Perilaku Berbiak Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer, Schlegel, 1837) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat

(1)

1.1 Latar Belakang

Rhacophorus merupakan salah satu marga dari famili Rhacophoridae yang tersebar di Afrika, Madagaskar, Asia Tenggara, dan Jepang (Hödl 2000). Di Indonesia khususnya Pulau Jawa hanya terdapat dua jenis katak pohon sejati yaitu Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reinwardtii (Iskandar 1998). Katak pohon Jawa (R. margaritifer) termasuk jenis yang jarang ditemui dan pada tahun 2004 masuk daftar IUCN sebagai jenis Vulnerable (rentan). Meningkatnya penemuan R. margaritifer oleh para peneliti di daerah Pulau Jawa membuat statusnya diturunkan menjadi Least concern (beresiko rendah) (IUCN 2010).

Penyebaran populasi katak pohon Jawa hanya berada di Pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (Frost 2009). Di Jawa Barat, lokasi penyebaran yang diketahui saat ini adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Iskandar 1998, Kurniati 2003).

Aktivitas katak sangat menarik untuk diamati terutama interaksi antar individu. Aktivitas ini membentuk perilaku sosial yaitu perilaku berbiaknya. Menurut Sullivan et al. (2005) perilaku sosial katak yang menjadi pusat aktivitas yaitu perilaku berbiak. Pola berbiak katak terdiri dari dua macam yaitu prolonged breeding (lebih dari satu bulan) and explosive breeding (beberapa hari atau beberapa minggu) yang tergantung pada kondisi iklim tempat hidup katak (Wells 1977).

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa ini dilakukan karena merupakan penelitian pertama yang membahas perilaku berbiak katak pohon Jawa. Dalam penelitian ini, perilaku berbiak katak yang diamati meliputi perilaku bercumbu yang dikarakteristikkan dengan vokalisasi katak jantan, sentuhan antara katak jantan dan katak betina, amplexus (perkawinan) sampai pengeluaran telur. Dengan mengetahui perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat membantu pengelola kawasan dalam penentuan upaya konservasinya.


(2)

1.2 Tujuan

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa memiliki tujuan :

1. Mengetahui karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon Jawa,

2. Mengetahui pemilihan waktu dan tempat berbiak katak pohon Jawa, 3. Mendeskripsikan sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa dimulai

dari pra-kawin sampai dengan paska kawin termasuk hal-hal yang mengganggu proses berbiak,

4. Mendeskripsikan akustik suara katak jantan.

1.3 Manfaat

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat pembuka wawasan, pengetahuan, dan kepedulian untuk mengenal amfibi lebih mendalam terutama untuk menjaga lingkungan agar keberadaan katak pohon Jawa dapat terjaga dan terlindungi. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi pengelola kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar lebih memperhatikan lingkungan dari segi fisik dan tidak melakukan perubahan bentang alam sebagai habitat satwa khususnya tempat berbiak katak pohon Jawa berbiak.


(3)

2.1 Taksonomi

Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili dari Rhacophoridae dan merupakan ordo dari Anura. Di Indonesia, suku Rhacophoridae terbagi ke dalam 5 genus yaitu : Nytixalus (2 jenis), Philautus (17 Jenis), Polypedates (5 Jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis) (Frost 2009). Dari seluruh jenis famili Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di Pulau Jawa, dengan 2 jenis diantaranya berasal dari genus Rhacophorus yaitu Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reindwartii (Iskandar 1998).

2.2 Morfologi

Katak pohon Jawa berukuran kecil sampai sedang dengan tubuh relatif gembung. Jari tangan kira-kira setengah atau dua pertiganya berselaput. Semua jari kaki kecuali jari keempat, berselaput sampai kepiringannya. Pada tumit terdapat tonjolan kulit (Gambar 1a) dan terdapat lipatan kulit (flap) sepanjang pinggir lengan (Gambar 1b) ( Iskandar 1998 & Kurniati 2003).

Gambar 1 Penciri utama katak pohon Jawa. Ket : a) Tonjolan kulit b) Tonjolan pada tumit.

a


(4)

Ukuran katak pohon Jawa sangat tergantung pada jenis kelaminnya. Individu katak jantan biasanya lebih kecil daripada individu katak betina. Berdasarkan beberapa literatur, maka ukuran SVL (Snout Venth Length) yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL katak pohon Jawa di Gunung Halimun Salak, Jawa Barat

Pencacah SVL

Katak jantan Katak betina

Iskandar (1998) <50 mm 50-60 mm

Kurniati (2003) 36 – 45 mm 44 – 68 mm

Kusrini & Fitri (2006) 21,64 mm 39 – 63 mm

2.3 Habitat dan Penyebaran

Menurut Iskandar (1998) katak pohon Jawa biasanya hidup di hutan primer. Jenis ini biasanya hidup di daerah yang berhutan di pegunungan bahkan di hutan yang sudah terganggu. Penyebaran hanya berada di Pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl (Frost 2009). Sampai saat ini, diketahui penyebarannya diketahui hanya terdapat di Pulau Jawa antara lain 2 daerah di Jawa Barat, 1 lokasi di Jawa Tengah, dan 1 daerah di Jawa Timur (IUCN 2009). Lokasi di Jawa Barat yaitu di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Iskandar 1998 & Kurniati 2003).

