Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(1)

DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

JAWA BARAT

BENNY ALADIN SIREGAR

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

JAWA BARAT

BENNY ALADIN SIREGAR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

BENNY ALADIN SIREGAR. Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA D. KUSRINI dan YENI A. MULYANI

Salah satu metode untuk memperoleh informasi tentang pergerakan satwa yaitu penggunaan radio tracking. Penggunaan radio tracking dalam penelitian pergerakan katak sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia padahal . penelitian tentang pola pergerakan harian amfibi pernah dilakukan namun menggunakan metoda non- radio tracking.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menggambarkan pola pergerakan Katak pohon jawa Rhacophorus margaritifer dengan menggunakan metode radio tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2) mengetahui pengaruh pemasangan radio transmitter terhadap bobot dan perilaku pergerakan individu katak, dan 3) mendeskripsikan penggunaan ruang oleh Katak pohon jawa

Rhacophorus margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Penelitian dilakukan pada bulan Mei - September 2011 di sepanjang jalur pos Panyangcangan hingga Curug Tiga Cibereum ( ± 0,6 Km), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada ketinggian 1500 – 1650 mdpl. Pengambilan data tentang pergerakan masing masing individu katak dilakukan kurang lebih selama 8 hari (192 jam) dengan frekuensi pengambilan data setiap 12 jam. Sebanyak 11 individu R. margaritifer telah diamati, yang terdiri atas 8 jantan dan 3 betina. Setiap individu dipasangi transmitter yang berbobot rata-rata 10% dari berat tubuh untuk katak jantan dan 5% dari berat tubuh untuk katak betina. Setiap aktivitas katak yang teramati pada setiap lokasi dijelaskan secara deskriptif. Analisis kuantitatif pergerakan individu R. margaritifer berupa pengukuran jarak pergerakan dan penghitungan nilai alur kelurusan.

Semua R. margaritifer yang diamati melakukan pergerakan secara horizontal dan vertikal. Nilai jarak perpindahan vertikal dari tanah terjauh yaitu 7,93 m dan jarak perpindahan horizontal terjauh yaitu 15,71 m. Nilai tertinggi dari kedua pergerakan (vertikal dan horizontal) diperoleh oleh individu betina. Hasil analisis chi kuadrat untuk alur kelurusan menunjukkan bahwa individu jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan. Tidak ada perbedaan nyata yang terlihat dalam perolehan nilai jarak pergerakan horizontal dari badan air antara jantan dan betina, meskipun katak jantan cenderung meninggalkan badan air lebih jauh daripada katak betina. Nilai tertinggi perpindahan secara vertikal dari badan air adalah 9,3 m dan nilai perpindahan secara horizontal tertinggi adalah 13,92 m. Posisi horizontal terjauh sebesar 13,92 m dan posisi vertikal terjauh sebesar 9,30 m dari badan air. Tidak terdapat perbedaan nyata antara jantan dan betina dalam posisi dari badan air. Rata rata jarak tempuh pergerakan horizontal katak jantan lebih jauh daripada katak betina. Perpindahan secara horizontal katak jantan dan betina cenderung acak. Pergerakan dilakukan di sepanjang badan sungai dengan tutupan tajuk yang didominasi oleh tumbuhan tepus (Etlingera solaris). Rata rata jarak tempuh pergerakan yang dilakukan oleh betina adalah 25,34 m dan jarak


(4)

Penggunaan radio transmitter pada katak cenderung mengurangi bobot katak dengan rata rata individu R. margaritifer kehilangan 9,75 % berat tubuhnya. Penurunan bobot terlihat jelas pada individu betina 1 dan 2, serta jantan 3,4,5,6,7, dan 8. Hal sebaliknya terjadi pada katak jantan 1 dan 2 yang mengalami penambahan bobot tubuh sebesar 11 % dan 4,8 %. Nilai tertinggi dalam pengurangan jumlah bobot katak terjadi pada contoh katak jantan 3 yaitu sebesar 1,5 gram ( 28,57% dari bobot tubuh).

Substrat yang paling banyak digunakan oleh katak jantan adalah daun pisang, pada siang hari sebesar 31% dan malam hari sebesar 54%, sedangkan substrat yang paling sedikit digunakan yaitu air (3 % pada siang hari) dan daun kering (3% pada malam hari). Katak betina berada pada substrat yang berbeda dengan katak jantan pada siang hari yaitu pada daun tepus (35%), namun pada malam hari mendiami substrat daun pisang (29 %). Penggunaan habitat mikro Katak Pohon Jawa tidak terlepas dari faktor suhu lingkungannya. Berdasarkan hasil pengamatan selama 25 hari pengamatan di sekitar air terjun Cibeureum diketahui bahwa pada bulan Mei-Juni suhu dan kelembaban relatif (RH) sangat berfluktuatif dengan RH berkisar antara 103,5 – 105,5


(5)

frog (Rhacophorus margaritifer) using Radio Tracking Method in Gunung Gede Pangrango National Park, West Java. Under supervision of MIRZA D. KUSRINI and YENI A. MULYANI

One of the method to obtain information about animal movement is by using radio tracking. Radio tracking method for research on frog movement never been done in Indonesia although there wereprevious research about pattern of daily movement of amphibian in Indonesia using non-radio tracking method.The objectives of the research are 1) to describe the pattern of daily movement of Javan tree frog Rhacophorus margaritifer using radio tracking method in Gunung Gede Pangrango National Park, 2) to assess the impact of radio transmitter installation on mass and behaviour of frog, and 3) to describe spatial use of Javan tree frog Rhacophorus margaritifer in Gunung Gede Pangrango National Park.

The research was carried out in Mei – September 2011 along the track of Panyangcangan post to Curug Tiga Cibereum (± 0,6 Km), Gunung Gede Pangrango National Park that lies in 1500 – 1650 m above sea level. Data on movement of each frog were collected for every 12 hours for 8 days (192 hours). Number of R.margaritifer observed was 11 frogs, consisted of 8 males and 3 females. Each frogs was installed with a transmitter weighed approximately 10% from total mass of male frog and 5% from mass of female frog. Frogs were observed for each activities in each location and analysis descriptively. Quantitative analysis of individual movement of R. margaritifer are measured by calculated of the length of movement and straightness index value.

All R. margaritifer observed, moved horizontally and vertically. The farthest vertical movement from the ground is 7,93 m and the farthest horizontal movement is 15,71 m. The highest score of both vertical and horizontal movements is obtained by females. The result of chi quadrat analysis for straightness index showed that male and female individuals tend to move away from observation starting point . There is no significant difference of horizontal movement from water body between male and female frog, even though male frogs tend to move away from water body much farther than female frogs. The highest vertical movement from water body is 9,3 m and horizontal movement is 13,92 m. The farthest horizontal position is 13,92 m and vertical position is 9,30 m from water body. There is no significant difference between male and female frogs in position from water body. Most male frog has a higer lenght of horizontal movement compared to female. Male and female frogs tend move jhorizontally in random. Frogs move along river body dominated by tepus (Etlingera solaris) plant. The average movement of female frog is 25,34 m and 34,35 m for male frog. The longest distance was done by female frog number 1 (49,83 m) and the shortest male frog number 6 (8,35 m).

The use of radio transmitter in frog tends to reduce frog weight with average of 9,75% weight loss for each individual of R margaritifer. Weight loss occured in female individual of R. Margartifer 1 and 2, and also male 3,4,5,6,7 and 8. And the other side, weight gain occured in male frog 1 and 2 which gained


(6)

(31%) and in the night 54%. Substrat least used are water (3% in the afternoon) and dried leaf (3% in the night). Female frogs used different substrates from male frogs, in the afternoon mostly in tepus leaf (35%) and in the night in the banana leaf (29%). Micro habitat of the javanase treefrogs can not be separeted with its environment temperature factor. Based on observation for 25 days around Cibereum waterfall, during May – June the temperature and relative humidity (RH) fluctuated with supersaturated RH range 103,5 – 105,5 of RH.


(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Pergerakan

Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan

Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasa latau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini

Bogor, Maret 2013

Benny Aladin Siregar E34063546


(8)

Pangrango

Nama : Benny Aladin Siregar NIM : E34063546

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc NIP. 196511 14 199002 2 001 NIP. 19610411 198703 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni. MS NIP. 195809 15 198403 1 003


(9)

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 22 Juni 1987.Pendidikan formal dimulai di SD N Rancaloa 2 Bandung (1994 - 2000), sekolah menengah dilanjutkan di SMP St. Mikhael Manado, Sulawesi Utara (2000 - 2003), kemudian melanjutkan pendidikan atas di SMA N 5 Manado Sulawesi Utara (2003 - 2006).

