwa terhadap perubahan alam ini (Blumstein & Fernandez-Juricic 2004). Hal ini juga yang mendasari pentingnya mengetahui pola pergerakan harian katak bertanduk sehingga kelestarian katak ini di masa yang datang akan tetap terjaga.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki daya tarik sebagai tempat riset penelitian. Namun, penelitian tentang amfibi masih kurang di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Data mengenai amfibi di kawasan ini diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh Liem (1974) lalu tidak ada laporan mengenai amfibi sampai tahun 2005 (Kusrini 2007). Penelitian mengenai pola pergerakan dan penggunaan mikrohabitat M. montana belum pernah dilakukan dan perlu dikaji mengingat informasi ekologinya dapat mendukung bagi upaya konservasi jenis amfibi di masa datang. Dengan minimnya data mengenai amfibi di kawasan ini, bila terjadi suatu perubahan lingkungan maka dapat mengancam konservasi jenis amfibi yang ada termasuk katak bertanduk di kawasan ini. Sebagai langkah awal dalam konservasi jenis amfibi terutama katak bertanduk maka dilakukan penelitian ini.


(17)

1.2. Tujuan

Penelitian memiliki tujuan:

1. Melakukan uji coba berbagai bahan dalam membuat alat yang dipakai dalam metode spool track serta melihat dampak pemakaian alat terhadap M. montana.

2. Memetakan pola pergerakan harian M. montana dan penggunaan mikrohabitat M. montana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 1.3. Manfaat

Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai Pola Pergerakan dan Penggunaan Mikrohabitat oleh M. montana. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk desain teknologi pengelolaan dan konservasi hidupan liar khususnya amfibi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Kekerabatan

Megophrys montana merupakan jenis katak serasah yang termasuk dalam family Megophrydae dan memiliki tonjolan seperti tanduk di atas matanya. Seiring dengan semakin banyaknya penemuan jenis amfibi serta perkembangan ilmu taksonomi dimana terjadi peningkatan informasi mengenai morfologi pada masing-masing jenis amfibi maka maka katak ini juga dikenal dengan nama Megalophrys monticola dan kemudian berubah menjadi Megophrys montana. Jenis yang berkerabat dengan M. montana meliputi M. nasuta (Sumatera, Kalimantan dan Malaysia), M. longipes, M. aceras (Malaysia), M. dringi, M. edwardinae, M. gununggensis (Kalimantan), M. ligayae (Palawan), dan M. steynegeri (Filipina) (Iskandar 1998).

2.2. Morfologi

Katak bertanduk berasal dari suku Megophryidae yang memiliki kepala dan tubuh yang kekar. M. montana memiliki moncong yang meruncing, mata dengan perpanjangan dermal yang jelas menyerupai tanduk. Katak ini berbentuk gemuk pendek, dengan kaki yang ramping dan pendek. Katak ini berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat kemerah-merahan. Terdapat bintak kehitaman di bawah mata dan sepasang bentol di belakang antara kaki. Tanduk merupakan proyeksi dari tepi alis yang menonjol (Duellman & Trueb 1986).

Katak bertanduk memiliki seksual dimorfisme yang membedakan antara ukuran tubuh (Snout Vent Length/SVL) jantan dan betina. Ukuran betina dapat mencapai 90 mm panjangnya dan jantan memiliki ukuran yang lebih kecil (Iskandar 1998). Ada beberapa data SVL dan berat Megophrys montana sebagai pembanding disajikan dalam tabel 1.


(19)

Tabel 1 Beberapa Ukuran SVL dan Berat M. montana dari Berbagai Penelitian

No. Lokasi Jenis

Kelamin SVL (mm) Berat(g) Tahun Peneliti 1. Sukamantri Jantan 45,38± 6,4 8,6±3,04 2006 Kusrini 2. Sukamantri Betina 68,39±12,7 34,10±1,13 2006 Kusrini

3. TNGGP Jantan 38,44± 2,9 5,9±0,5 2007 Kusrini

4. Cilember Jantan 39,92± 4,2 6,9±2,3 2007 Kusrini

Spesimen muda katak tanduk berwarna merah bata, tetapi yang tua biasanya coklat, coklat kemerahan sampai coklat tua, dan jarang berwarna coklat kekuningan. Terdapat suatu bercak segitiga berwarna lebih gelap terdapat di belakang mata. Biasanya terdapat sepasang benjolan atau bercak gelap di belakang dekat lekukan lengan. Warna pada bagian bawah campuran antara coklat dan krem kotor (Iskandar 1998).

2.3. Habitat dan Penyebaran

Katak merupakan satwaliar yang dapat dijumpai di seluruh bagian di dunia mulai dari daerah tropis sampai pada daerah padang pasir (Duellman dan Trueb, 1994). Katak tersebar mulai dari daerah dataran rendah sampai daerah pegunungan (Iskandar 1998). Megophrys montana biasanya terdapat di hutan dan diam tanpa bergerak di antara serasah dedaunan dan menyaru daun-daun dengan sempurna. Megophrys montana dapat ditemukan di Jawa dan kemungkinan berada di Sumatera Barat, Indonesia; terdapat catatan di Thailand tenggara sampai Sumatera, Natuna, Borneo, dan Filipina yang diduga memiliki nama yang sama dan spesies yang tidak diketahui (Frost 2009).

Di Jawa Barat, katak M. montana dapat ditemukan di Gunung Gede (Liem (1974) dan Kusrini et al. (2005), Gunung Halimun (Mumpuni (2002) dan Kurniati (2003), dan Gunung Salak (Kusrini dan Fitri 2006). Katak ini hanya berada di Pulau Jawa sehingga katak ini termasuk endemik Jawa (Gambar 1).


(20)

Gambar 1 Peta Penyebaran Megophrys montana di Dunia.

(Sumber data: IUCN, Conservation International and Nature Serve 2009)

2.4. Aspek Perilaku

Kebutuhan katak untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai dapat mempengaruhi aktivitas harian amfibi (Dole 1965). Selama satu hari, katak ini berlindung di bawah serasah atau batang pohon dan batu besar. Mereka bergerak lebih aktif pada malam hari. Katak bertanduk bergerak lambat dan bukan perenang yang handal (Iskandar 1998). Katak ini memakan beberapa


(21)

serangga, tetapi juga kaki seribu dan kadang- kadang kalajengking. Mereka juga tercatat memakan keong kecil (Inger dan Stuebing 1997)

Setiap jenis katak berkembangbiak melalui proses metamorfosa tetapi pada beberapa jenis katak dari genus Philautus dan Oreophryne yang berkembangbiak tanpa melalui proses metamorfosa (Iskandar 1998). Fertilisasi pada katak serasah umumnya terjadi diluar tubuhnya dan berkembangbiak melalui proses metamorfosa (Iskandar 1998). Lokasi peletakan telur umumnya sangat bervariasi, hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan antar individu. Kebanyakan katak meletakkan telurnya di air yang bersih (Stebbins dan Cohen 1995).

Hanya sedikit catatan mengenai perilaku kawin katak ini di alam. Oleh karena itu, katak bertanduk sering diumpamakan dengan kerabat dekatnya yaitu M. nasuta. Dalam spesies ini, katak dewasa bergerak dari hutan ke pinggiran sungai kecil dan sungai beraliran lambat untuk kawin, dimana aliran rendah sampai sedang (Inger dan Stuebing 1997). Telur berada di pinggir kolam dan berudu hidup di bagian kolam yang tenang, dan dapat ditemukan di antara akar tanaman yang berada di dalam air. Berudu berbentuk ramping dan gelap dengan tanda-tanda kehitam-hitaman di ekornya (Inger dan Stuebing 1997).

Lokasi peletakan telur merupakan penentu keberhasilan dalam proses metamorfosa. Selain aman dari serangan predator, air yang bersih serta kandungan mineral yang sesuai merupakan kebutuhan dalam proses metamorfosa. Secara umum katak serasah merupakan satwa nokturnal yang aktif pada malam hari (Duelman dan Trueb 1994). Sedangkan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat yang lembab dengan tujuan untuk menghindari kondisi suhu yang tinggi dengan kelembaban atmosfer yang rendah (Duelman dan Trueb 1994).