2.4 Perilaku Berbiak Amfibi

Menurut Duellman dan Trueb (1994), amfibi memiliki perilaku umum yaitu perilaku makan, perilaku berbiak, perilaku bersuara, dan perilaku bersosial. Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. Keberhasilan berbiak tergantung dari pemilihan pasangan, pemilihan lokasi berbiak, fertilisasi telur, dan perkembangan telur dan individu muda.

Perkembangan strategi berbiak tergantung dari pemilihan jodoh dan lokasi berbiak, percumbuan, keberhasilan perjodohan, dan perkembangan telur. Menurut Goin et al. (1978) dan Hödl (2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara. Sebagai contoh, pada penelitian jenis Rhacophorus malabaricus di India katak akan memanggil dengan


(5)

mengeluarkan suaranya setelah hujan ketiga atau keempat pada awal musim hujan (Kadadevaru & Kanamadi 2000).

2.4.1 Perilaku percumbuan

Menurut Duellman dan Trueb (1994), perilaku percumbuan ordo Anura dimulai dengan katak jantan mencari perhatian katak betina dengan menggunakan panggilan suara. Perilaku percumbuan merupakan suatu hal penting dalam aktivitas berbiak, karena dapat menstimulasi individu lain utuk melakukan aktivitas seksual (Goin dan Goin1971).

Menurut Duellman dan Treub (1994), suara yang dikeluarkan oleh Anura terbagi atas :

a. Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk berbiak. Suara yang dikeluarkan oleh individu katak jantan yang memiliki dua fungsi yaitu untuk menarik perhatian katak betina dan menyatakan keberadaan individu katak jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam advertisement call, yaitu :

1) Courtship call: dihasilkan oleh katak jantan untuk menarik perhatian katak betina

2) Teritorial call: dihasilkan oleh katak jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call katak jantan lainnya pada intensitas yang di ambang batas

3) Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu katak jantan untuk menarik perhatian katak betina

b. Reciprocation call: dihasilkan oleh katak betina sebagai tanggapan terhadap suara (Advertisement call) yang dikeluarkan katak jantan.

c. Release call: suara yang merupakan sinyal untuk melakukan atau menolak amplexus yang dikeluarkan oleh individu katak jantan atau katak betina.

d. Distress call: suara yang sangat pelan yang dikeluarkan oleh individu katak jantan dan katak betina sebagai respon terhadap gangguan.

2.4.2 Perilaku berbiak

Pada umumnya katak melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi berlangsung secara eksternal. Perkawinan pada katak disebut sebagai amplexus


(6)

dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman dan Treub 1994). Posisi amplexus dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Beberapa tipe amplexus. Ket :a) Inguinal b) Axilary c) Cephalic d) Straddle e) Glued f) Independent (Sumber Gambar : Duellman

dan Trueb 1994).

Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe amplexus yang umum terjadi pada anura yaitu:

a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan.

b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan

c. Cephalic: kaki depan katak jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina

d. Straddle: kaki katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina

e. Glued: kaki katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing

f. Independent: kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan.

2.4.3 Perilaku bersarang

Pembuatan sarang dan peletakan telur berkaitan dengan proses pengeringan, pemangsa, dan cahaya matahari (Hofrichter 2000). Menurut Goin et al. (1987), penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam. Telur dapat

e f

d

c b


(7)

diletakkan di tempat terbuka, berada di atas air, di air yang mengalir, di bawah batu atau kayu lapuk, dan di lubang atau di daun yang di bawahnya terdapat air menggenang.

Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe peletakan telur, yaitu : a. Aquatic oviposition : telur terlindungi oleh gell yang dapat ditembus oleh

sperma, diletakkan di permukaan air, dasar air, serasah di dalam air, tumbuhan air, dan di sela-sela bebatuan.

b. Arboreal oviposition : telur diletakkan pada dedaunan, batang, maupun pada tumbuhan mati dan selanjutnya terbawa oleh air hujan dan terlarutkan pada suatu genangan air.

c. Foam-nest construction : telur diletakkan pada busa yang dibuat dari hasil aktivitas setelah amplexus dengan gerakan kaki katak betina. Peletakan sarang berada di dekat perairan, di atas perairan, maupun lokasi yang sering di aliri air. Beberapa jenis amphibi seperti Gastrotheca walkeri, peletakan telur adalah di tubuh katak betina. Setelah telur dikeluarkan dan dibuahi telur dimasukkan ke dalam kantung yang berada pada tubuh katak betina. Pada jenis Flectonotus goeldii dan Epipedobates tricolor telur diletakkan di atas punggung katak betina dan pada jenis Rheobatrachus silus telur katak yang telah dibuahi dimasukan ke dalam mulutnya selama enam sampai tujuh bulan sampai telur berubah menjadi katak muda (Hödl 2000). Laporan mengenai peletakan telur katak di Indonesia antara lain dilaporkan oleh Yazid (2006) dan Irawan (2008).