Keseharian penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keorganisasian seperti Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institiut Pertanian Bogor (Lawalata-IPB) bahkan pernah menjabat sebagai ketua umum periode 2008 - 2009, kemudian angggota organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada divisi Kelompok Pemerhati Herpetofaunan (KPH Pyton). Selama perkuliahan penulis telah mengikuti berbagai kegiatan penelitian dan ekspedisi diantaranya Ekspedisi Pulau Nusa Penida, Bali (2007), Ekspedisi Rinjani Mountain Bike Tour di Taman Nasional Gunung Rinjani, NTB (2009), Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon (2010), Ekspedisi Indonesian Caving Adventure di Taman Nasional Phong Nha Ke Bang Vietnam (2010). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB

penulis menyelesaikan skripsi berjudul “ Pola Pergerakan Harian Katak Pohon

Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan metode Radio Tracking

di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat” di bawah bimbingan


(10)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih-Nya yang tak terbatas, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

1. Kedua orang tuaku yang tercinta yang senantiasa membimbing tanpa pamrih dan terus tiada hentinya memberikan dukungan moral dan materil, kakakku yang seantiasa mau untuk direpotkan selama penulis berkuliah, dan adik-adikku Melisa Ansela dan Christian Junior yang senantiasa sabar menemaniku di lapangan kala pengambilan data skripsi.

2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang terus menerus membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran.

3. Dosen penguji sidang skripsi Dr. Ir. Erianto Indra M.Sc

4. Arief Tajali, Febriyanto Kolanus, Stefen Daniel, Dinen Bintang, Bang Rako, Bang ucok, Mbak Inggar yang menemani di lapangan dan atas koleksi fotonya.

5. Rekan rekan sepermainan Lawalata – IPB, Herdafi, Emak (Romawati),

Suki (Dafid), Gilang Embang, Nonet’te (Sudiyah), Bucil (Nurmadiah)

atas pendampinganya di lapangan.

6. Rekan-rekan Lawalata IPB, HIMAKOVA, SUPERNOVA-IPB, dan Fakultas Kehutanan.

7. Mohammed bin Zayed Conservation Fund sebagai sponsor penuh penelitian ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini merupakan penelitian yang berjudul “Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat” dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu refrensi dalam penelitian pergerakan satwa khususnya amfibi. Penulis masih menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan dan masih memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian baik dalam penyajian isi maupun aturan penulisan serta tata bahasa yang digunakan.

Bogor, Maret 2013

Benny Aladin Siregar NIM E34063546


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Habitat dan Penyebaran ... 3

2.4 Perilaku dan Pergerakan Amfibi ... 4

2.5 Radio Tracking ... 5

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 7

3.2 Alat dan bahan ... 8

3.3 Pemasangan Transmiter ... 8

3.4 Pola Pergerakan Harian R margaritifer, Pengaruh Pemasangan Radio transmitter dan Penggunaan Habitat Mikro ... 11

3.5 Analisis data ... 12

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan umum Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo .... 13

4.1.1 Lokasi dan luas ... 13

4.1.2 Kondisi fisik ... 13

4.1.3 Kondisi biotik ... 14

4.2 Kondisi Habitat air terjun Cibeureum ... 14

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 15


(13)

5.1.2 Perbedaan waktu dan jenis kelamin terhadap posisi

katak dari badan air ... 19

5.1.3 Pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak ... 20

5.1.4 Deskripsi penggunaaan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer ... 21

5.2 Pembahasan ... 24

5.2.1 Pergerakan Rhacophorus margaritifer ... 24

5.2.2 Pengaruh penggunaan radio transmitter terhadap perubahan bobot katak Rhacophorus margaritifer ... 24

5.2.3 penggunaan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer ... 27

5.2.4 Kendala selama pengamatan ... 28

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 29

6.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30


(14)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1 Hasil Penghitungan alur kelurusan R.margaritifer ... 15 2 Pergerakan katak antara 12 jam pengamatan ... 16 3 Perubahan bobot R. margaritifer sebelum dan sesudah

pemasangan transmitter... 20 4 Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan

katak R.margaritifer ... 24 5 Perbandingan perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R.margaritifer dalam waktu pengamatan 72 jam... 24


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Peta P. Jawa dan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo ... 7

2 Transmiter type BD-2N, radio Yaesu type FT 817 ND, i-button ... 8

3 Simulasi pengukuran SVL pada katak ... 9

4 Pemasangan transmitter pada harness dengan menggunakan perekat... 9

5 Pemasangan transmitter pada katak dengan metode harness ... 10

6 Katak yang sudah dipasangi transmitter di habitat asli ... 10

7 Simulasi pengukuran katak di alam ... 11

8 Rata-rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal ... 16

9 Rata-rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal dari badan air . 17 10 Rata-rata pergerakan horizontal katak jantan dan betina ... 17

11 Rata-rata pergerakan vertikal katak jantan dan betina ... 18

12 Pola pergerakan katak jantan dan betina secara horizontal... 18

13 Kondisi habitat katak R. margaritifer sepanjang jalur pengamatan... 19

14 Posisi katak jantan dan betina pada substrat di siang dan malam hari ... 21

15 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Mei-Juni ... 22

16 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Agustus ... 22

17 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan September ... 23

18 Luka pada tubuh katak R. margaritifer akibat pemasangan alat yang longar ... 26 19 Salah satu sampel katak berada di atas tanah pada siang dan malam hari . 27


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Hasil penghitungan chi kuadrat berdasarkan nilai alur kelurusan ... 34

2 Uji perbedaan waktu terhadap rata-rata posisi katak dari badan air ... 35

3 Uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air ... 36


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pergerakan satwa terjadi karena munculnya dorongan untuk memperoleh makan, mencari pasangan dan menghindari predator (Sellers 2000). Selain hal diatas, perubahan keadaan lingkungan serta cuaca juga terkadang mendorong satwa untuk bergerak (Tood & Winne 2006). Pergerakan satwa dilakukan dengan melakukan perpindahan posisi satwa dari tempat semula ia berada. Penelitian tentang pola pergerakan satwa akan menghasilkan pemahaman tentang penggunaan habitat suatu spesies, termasuk tipe dan jumlah habitat yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan bereproduksi (White & Garrott 1990). Pola pergerakan dan penggunaan habitat oleh satwa penting dilakukan untuk mengidentifikasi potensi kepunahan karena perubahan fungsi lahan (Hanski dan Zhang 1993). Dalam aplikasinya, pemahaman tentang pergerakan satwa akan memberikan dampak penting dalam manajemen kawasan dan konservasi (Dodd 1996).

Seperti halnya hewan bertulang belakang pada umumnya, amfibi merupakan salah satu hewan yang melakukan pergerakan sepanjang hidupnya. Penelitian tentang pola pergerakan harian amfibi sejauh ini sudah pernah dilakukan di Indonesia diantaranya penelitian oleh Muliya (2010), Sholihat (2007), dan Firdaus (2011). Penelitian tentang pergerakan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di TNGP dilakukan oleh Muliya (2010) dengan menggunakan metode spool track. Metode ini merupakan yang paling banyak dilakukan, karena kemudahan dalam memperoleh bahan pembuatnya dan penggunaan yang cukup mudah. Selain penelitian diatas Sholihat (2007) juga melakukan penelitian terkait pola pergerakan dengan menggunakan metode penggunaan cat dan spool track terhadap Polypedates leucomystax. Penelitian mengenai dampak penambahan beban terhadap pergerakan R. margaritifer juga dilakukan oleh Firdaus (2011).

Salah satu metode lain untuk memperoleh informasi tentang kegunaan mikrohabitat, area jelajah, dan pergerakan suatu spesies yaitu penggunaan radio


(18)

tracking (Rowley & Alford 2007a). Penggunaan radio tracking dalam penelitian pergerakan katak sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia, berbeda dengan negara lain dimana penelitian tentang pergerakan katak sudah cukup banyak dilakukan. Penelitian ini menjadi penting karena pada dasarnya kondisi habitat di Indonesia berbeda dengan kondisi habitat di negara lain khususnya habitat jenis katak pohon (Rhacophorus).

Keberadaan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) saat ini tersebar di berbagai tipe habitat termasuk di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian tentang amfibi menjadi salah satu topik yang sering dikaji khususnya bagi penggiat ilmu kehutanan dan biologi dikarenakan status keberadaan dan nilai ekologis yang tak ternilai harganya.

1. 2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Menggambarkan pola pergerakan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) dengan menggunakan metode radio tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

2. Menganalisa pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak

3. Mendeskripsikan penggunaan ruang oleh Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1. 3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menambah wawasan dalam lingkup ilmu pengetahuan tentang katak. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu panduan atau acuan dalam riset atau penelitian khususnya dalam studi tentang pergerakan satwa dan penggunaan radio tracking dalam penelitian tentang satwa.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Taksonomi

Katak Pohon Jawa dengan nama spesies Rhacophorus margaritifer (syn.