2.5. Pergerakan Amfibi

Menurut (Turner 1962) dalam (Daugherty dan Sheldon 1982) pergerakan individu suatu hewan merupakan komponen penting untuk ekologi dan evolusi spesies tersebut. Menurut Duellman dan Trueb (1986) arah pergerakan amfibi dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Setelah perkawinan, biasanya pergerakan amfibi berada tidak jauh dari lokasi perkawinan untuk mendapatkan makanan dan


(22)

tempat berlindung dari kekeringan, pemangsa, dan kedinginan (Denton dan Beebee 1993)

Menurut Schwarzkof dan Alford (2002) terdapat tiga hal yang potensial dikeluarkan pada saat bergerak, yaitu (1) biaya yang dikeluarkan pada saat predator mendekat; (2) biaya yang dikeluarkan pada saat terjadinya kekeringan yang disebabkan berkurangnya air atau tidak ditemukannya shelter pada saat kekeringan; dan (3) energi yang dikeluarkan pada saat bergerak. Kondisi panas pada siang hari akan membuat katak bergerak mencari tempat yang cocok agar terhindar dari masalah kekeringan.

Anura menghabiskan sebagian waktunya di sekitar badan perairan selama musim reproduksi (Lemkert dan Brassil, 2000). Sedangkan menurut Duellman dan Trueb (1986) banyak jenis amfibi, terutama jenis amfibi terestrial melakukan reproduksi masih di daerah wilayah jelajahnya. Setelah perkawinan, amfibi dapat bergerak dari 10 atau 100 meter (lihat Matthews and Pope 1999) sampai beberapa kilometer dari tempat berkembangbiaknya di tiap tahun (Sinsch 1990)

Menurut Duellman dan Trueb (1986) wilayah jelajah adalah luas area individu karena aktivitas harian yang normal. Wilayah jelajah setiap spesies berbeda tergantung tempat berlindung dan pakannya. Wilayah jelajah biasanya berupa tempat berlindung, tempat mencari makan dan pada beberapa jenis anura jantan digunakan untuk melakukan panggilan terhadap betinanya (calling site). Sedangkan teritori didefinisikan sebagai suatu daerah pertahanan yang diperluas (karena lokasi atau penyerangan) dengan sumberdaya yang terbatas untuk bertahan hidup atau berkembangbiak (Shepard 2004).


(23)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Terdapat dua lokasi pengambilan sampel pergerakan katak bertanduk di kawasan ini yaitu Curug Cibeureum dan Ciwalen. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Desember 2008 dan dilanjutkan pada bulan Mei sampai November 2009.

Gambar 2 Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber: Lubis 2008).


(24)

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian diantaranya yaitu :

1. Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan spool track antara lain benang jahit, selotip paralon, cutter, gunting, ampelas, lem plastik, tang, lilin dan korek api. Mengingat berat individu jantan dan betina berbeda, maka terdapat perbedaan bahan alat pada jantan dan betina yaitu:

Spool track untuk jantan: kertas mika dan sedotan.

Spool track untuk betina: tempat bubuk carambol dan palet plastik. 2. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data pergerakan M.

montana antara lain senter+baterai, kantong spesimen, tally sheet, alat tulis, kaliper, neraca pegas, meteran dan kompas.

3. Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur mikrohabitat M. montana antara lain termometer tembak untuk mengukur suhu tubuh katak, dry wet, termometer, tally sheet, kamera, dan alat tulis.

4. Alat dan bahan yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data yaitu komputer/PC dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15.


(25)

3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari pergerakan harian M. montana dan kondisi mikrohabitat pada setiap lokasi pengamatan. Data yang dikumpulkan meliputi : Tabel 2 Jenis Data yang Diambil

No. Data Pergerakan Harian M. montana No. Data Mikrohabitat

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Waktu saat katak ditemukan Aktivitas saat ditemukan Substrat

Berat katak sebelum dan sesudah dipakaikan alat

Berat Alat SVL

Jenis Kelamin

Posisi relatif horizontal dari badan air Posisi vertikal dari badan air/tanah Suhu Tubuh 1. 2. 3. 4. 5. Kelembaban Suhu udara (˚C) pH

Cuaca

Vegetasi dominan

Selain data diatas diamati pula kontak dengan satwa lain, sedangkan data sekunder yang diambil adalah kondisi umum lokasi penelitian dan informasi tipe vegetasi yang terdapat di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 3.4. Prosedur Pengumpulan Data

3.4.1. Kegiatan Pendahuluan

Persiapan dan survei pendahuluan ini dilakukan dengan tujuan lebih mengenal kondisi tempat yang akan dijadikan tempat penelitian dan untuk melakukan uji coba metode yang akan digunakan. Kemudian tahap selanjutnya menentukan lokasi pengamatan dan pembuatan plot pengamatan.

3.4.2. Uji Coba Pembuatan Alat untuk Pembuatan Spool track

Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode spool track. Inti dari penggunaan spool track ialah mengikuti pergerakan katak dengan menggunakan tali. Metode ini memakai alat yang terdiri dari sedotan (untuk jantan) atau palet dari plastik (untuk betina) untuk tempat menggulung benang, kertas mika (untuk


(26)

jantan) atau tempat bubuk carambol (untuk betina) untuk tempat gulungan benang dan benang katun yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan alat yang dapat mendeteksi pergerakan harian dari M. montana dengan cara mengikuti benang dari spool track. Dalam penentuan alat yang akan dibuat, harus disesuaikan dengan berat katak. Berdasarkan literatur yang ada berat alat yang akan digunakan seharusnya tidak boleh melebihi 10% dari bobot tubuh katak (Richards et al. 1994). Jika berat alat melebihi 10 % berat katak dikhawatirkan akan mengganggu pergerakan dan menyakiti katak yang dijadikan objek penelitian.

Penggunaan spool track pada katak betina P. leucoomystax dan jantan menggunakan alat yang sedikit berbeda untuk mendapatkan berat alat yang sesuai dengan berat individu (Sholihat 2007). Pada umumnya ukuran betina lebih besar daripada jantan sehingga alat yang digunakan untuk jantan harus lebih ringan. Oleh karena itu Sholihat (2007) menggunakan palet besi yang dilengkapi dengan wadah penyimpan palet dari plastik yang terbuat dari tutup botol ukuran 35 ml untuk katak betina sedangkan pada katak jantan menggunakan setengah bagian palet sebagai penggulung benang dilengkapi tutup parfum ukuran 10 ml sebagai wadah penyimpannya. Alat ini kemudian diikatkan ke punggung katak menggunakan selotip paralon.

Uji coba alat yang akan digunakan dalam penelitian pola pergerakan pada jenis M. montana berbeda dengan alat yang digunakan Sholihat (2007) yaitu menggunakan sedotan dan kertas mika sebagai pengganti palet untuk meringankan alat. Pada percobaan kali ini terdapat 4 jenis bahan yang diujicobakan (Tabel 3).


(27)

Tabel 3 Pemilihan Bahan Pembuatan Spool Track pada Penelitian M. montana Alat Penempatan

gulungan benang

Bahan Berat alat Keterangan

Spool

bahan 1

Palet dari plastik (alat untuk meyimpan benang pada mesin jahit) Tinggi alat 1,3 cm Diameter 1,6 cm

Benang katun (15 m), tutup botol parfum 10 ml, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

2,1 gram Alat ini diterapkan pada katak jantan dan katak tersebut mati karena terlalu berat Spool

bahan 2

Palet dari sedotan dan penahan bagian tepi dari mika Tinggi alat 1,7 cm Diameter 1,3 cm

Benang katun (5 m), plastik mika, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

0,5 gram Alat ini diterapkan pada semua katak jantan yang diamati selama 72 jam Spool bahan 3

Palet dari plastik (alat untuk meyimpan benang pada mesin jahit) Tinggi alat 1,7 cm Diameter 1,3 cm

Benang katun (10 m), plastik mika, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

0,8 gram Alat ini diterapkan pada 1 ekor katak betina yang berukuran kecil (diamati 72 jam) Spool

bahan 4

Palet dari plastik (alat untuk meyimpan benang pada mesin jahit) Tinggi alat 1,7 cm Diameter 1,3 cm

Benang katun (10 m), belahan tempat bubuk carambol, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