Menurut Yazid (2006), telur Rhacophorus reindwardtii di Kampus IPB Dramaga diletakkan pada dua tempat yaitu 1) di daun di atas pohon (merupakan hal yang umum); 2) di antara serasah dan rumput kemudian ditutupi dedaunan kering yang ada di sekitarnya. Jika hujan deras, telur yang sudah bekembang menjadi berudu jatuh ke air atau terbawa oleh aliran air hujan menuju ke dalam parit. Sementara itu, menurut Irawan (2008), telur katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) ditemukan menempel pada pinggiran genangan air atau di antara tetumbuhan di atas genangan air.


(8)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk mengetahui konsentrasi katak, lokasi berbiak, dan waktu berbiak. Pengambilan data perilaku berbiak dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai November 2009. Pengamatan dilakukan secara terkonsentrasi di jalur Cibodas, mulai dari kantor Cibodas (jalur Ciwalen) sampai air terjun Cibeureum. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta jalur wisata kawasan air terjun Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta: Gambar TNGGP 2009). Pengamatan pendahuluan menunjukkan keberadaan katak pohon Jawa pada sepanjang jalur wisata dari HM 0 (jalur Ciwalen) sampai HM 28 (air terjun Cibeureum) (Gambar 3). Pada HM 0, penemuan katak pohon Jawa berada pada lokasi pinggiran sungai kecil yang berbatasan dengan Kebun Raya Cibodas. Dari HM 0 sampai pada HM 28, katak pohon Jawa masih dapat ditemukan di pinggiran sungai maupun kolam-kolam. Dari pengamatan pendahuluan, ditemukan 12 lokasi yang ideal untuk dijadikan sebagai lokasi pengamatan perilaku berbiak katak


(9)

pohon Jawa. Lokasi pengamatan tersebar pada beberapa lokasi di HM 1, HM 25, HM 26, dan HM 28.

Lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe habitat yaitu kolam, aliran sungai dan air terjun. Kolam yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kolam periodik yang keberadaan airnya tergantung dari limpahan air hujan. Keberadaan kolam ini cukup melimpah pada jalur wisata Cibeureum, namun yang cocok untuk habitat katak pohon Jawahanya terdapat dua lokasi yaitu kolam di HM 26 dan kolam di belakang resort. Kondisi air yang tidak mengalir menjadikan kolam ini tenang dan sedikit terjadi gerakan air. Kondisi ini juga mengakibatkan pendangkalan karena terdapat serasah yang menumpuk dan endapan lumpur.

Tipe habitat aliran sungai sangat banyak dijumpai pada jalur ini, karena sumber air yang berasal dari tiga air terjun utama menyebar hampir ke seluruh lokasi jalur. Kondisi ini membuat debit air mengecil dengan aliran air yang berbeda. Aliran air relatif memiliki perbedaan jumlah air yang masuk dari cabang aliran air. Kondisi dasar perairan terdiri dari serasah, lumpur, batu, dan pasir. Tipe habitat air terjun terpusat pada ketiga air terjun yaitu air terjun Cibeureum, Cidendeng, dan Cikundul.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk mengambil data SVL yaitu : kantung plastik, jangka sorong, dan timbangan. Sedangkan untuk keadaan lapang digunakan termometer suhu dan dry wet , termometer tembak Raytek, walking stick, meteran gulung, tali plastik, kamera digital, pH meter, pengatur waktu / stop watch, dan bola ping pong. Alat yang digunakan untuk mengambil data suara yaitu perekam suara digital EDIROL R-09 by Roland, Microphone Sennheiser ME 67 dan Earphone Philips SHP 2500. Alat yang digunakan untuk membuat simulasi katak berbiak yaitu kantung plastik besar, plastik trash bag bening, dan tali plastik. Bahan yang digunakan yaitu katak pohon Jawa katak jantan dan katak betina.

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Data primer

Data diambil langsung pada beberapa lokasi yang telah ditentukan selama penelitian pendahuluan. Pengambilan data perilaku dan lingkungan dilakukan di


(10)

sepanjang jalur HM 0 sampai HM 28. Pengambilan data dipusatkan di air terjun Cibeureum dan Cikundul, sedangkan pengambilan akustik suara katak dilakukan di rawa Gayonggong.

Data primer yang diambil meliputi beberapa hal sebagai berikut : a. Karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon Jawa

Pada saat pengamatan, dilakukan penghitungan perjumpaan jumlah katak berbiak yang meliputi jumlah katak jantan dan katak betina yang sedang melakukan aktivitas berbiak dalam satu kelompok, dan jumlah pasangan yang berhasil melakukan proses berbiak. Pencatatan meliputi jumlah katak jantan bersuara dan katak betina yang berada di sekitar katak jantan serta jumlah pasangan yang berhasil melakukan perkawinan. Untuk mengetahui musim berbiak, dilakukan pengamatan setiap bulan selama 7 sampai 14 malam pengamatan per bulan kecuali pada bulan Januari dan Februari, dengan total pengamatan 93 hari. Pengukuran morfologi katak berbiak dilakukan saat proses berbiak selesai. Katak jantan dan katak betina yang amplexus ditangkap dan diukur SVL, berat, dan kecacatan. Pengukuran SVL menggunakan caliper, berat diukur dengan timbangan.