Rhacophorus javanus) merupakan genus Rhacophorus, dari famili Rhacophoridae dengan sub ordo Acosmanura dan ordo Anura dari kelas Amfibia, filum Chordata, serta kingdom Animalia. Di Indonesia terdapat sebanyak 20 jenis dari marga

Rhacophorus, sedangkan di Pulau Jawa terdapat delapan jenis (Iskandar 1998).

2. 2 Morfologi

R. margaritifer memiliki tubuh relatif gembung dengan ukuran kaki yang panjang dan jari tangan yang berselaput kira-kira setengah atau dua pertiga dari panjang jari (Iskandar 1998). Kulit pada permukaan atas tubuh dan perut memiliki tekstur yang halus dengan warna kulit dominan coklat, baik pada jantan maupun betina. Terkadang warna yang muncul pada bagian punggung bervariasi seperti coklat tua, coklat kemerahan, coklat muda sampai kuning dengan bercak-bercak tidak beraturan pada bagian atas tubuh, sedangkan kulit bagian perut berwarna putih (Kurniati 2003).

2. 3 Habitat dan Penyebaran

Jenis Katak Pohon Jawa R. margaritifer hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa (Iskandar 1998). R. margaritifer banyak menghabiskan kegiatannya di tumbuh-tumbuhan dan berada tidak jauh dari sumber air (Muliya 2010). Jenis ini dapat ditemukan di ketinggian rata rata 1000 mdpl (Schlegel 1837), R.

margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) menempati daerah dengan rata rata suhu harian berkisar antara 160C – 170C (Lubis 2008). Hampir seluruh individu R. margaritifer di TNGP ditemukan berada di lokasi-lokasi dengan jarak dari sumber air 0-10 meter, dan hanya sedikit yang berada pada jarak lebih dari 10 meter dari sungai (Kusrini et al. 2005, 2006).


(20)

2. 4 Perilaku dan Pergerakan Amfibi

Banyak hewan melakukan perubahan pola pergerakan dalam hidupnya seiring dengan bertambahnya usia, hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya kebutuhan akan sumberdaya, kompetisi antar spesies dan menghindari pemangsa (Demers et al. 2007). Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai (Dole 1965), Pergerakan amfibi dilakukan pula untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan kerabat yang dekat (inbreeding), serta penggunaan ruang secara bervariasi dalam bermacam macam habitat (Gros et al. 2006). Waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara (Goin & Goin 1971). Amfibi memiliki beragam perilaku sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima serta memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. (Stebbins & Cohen 1995). Distribusi satwa seperti amfibi sering dibatasi oleh kualitas dan distribusi habitat perkembangbiakan (Wilbur 1980). Banyak amfibi yang bersifat nokturnal dan memiliki shelter (tempat berlindung) yang basah sepanjang hari yang berfungsi untuk menjaga kelembaban kulit pada saat siang hari (Duellman & Trueb 1986). Banyak jenis amfibi melakukan adaptasi dalam melakukan pencarian tempat berkembangbiak yang sesuai, mereka akan melakukan perpindahan ke tempat yang baru jika kondisi air mengalami perubahan seiring berjalanya waktu (Dall`Antonia & Sinsch 2001).

Pergerakan amfibi dilakukan secara horizontal dan vertikal dari badan air. Penelitian menggunakan spool track pada katak pohon Jawa menemukan, pada malam hari jenis ini melakukan pergerakan lebih jauh dari pada siang hari (Muliya 2010). Sementara katak Litoria nannotis di Australia aktif pada malam hari dan bergerak ke daerah yang terbuka di daerah perairan dan hutan (Hodgkison & Hero 2001).


(21)

2. 5 Radio Tracking

Salah satu teknik dalam memperoleh informasi tentang penggunaan mikrohabitat, wilayah jelajah, dan pergerakan dari satwa adalah dengan menggunakan radio tracking di lapangan (Rowley & Alford 2007a). Radio tracking adalah teknik dalam menentukan informasi tentang satwa menggunakan sinyal radio yang dibawa oleh satwa tersebut. Komponen dasar dari sistem radio tracking terdiri dari 1. Subsistem transmiter yang berupa radio transmiter, sumber daya, dan antena, dan 2. Penerima antena subsistem sebagai penangkap sinyal dengan indikatornya (berupa spiker dan layar tampil), dan sumber daya (Mech & Barber 2002). Penggunaan metode tracking yang biasa digunakan untuk jenis amfibi adalah menggunakan sistem radio telemetri, namun penggunaan sistem ini harus memperhatikan 2 hal penting yaitu ukuran dan berat dari radio transmiter yang akan dipasang (Rowley & Alford 2007a).

Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah satwa tidak boleh membawa beban lebih dari 10% berat tubuhnya (Richards et al. 1994), bahkan penulis lain menyatakan bahwa rasio beban yang diberikan tidak boleh melebihi 5% berat tubuh satwa (Kenward 1987). Pemasangan radio transmiter pada amfibi menggunakan sistem ransel. Perangkat transmiter dipasang seperti ransel menggunakan harness (sabuk pengikat) yang terpasang pada selang tubular yang nantinya diikatkan pada satwa (Ward & Flint 1995). Harness biasanya terbuat dari pita teflon lembut atau tali polister elastis, harness yang dipasangkan haruslah elastis dan akan terdegradasi dalam jangka waktu tertentu sehingga akan terlepas dengan sendirinya. Pemasangan radio transmiter dapat membuat satwa bergerak lebih lambat, mudah terlihat, atau menjadi tidak mampu mengatur postur tertentu (Kenward 1987). Radio transmiter yang terpasang di tubuh amfibi nantinya akan memancarkan sinyal dalam frekuensi tertentu yang akan ditangkap oleh alat penerima, proses penangkapan sinyal terkadang menjadi tidak akurat. Ketidaktepatan dalam menangkap sinyal radio bervariasi di tiap tipe habitat, Sumber kesalahan yang biasa terjadi adalah adanya pantulan sinyal yang diakibatkan oleh perbukitan, seringkali sinya dibelokan bahkan jauhnya sampai berkilo-kilometer. Cara paling efektif dalam menghindari kesalahan karena pantulan sinyal adalah menangkap sumber sinyal dari bermacam macam titik dari


(22)

sudut yang berbeda. Ketika sinyal yang diambil mengarah ke titik yang relatif sama berarti peluang menemukan lokasi satwa semakin besar, tetapi jika sinyal yang ditangkap berasal dari arah yang berbeda beda berarti pemantulan sinyal masih terjadi (White & Garrott 1990)


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dalam jangka waktu Mei - September 2011. Pengambilan data lapangan dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada ketinggian 1310 – 1350 mdpl (Gambar 1). Wilayah studi ditentukan di wilayah yang dipastikan merupakan habitat dari Katak Pohon Jawa (Rhacoporus margaritifer). Pengamatan dilakukan sepanjang jalur pos Panyangcangan hingga Curug Tiga Cibereum dengan panjang ± 0,6 Km. Keseluruhan pengambilan data pengamatan dilaksanakan pada tanggal 30 Mei – 6 Juni, 14 -21 Agustus, dan 15-23 September 2011.

Gambar 1 Peta P. Jawa dan kawasan Taman nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber: http://gedepangrango.org ).


(24)

2 cm 10 cm

3. 2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa perlengkapan radio telemetri (radio merk Yaesu type FT-817 ND, transmiter type BD-2N (buatan Holohil ltd.), antena YAGI 3 elemen (Gambar 2), alat tulis menulis, benang jahit, selang plastik pita perekat, gunting, pinset, dan MS222 (tricaine methanesulfonate). Alat yang digunakan untuk pengukur pergerakan Rhacophorus margaritifer berupa senter / headlamp, baterai, kantong spesimen, jam tangan,

tally sheet, alat tulis, caliper, neraca pegas (ukuran 5, 10, 30, 60, 100g), laser pengukur jarak, kompas, dan GPS . Alat untuk mengukur faktor lingkungan ( i-button yang berfungsi sebagai pengukur suhu dan kelembaban udara secara otomatis), Alat dokumentasi berupa kamera digital dan baterai. Objek penelitian terdiri dari katak R. margaritifer dan habitatnya.

Gambar 2 Transmiter type BD-2N (Holohil ltd.) (www.holohil.com), RadioYAESU type FT 817 ND (www.rigpix.com), I button ( www.maxim-ic.com ).