3 gram Alat ini

dipakaikan pada 3 ekor katak betina yang diamati selama 72 jam

Cara pembuatan spool track ialah benang digulung dalam sedotan yang sudah dipotong dan diberi pembatas kertas mika. Sedotan yang sudah dibentuk tersebut diletakkan di dalam selongsong yang terbuat dari kertas mika atau di dalam potongan botol bubuk karambol yang berfungsi agar saat benang terurai tidak akan membelit katak. Dalam penelitian ini, benang yang digunakan ialah benang katun atau benang jahit biasa. Hal ini dilakukan karena benang katun lebih mudah lapuk sehingga jika ada katak yang tidak dapat ditemukan kembali maka benang akan lepas dengan sendirinya. Setelah itu, alat tersebut ditutup dengan benang katun. Penutupan palet dilakukan untuk menghindari benang yang terurai ketika katak bergerak. Palet yang telah digulung dengan benang dan diberi wadah diikatkan pada punggung katak dengan menggunakan selotip paralon. Pemilihan selotip paralon sebagai bahan pengikat alat karena jenis ini elastis dan tidak terlalu menyakiti katak yang dipakaikan alat. Setelah katak diberi perlakuan, kemudian katak dilepas kembali dan diamati pergerakannya melalui jejak tali yang ditinggalkan dari pergerakan katak setiap 3 jam.


(28)

(1) (4)

(2) (3)

Gambar 4 Spool Track (1) Bahan 1 , (2) Bahan 2, (3) Bahan 3, dan (4) Bahan 4. 3.4.3. Pola Pergerakan Harian M. montana

Pengamatan dilakukan di beberapa lokasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yaitu di Cibeureum 3 ekor dan Ciwalen 5 ekor. Sebelum melakukan pengamatan, dilakukan penentuan plot pengamatan yang akan dijadikan lokasi pengamatan. Jumlah katak yang didapat dan diamati pergerakannya adalah empat jantan dengan SVL (40,7 ± 2,2) cm dan bobot tubuh (5,2 ± 0,6) gram dan empat betina M. montana dengan SVL (67,5±14,8) cm bobot tubuh (40,8 ± 18,3) gram (Tabel 3). Selain empat katak jantan dan empat katak betina tersebut terdapat seekor katak jantan yang diamati pergerakannya tetapi mati ketika proses pengamatan pergerakannya sedang berlangsung selama 18 jam pengamatan karena terlilit benang.

Tabel 4 Waktu Pengamatan Pergerakan Megophrys montana

Lokasi Individu SVL (mm) Berat (gr) Awal Pengamatan Akhir Pengamatan Ciwalen Jantan 1 41.82 5.1 17 April 2009 20 April 2009

Ciwalen Jantan 2 37.62 5.1 17 April 2009 20 April 2009

Cibeureum Jantan 3 40.9 4.5 4 Juni 2009 7 Juni 2009

Cibeureum Jantan 4 42.52 6 31 Juli 2009 3 Agustus 2009

Ciwalen Betina 1 46.25 14 3 November 2009 6 November 2009

Cibeureum Betina 2 80.62 55.3 16 November 2009 19 November 2009 Ciwalen Betina 3 77.45 47.6 22 November 2009 25 November 2009 Ciwalen Betina 4 74.55 46.5 23November 2009 26 November 2009


(29)

M. montana yang dijumpai ditangkap dan dicatat waktu perjumpaan, jenis kelamin, bobot tubuh, panjang tubuh (Snouth Vent Lenght/SVL), aktivitas, substrat, posisi horizontal dari badan air, dan posisi vertikal dari badan air serta suhu tubuh katak tersebut. Katak yang ditangkap dipakaikan alat di bagian punggungnya. Setelah selesai diambil data pergerakannya, katak ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui pengaruh penggunaan spool track sebelum dan setelah digunakan. Setelah itu, katak akan dilepas kembali pada lokasi penangkapan katak.

Pergerakan katak diukur setiap 3 jam selama 72 jam dan dihitung dari posisi awal katak dilepaskan. Dalam penelitian Sholihat (2007), pengamatan dilakukan selama 24 jam tiap individu tetapi dalam pengamatan kali ini dilakukan selama 72 jam. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih baik. Awal pengamatan pengukuran pergerakan katak dihitung setelah 12 jam pemasangan spool sebagai bentuk habituasi katak terhadap alat.

Pola pergerakan dilihat dari benang yang ditinggalkan oleh katak.Kemudian data posisi katak setiap 3 jam dicatat meliputi koordinat titik terakhir dan suhu tubuh katak. Selain itu jarak katak satu dengan katak lainnya juga dicatat.

3.4.4. Penggunaan Mikrohabitat oleh M. montana

Selain data pergerakan katak, data mengenai mikrohabitat katak yang digunakan serta akivitas yang dilakukan setiap lokasi ditemukannya jenis katak tersebut juga perlu dicatat untuk mengetahui seberapa besar peran mikrohabitat dalam mendukung keberadaan dari M. montana. Beberapa data mikrohabitat yang dicatat menurut Heyer et al. (1994) yaitu tanggal dan waktu, tipe vegetasi, substrat, ketinggian, suhu udara, kelembaban udara, pH air, sifat naungan dan penutupan oleh vegetasi atau obyek lain dan data khusus lainnya.

3.5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data lapangan selesai, data tersebut dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif terhadap rencana penelitian yang telah diutarakan sebelumnya. Data yang dijelaskan secara deskriptif yaitu aktivitas ditemukannya

M. montana. Sedangkan data kuantitatif yaitu jarak pergerakan individu M. montana. Pengukuran posisi katak dilakukan setiap 3 jam sekali selama 72 jam,


(30)

hal ini dilakukan untuk mengetahui jarak pergerakan individu M. montana. Data jarak dan posisi katak digunakan untuk memetakan pergerakan katak selama 72 jam. Analisis jarak yang dilakukan terhadap pergerakan katak yaitu jika pergerakan katak < 0,05 m dianggap nol karena dengan jarak pergerakan tersebut dapat diartikan sebagai pergerakan yang dilakukan di sekitar tempat awal ditemukan atau hanya bergeser dari posisi awal. Untuk menentukan pergerakan individu apakah individu akan kembali pada posisi awal diplotkan selama 72 jam.

Pergerakan katak dianalisa secara terpisah untuk setiap jenis kelamin. Secara kuantitatif pergerakan katak dianalisa untuk melihat jarak yang ditempuh selama 72 jam dan alur kelurusan dari pergerakan. Nilai alur kelurusan diperoleh dengan menghitung perbandingan dari jarak kumulatif total katak bergerak selama 72 jam dengan jarak antara titik awal ke titik akhir pengamatan (Schwarzkopf dan Alford 2002). Nilai alur kelurusan digunakan untuk melihat pola pergerakan katak selama 72 jam, apakah bergerak menjauhi titik awal atau hanya bergerak di sekitar titik awal. Nilai alur kelurusan adalah 0-1, dimana 1 mengindikasikan katak bergerak ke luar dalam pola alur lurus dan 0 mengindikasikan katak tidak bergeser.

Selain itu dilakukan juga uji hipotesis dengan menggunakan metode penghitungan chi kuadrat, dengan rumus:

χ hitung = ( O−E)

E

Dimana : X2 : Chi kuadrat

E : Frekuensi yang diharapkan O : Frekuensi yang diobservasi

Apabila X2 hitung lebih besar X2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Keterangan:

H0 : Pola pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan Ha : Pola pergerakan jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan

Nilai alur kelur usan = Total jar ak antar a titik awal ke titik akhir


(31)

Selain menggunakan rumus di atas, data pergerakan katak dianalisis dengan menggunakan SPSS 15.0. Data yang dianalisis adalah data jarak antara dua titik posisi katak setiap 3 jam pengamatan selama 72 jam. Data pada posisi awal katak tidak dimasukkan dalam analisis ini karena dianggap katak dalam masa penyesuaian.

Lalu data tersebut juga dianalisis dengan menggunakan rumus kruskal wallis. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan rata-rata pergerakan katak untuk siang dan malam hari antara katak jantan dan katak betina. Selain itu, rumus ini bertujuan untuk menunjukkan rata-rata pergerakan katak jantan setiap 3 jam pada siang dan malam hari.