b. Pemilihan waktu dan tempat berbiak katak

Pengamatan aktivitas katak dimulai dari katak mengeluarkan suara pertama kali sampai katak tidak beraktivitas lagi. Pengamatan dimulai pada jam 18.00 WIB yaitu pada saat hari mulai gelap dan suhu turun. Jam 18.00 WIBsampai 19.00 WIB dilakukan pengamatan terhadap seluruh lokasi dan pemilihan kosentrasi katak berkumpul dilakukan saat itu juga. Pengamatan perilaku dilakukan selang 2 jam pada jam 19:00 WIB yaitu dengan pengambilan data perilaku dan kondisi lingkungan. Pengukuran terhadap faktor-faktor fisik dan biotik lingkungan yaitu pengambilan data tipe vegetasi, posisi horizontal katak terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, kelembaban, dan penutupan oleh vegetasi.

c. Sistimatika perilaku berbiak katak

Pengambilan data sistematika perilaku berbiak dilakukan dengan pencatatan seluruh aktivitas yang dilakukan katak dari pra-kawin sampai dengan paska kawin. Durasi setiap aktivitas berbiak diukur dengan menggunakan stopwatch.


(11)

Hanya ada satu pasang katak yang diamati lengkap tanpa perlakuan. Tiga ekor katak diamati dengan membuat terrarium sederhana untuk memetakan urutan kejadian berbiak katak.

Pada pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa dilakukan dengan dua percobaan di dalam terrarium, yaitu dengan kotak yang terbuat dari plastik trashbag bening dan kantung plastik besar. Percobaan pertama dengan kotak plastik bening dengan ukuran 50 cm x 100 cm dilakukan di atas kolam buatan dengan tumbuhan Kecubung di dalamnya. Dinding kotak dibuat dengan plastik bening tersebut dan dipotong dengan ukuran 1 x 1 m2 (Gambar 4). Potongan plastik dihubungkan dengan tali dan membentuk kotak bujur sangkar. Dinding plastik di tanam ke dasar substrat sampai tidak ada celah sehingga katak tidak dapat keluar dari dalam kotak. Untuk memperkuat kotak, setiap ujung kotak dihubungkan dengan tali plastik dan diikatkan pada pasak dan tanaman di sekitarnya. Tanaman kecubung yang berada di dalam kotak merupakan tanaman asli yang hidup di pinggiran kolam. Fungsi tanaman Kecubung adalah untuk tempat meletakkan telur katak yang dihasilkan setelah proses berbiak.

Percobaan kedua dengan menggunakan kantung plastik dan dimasukkan tumbuhan Kecubung (Gambar 5). Kantung plastik berukuran 50 x 100 cm2, diikatkan pada ranting tumbuhan kecubung dan diisi dengan sedikit air. Pemberian air ini diberikan sebagai miniatur tempat katak melakukan proses perkawinan. Daun kecubung diatur dengan posisi telungkup sebagai tempat katak hinggap dan meletakkan sarang.

Percobaan dengan kedua kantung ini berlangsung selama 2 hari yaitu dengan pertimbangan kondisi fisik katak. Katak yang dimasukkan ke dalam terrarium percobaan adalah katak yang siap berbiak, dan dimasukan pada pukul 16.00 WIB dan di keluarkan pada pukul 07.00 WIB. Pada terrarium kantung plastik, udara diganti pada saat pagi hari, yaitu pada saat katak berhenti beraktivitas.


(12)

Gambar 4. Sketsa terrarium dengan bentuk kotak.


(13)

d. Akustik suara katak jantan

Pengambilan suara direkam dengan alat perekam digital EDIROL R-09 selama 30 menit sebanyak 5 kali. Perekam diletakkan pada lokasi terdekat dengan katak untuk mendapatkan tipe-tipe frekuensi suara yang dikeluarkan katak. Pada saat perekaman dilakukan pencatatan lokasi perekaman, tanggal perekaman, cuaca pada saat perekaman, jam perekaman, dan suhu perekaman.

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder didapatkan melalui studi literatur, meliputi a) Kondisi umum lokasi penelitian yang didapat dari laporan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango; b) Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Pacet yang meliputi data curah hujan dan kelembaban dari tahun 2005 sampai 2009.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dalam bentuk grafik untuk menjelaskan hubungan antara parameter yang telah ditentukan. Data suara yang didapatkan dianalisa dengan menggunakan software Adobe Audition 1.5 untuk menghilangkan noise suara, Spectrogram_v15.3 untuk mengetahui panjang gelombang yang dikeluarkan dan Sound Ruler Accoustic Analysis untuk memaparkan hasil rekaman dengan bentuk oscillogram.