3. 3 Pemasangan Transmiter

Setiap katak yang diamati ditangkap langsung pada lokasi penelitian. Katak yang ditangkap terlebih dahulu ditimbang dan diukur panjang tubuhnya (Snout Vent Length/SVL) dengan menggunakan kaliper dan mengukur berat tubuh dengan menggunakan neraca pegas (Gambar 3).


(25)

Pemasangan transmiter dilakukan dengan beberapa beberapa tahap yaitu :

a. Katak yang sebelumya sudah ditangkap dan diukur dibuat agar pingsan dengan menggunakan bubuk MS 222, katak yang akan dijadikan objek dipilih yang

memiliki bobot ≥ 5 gram karena bobot dari transmiter sendiri sebesar 0,43

gram.

b.Persiapan pemasangan transmiter (metode pemasangan harness) dilakukan selama menunggu katak pingsan dengan cara merekatkan selang dengan lem perekat kepada transmiter (Gambar 4), kemudian dilakukan pengukuran bobot transmiter yang sudah dipasang harness agar bobot tetap sebesar batas yang ditentukan yaitu kurang dari 5% dari bobot tubuh katak.

Gambar 4 Pemasangan transmiter pada harness dengan menggunakan perekat. Gambar 3 Pengukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis merah : a - b).


(26)

c. Pemasangan transmiter dilakukan pada pinggang katak dengan cara mengikatkan benang pada harness yang sudah disiapkan sebelumnya (Gambar 5). Transmiter yang dipasang diupayakan agar tidak terlalu longgar atau terlalu ketat agar transmiter tidak mudah lepas atau pun melukai tubuh katak (Gambar 5).

d. Setelah transmiter terpasang dilakukan pemeriksaan apakah pemasangan cukup pas pada lingkar pinggang katak dengan cara menarik perlahan ke belakang, jika tidak lepas maka pemasangan sudah sesuai.

e. Setelah itu dilakukan tes pada transmiter yang akan dipasang apakah masih berfungsi dengan baik dan mampu memancarkan frekuensi yang sudah ditentukan.

f. Katak yang sudah dipasangi transmiter dilepas ke tempat semula katak tersebut ditangkap (Gambar 6).

Gambar 6 Katak yang sudah dipasangi transmiter di habitat asli. Gambar 5 Pemasangan transmiter pada katak dengan metode harness.


(27)

3.4 Pola Pergerakan Harian R.Margaritifer, Pengaruh Pemasangan Radio Transmiter Terhadap Bobot Katak, dan Penggunaan Habitat Mikro

Pengambilan data tentang pergerakan masing-masing individu katak dilakukan kurang lebih selama 8 hari (192 jam) dengan frekuensi pengambilan data setiap 12 jam. Individu R. margaritifer yang diamati sebanyak 11 ekor terdiri atas 8 ekor jantan dan 3 ekor betina.

Seluruh individu dipasangi transmiter dengan bobot rata rata 10% dari berat tubuh untuk katak jantan dan rata rata 5% dari berat tubuh untuk katak betina. Pengukuran pola pergerakan dan penggunaan habitat mikro diukur pada pukul 09.00 - 12.00 dan malam pada pukul 19.00 - 21.00. Pengambilan data dan analisa tentang pengaruh pemasangan radio transmiter pada individu katak R. margaritifer dibatasi untuk mengetahui perubahan bobot tubuh katak dan kerusakan yang timbul akibat pemasangan radio transmiter pada tubuh katak. Pembatasan pengambilan data dan analisa dilakukan karena pengamat tidak mengamati katak selama 24 jam. Pengukuran perubahan bobot katak dengan menggunakan neraca pegas serta kondisi tubuh katak dengan cara ditangkap dan diamati langsung dilakukan setiap dua hari sekali untuk menghindari terjadinya stress yang berlebihan. Pencatatan dilakukan terhadap posisi keberadaan katak, sudut atau arah pergerakan, jarak horizontal dan vertikal perpindahan dari posisi semula, jarak horizontal dan vertikal dari sungai, aktifitas ketika ditemukan (Gambar 7). Untuk memperoleh data habitat dilakukan pengukuran suhu, kelembaban harian, dan Substrat


(28)

3. 5 Analisis Data

Setiap aktivitas yang dilakukan pada setiap lokasi ditemukannya jenis R. margaritifer dijelaskan secara deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap pergerakan individu R. margaritifer berupa pengukuran jarak. Data yang diperoleh digunakan untuk memetakan posisi dan pergerakan katak setiap harinya. Jika jarak pergerakan katak < 0,05 m maka pergerakan dianggap nol karena dengan jarak pergerakan tersebut katak hanya dianggap bergeser (Sholihat 2007).

Pergerakan katak dianalisis secara kuantitatif untuk menentukan nilai alur kelurusan dan jarak tempuh katak selama dipasangi alat atau disebut dengan net displacement, pengukuran biasanya dilakukan selama 24 jam (Schwarzkopf & Alford 2002). Nilai 0 dan 1 digunakan untuk mengindikasikan pergerakan katak dimana nilai 1 berarti katak bergerak keluar dalam pola alur lurus sedangkan 0 mengindikasikan katak tidak bergeser. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai alur kelurusan adalah:

Nilai alur kelurusan =

Selain rumus diatas pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus chi kuadrat yaitu:

X2hitung = ∑ dengan : X2 : Chi kuadrat

E : Frekuensi yang diharapkan O : Frekuensi yang diobservasi

Apabila X2 hitung lebih besar daripada X2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dimana Ho berarti pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal, sedangkan Ha berarti pergerakan katak jantan dan betina menjauhi titik awal. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.0.


(29)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 4.1.1 Lokasi dan luas

Taman Nasional Gunug Gede Pangrango (TNGP) adalah salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980 yang diumumkan pada Strategi Konservasi Dunia (Widada 2008).Status penetapan kawasan menjadi taman nasional ditetapkan melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 juni 2003. Kawasan TNGP yang terletak diantara Kabupaten Bogor, kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi merupakan kawasan perwakilan ekosistem hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, dengan luas kawasan sebesar + 21.975 hektar pada koordinat 106o50’-107o02’ BT dan 06o41’ -06o51’ LS. Tahun 1977 Kawasan TNGP ditetapkan sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO, dan pada tahu 1995 ditetapkan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia (PHKA 2007).

4.1.2 Kondisi fisik

Gunung Gede merupakan satu dari 35 gunung berapi aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati. Gunung Gede memiliki ketinggian 2.958 mdpl dan Gunung Pangrango memiliki ketinggian 3.018 mdpl, keduanya merupakan dua dari tiga gunung tertinggi di Jawa Barat. Topografi kawasan ini bervariasi mulai dari ketinggian 700 – 3000 mdpl, sedangkan kawasan TNGP memiliki ketinggian antara 600 – 3019 mdpl. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-ferguson, kawasan TNGP termasuk dalam tipe A. Curah hujan yang tinggi dengan rata rata curah hujan tahunan 3000-4200 mm. Suhu rata rata siang hari di kawasan TNGP berkisar antara 10oC-18oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 0oC-5oC, memiliki kelembaban udara tinggi sekitar 80-90% (PHKA 2007).


(30)

4.1.3 Kondisi biotik

Berdasarkan data PHKA 2007 tipe ekosistem kawasan TNGP berdasarkan ketinggianya dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu 1). Ekosistem hutan pegunungan bawah, yang terletak pada ketinggian 100-1500 mdpl; 2). Ekosistem hutan pegunungan atas, yang terletak pada ketinggian 1500- 2400 mdpl, dan 3). Ekosistem sub-alpin, yang terletak pada ketinggian 2400-3019 mdpl, memiliki strata tajuk sederhana dan pendek dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat.

Dalam catatan pada awal abad ke 19 kawasan ini sangat kaya dengan keanekaragaman faunanya. Kawasan ini merupakan habitat bagi sekitar 53% dari jenis burung di Pulau Jawa (sekitar 260 jenis), 4 jenis primata, serta habitat berbagai jenis satwa liar lainya (PHKA 2007). Data tentang keanekaragaman amfibi khususnya ordo Anura belum banyak diketahui sejak pertama kali dilakukan pengambilan datanya oleh Liem (1974), pada perolehan data terakhir yang dilakukan oeh Kusrini (2005 & 2007) diketahui jumlah ordo Anura sebanyak 24 jenis, dua jenis diantaranya adalah jenis endemik yaitu Rhacophorus margaritifer dan Leptophryne cruentata

4.2 Kondisi Habitat Air Terjun Cibeureum

Sejarah penamaan kawasan air terjun Cibeureum berdasarkan kajian

ilmiah mengacu pada warna sejenis “ lumut merah “ (Spagnum gedeanum) yang tumbuh dan mudah dilihat di tebing sekitar air terjun. Lumut ini merupakan tumbuhan endemik kawasan TNGP.Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 53 meter memiki luas area ± 2,5 Ha, berada pada ketinggian 1350 mdpl terletak sekitar 2,8 km dari pintu masuk Cibodas. Kawasan ini didominasi oleh vegetasi dari jenis pakis, paku-pakuan, pandan, rotan, dan tumbuhan perdu. Daerah ini relatif dingin dan lembab (BTNGP 2006). Sungai yang mengalir di sekitar kawasan ini ada sepanjang tahun, dengan rata rata lebar sungai 2-3 m.