Berdasarkan rumus Kruskall Wallis, apabila P>0,5 maka pergerakan setiap 3 jam pada siang hari adalah berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina. Apabila P>0,5 maka pergerakan setiap 3 jam pada malam hari adalah tidak berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina. Uji kruskal wallis juga menunjukkan rata-rata pergerakan katak jantan setiap 3 jam pada siang dan malam hari tidak berbeda nyata apabila P<0,05, sedangkan rata-rata pergerakan katak betina setiap 3 jam pada siang dan malam hari berbeda nyata apabila P<0,05.


(32)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sejarah TNGGP

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan cikal bakal cagar alam pertama di Indonesia. Selain itu, TNGGP merupakan salah satu dari lima Taman Nasional pertama yang diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki luas ± 21.975 Ha dengan titik koordinat 106°50’ – 107°02’ dan 06°41’- 06°51’ dan terletak di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan, nomor 174/Kpts-II/2003 Tanggal 10 Juni 2003.

Tahun 1977 Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.

4.2. Flora dan Fauna di TNGGP

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki beberapa ekosistem yang dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain: (a) ekosistem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas dan (c) ekosistem sub-alpin. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Ekosistem tersebut antara lain: (a) ekosistem rawa; (b) ekosistem kawah; (c) ekosistem alun-alun; (d) ekosistem danau; dan ( e) ekosistem hutan tanaman.

Selain Keragaman ekosistem, TNGGP merupakan habitat bagi 1400 jenis flora berbunga, paku, lumut dan tumbuhan talus. Selain itu telah teridentifikasi 105 jenis tumbuhan hias, 100 jenis tumbuhan survival dan 107 jenis tumbuhan obat. Bambang dan Rugayah (1992) mencatat bahwa diantara jenis tumbuhan yang hidup di dalam kawasan TNGGP terdapat kelompok tumbuhan asli dan khas (70 jenis), endemik (4 jenis), mulai langka (4 jenis), jenis yang dilindungi UU (8 jenis), serta terinventarisasi 21 jenis eksotik.

Kawasan TNGGP juga merupakan habitat bagi beberapa tumbuhan yang mempunyai daya tarik tersendiri yaitu: edellweis (Anaphalis javanica), kantung semar (Nepenthes pymnamphora), lumut merah (Spagnum gdeanum), bubukuan


(33)

(Strobilanthus cernua), dan ”lumut goliath” yang mampu hidup pada suhu air mencapai > 50ºC. (TNGGP 2006)

Selain memiliki kekayaan flora, kawasan TNGGP menyediakan habitat bagi keanekaragaman fauna, antara lain mamalia, reptil, amfibi, burung, serangga, dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat burung 251 jenis atau lebih dari 50 % jenis burung yang hidup di Jawa, 110 jenis mamalia, lebih dari 300 jenis serangga, 75 jenis reptil, 18 jenis katak dan berbagai jenis binatang lunak (molusca) (BBTNGGP 2008)

Ditinjau dari potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGGP merupakan kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di Pulau Jawa. Sekitar 53% atau 260 jenis dari 460 jenis burung di Jawa dapat ditemukan di kawasan ini (BTNGP 1996) Di samping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang, salah satunya adalah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993, celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (Whitten et al. 1996).

Terdapat empat jenis primata yang dapat dijumpai antara lain : Owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata ), lutung (Trachypithecus auratus) , dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) . Owa yang endemik, dilindungi, dan hanya dapat ditemukan di daereah Jawa Barat, masih dapat ditemukan di Cibodas, Bodogol dan daerah bagian selatan taman nasional. Surili juga termasuk endemik Jawa, termasuk kategori endangered dan dilindungi, masih dapat ditemukan di dalam kawasan hutan pegunungan bawah, dan di sekitar air terjun Cibeureum (Cibodas), Cisarua, dan Bodogol (BTNGGP 2003).

Di sekitar Jawa saat ini diketahui terdapat sekitar 40 jenis amfibi, sebagian besar di antaranya dapat dijumpai di hutan-hutan di sekitar Jawa Barat yakni sekitar 37 jenis dari semua jenis yang ada di Jawa dan Bali (Iskandar 1998). Sedangkan untuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan sekitarnya tercatat 18 jenis dari lima famili (Kusrini et al. 2007, Liem 1971).


(34)

4.3. Kawasan Wisata

Kawasan wisata yang ada di TNGGP di antaranya adalah Air Terjun Ciwalen (800 m dari Kantor Resort Cibodas), Air Panas (5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas), Telaga Biru (1.575 m dpl), Air terjun Cibeureum (2,8 km dari pintu masuk), Puncak dan Kawah Gunung Gede (2.958 m dpl), Alun-alun Surya Kencana (2.750 m dpl), Gunung Putri dan Selabintana. Papan Interpretasi di kawasan ini sudah cukup baik. Tetapi papan interpretasi yang ada di jalur Ciwalen menjadi tidak ada gunanya karena jarang dilewati pengunjung. 4.4. Kondisi Habitat Masing-Masing Lokasi Penelitian

Penjelasan kondisi habitat di masing-masing lokasi penelitian ini berdasarkan pengamatan langsung saat penelitian dan hasil dari wawancara dengan petugas yang berada di lokasi.

4.4.1. Curug Cibeureum

Curug Cibeureum terletak 2,8 km dari loket masuk dan berada pada ketinggian > 1.000 m dpl. Lokasi ini merupakan objek wisata yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun wisatawan asing sehingga lokasi ini memiliki tingkat gangguan oleh aktivitas manusia cukup tinggi terutama pada akhir pekan. Di lokasi ini terdapat tiga curug/air terjun dengan ketinggian berbeda. Curug satu merupakan curug yang pertama kali dijumpai apabila melewati jalur setapak dari telaga biru, curug ini memiliki ketinggian ± 30 m. Air terjun ini memiliki debit air terbesar dibandingkan dua air terjun lainnya. Lalu selanjutnya curug dua yang memiliki ketinggian ± 25 m dan merupakan air terjun dengan debit air terkecil. Selanjutnya yang terakhir adalah curug tiga merupakan curug tertinggi dengan ketinggian ± 40 m, namun debit air yang mengalir tidak lebih besar dari Curug Cibeureum dan lebih besar dari air terjun kedua. Di curug tiga ini juga merupakan habitat dari katak merah (Leptophryne cruentrata). Lokasi pengambilan sampel adalah daerah sekitar ketiga air terjun tersebut dan di jalur interpretasi antara HM 23 – 25.


(35)

Pengambilan data katak di daerah sekitar air terjun dilakukan di sekitar curug 3. Vegetasi dominan ialah selada air (Selaginella sp.), tumbuhan air lain dan kecubung (Brugmansia suaveolens) dengan substrat sungai sebagian besar lumpur berpasir. Habitat di sekitar air terjun terbuka (tidak tertutup tajuk) sehingga sinar matahari dapat langsung menyentuh lantai hutan. Habitat yang tertutup tajuk pohon adalah pada jalur sepanjang 200 m sebelum air terjun dan pada tebing antara air terjun kedua dan ketiga.

Lokasi lain pengambilan sampel di daerah Curug Cibeureum dilakukan pada jalur interpretasi antara HM 23-25. Habitat berupa jembatan kayu dengan tumbuhan kecubung tumbuh dominan di sisi kiri dan kanan jembatan. Tutupan tajuk di sisi kiri dan kanan jembatan rapat karena merupakan hutan primer pegunungan.

Gambar 5 Habitat pada Jalur Interpretasi antara HM 23-25.


(36)

4.4.2. Ciwalen

Letak Ciwalen berbatasan langsung dengan Kebun Raya Cibodas (KRC). Ciwalen merupakan jalur interpretasi yang ada di TNGP yang dikembangkan pihak TNGP selain jalur Cibereum. Kawasan ini dialiri oleh sungai Ciwalen yang merupakan sumber air yang menghidupi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pengambilan sampel di kawasan ini dilakukan di samping wisma peneliti, HM 2-3, dan dekat pos informasi Ciwalen. Kawasan ini jarang dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan Curug Cibeureum sehingga tingkat gangguan akibat pengunjung kecil.

Vegetasi dominan di kawasan ini adalah kecubung (Brugmansia suaveolens). Keadaan tajuk pohon agak tertutup sehingga hanya beberapa lantai hutan yang terkena langsung sinar matahari.