(14)

4.1 Letak dan Luas Kawasan

Secara geografi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak antara 106°51’ – 107°02’ BT dan 6°51’ LS (Gambar 5). TNGGP pada awalnya memiliki luas 15.196 ha dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 ha), Sukabumi (6.781,98 ha) dan Bogor (4.514,73 ha), saat ini sesuai SK Menhut No. 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 ha. Sesuai ketentuan pasal 32 dan 33 dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, maka zonasi di TNGGP terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba (6.848,30 ha) dan zona pemanfaatan (948,7 ha).

Gambar 6 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta : TNGGP 2009).

Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas kawasan ini adalah (TNGGP 1995) :

Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi


(15)

4.2 Iklim

Kawasan TNGGP memiliki jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan jumlah bulan kering <2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNGGP masuk ke dalam tipe iklim B1 dimana curah hujan bulanan 200 mm dengan nilai Q berkisar antara 11,3-33,3%. Kelembaban berkisar antara 80-90% sepanjang tahun (TNGGP 2009).

4.2.1 Suhu

Keadaan suhu di lokasi penelitian yang diambil dari data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Pacet menunjukkan kondisi suhu terendah terjadi pada bulan Juni 2006 dengan suhu 19,4 oC. Suhu terendah sepanjang tahun 2009 terjadi pada bulan Januari dengan rata – rata 20 oC. Rata-rata suhu bulanan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 dengan suhu mencapai 21,9 oC. Suhu bulanan terendah tiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2009 terjadi antara bulan Juni sampai Agustus, sedangkan suhu bulanan tertinggi terjadi pada bulan September sampai bulan November. Grafik suhu bulanan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik rata-rata suhu bulanan selama 5 tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).

4.2.2 Curah hujan

Pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terjadi hujan sepanjang tahun yang terlihat pada grafik curah hujan dari tahun 2005 sampai 2009 (Gambar 8). Bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September dan bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan April. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Maret dengan curah hujan tertinggi mencapai 616 mm. Puncak


(16)

musim kering terjadi pada bulan Agustus dimana curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm bahkan pada tahun 2008 tidak ada hujan sama sekali.

Gambar 8 Grafik rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).

4.3 Bentang Alam Lokasi Penelitian di Kawasan TNGGP

Lokasi penelitian berada tepat pada jalur wisata menuju air terjun Cibeureum dan satu daerah pada jalur air terjun Ciwalen. Kondisi lokasi penelitian juga ditentukan oleh adanya jalur tapak wisata yang memotong hampir sebagian besar lokasi pengamatan. Jalur wisata terbagi atas 28 batas dengan satuan HM (hektometer) dihubungkan dengan tapak jalur wisata. Penggunaan satuan HM ini berdasarkan jarak datar pada peta yang artinya jarak datar yang ditempuh untuk mencapai air terjun Cibeureum adalah 2800 meter. Kondisi kemiringan yang mencapai 45o menjadikan panjang jalur ± 6 km.

Gambar 9a menunjukkan air terjun Cibereum yang menjadi tujuan wisata, namun terdapat juga air terjun Cikundul yang jarang di datangi pengunjung untuk berwisata (Gambar 9 b). Pada HM 22 terdapat bekas kawah lama gunung Gede dan ditumbuhi oleh rumput Gayonggong, sehingga lokasi ini diberi nama rawa Gayonggong. Lokasi ini di belah oleh jembatan kayu sepanjang ±400 m, berbahan kayu dan beton (Gambar 9 e). Pada HM 25 juga terdapat jembatan kayu sepanjang ±300 m yang di aliri oleh sungai kecil di bawah jembatan (Gambar 9 d). Gambar 8c merupakan lokasi penelitian yang berada di belakang resort Mandala Wangi.

Ketinggian lokasi penelitian pada HM 0 yaitu 1000 mdpl dan 1600 mdpl pada air terjun Cibeureum. Kondisi ketinggian ini menunjukkan bahwa lokasi ini termasuk dalam zona sub-montana, dengan kondisi hutan yang rapat dengan semak yang relatif rapat.


(17)

Gambar 9 Kondisi umum lokasi penelitian di jalur wisata air terjun Cibeureum. Ket : a) Air terjun Cibereum; b) Air terjun Cikundul; c) Kubangan di belakang resort Mandala Wangi; d) Jembatan HM 25; e) Jembatan

rawa Gayonggong.

Beberapa jenis tumbuhan yang ada di sekitar lokasi pengamatan yaitu Congkok (Curculiga caviculata) (Gambar 10 a), Kecubung / Bunga Terompet (Brugmansia suaveolens (Humb & Bonpl. Ex Willd) B) ( Gambar 10 b), dan Babakoan (Eupatorium sordidum Less.) (Gambar 10 c).

Gambar 10 Vegetasi dominan pada seluruh lokasi penelitian. Ket : a) Congkok b) Kecubung c) Babakoan).


(18)

5.1 Hasil

5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak

Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya pejantan siap berbiak dan katak betina mendatangi lokasi berkumpulnya pejantan siap kawin tersebut. Katak pohon Jawa katak jantan memiliki ciri khusus saat melakukan aktivitas berbiak. Ciri ini dimulai dengan aktivitas calling. Pada bagian bawah mulut terdapat selaput yang digunakan katak jantan untuk membuat suara. Katak jantan mengeluarkan suara dimulai pada saat katak melakukan aktivitas menunggu (Gambar 11 a). Katak jantan kemudian mendatangi katak jantan lain untuk melakukan panggilan bersama (Gambar 11 b). Katak jantan saling mengeluarkan suara dengan menggembungkan bagian selaput di bawah mulut yang dapat terlihat pada Gambar 11 c.