(31)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Pola pergerakan Rhacophorus margaritifer

R. margaritifer yang diamati melakukan pergerakan secara horizontal dan vertikal. Nilai jarak perpindahan vertikal dari tanah terjauh diperoleh angka sebesar 7,93 m dan jarak perpindahan horizontal terjauh diperoleh sebesar 15,71 m. Nilai tertinggi dari kedua pergerakan (vertikal dan horizontal) diperoleh oleh individu betina (Gambar 8). Hasil penghitungan nilai alur kelurusan diperoleh dalam Tabel 1 dalam hasil penghitungan chi kuadrat diketahui bahwa individu jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan karena dalam penghitungan X2 hitung > X2 tabel yaitu 5,646 > 3,841, yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima.

Tabel 1. Hasil penghitungan alur kelurusan R.margaritifer

Jenis kelamin N Jarak lurus (m) Jarak Tempuh (m) Nilai alur kelurusan

selama 8 hari

min max min max

Betina 3 8 16,25 99,9 23,03 0,65 – 0,80

Jantan 8 3 18,6 8,35 49,72 0,22 – 0,88

Hasil pergerakan katak yang dicatat selama 12 jam diperoleh data pergerakan siang dan malam hari pada Tabel 2. Pergerakan dari malam menuju siang hari diperoleh data wilayah jelajah vertikal katak jantan berkisar antara nilai 0 – 7,93 m, tetapi dalam kasus lain penulis pernah menemukan katak R. margaritifer berada pada ketinggian lebih dari 10 m, jarak dari badan air diperoleh nilai dengan kisaran antara 0 – 13,92 m untuk katak betina diperoleh data wilayah jelajah vertikal berkisar antara 1,11 – 3,25 m serta jarak dari badan air berkisar antara 0,55 – 2,97 m.

Pergerakan pada siang menuju malam hari diperoleh data yaitu wilayah jelajah vertikal katak jantan berkisar antara 0 – 7,32 m, dan jarak dari badan airnya berkisar antara 0 – 13,50 m. Pada katak betina diperoleh data wilayah


(32)

jelajah vertikal sebesar 1,5 – 6,1 m, dan jarak terjauh dari badan air sebesar 0,45 – 6,7 m.

Tabel 2 Pergerakan katak antara 12 jam pengamatan (pengamatan 192 jam)

Waktu Pergerakan Betina

(m)

Jantan (m)

Malam - Siang Pergerakan minimum antara 12 jam 0 0

Pergerakan maksimum 12 jam 10,6 16,23 Pergerakan rata-rata selama 12 jam 2,36 3,31 Jarak terdekat dari badan air 0,55 0 Jarak terjauh dari badan air 2,97 13,92 Posisi vertikal terdekat 1,11 0 Posisi vertikal terjauh 3,25 7,93

Siang - Malam Pergerakan minimum antara 12 jam 0 0

Pergerakan maksimum 12 jam 15,71 12,91 Pergerakan rata-rata selama 12 jam 3,41 3,34 Jarak terdekat dari badan air 0,45 0 Jarak terjauh dari badan air 6,7 13,50 Posisi vertikal terdekat 1,5 0

Posisi vertikal terjauh 6,1 7,32

Perolehan angka rata-rata jarak pergerakan vertikal dan horizontal dari tanah menunjukan bahwa katak betina memperoleh nilai yang lebih tinggi dari katak jantan (gambar 8).


(33)

Tidak ada perbedaan nyata yang terlihat dalam perolehan nilai jarak pergerakan dari badan air antara jantan dan betina pada gerak horizontalnya, walaupun pada grafik menujukan katak jantan cenderung meninggalkan badan air pada jarak yang lebih jauh daripada katak betina (Gambar 9).

Gambar 9 Rata rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal dari badan air.

Rata-rata jarak tempuh pergerakan horizontal antara katak jantan dan betina yang diamati selama delapan hari diketahui bahwa katak jantan bergerak lebih jauh dibandingkan dengan katak betina (Gambar 10). Bila dilihat dari data pergerakan horizontal katak betina memperoleh nilai yang berbeda pada hari ke-1 dan 2 pengamatan namun pada hari ke-3 hingga hari ke-8 nilai rata rata pergerakan tidak begitu berbeda jauh, berkisar di jarak 0-1 m, sedangkan pada katak jantan rata rata pergerakan horizontal harianya terlihat sangat fluktuatif dengan nilai berkisar antara 0.5-6 m. Sementara itu, hal yang serupa juga terjadi pada pergerakan vertikal harian, dimana katak jantan cenderung bergerak lebih tinggi daripada katak betina (Gambar 11).


(34)

Gambar 11. Rata-rata pergerakan vertikal katak jantan dan betina.

Perpindahan secara horizontal katak jantan dan betina (Gambar 12) cenderung acak. Pergerakan dilakukan sepanjang badan sungai dengan tutupan tajuk yang didominasi oleh tumbuhan tepus (Etlingera solaris). Rata rata jarak tempuh pergerakan yang dilakukan oleh betina sebesar 25,34 m dan jarak tempuh rata-rata jantan sebesar 34,35 m, Jarak tempuh terjauh dilakukan oleh katak betina 1 dengan jarak sebesar 49,83 m dan jarak tempuh terpendek dilakukan oleh katak jantan 6 dengan jarak sebesar 8,35 m


(35)

Gambar 13 Kondisi habitat katak R. margaritifer sepanjang jalur pengamatan.

5.1.2 Perbedaan waktu dan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air

Data uji perbedaan waktu terhadap posisi vertikal dan horizontal katak dari badan air dengan menghitung chi square menggunakan uji Kruskal-Wallis dianalisis untuk menentukan apakah Ho diterima atau ditolak, dengan Ho berupa perbedaan waktu tidak mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer

dari badan air dan Ha berarti perbedaan waktu mempengaruhi pergerakan vertikal katak R.margaritifer dari badan air. Perolehan nilai asymp. sig (dengan db = 1 &

α = 5%) sebesar 0,619 (horizontal) dan 0,353 (vertikal)

Data uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air dengan menggunakan pengujian yang sama seperti diatas menggunakan dugaan Ho berupa perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air dan Ha perbedaan jenis kelamin


(36)

mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air. Perolehan

nilai asymp. Sig (dengan db = 1 & α = 5%) sebesar 0,480 (horizontal) dan 0,091 (vertikal).

Kedua pengujian menggambarkan bahwa pergerakan vertikal dan horizontal katak R. margaritifer terhadap posisinya dari badan air tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin dan perbedaan waktu baik siang hari maupun malam hari.

5.1.3 Pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak

Penggunaan radio transmiter pada katak cenderung mengurangi bobot katak dengan rata rata individu R. margaritifer kehilangan 9,75 % berat tubuhnya, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa untuk individu betina 1,2, dan serta jantan 3,4,5,6,7, dan 8 terjadi penurunan bobot katak, namun hal ini terjadi sebaliknya pada katak jantan 1 dan 2 terjadi penambahan bobot tubuh sebesar 11 % dan 4,8 %. (Tabel 3). Nilai tertinggi dalam pengurangan jumlah bobot katak terjadi pada sample jantan 3 yaitu sebesar 1,5 gram nilai ini sebesar 28,57% dari bobot tubuhnya,

Tabel 3 Perubahan bobot R. margaritifer sebelum dan sesudah pemasangan transmitter Individu Berat tubuh tanpa alat (g) berat alat (g) persentase berat alat dengan tubuh (Persen) berat tubuh setelah pengamatan (g) jumlah penambahan atau pengurangan berat badan persentase penurunan berat tubuh (%) Ket

betina 1 17,52 0,55 3,13 17,45 0,07 0,39

betina 2 16,25 0,56 3,4 - - - Hilang

betina 3 8,75 0,525 6 8,75 0 0

jantan 1 5 0,45 9 5,55 -0,55 -11

nilai (-) berarti penambah

an berat badan

jantan 2 5,25 0,5 9,52 5,5 -0,25 -4,76

jantan 3 5,25 0,5 9,52 3,75 1,5 28,57

jantan 4 5 0,5 10 4,5 0,5 10

jantan 5 5 0,5 10 3,75 1,25 25

jantan 6 5,25 0,5 9,52 5,25 0 0

pengamat an hanya 3 hari

jantan 7 5,5 0,5 9,09 5 0,5 9,09


(37)

5.1.4 Deskripsi penggunaan mikrohabitat R. margaritifer

Seperti halnya semua amfibi, R. margaritifer aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari. Aktifitas pada siang hari adalah berlindung di bawah naungan daun, serasah, atau di batang tanaman yang terlindung dari sinar matahari langsung.