(37)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Penggunaan Metode Spool Track

Pada awalnya bahan yang digunakan dalam metode spool track menggunakan tutup botol parfum 10 ml sebagai wadah untuk tempat gulungan benang, namun memiliki berat alat jauh melebihi 10 % dari berat katak. Hal itu terbukti dengan melakukan uji coba menggunakan bahan ini kepada seekor katak jantan. Pada awalnya alat ini berjalan lancar tetapi seiring berjalannya waktu, katak terganggu pergerakannya dan tubuhnya terlilit oleh benang. Katak ini hanya bertahan sampai 18 jam pengamatan (gambar 7).

Gambar 7 Katak Jantan yang Mati saat Uji Coba.

Setelah penggunaan tutup botol parfum 10 ml gagal, selanjutnya dilakukan dengan menggunakan spool track yang terbuat dari kertas mika sebagai wadah untuk tempat gulungan benang dan sedotan sebagai alat untuk menggulung benang. Walaupun berat alat dengan menggunakan alat ini masih diatas 10% dari berat katak tetapi jauh lebih ringan daripada menggunakan tutup botol parfum 10 ml dan hampir mendekati 10% berat katak.

Bahan Spool track untuk betina dibedakan dengan bahan untuk jantan karena bobot tubuh betina lebih besar dibandingkan jantan dan pergerakan betina lebih jauh dibandingkan jantan. Tetapi terdapat satu betina yang dipakaikan alat berbeda dibandingkan betina lainnya karena bobot tubuhnya hanya 14 gr sedangkan berat spool track untuk betina 3 gr. Akhirnya katak betina ini


(38)

dipakaikan alat yang terbuat dari mika dengan tempat gulungan benang terbuat dari palet plastik dengan berat alat 0,8 gr. Bahan ini hampir sama dengan bahan untuk katak jantan, yang membedakannya ialah tempat gulungan benangnya yang terbuat dari palet plastik sedangkan alat untuk jantan terbuat dari sedotan. Dampak dari pemakaian spool ialah terjadinya penurunan bobot pada beberapa katak yang diamati (tabel 5). Persentase penurunan bobot tubuh terbesar terjadi pada satu ekor katak jantan yang mati sebesar 6,25 % karena alat yang terlalu berat dan beberapa katak tidak mengalami penurunan bobot tubuh.

Tabel 5 Komposisi Bobot Tubuh Katak Jantan dan Betina Sebelum dan Sesudah Pemakaian

Lokasi Alat Sex Berat alat (g) Bobot tubuh sebelum memakai spool track (g) Bobot tubuh setelah memakai spool track (g)

Persentase berat alat terhadap bobot tubuh (%) Persentase penurunan bobot tubuh Setelah pemakaian alat (%) Cibereum Bahan 1 Jantan* 2,1 8 7,5 26,25 6,25

Ciwalen Bahan 2 Jantan 1 0,5 5,1 5,1 9,8 0

Ciwalen Bahan 2 Jantan 2 0,5 5,1 5 9,8 1,96

Cibeureum Bahan 2 Jantan 3 0,5 4,5 4,5 11,11 0

Cibeureum Bahan 2 Jantan 4 0,5 6 6 8,33 0

Ciwalen Bahan 3 Betina 1 0,8 14 13,5 5,74 3,58

Cibeureum Bahan 4 Betina 2 3 55,3 55,0 5,42 0,55

Ciwalen Bahan 4 Betina 3 3 47,6 47,3 6,30 0,64

Ciwalen Bahan 4 Betina 4 3 46,5 46 6,45 1,08 Keterangan : jantan mati* (pengamatan 18 jam). Katak yang tidak bertanda menggunakan alat diamati selama

72 jam. Lama pemakaian alat pada masing-masing katak ditambah dengan 12 jam aklimatisasi alat.

5.1.2. Pola Pergerakan M. montana

Berdasarkan pengamatan, katak jantan cenderung bergerak lebih dekat dengan sumber air dibandingkan katak betina (Gambar 8). Katak jantan tidak pernah lebih jauh 2,5 meter dari sumber air, sementara katak betina bergerak menjauhi sumber air 2 x dari jarak terjauh yang dilakukan katak jantan. Selain itu rata-rata pergerakan katak betina selama 3 jam baik pada siang dan malam hari lebih jauh daripada katak jantan. Pergerakan maksimum betina per 3 jam pada malam hari mencapai 8 meter, sementara jantan hanya sekitar 2 meter (Tabel 6).


(39)

Gambar 8 Rata- Rata Pergerakan Katak dari Badan Air.

Tabel 6. Perbandingan Pergerakan antara Katak Jantan dan Katak Betina pada Waktu Malam dan Siang Hari

Waktu Pergerakan Betina Jantan Malam Pergerakan minimum antara 3 jam (cm) 0 0

Pergerakan maksimum 3 jam (cm) 820 252

Pergerakan rata-rata selama 3 jam (cm) 113,57 25,85

Jarak terdekat dari badan air (cm) 0 0

Jarak terjauh dari badan air (cm) 500 250

Siang Pergerakan minimum antara 3 jam (cm) 0 0

Pergerakan maksimum 3 jam (cm) 610 241

Pergerakan rata-rata selama 3 jam (cm) 11,73 13,46

Jarak terdekat dari badan air (cm) 0 0

Jarak terjauh dari badan air (cm) 500 250

Nilai alur kelurusan dihitung untuk menunjukkan pergerakan katak menjauhi atau tidak menjauhi titik awal pengamatan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel 7. Meskipun uji chi kuadrat menunjukkan bahwa katak betina dan katak jantan bergerak tidak menjauhi titik awal pengamatan, tetapi terlihat bahwa katak betina memiliki nilai alur kelurusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan katak jantan (Tabel 7).

Sex

betina jantan

M

e

a

n

X

(

c

m

)

200

150

100

50

0

malam siang


(40)

Tabel 7 Nilai Alur Kelurusan Katak Jantan dan Betina pada Masing-masing Lokasi

Lokasi Jenis kelamin

Total pergerakan (m)

Jarak dari posisi awal-akhir (m)

Nilai alur kelurusan selama 72 jam

Ciwalen Jantan 1 6,78 3,23 0,48

Ciwalen Jantan 2 9,93 0,2 0,02

Cibeureum Jantan 3 9,45 2,85 0,03

Cibeureum Jantan 4 14,15 4,53 0,32

Ciwalen Betina 1 14,85 6,51 0,43

Cibeureum Betina 2 37,09 21,5 0,57

Ciwalen Betina 3 17,95 8,6 0,47

Ciwalen Betina 4 18,64 12,5 0,67

Uji kruskal wallis terhadap pergerakan katak menunjukkan pergerakan setiap 3 jam pada siang hari adalah berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina (H= 0,296, df=1, P>0,05). Sedangkan pergerakan setiap 3 jam pada malam hari adalah berbeda nyata antara katak jantan dan katak betina (H= 0,000, df=1, P<0,05). Uji kruskal wallis juga menunjukkan rata-rata pergerakan katak jantan setiap 3 jam pada siang dan malam hari tidak berbeda nyata (H=0,000, df=1, P< 0,05) dimana katak tidak banyak bergerak. Hal ini berlawananan dengan pergerakan betina setiap 3 jam menunjukkan perbedaan nyata pada siang dan malam hari (H= 0,049. df=1, p<0,05). Hal ini disebabkan pada siang hari betina lebih sering diam dibandingkan malam hari.


(41)

Gambar 9 Rata-rata Pergerakan Katak pada Siang dan Malam Hari.

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa katak bertanduk mulai aktif bergerak pada pukul 18.00 sampai pukul 05.00 meskipun aktivitas bersuara katak ini terdengar sewaktu-waktu. Pada jalur pengamatan HM 23-25 tepatnya di sekitar jembatan suara katak-katak jantan selain katak jantan yang diteliti terkadang terdengar pagi, sore dan malam hari. Adapula yang bersuara pada siang hari. Suara katak jantan ini biasanya paling sering terdengar pada sore hari sekitar pukul 17.00, tetapi kadangpula pada saat itu tak terdengar suara sama sekali. Akan tetapi, pada musim penghujan (bulan november), suara katak ini setiap hari selalu terdengar pada sore hari.