Gambar 11 Katak pohon Jawakatak jantan yang sedang melakukan aktivitas berbiak. Ket : a) Katak jantan yang sedang menunggu b) Katak jantan

akan loncat mendekati pejantan lain c) Katak jantan dengan posisi bersuara.

Katak betina mendatangi lokasi berbiak dengan kondisi siap berbiak. Katak betina siap berbiak ditandai dengan perut yang menggembung dan berisi dengan telur-telur yang matang. Kematangan telur ini dapat dilihat dengan menggembungnya bagian pangkal perut. Gambar 12 a menunjukkan katak betina mendatangi lokasi berbiak dengan menyusuri pinggiran sungai. Katak betina siap berbiak mendekati kumpulan pejantan dan menunjukkan bagian pangkal perut


(19)

yang menggembung (Gambar 12 b). Aktivitas katak betina siap berbiak pada saat siang hari dapat diamati pada Gambar 12 c yaitu perut menggembung dan berisi penuh telur.

Gambar 12 Katak betina siap berbiak. Ket : a) Katak betina siap berbiak dari pepohonan b) Katak betina siap berbiak yang menyusuri sungai c)

Katak betina siap berbiak pada saat siang hari.

Pengamatan terhadap pasangan yang melakukan amplexus terlihat dari ukuran katak betina siap berbiak (Gambar 13) yang memiliki ukuran SVL rata-rata 60,55 – 65,65 gram, dengan SD 1,56 dan berat rata-rata 14,50 gram sampai 23,75 gram dengan SD 2,99; sementara katak jantan memiliki SVL rata rata 32,50 mm sampai 45 mm dengan SD 3,46 dan berat rata-rata antara 3,25 gram sampai 5,50 gram dengan SD 0,07 (Tabel 2). Katak betina lebih besar daripada katak jantan ditemukan pada seluruh pasangan yang ditemukan. Katak betina berada di bawah pejantan dengan posisi kaki depan memeluk bagian dada dan kaki belakang berada di pangkal perut.

Gambar 13 Perbandingan pasangan amplexus. Ket : a) Pasangan di sela bebatuan b) Pasangan di ranting c) Pasangan di daun.


(20)

Tabel 2 SVL (Snouth Vent Lenght) dan berat katak yang melakukan amplexus

Pasangan

Katak betina Katak jantan

svl (mm) berat (gram) svl (mm) berat (gram)

p4 64,25 14,50 44,15 5,00

p5 62,35 16,25 40,60 4,25

p6 60,55 18,75 50,85 4,50

p7 61,95 15,00 41,10 4,25

p11 65,65 18,50 46,45 5,50

p12 61,65 18,00 43,00 4,00

p13 62,98 21,00 38,10 3,25

p14 63,42 23,25 41,00 4,25

p15 63,40 23,75 41,18 3,50

p16 64,40 18,50 41,40 3,25

p17 60,85 18,00 41,06 4,00

Aktivitas berbiak ditandai dengan banyaknya katak jantan yang berkumpul dan bersuara, adanya pasangan yang berhasil amplexus, dan keberadaan sarang. Hasil pengamatan selama 9 bulan terdapat frekuensi perjumpaan 271 katak jantan dan 40 katak betina yang melakukan aktivitas berbiak (Gambar 14). Katak jantan berkumpul pada satu lokasi dengan area ±20 m2 dengan kondisi vegetasi dan lokasi yang berbeda. Keberadaan lokasi air menjadi pedoman dalam menentukan titik pertemuan katak jantan dan katak betina. Jumlah katak jantan dan katak betina berkumpul terbanyak terjadi pada bulan Desember seiring dengan awal musim penghujan.

Gambar 14 Grafik frekuensi pertemuan katak jantan dan katak betina selama penelitian (Desember 2008-November 2009 kecuali pada bulan

Januari, Februari, dan Maret). Tanda * menunjukan tidak dilakukan


(21)

5.1.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak

Waktu berbiak diawali dengan peristiwa amplexus sampai pada peristiwa peletakan sarang. Waktu berbiak terjadi pada sepanjang malam dengan intensitas tinggi pada saat mulai terjadi hujan. Pada Gambar 15 diperlihatkan katak jantan yang berkumpul dan melakukan aktivitas calling. Pertemuan katak terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan jumlah katak mencapai 64 ekor dimana 51 ekor sedang bersuara.

Gambar 15 Grafik pertemuan katak jantan berkumpul dan katak jantan bersuara tahun 2009.

Aktivitas amplexus terjadi sebanyak 19 kali selama pengamatan berlangsung. Aktivitas ini dapat dilihat pada Tabel 3 dengan dominansi cuaca gerimis. Penemuan frekuensi amplexus paling banyak ditemukan pada Gayonggong A dengan jumlah katak jantan 3 sampai 5 ekor dengan 1 ekor katak betina (individu katak betina yang berbeda).