Posisi katak jantan yang paling banyak terdapat pada substrat daun pisang pada siang hari sebesar 31% dan malam hari sebesar 54%, sedangkan pada substrat dengan nilai terkecil yaitu jenis substrat air sebesar 3 % pada siang hari dan daun kering sebesar 3% pada malam hari. Katak betina berada pada substrat yang berbeda dengan katak jantan pada siang hari yaitu berada pada daun tepus dengan nilai sebesar 35%, namun pada malam hari mendiami substrat daun pisang dengan perolehan nilai 29 % (Gambar 14)

Gambar 14 Posisi katak pada substrat (A) jantan pada siang hari; (B) jantan pada malam hari; (C) betina pada siang hari; (D) betina pada malam hari.

Penggunaan habitat mikro Katak Pohon Jawa tidak terlepas dari faktor suhu lingkunganya. Berdasarkan hasil pengamatan selama 25 hari pengamatan di sekitar air terjun Cibeureum diketahui bahwa pada bulan Mei-Juni tidak terlalu


(38)

terjadi fluktuasi suhu dan RH. Suhu berkisar antara 13,06 – 20,57 oC dan RH berkisar antara 102,60 - 107,11 % (Gambar 15) sedangkan pada bulan Agustus dan September terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban harian yang cukup tinggi, yaitu pada bulan Agustus suhu berkisar antara 11,56 – 20,07 oC dan RH berkisar antara 91,52% - 111,57 % (Gambar 16), sedangkan pada bulan September suhu harian berkisar antara 11,56 oC - 19,07oC dan RH berkisar antara 101,58% - 109,62 % (Gambar 17).

Gambar 15 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Mei-Juni (katak Jantan 1 dan Betina 1).


(39)

Gambar 17 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan September (Pengamatan katak Jantan 6,7,8 dan Betina 3)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Pergerakan Rhacophorusmargaritifer

Hasil perolehan data yang menjelaskan bahwa baik individu jantan maupun betina R. margaritifer melakukan pergerakan yang menjauhi titik awal pengamatan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu (Muliya 2012) yang menunjukan katak jantan maupun betina tidak menjauhi titik awal pengamatan (Tabel 4). Perbandingan data juga dilakukan pada 72 jam pengamatan pertama setiap individu katak, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan pengamatan total selama 192 jam (Tabel 5)

Tabel 4 Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer

Siregar (2013) Muliya (2010) Individu Jantan Betina Jantan Betina

N 8 3 4 4

Pengamatan 192 Jam 192 Jam 72 Jam 72 Jam Jarak Lurus (m) 3 – 41,4 8 – 16,5 1,70 – 3,42 4,20 – 10,20 Jarak Tempuh (m) 8,35 – 49,72 9,99 – 23,03 5,20–13,37 6,28–22,87 m Rata rata nilai


(40)

Tabel 5 Perbandingan Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer dalam waktu pengamatan 72 jam

Siregar (2013) Muliya (2010) Individu Jantan Betina Jantan Betina

N 8 3 4 4

Waktu

Pengamatan 72 Jam 72 Jam 72 Jam 72 Jam Jarak Lurus (m) 2,5 – 16,5 9,8 – 14,5 1,70 – 3,42 4,20 – 10,20 Jarak Tempuh (m) 6,79 – 27,16 6,8 – 23,03 5,20–13,37 6,28–22,87 Rata rata nilai

Alur Kelurusan 0,63 0,99 0,24 0,53

Perbedaan hasil yang diperoleh dalam dua penelitian tersebut diduga karena perbedaan metode yang dilakukan. Penggunaan metode spooltrack diduga akan menghambat pergerakan katak, berbeda dengan penggunaan alat berupa radio transmiter dimana individu katak dapat bergerak bebas tanpa dibatasi dengan jarak benang (spooltrack). Hasil yang berbeda juga dialami dengan perbandingan waktu pengamatan yang serupa dengan penelitian sebelumnya. Menurut analisis pergerakan vertikal dan horizontal keseluruhan terhadap individu jantan dan betina diperoleh nilai minimum yang sama yaitu nilai 0 (katak tidak melakukan pergerakan) sedangkan perolehan nilai maksimum pergerakan vertikal sebesar 7,93 meter diperoleh dari jantan 5 dan nilai horizontalnya sebesar 15,71 diperoleh dari betina 1. Nilai rata rata pergerakan yang dicantumkan dalam gambar 8 diketahui bahwa nilai rata rata total pergerakan individu betina lebih tinggi daripada individu jantan baik dari pergerakan vertikal maupun horizontalnya. Data tersebut diperoleh karena penghitungan mengunakan rata rata pergerakan dimana jumlah katak jantan lebih banyak daripada jumlah katak betina. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian menggunakan metode radio tracking adalah berat dan ukuran dari transmiter serta usia penggunaan baterai (Rowley & Alford 2007a).

Dalam data pergerakan harianya baik dalam pergerakan horizontal atau vertikal katak jantan memperoleh nilai yang lebih tinggi (Gambar 10 dan 11). Hasil yang diperoleh ternyata serupa serupa dengan hasil penelitian terhadap jenis


(41)

vertikal pada katak jantan akan lebih tinggi dibandingkan dengan katak betina (Rowley & Alford 2007b). Penelitian selanjutnya terhadap jenis Nyctimystes dayi

(Rowley & Alford 2009c) juga mengemukakan hal serupa.

5.2.2 Pengaruh penggunaan radio transmiter terhadap perubahan bobot katak Rhacophorus margaritifer

Bobot alat yang dipasang pada spesies jantan mencapai mencapai 9.09 % - 10% dari bobot tubuh katak jantan, sedangkan pada betina antara 3,13% – 6% bobot tubuhnya. Pengukuran bobot alat selalu dilakukan sebelum dan sesudah merangkaikan harness dengan radio transmiter, penambahan bobot alat yang disebabkan karena basahnya benang pengikat dapat diabaikan karena setelah dilakukan pengukuran berat transmiter basah dan kering tidak terjadi penambahan berat yang signifikan rata rata penambahan berat hanya sebesar 0,04 – 0,05 gram, hal ini dikarenakan alat berupa radio transmiter dan selang pengikat merupakan bahan yang tahan air (tidak menyerap air). Pada beberapa pengamatan seringkali transmiter yang tepasang pada tubuh katak R. margaritifer berada pada posisi terbalik (menghadap ke bawah) akibat radio transmiter yang tepasang sedikit longgar, hal ini terjadi pada beberapa sampel katak. Pemasangan yang longgar dapat menyebabkan luka pada tubuh katak akibat gesekan yang terus menerus terjadi (Gambar 18). Luka yang terjadi pada tubuh katak berakibat terkelupasnya kulit luar dan berubahnya warna di sekitar pingiran luka.

Gambar 18 Luka pada tubuh katak R. margaritifer akibat pemasangan alat yang longgar.

Pada saat pengamatan tidak ditemukan satupun kasus kematian sampel katak yang diakibatkan karena pemasangan alat berupa radio transmiter, hal ini jauh lebih megguntungkan ketimbang dengan penggunaan alat lain berupa


(42)

spooltrack (lihat Muliya 2010) dimana pada penelitian Muliya ditemukan beberapa katak mati akibat terlilit benang dan karena terbukanya selongsong benang yang terpasang pada katak R. margaritifer. Penggunaan metode lain berupa pemberian cat pada katak juga pernah dilakukan (lihat Sholihat 2007) metode ini adalah yang paling tidak efisien ketimbang kedua metode di atas, kelemahan dalam penggunaan metode ini yaitu cat yang digunakan sangat mudah luntur sehingga akan sulit diaplikasikan pada habitat yang basah serta jejak cat yang ditinggalkan katak tidak begitu jelas terlihat.

Kasus lain yang terjadi adalah, salah satu sampel katak jantan ditemukan tepat di tanah sesekali pindah ke substrat berupa akar pohon dengan ketinggian sekitar 10 cm dari tanah, kondisi ini diduga karena terhambatnya gerak katak akibat pemasangan radio transmiter yang kurang baik, pemasangan alat ini menyebabkan luka yang cukup besar pada pinggang katak, katak tersebut tidak melakukan perpindahan selama 2 hari (48 jam pengamatan). Posisi katak yang ditemukan berada di permukaan tanah merupakan perilaku yang tidak lazim bagi jenis R. margaritifer, karena dalam penelitian terdahulu diketahui bahwa R. margaritifer adalah jenis katak arboreal yang memanfaatkan serangga arboreal sebagai pakan (Rahman 2010). Keberadaan katak yang terletak di permukaan tanah diperkirakan karena terhambatnya gerak vertikal akibat dari pemasangan radio transmiter.