Penelitian pola pergerakan katak bertanduk menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh katak. Aktivitas katak yang terlihat dari penelitian ini yaitu tidur, diam, melompat dan bersuara. Aktivitas diam yang dimaksud disini ialah saat mata katak terbuka dan duduk. Aktivitas bersuara hanya ditemukan pada katak jantan karena terkait panggilan untuk menarik betina. Siang hari sebagian besar aktivitas yang dilakukan katak jantan dan katak betina adalah tidur, sedangkan pada malam hari diam. Aktivitas bersuara juga terdengar pada katak jantan yang

Sex betina jantan J a ra k a n ta ra d u a t it ik 1,000 800 600 400 200 0 87 80 12 134 189 133 114 60 52 50 128 77 68 53 18 malam siang Waktu


(42)

diamati pergerakannya tetapi intensitasnya tidak banyak (tabel 8). Tidak ditemukan aktivitas amplexus (katak jantan menempel pada tubuh katak betina) pada katak yang diamati saat pengamatan, berudunya pun tak nampak di sekitar lokasi pengamatan.

Tabel 8 Aktivitas Katak Bertanduk pada Waktu Siang dan Malam

Waktu Sex Bersuara Diam Lompat Tidur

Total (perjumpaan)

Malam betina 47 1 48

jantan 2 45 1 1 49

Malam Total 2 92 2 1 97

Siang betina 12 40 52

jantan 1 24 1 25 51

Siang Total 1 36 1 65 103

Total 3 128 3 66 200


(43)

Gambar 11 Denah Lokasi dan Pergerakan Katak yang Diamati di Ciwalen. 5.1.3. Penggunaan Mikrohabitat M. montana

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada siang hari biasanya katak berada di tempat-tempat yang terlindung. Katak jantan sebagian besar lebih banyak beraktivitas di sekitar sumber air. Dalam penelitian ini, pengelompokkan substrat dibagi menjadi 10 jenis substrat antara lain akar, atas daun, batang, batu, batu basah, kerikil basah, pasir basah, serasah, serasah basah dan tanah basah. Berdasarkan pengamatan, posisisi katak paling sering dijumpai di serasah basah baik pada katak jantan maupun katak betina pada siang dan malam hari.


(44)

Tabel 9 Posisi Katak pada Substrat Substrat Malam Total

Malam

Siang Total Siang

Total (perjumpaan) Betina Jantan Betina Jantan

Akar 3 5 8 5 5 26

Atas Daun 4 4 1 1 5

Batang 3 3 3

Batu 4 4 7 7 11

Batu Basah 9 1 10 4 4 14

Kerikil Basah 1 1 3 3 4

Pasir Basah 2 2 4 4 6

Serasah 1 1 1 1 2

Serasah Basah 34 27 61 44 31 75 135

Tanah Basah 3 3 3 3 6

Total 48 49 97 52 51 103 200

Substrat yang paling dominan disinggahi katak ini adalah serasah basah (lihat tabel 9). Pada umumnya serasah yang dijumpai lembab dan tebal terutama di daerah Ciwalen.

0 10 20 30 1 0 .3 0 0 7 .3 0 0 4 .3 0 0 1 .3 0 s u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an

jant an 1 0

5 10 15 20 25 0 6 .0 0 0 3 .0 0 2 4 .0 0 2 1 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an jant an 3

0 10 20 30 1 1 .0 0 0 8 .0 0 0 5 .0 0 0 2 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an

jant an 2 0

5 10 15 20 1 0 .0 0 0 7 .0 0 0 4 .0 0 0 1 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an jant an 4


(45)

Gambar 12 Fluktuasi Suhu Tubuh Katak terhadap Suhu Lingkungan. Berdasarkan (gambar 12), perubahan suhu tubuh katak dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Apabila suhu lingkungan turun maka suhu tubuh katak ikut turun. Meskipun ada beberapa kejadian ketika suhu lingkungan turun, suhu tubuh katak tetap seperti yang terjadi pada katak jantan 1 pada pukul 19.30. Adapula beberapa kejadian ketika suhu lingkungan tetap, suhu tubuh katak berubah seperti yang terjadi pada katak jantan 2 pada pukul 18.00. Cuaca pada saat pengambilan data pun beragam, seperti: cerah, gerimis dan hujan.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Penggunaan Spool Track dalam Menelaah Pergerakan Katak

Berat alat spool track yang digunakan pada penelitian ini kurang dari 10% dari bobot tubuh katak, tetapi itu hanya merupakan berat alat tanpa air. Berat alat ini akan bertambah apabila terkena air saat katak melewati aliran air atau terkena air hujan. Menurut Richard et al. (1994) berat alat yang digunakan untuk mengetahui pergerakan katak tidak lebih dari 10% bobot tubuh katak. Hal ini layak diperhatikan karena dikhawatirkan dapat mengganggu pergerakan katak apabila alat tersebut melebihi 10% bobot tubuh katak.

0 5 10 15 20 25 0 8 .0 0 0 2 .0 0 2 0 .0 0 1 4 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingk… 0 5 10 15 20 25 0 8 .0 0 0 5 .0 0 0 2 .0 0 2 3 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an bet ina 2

0 5 10 15 20 25 0 8 .0 0 0 5 .0 0 0 2 .0 0 2 3 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an

bet ina 3 0

5 10 15 20 25 0 8 .0 0 0 5 .0 0 0 2 .0 0 2 3 .0 0 S u h u ( °C )

W aktu (W IB)

suhu lingkung an bet ina 4


(46)

Kegagalan pemakaian alat terjadi pada pemakaian bahan 1. Pemakaian spool yang menggunakan bahan ini menyebabkan satu ekor katak jantan mati. Hal ini terjadi karena tubuh katak terlilit benang. Salah satu penyebabnya adalah berat alat yang mencapai 20% berat katak itu sendiri sehingga pergerakan katak menjadi terganggu. Padahal berat alat yang dianjurkan ialah 10% dari berat katak.

Penggantian alat selama pengamatan 72 jam dilakukan beberapa kali tergantung dari jauhnya pergerakan katak atau alat yang terkadang rusak akibat lepasnya rekatan lem pada rangkaian alat menyimpan palet atau sedotan yang mengakibatkan benang menjadi tidak lancar. Untuk mengatasinya, terkadang pengecekan dilakukan tidak hanya tiap 3 jam sekali tetapi juga dalam rentang waktu 3 jam tersebut.

Permasalahan alat yang mungkin terjadi adalah melorotnya spool track dari punggung katak mengarah ke bagian bawah tubuh katak seperti yang terjadi pada kasus P. Leucomystax (Sholihat 2007) yang menggunakan alat seperti bahan satu yaitu tempat menyimpan selongsong yang terbuat dari tutup botol parfum. Hal ini dapat diatasi dengan mengganti tempat penyimpanan selongsong tersebut dengan mika yang cenderung lebih ringan dan memperbaiki cara pengikatan selotip paralon pada tubuh katak.

Selain itu, terdapat permasalahan lain yaitu bertambahnya berat alat karena alat tersebut terkena air. Hal ini terjadi karena pada umumnya katak berada tidak jauh dari sumber air dan alat menjadi basah terkena air hujan. Berat alat tersebut bertambah karena benang yang digunakan menggunakan benang katun yang dapat menyerap air.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemasangan alat pada katak dengan menggunakan selotip paralon. Alat yang diikat pada katak dapat menyebabkan kulit pada katak berubah warna dan terkadang luka setelah 72 jam pemasangan. Pemasangan alat tersebut menyebabkan kulit M. montana berwarna ungu kehitaman atau lebih gelap dari kulit sekitarnya (Gambar 13). Selain itu, pemasangan alat yang lebih kencang dapat menyebabkan luka. Alat diikat di bagian pinggang. Apabila dilakukan pengikatan di bagian dada, alat akan turun ke pinggang sehingga pengikatnya menjadi longgar dan mudah untuk lepas.