Tabel 3 Waktu amplexus di seluruh lokasi penelitian

No Tanggal

Waktu

amplexus

(jam, WIB)

Jumlah katak jantan

Katak jantan bersuara

Jumlah katak betina

Substrat Cuaca

1 24-Des-08 01.03 5 4 1 Congkok Mendung

2 26-Des-08 21.00 3 2 1 Kecubung Gerimis

3 27-Des-08 19.54 2 2 1 Babakoan Gerimis

4 18-Apr-09 19.00 5 5 1 Kecubung Cerah


(22)

No Tanggal Waktu amplexus (jam, WIB) Jumlah katak jantan Katak jantan bersuara Jumlah katak betina

Substrat Cuaca

5 02-Mei-09 19.20 4 4 1 Kecubung Cerah

6 14-Mei-09 21.45 6 1 2 Kecubung Gerimis

7 14-Mei-09 02.30 3 3 2 Kecubung Gerimis

8 14-Mei-09 02.35 4 3 1 Kecubung Gerimis

9 02-Jun-09 18.30 2 1 1 Kecubung Hujan

10 02-Jun-09 21.00 3 3 1 Kecubung Hujan

11 04-Jun-09 20.15 3 2 1 Kecubung Gerimis

12 04-Jun-09 20.45 3 2 1 Kecubung Gerimis

13 04-Jun-09 23.20 3 2 1 Congkok Gerimis

14 06-Jun-09 23.30 3 3 1 Congkok Gerimis

15 06-Jun-09 23.30 3 2 1 Babakoan Gerimis

16 20-Nov-09 19.30 3 3 1 Congkok Gerimis

17 21-Nov-09 19.13 4 3 1 Batu Gerimis

18 24-Nov-09 20.40 7 6 1 Kecubung Cerah

19 24-Nov-09 23.15 7 4 1 Kecubung Cerah

Berdasarkan pengamatan lebih banyak katak melakukan amplexus pada rentang waktu 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Pada rentang jam ini terdapat 12 pasangan amplexus yang menyebar dari jam 18.00 WIB sampai 20.00 WIB dan jam 20.00 WIB sampai 22.00 WIB. Waktu terawal katak melakukan amplexus terjadi pada jam 18.30 WIB dan diakhiri jam 02.35 WIB. . Pertemuan amplexus terendah terjadi pada rentang jam 00.00 WIB sampai jam 02.00 WIB.

Gambar 16 Jumlah dan penyebaran waktu amplexus katak pohon Jawa, berdasarkan pengamatan pada bulan Desember 2008 sampai


(23)

Habitat berbiak katak pohon Jawa terdapat hampir di seluruh jalur pengamatan. Pengamatan pendahuluan pada bulan November sampai bulan Desember 2008 menunjukkan beberapa lokasi berbiak katak pohon Jawa. Aktivitas berbiak berada di sekitar sumber air. Sumber air utama di sepanjang jalur Ciwalen sampai Cibeureum yaitu berasal dari air terjun, dan di dua titik sumber air berasal dari air hujan yang membentuk kolam periodik. Lokasi penelitian terbagi atas 11 lokasi pengamatan berbiak dan 1 lokasi pengamatan suara. Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokan ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Pada gambar 17 menunjukkan lokasi utama katak melakukan proses berbiak.

Gambar 17 Lokasi utama katak pohon Jawa berbiak (Mulia 2009).

Lokasi pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa terbagi menjadi 4 lokasi besar yaitu sebagai berikut :

a. Air terjun Cikundul

Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung Pangrango. Lokasi merupakan daerah dengan kondisi vegetasi yang cukup rapat dan didominasi oleh Kecubung. Substrat dasar perairan berupa pasir, kerikil, batu, dan tanah dan aliran air yang relatif tenang dengan debit 0,10 m3/detik. Kondisi ini dijadikan lokasi katak berbiak karena pada lokasi dijumpai bekas sarang pada


(24)

daun Markisah dan daun Kecubung serta ditemukan berudu katak pohon Jawa. Pada area air terjun Cikundul ini ditemukan tiga lokasi berbiak (Gambar 18).

Gambar 18 Aliran sungai Cikudul. Ket: a) Lokasi Cikundul A; b) Cikundul B; c) Cikundul C.

b. Air terjun Cibereum

Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung Gede. Lokasi pengamatan dengan dominasi bebatuan dan vegetasi dominan oleh tumbuhan Kecubung. Lokasi tersebut merupakan habitat riparian yang merupakan salah satu aliran sungai dari air terjun Cibeureum. Substrat dasar sungai berupa batu, akar, dan kayu dengan debit 0,02 m3/detik. Lokasi ini disinyalir menjadi tempat katak melakukan akivitas perkawinan dengan ditemukannya katak yang sedang berkumpul dan melakukan aktivitas bersuara pada saat pengamatan. Pada lokasi ini juga ditemukan bekas sarang pada tumbuhan Kecubung dan sarang di sela bebatuan serta di temukan berudu di sepanjang aliran sungai. Lokasi ini terbagi menjadi tiga lokasi kecil tempat katak jantan berkumpul dan melakukan aktivitas berbiak yaitu Cibeureum A, Cibeureum B, Cibeureum C, dan Cibeureum D (Gambar 19).