Gambar 19 Salah satu sampel katak berada di tanah pada siang dan malam hari.

Beberapa penyebab berkurangnya bobot tubuh dengan nilai yang cukup besar diduga karena terhambatnya gerak katak sehingga ini mempengaruhi pergerakannya dalam mencari makanan, hal diatas didukung dengan sebuah pernyataan yaitu penambahan beban pada katak jantan mengakibatkan penurunan frekuensi gerakan secara vertikal dan horizontal (Firdaus 2011).


(43)

Ketidakmampuan katak untuk bergerak secara vertikal akan berdampak pada persaingan pakan (Rahman 2010, Firdaus 2011).

Perolehan data menujukan bahwa penambahan bobot katak juga dapat terjadi seperti halnya yang terjadi pada sampelkatak jantan 2, penambahan bobot katak mencapai nilai sebesar 0,25 gram atau sebesar 4,76% dari bobot tubuhnya. Penurunan dan penambahan bobot katak pada proses pengamatan membuktikan bahwa pemasangan beban berupa radio transmiter tidak mutlak menyebabkan penurunan bobot tubuh selama berat beban masih dalam rasio yang ditentukan yaitu 10% dari bobot tubuh katak.

5.2.3 Penggunaan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer

Katak R. margaritifer yang teramati memulai aktivitasnya pada malam hari, terlihat posisi katak pada malam hari cenderung berada di ruang terbuka. Siang hari katak yang ditemukan pada umumnya sedang tertidur di bawah tajuk pohon, terkadang ditemukan di lipatan daun atau di ketiak daun. Sampel katak betina 2 pernah ditemukan berada tepat diatas daun pisang dan yang berada di tempat terbuka tanpa tutupan tajuk, pada saat itu kondisi cuaca berawan, kondisi ini bahkan terjadi selama tiga hari dimana katak tersebut tidak melakukan perpindahan dari titik tersebut.

Posisi katak jantan terhadap substrat yang ditemukanya sebagian besar diamati berada di atas daun pisang baik itu pada siang hari maupun malam hari, sedangkan substrat katak betina sebagian besar ditemukan di atas daun tepus. Keberadaan katak yang beristirahat atau berada pada substrat daun lebar diduga karena substrat tersebut lebih lembab karena sepanjang pengamatan baik daun pisang atau daun tepus cenderung basah sepanjang malam hingga pagi menjelang siang. Dalam suatu pengamatan pernah ditemukan kasus ada katak jantan yang terletak tepat di dalam air, dugaan penyebab terjadinya hal ini adalah karena katak terjatuh pada saat proses pencarian katak untuk dilakukan pengukuran perubahan bobot katak R.margaritifer.

Keberadaan individu katak sering kali terlihat berkelompok dengan individu jantan lain, pengamatan bulan Mei sampai Juni sering ditemukan katak jantan yang dijadikan sampel berada dekat dengan beberapa individu jantan lainya


(44)

dengan jarak antara 0,4 – 1 m. Pada situasi tertentu ditemukan 4 katak jantan dengan posisi saling berdekatan dengan jarak rata rata 0,5 m di vegetasi tepus.

Kondisi iklim saat pengamatan dilakukan mulai bulan Mei-September merupakan musim kering. Keberadaan katak pada malam hari banyak ditemukan di sepanjang jalur pengamatan, pada kondisi tertentu dimana hujan tidak turun selama 2 minggu (pengamatan bulan Agustus-September) katak R. margaritifer

ditemukan sangat sedikit jumlahnya di sepanjang jalur pengamatan. Pada saat itu hanya sedikit aktivitas katak yang terlihat di jalur pengamatan baik dari jenis R. margaritifer maupun dari individu jenis yang lain.

5.2.4 Kendala selama pengamatan

Beberapa permasalahan ditemukan selama penelitian berlangsung di lapangan, diantaranya yaitu, pada saat pengambilan jenis katak R.margaritifer di lapangan jumlah individu katak jantan lebih banyak daripada katak betina. Hal ini membuat pengamat kesulitan menemukan jumlah sampel yang seimbang antara katak jantan dan betina. Pemasangan radio transmiter pada tubuh katak sedikit sulit karena tubuh katak yang terbilang kecil sehingga pemasangan harus dilakukan dengan sangat hati hati agar tidak melukai tubuh katak. Pencarian katak yang sudah dipasangi alat radio transmiter cukup sulit dilakukan karena kerapatan vegetasi dan tingginya tajuk pohon tempat katak tersebut berada. Keberadaan wisatawan di lokasi penelitian terkadang menggangu pada saat pengambilan data lapangan pada siang hari.


(45)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Individu jantan maupun betina R. margaritifer melakukan pergerakan yang menjauhi titik awal pengamatan. Pergerakan horizontal dan vertikal harian katak jantan cenderung lebih tinggi daripada katak betina

2. Pemasangan beban berupa radio transmiter mempengaruhi perubahan bobot katak akibat terhambatnya gerak vertikal dan horizontalnya. Pengaruh pemasangan radio transmitter tidak selalu menyebabkan penurunan bobot tubuh selama berat beban masih dalam rasio yang ditentukan yaitu 10% dari bobot tubuh katak.

3. R. margaritifer aktif pada malam hari dan cenderung berada di ruang terbuka dengan tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat sedangkan pada siang hari umumnya ditemukan di bawah tajuk pohon, lipatan daun, atau di ketiak daun.

6.2 Saran

1. Jumlah sampel katak betina dan jantan sebaiknya sama agar perbandingan data berimbang

2. Pemasangan radio transmiter dengan menggunakan metode harness

haruslah dilakukan dengan baik dan benar untuk menghindari terjadinya luka pada katak

3. Waktu pengamatan lebih panjang sehingga mendapatkan data yang lebih baik


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Adler FR, Nuernberger B. 1994. Persistence in patchy irregular landscapes.

Theoretical Population Biology 45: 41-75.

[BTNGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2006. Mengenal Jalur Interpretasi objek Wisata Alam Taman Nasional Gunung Gede pangrango. Jakarta: Balai TNGP

Dall AP, Sinsch U. 2001. In search of water: orientation behaviour of dehydrated natterjack toads, Bufo calamita. Animal Behaviour 61: 617-629.

Demers B, Bjorgan LPG, Weatherhead PJ. 2007. Changes in habitat use and movement patterns with body size in black ratsnakes (Elaphe obsoleta)

Herpetologica, 63 (2007): 421–429

Dodd Jr. CK. 1996. Use of Terrestrial Habitats by Amphibians in The Sandhill Uplandsof North-Central Florida. Alytes 14: 42–52

Dole JW. 1965. Summer Movements of Adults Leopard Frog, Rana pipiens Schereber, in Northern Michigan. Ecology. 46 (3): 236-255.

Duellman WE., Trueb L. 1986. Biology of Amphibians. New York: Mc Graw Hill Firdaus A. 2011. Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon

Jawa. [Skripsi[. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Francisco: W.H. Freeman and Company.

Gros A, Poethke HJ, Hovestadt T. 2006. Evolution of local adaptations in dispersal strategies. Oikos 114: 544-552.

Hanski I., Zhang, DY. (1993). Migration, metapopulation dynamics and fugitive co-existence. Journal of Theoretical Biology 163, 491–504

Hodgkison S., Hero JM. 2001. Daily Behaviour and Microhabitat Use of The Waterfall Frogs, Litoria nannotis in Truly Gorge, Eastern Australia.

Journal of Herpetology 35 (1): 116-120

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang-LIPI. Bogor. Kenward R. 1987. Wildlife Radio Tagging. New York: Academic Press.

Kurniati H. 2003. Amphibians and Reptile of Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia (Frog, Lizard and Snake). Cibinong: Puslitbang Biologi LIPI.


(47)

Kusrini MD. 2007. Frogs of Gede Pangrango: a Follow-up Project of For The Conservation of Frogs in West Java Indonesia. Buku 1: Main Report. Technical Report Submitted to The BP Conservation Programme

Kusrini MD, Fitri A. 2006. Ecology and Conservation of Frogs of mount Salak, West Java, Indonesia. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB

Kusrini MD, Fitri A, Utama A, Nasir DM, Ardiansyah D, Lestari V, Rachmadi R. 2005. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Gede Pangrango National Park. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB

Lemkert F, Brassil T. 2000. Movement and habitat use of the endangered giant barred river for its conservation in timber production forest. Biological Conservation. (96): 177-184

Mech LD, Barber SM. 2002. A Critique of Wildlife Radio-Tracking and Its Use in National Park Service : A Report To The US National Park Service. Minnesota: University of Minnesota

Mulia N. 2010. Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Habitat Mikro Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di Taman Nasional gunung gede Pangrango Jawa Barat.[Skripsi[. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

[PHKA] Direktorat jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007. 50 Taman Nasional. Jakarta: Sub direktorat Informasi konservasi Alam.