(47)

Gambar 13 Kulit Katak yang Berubah Warna setelah Pengamatan 72 Jam. 5.2.2. Pola Pergerakan M. montana di TNGGP

Berdasarkan hasil pola pergerakan, terlihat bahwa sebagian besar pergerakan katak jantan lebih kecil daripada katak betina. Sebagai contoh ialah total pergerakan katak jantan 1 yang hanya berjarak 6.789 m dibandingkan katak betina 3 yang mencapai 37,09 m (lihat tabel 7). Pergerakan katak jantan selalu tidak jauh dari sumber air bahkan dalam pergerakannya melewati aliran air seperti katak jantan di HM 2-3 Ciwalen dan katak jantan di Jembatan 2 Cibeureum yang melewati aliran air tetapi aliran air tersebut tidak dalam. Megophrys montana bukan perenang yang handal (Iskandar 1998), namun hasil menunjukkan bahwa jika diperlukan katak ini tetap melewati aliran air dalam pergerakannya untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan. Sumberdaya yang diperlukan amfibi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya antara lain makanan dan tempat berlindung dari kekeringan, pemangsa, dan kedinginan (Denton dan Beebee 1993). Sedangkan katak betina berada agak jauh dari sumber air meskipun tetap berada di sekitar sumber air. Betina mendekati air untuk melakukan perkawinan karena setiap menemukan betina, di sekitar lokasi tersebut selalu ditemukan katak jantan baik melihat secara langsung maupun lewat suara. Setelah perkawinan, amfibi dapat bergerak dari 10 sampai 100 meter atau bahkan sampai beberapa kilometer dari tempat berkembangbiaknya di setiap tahun (Matthews dan Pope 1999, Lemkert dan Brassil 2000).

Pergerakan dilakukan katak untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Menurut Schwarzkof dan Alford (2002) terdapat tiga hal yang potensial dikeluarkan pada saat bergerak, yaitu (1) energi yang dikeluarkan pada saat predator mendekat; (2) energi yang dikeluarkan pada saat terjadinya


(48)

kekeringan yang disebabkan berkurangnya air atau tidak ditemukannya shelter pada saat kekeringan; dan (3) energi yang dikeluarkan pada saat bergerak. Pada siang hari, di saat matahari memancarkan panasnya, katak biasanya mencari tempat yang cocok agar terhindar dari kekeringan.

5.2.3. Penggunaan Mikrohabitat M. montana di TNGGP

Pada umumnya amfibi bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari dan memiliki tempat berlindung yang basah sepanjang hari dan mulai aktif pada malam hari (Duellman dan Trueb 1986). Hal ini terlihat dari kondisi habitat dari katak bertanduk yang basah atau lembab meskipun tidak berada di air. Hal ini wajar karena famili Megophrydae merupakan salah satu famili jenis katak terestrial yang menggunakan serasah hutan sebagai habitatnya (Iskandar 1998).

Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa sebagian besar katak jantan dan katak betina memiliki aktivitas yang sama pada siang hari yaitu tidur di tempat yang terlindung dari matahari seperti di bawah serasah, di bawah batu, di bawah log kayu dan di lubang akar pohon. Perilaku ini juga terjadi pada jenis katak serasah lainnya seperti yang terjadi pada pergerakan Rana pipiens (Dole 1965), ketika berada di tempat berlindung, Rana pipiens cenderung tidak bergerak dan terkadang katak ini beristirahat. Hal tersebut untuk menghindari agar tubuhnya tidak kekeringan.

Secara umum katak serasah merupakan satwa nokturnal yang aktif pada malam hari (Duelman dan Trueb 1994). Sedangkan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat yang lembab dengan tujuan untuk menghindari kondisi suhu yang tinggi dengan kelembaban atmosfer yang rendah (Duelman dan Trueb 1994). Penelitian Dole 1965 juga menjelaskan bahwa di area dimana serasah basah setelah hujan, Rana pipiens sering duduk di atas serasah dan terkadang mereka berada di antara serasah tersebut.

Berdasarkan penelitian Roznik (2009) mengenai Pergerakan Terestrial dan Penggunaan Habitat Gopher Frog (Rana capito) di Hutan Pinus, anakan dan dewasa menggunakan tempat berlindung di dalam tanah seperti lubang dan bawah batang pohon yang telah mati. Hal itu dilakukan sebagai tempat perlindungan. Terdapat perbedaan perilaku terhadap penggunaan habitat ini antara anakan dan


(49)

dewasa. Sebagai tempat perlindungan, anakan kurang memanfaatkan tempat-tempat ini sebagai tempat-tempat perlindungan dibandingkan dewasa. Perbedaan ini menggambarkan anakan kurang pengalaman di habitat terestrial. Dalam hal ini terdapat kesamaan perilaku dengan katak bertanduk (Megophrys montana). Di daerah Ciwalen, anakan lebih mudah ditemukan dibandingkan dewasa karena anakan sering ditemukan di jalan atau tempat terbuka dibandingkan dewasa yang cenderung bersembunyi di lubang ataupun tempat-tempat yang sulit ditemukan.

Gambar 14 Posisi M. montana yang Bersembunyi pada Siang Hari.

Pengamatan juga dilakukan terhadap suhu tubuh katak. Selama pengamatan, suhu tubuh katak berubah-ubah bergantung pada suhu lingkungan. Berdasarkan pengamatan menjukkan bahwa suhu tubuh katak akan menurun jika suhu udara menurun dan juga sebaliknya. Hal ini terjadi karena katak termasuk satwa ektoterm dan memiliki suhu tubuh dekat dengan lingkungannya terutama pada substrat (Duellman dan Trueb 1986). Perbedaan nilai antara suhu tubuh katak dan suhu udara bervariasi. Kisaran perbedaan tersebut adalah 0,2 – 4,1 0C.

Suhu lingkungan antara Cibeureum dan Ciwalen berbeda. Suhu lingkungan di Ciwalen lebih tinggi berkisar antara 15,5°C-25°C dibandingkan suhu lingkungan di Cibeureum yang berkisar antara 10°C -18°C karena ketinggian Ciwalen di atas permukaan laut lebih rendah daripada Cibeureum. Hal ini berdampak langsung terhadap suhu tubuh katak. Suhu tubuh katak di Ciwalen biasanya lebih tinggi daripada suhu tubuh katak yang berada di Cibeureum. Meskipun suhu lingkungan Ciwalen lebih tinggi daripada Cibeureum tetapi jumlah katak bertanduk yang ditemukan lebih banyak di Ciwalen. Hal ini terjadi karena lapisan serasah Ciwalen berdasarkan pengamatan visual lebih tebal


(50)

dibandingkan Cibeureum. Kondisi lapisan serasah yang tebal merupakan lindungan yang ideal bagi amfibi terestrial khususnya bagi jenis-jenis yang tidak beracun (Fauth

et al. 2006). Selain itu, mekanisme pertahanan katak serasah contohnya L. hasselti

adalah dengan mengandalkan kemampuan kamuflase sehingga diperlukan subtrat yaitu serasah - serasah yang dapat menyempurnakan penyamarannya (Sasikirono 2007).

Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi pengamatan diantaranya adalah kecubung (Brugmansia suaveolens), pacar jawa (Impatiens javansis), dan beberapa paku-pakuan seperti paku kijang (Athyrium sorzogonense), paku kapal (Arcypteris irregularis). Berbagai macam jenis tumbuhan tersebut menunjukkan bahwa kecubung merupakan jenis tumbuhan yang sering dijumpai di sekitar lokasi pengamatan. Diduga karena habitat kecubung yang dekat dengan air cocok dengan M. montana yang membutuhkan air dalam kehidupannya. Selain itu akar kecubung yang bercabang- cabang cocok sebagai tempat berlindung katak ini saat siang hari seperti yang terjadi pada jantan 2.

Menurut Duellman dan Trueb (1986) wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung, tempat mencari makan, dan pada beberapa katak jantan digunakan sebagai tempat melakukan panggilan terhadap betinanya (calling site)

Penelitian ini tidak dapat menunjukkan adanya wilayah jelajah Megophrys montana, tetapi dalam pengamatan ini terlihat adanya teritori. Teritori merupakan suatu daerah pertahanan yang diperluas (karena lokasi atau penyerangan) dengan sumberdaya yang terbatas untuk bertahan hidup atau berkembangbiak (Shepard 2004). Hal ini terlihat pada pergerakan katak jantan yang bergerak tidak jauh dari tempat semula dan beberapa katak jantan yang diamati bergerak kembali ke tempat semula seperti yang terjadi pada jantan 2. Selain itu tidak ada kontak terhadap katak lain yang berada di tempat tersebut.


(51)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Metode spool track atau pemasangan tali dapat digunakan untuk melihat pergerakan M. montana dengan memperhatikan berat alat yang harus disesuaikan dengan bobot tubuh katak yaitu 10% dari bobot tubuh katak karena apabila alat terlalu berat akan mengganggu pergerakan katak dan dapat pula mengakibatkan kematian.

2. Sebagian besar katak jantan bergerak di sekitar sumber air dan tidak jauh dari posisi pertama kali ditemukan dengan jarak dari badan air (0-2,5)m, sedangkan katak betina pergerakannya lebih jauh dan terkadang mendekati sumber air apabila akan melakukan perkawinan dengan jarak dari badan air (0-5)m.

3. Aktivitas yang paling sering dijumpai pada katak jantan maupun betina adalah tidur pada siang hari (63%) dan diam pada malam hari (94,8%). 4. Hasil pengamatan menunjukkan posisi katak paling sering ditemukan di

serasah basah yaitu sekitar 67,6%. Pada siang hari katak biasanya berlindung di tempat-tempat yang teduh seperti di bawah serasah, balik batu, di bawah akar pohon dan tempat-tempat yang akan melindungi tubuh katak dari sinar matahari.

6.2. Saran

1. Sebaiknya mendesain penggulungan benang pada spool track dengan cara tidak mengikatkan benang pada alat penggulungnya, agar pada saat katak berada pada lokasi yang tidak memungkinkan untuk melepaskan atau mengganti benang yang habis pada alat yang diikatkan pada katak akan terlepas dengan sendirinya.

2. Sumber air merupakan tempat untuk perkembangbiakkan M. montana sehingga perlu dipertahankan agar keberadaanya tetap terjaga.

3. Tumbuhan di sekitar sumber air merupakan penghasil serasah harus tetap dipelihara karena serasah merupakan habitat bagi M. montana.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Beshkov VA, Jameson DL. 1980. Movement and Abundance of The Yellow-Bellied Toad Bombina variegata. Herpetologica 36(4): 365-370.

Blumstein DT, Fernandez-Juricic E. 2004. Editorial: The emergence of conservation behavior. Conservation Biology 18(5): 1175-1177.

Brown L, Downhower JF. 1988. Analyses in behavioral ecology: a manual for lab and field. Sunderland: Sinauer Associates, Inc.

[BBTNGPP] Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Statistik Tahun 2008. Cianjur: Balai Besar TNGGP.

[BTNGGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2003. Laporan Pembinaan Daerah Penyangga SKW II Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur. Tidak Dipublikasikan.

[BTNGGP]. 2006. Buku Informasi Flora Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur: Balai TNGGP.

Daugherty CH, Sheldon AL. 1982. Age-spesific Movement Patterns of The Frog Ascaphus truei. Herpetologica 38(4): 468-474.

Dole JW. 1965. Summer movement of adult leopard frogs, Rana pipiens Schreber, in Northern Michigan. Ecology 46(3): 237-255

Denton JS, Beebee TJC. 1993. Summer and winter refugia ofnatterjacks (Bufo calamita) and common toads (Bufo bufo) in Britain. Herpetological Journal 3, 90±94.

Duellman WE, Trueb L. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill Publishing Company & John Hopkins University Press, Baltimore.

Fauth JE, Crother BI, Slowinski JB. 2006. Elevational Patterns of Species Rich Biotropica. 21(2) : 178 – 185.

Frost DR. 2009. Amphibian Species Of The World: An online reference. Version 5.3. The American Museum of Natural History

http://research.amnh.org/herpetology/amphibia/references.php?id=16857 [27 Juni 2009].

Hodgkison S, Hero JM. 2001. Daily Behaviour and Microhabitat Use of The Waterfall Frogs, Litoria nannotis in Tully Gorge, Eastern Australia. Journal of Herpetology 35 (1): 116-120.

Heyer WR, Donelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS.1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington.


(53)

Inger RF, Stuebing RB (1997) A Field Guide to the Frogs of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Ltd., Kota Kinabalu.

IUCN 2009. 2009 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 09 AMarch 2009.

Kusrini MD, Fitri A. 2006. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Salak, West Java, Indonesia. Final Report Submitted The Wildlife Trust. Bogor, IPB: 30 pp.

Kusrini MD, (Ed). 2007. Frogs of Pangrango: A Follow-up Project for The Conservation of Frogs in West Java Indonesia. Book 1: Main Report. technical report Submitted to the BP Conservation Programme.

Kusrini MD, Fitri A, Utami H, Nasir DM, Ardiansyah D, Lestari V, Rachmadi R. 2005. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Gede Pangrango National Park. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Lemckert F, Brassil T. 2000. Movements and Habitat Use of The Endengered Giant Barred River for Its Conservation in Timber Production Forest.

Biological Consevation 96: 177-184.

Lubis MI. 2008. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Muliya N. 2010. Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Mikrohabitat Katak

Pohon Jawa (Rhacophorus javanus) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [Skripsi]. Bogor: Depatemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Martof, B. 1953. Home Range and Movements of The Green Frog, Rana clamitans. Ecology 34 (3): 529-543.

Matthews KR, Pope KL. 1999. A telemetric study of the movement patterns and habitat use of Rana muscosa, mountain yellow-legged frog, in a high elevation basin in Kings Canyon National Park, California. J. Herpetology. 33:615–623.

Mumpuni. 2002. Keanekaragaman Herpetofauna di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. In: S. Kahono, T. Okayama and A. J. Arief (eds) Biodiversity of the last Submontana Tropical Rain Forest In Java: Gunung Halimun National Park Par 1. Bogor, JICA. Volume IX: 91-103 pp

Richards SJ, Sinsch U, Alford RA. 1994. Radio Tracking. In : Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC and Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Pp 155-158.

Roznik EA, Jhonson EA, Greenberg CA, Tanner GW. 2009. Terrestrial Movement and Habitat Use of Gopher Frogs in Longleaf Pine Forests: Comparative Study of Juvenils and Adults. Forest Ecology and Management. 187-194.


(1)

Lampiran 9 Hasil Perhitungan Uji Kruskal Wallis

Sex Waktu N Mean Rank

jantan Jarak antara dua titik siang 49 46,83

malam 49 52,17

Total 98

betina Jarak antara dua titik siang 52 39,17

malam 48 62,77

Total 100

Test Statistics(a,b)

Sex

Jarak antara dua titik

jantan Chi-Square 1,093

Df 1

Asymp. Sig. ,296

betina Chi-Square 28,564

Df 1

Asymp. Sig. ,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Waktu

Perhitungan pergerakan M. montana berdasarkan jenis kelamin dengan uji Kruskal Wallis

Waktu Sex N Mean Rank

siang Jarak antara dua titik jantan 49 59,35

betina 52 43,13

Total 101

malam Jarak antara dua titik jantan 49 43,84

betina 48 54,27

Total 97

Test Statistics(a,b)

Waktu

Jarak antara dua titik

siang Chi-Square 17,355

Df 1

Asymp. Sig. ,000

malam Chi-Square 3,861

Df 1

Asymp. Sig. ,049

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Sex


(2)

Lampiran 10 Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat Nilai Alur Kelurusaan

Nilai alur kelurusan Jantan Betina Total Individu

≤ 0.5 4 2 6

≥ 0.5 0 2 2

Total individu 4 4 8

H0 = Pola pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan H1 = pola pergerakan jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan Frekuensi harapan nilai alur kelurusan (E) =

EAa =

= 3 EAb =

4 x 6 8 = 3

EBa =

= 1 EBb =4 x 2

8

= 1

X2 hitung = ∑ ( )

X2 = ( ) + ( ) + ( ) + ( ) = 2,68

Derajat kebebasan (Db) = (k-1) = 1 Taraf kesalahan yang digunakan 5% X2 tabel = 3,841, X2 hitung = 2,68

X2 hitung < X2 tabel maka terima H0, artinya pola pergerakan katak jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan.


(3)

Lampiran 11 Sketsa Pergerakan Jantan 1


(4)

Lampiran 13 Sketsa Pergerakan Jantan 3


(5)

Lampiran 15 Sketsa Pergerakan Betina 1


(6)

Lampiran 17 Sketsa Pergerakan Betina 3