Rahman LN. 2010. Prefensi Pakan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Richards SJ, Sinsch U., Alford, RA. 1994. Radio Tracking. In: Measuring and Monitoring Biological Diversity. Washington: Smithsonian Institution Press. hlm 155-157.

Rowley JJL, Alford RA. 2007a. Techniques for tracking amphibians: The effects of Tag Attachment,and Harmonic Direction Finding Versus Radio Telemetry. Amphibia Reptilia 28:367-376.

Rowley JJL, Alford RA. 2007b. Movement patterns and habitat use of rainforest stream frogs in northern Queensland, Australia: implications for extinction vulnerability. Wildlife Research 34: 371-378.

Rowley JJL, Alford RA. 2009c. Movement and Habitat Use of the Endangered Australian Frog Nyctimystes dayi. Herpetological Review 40(1): 29-32.


(48)

Schlegel H. 1837. Abbildungen neuer oder unvollständig bekannter Amphibien, nach der Natur oder dem Leben entworfen, herausgegeben und mit einem erläuternden Texte begleitet. Part 1. Düsseldorf: Arnz & Co.. http://research.amnh.org/vz/herpetology/amphibia/?action=bib&id=4246 [1 Agustus 2012]

Schwarzkopf L, Alford RA. 2002. Nomadic Movement in Tropical Toads. Oikos

96: 492-506

Sellers B. 2000. Studying Animal Movement, A lecture moduls for the Physics in Life-Sciences .Edinburgh: university of Edinburgh

Sholihat N. 2007. Pola pergerakan Harian dan penggunaan ruang Katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Dramaga. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Stebbins RC, Cohen NW. 1995. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton University Press.

Tood BD, Winne CT. 2006. Ontogenetic and interspecific variation in timing of movement and responses to climatic fctors during migrations by pond-bredding amphibians. Can.J.Zool 84: 715-722

Wells KD. 2007. The Ecology and Behavior of Amphibians. Chicago: The University of Chicago Press

White GC, Garrott RA. 1990. Analysis of Wildlife Radio-Tracking Data. San Diego: Academic Press.

Widada 2008. Mendukung pengelolaan Taman Nasional yang Efektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera. Jakarta: Ditjen PHK-JICA.

Ward DH, Flint PL. 1995. Effects of harness-attached transmitters on premigration and reproduction of Brant. J. Wildl. Manage 59(1):39-46. Wilbur HM. 1980. Complex Life Cycles. Annual Review of Ecological and


(49)

(50)

Lampiran 1 Hasil penghitungan chi kuadrat berdasakan nilai alur kelurusan

Total pergerakan jantan betina total

≤ 0.5 m 4 0 4

≥ 0.5 m 4 3 7

total 8 3 11

Ho : Pola pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan Ha : Pola pergerakan jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan

Derajat kebebasan: (2-1) = 1

Taraf kesalahan yang diggunakan 5%

X2 hitung = 0.124+3.986+1.347+0.189 = 5.646 X2 tabel = 3.841

Karena X2 hitung > X2 tabel yaitu 5.646 > 3.841 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan.

A O = 4

E= (8X4):11=2.9

B O = 0

E= (8X4):11=2.9 C

O = 4

E= (3X7):11=1.9

D O = 3

E= (3X7):11=1.9

A

[(4-2.9)-0.5]2/2.9=0.124

B

[(0-2.9)-0.5]2/2.9=3.986 C

[(4-1.9)-0.5]2/1.9=1.347

D


(51)

Lampiran 2 Uji perbedaan waktu terhadap rata-rata posisi katak dari badan air

Kruskal-Wallis Test

Ranks

kategori_

waktu N Mean Rank

horizontal malam 52 57.10

siang 58 54.07

Total 110

vertikal malam 54 59.99

siang 59 54.26

Total 113

Test Statisticsa,b

horizontal vertikal

Chi-Square .247 .863

df 1 1

Asymp. Sig. .619 .353

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: kategori_waktu

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

horizontal 110 .00 13.92 3.9501 3.28236

vertikal 113 .33 9.30 3.9620 2.22671


(52)

Lampiran 3 Uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air

Kruskal-Wallis Test

Ranks

ID N Mean Rank

horizontal Betina 37 58.51

Jantan 73 53.97

Total 110

vertikal Betina 37 64.47

Jantan 76 53.36

Total 113

Test Statisticsa,b

horizontal Vertikal

Chi-Square .498 2.865

df 1 1

Asymp. Sig. .480 .091

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: ID

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

horizontal 110 .00 13.92 3.9501 3.28236

vertikal 113 .33 9.30 3.9620 2.22671


(53)

Lampiran 4

Hasil penghitungan alur kelurusan R.margaritifer

Individu Jarak lurus (m) Jarak Tempuh (m) Nilai alur kelurusan

selama 8 hari

Betina 1 16.25 23.03 0.71

Betina 2 8 9.99 0.80

Betina 3 12.1 17.8 0.68

Jantan 1 18 20.83 0.86

Jantan 2 13.4 33.72 0.40

Jantan 3 3 13.83 0.22

Jantan 4 4.4 13.55 0.32

Jantan 5 18.6 31.64 0.59

Jantan 6 4.8 8.35 0.57

Jantan 7 10.8 23.06 0.47


(54)

(1)

(2)

Lampiran 1 Hasil penghitungan chi kuadrat berdasakan nilai alur kelurusan

Total pergerakan

jantan

betina

total

≤ 0.5 m

4

0

4

≥ 0.5 m

4

3

7

total

8

3

11

Ho : Pola pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan

Ha : Pola pergerakan jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan

Derajat kebebasan: (2-1) = 1

Taraf kesalahan yang diggunakan 5%

X

2

hitung = 0.124+3.986+1.347+0.189 = 5.646

X

2

tabel = 3.841

Karena X2 hitung > X2 tabel yaitu 5.646 > 3.841 maka Ho ditolak dan Ha

diterima, artinya bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina menjauhi titik

awal pengamatan.

A

O = 4

E= (8X4):11=2.9

B

O = 0

E= (8X4):11=2.9

C

O = 4

E= (3X7):11=1.9

D

O = 3

E= (3X7):11=1.9

A

[(4-2.9)-0.5]

2

/2.9=0.124

B

[(0-2.9)-0.5]

2

/2.9=3.986

C

[(4-1.9)-0.5]

2

/1.9=1.347

D


(3)

Lampiran 2 Uji perbedaan waktu terhadap rata-rata posisi katak dari badan

air

Kruskal-Wallis Test

Ranks

kategori_

waktu N Mean Rank horizontal malam 52 57.10

siang 58 54.07 Total 110

vertikal malam 54 59.99 siang 59 54.26 Total 113

Test Statisticsa,b

horizontal vertikal Chi-Square .247 .863 df 1 1 Asymp. Sig. .619 .353 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: kategori_waktu

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation horizontal 110 .00 13.92 3.9501 3.28236 vertikal 113 .33 9.30 3.9620 2.22671 Valid N (listwise) 110


(4)

Lampiran 3 Uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan

air

Kruskal-Wallis Test

Ranks

ID N Mean Rank horizontal Betina 37 58.51

Jantan 73 53.97 Total 110

vertikal Betina 37 64.47 Jantan 76 53.36 Total 113

Test Statisticsa,b

horizontal Vertikal Chi-Square .498 2.865 df 1 1 Asymp. Sig. .480 .091 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: ID

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation horizontal 110 .00 13.92 3.9501 3.28236 vertikal 113 .33 9.30 3.9620 2.22671


(5)

Lampiran 4

Hasil penghitungan alur kelurusan

R.

margaritifer

Individu

Jarak lurus (m)

Jarak Tempuh (m)

Nilai alur kelurusan

selama 8 hari

Betina 1

16.25

23.03

0.71

Betina 2

8

9.99

0.80

Betina 3

12.1

17.8

0.68

Jantan 1

18

20.83

0.86

Jantan 2

13.4

33.72

0.40

Jantan 3

3

13.83

0.22

Jantan 4

4.4

13.55

0.32

Jantan 5

18.6

31.64

0.59

Jantan 6

4.8

8.35

0.57

Jantan 7

10.8

23.06

0.47


(6)