Gambar 19 Aliran sungai Cibeureum. Ket: a) Cibeureum A & Cibeureum B; b) Cibeureum C; c) Cibeureum D.


(25)

c. Rawa Gayonggong

Lokasi ini berada pada HM 25 dan dipotong oleh keberadaan jembatan kayu (Gambar 20 a & Gambar 20 d). Aliran sungai ditemukan di bawah jembatan ini dengan debit 0,03 m3/detik. Kondisi vegetasi didominasi oleh Kecubung yang hidup di sekitar jembatan. Kondisi substrat dasar sungai berupa pasir , tanah, kerikil, dan sampah plastik. Keberadaan bekas sarang, berudu, dan katak yang berkumpul merupakan indikasi bahwa di tempat ini digunakan katak sebagai tempat bagi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak. Pada lokasi ini juga ditemukan dua kolam periodik yang tergenang air pada saat hujan turun (Gambar 20 b & Gambar 20 c).

Gambar 20 Jembatan kayu di HM 25. Ket: a) Gayonggong A; b) Gayonggong B; c) Gayonggong C; d) Gayonggong D.

d. Jalur Ciwalen


(26)

Lokasi ini terdapat di HM 0 dan terdapat kolam periodik sebagai tempat katak berbiak. Lokasi kolam berada di belakang resort Mandala Wangi dengan jumlah air yang berbeda tergantung dari keberadaan air hujan (periodik) (Gambar 21). Pada kolam ini didominasi oleh Kecubung dengan substrat dasar berupa serasah, pasir, tanah, dan kerikil. Pada malam hari ditemukan katak jantan yang sedang berkumpul dan melakukan aktivitas calling, serta ditemukan berudu katak pohon Jawa.

Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokkan ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Kondisi ini didukung oleh parameter yang sesuai bagi katak pohon Jawa untuk melakukan aktivitas perkawinan, yaitu dari jenis vegetasi, kemiringan, pH, kedalaman air, debit, dan substrat (Tabel 4). Pengelompokan ini menunjukkan kesamaan kondisi fisik yang sama yaitu berada pada habitat riparian.

Tabel 4 Kondisi habitat mikrodi lokasi penelitian

No lokas i Nama lokasi Vegetasi dominan

Substrat Kemiringan

(o)

pH Kedalaman (m)

Debit (m3/detik) 1 Cikundul A Kecubung Batu, kerikil,

tanah, akar

3 6 0,21 0,11

2 Cikundul B Kecubung Kerikil, tanah, pasir

3 6 0,16 0,11

3 Cikundul C Babakoan Batu, kerikil, tanah, akar

0 6 - -

4 Cibeureum A

Kecubung Batu, akar, kayu

3 6 0,21 0,02

5 Cibeureum B

Kecubung Lumut, batu, kerikil, pasir

3 6 0,27 0,06

6 Cibeureum C

Kecubung Tanah, pasir, serasah, akar, kayu

5 6 0,08 0,01

7 Cibeureum D

Kecubung Serasah, pasir-

10 6 - -

8 Gayonggong A

Kecubung Tanah,pasir, kerikil, dan sampah plastik

3 6 0,13 0,03

9 Gayonggong B

Congkok Tanah, batu, kayu , serasah, pasir

0 6 0,12 -

10 Gayonggong C

Kecubung Kayu, serasah 3 6 - -

11 Gayonggong D

Kecubung Lumut, pasir, tanah, kayu

0 6 - -

12 Ciwalen Kecubung Serasah, akar, pasir


(27)

5.1.3 Sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa

Pada perilaku berbiak katak pohon Jawa, proses perkawinan dimulai saat pertemuan antara katak jantan dan katak betina yang merupakan proses percumbuan. Katak jantan mengeluarkan suara yang berfungsi untuk menarik perhatian katak betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 224 dari 271 frekuensi katak jantan yang ditemukan melakukan aktivitas bersuara. Urutan berbiak katak pohon Jawa bisa disarikan sebagai berikut: 1) katak jantan memanggil, 2) katak betina merespon panggilan katak jantan, 3) Katak betina memilih katak jantan yang sesuai, 4) Posisi amplexus, 5) pencarian lokasi bersarang, 6) pengeluaran telur, 7) katak berpisah setelah katak jantan membuahi telur yang dikeluarkan katak betina.

Pejantan katak pohon Jawa umumnya mengambil posisi kurang dari 3 m dari permukaan tanah dan melakukan panggilan pada tempat terbuka seperti pada ranting atau cabang tumbuhan (Gambar 22 a). Katak jantan yang berkumpul kemudian saling berpasangan untuk menarik perhatian katak betina (Gambar 22 b). Katak betina datang pada lokasi perkawinan (Gambar 22 c) dan mendekati pejantan.

Suara katak jantan semakin nyaring dan katak betina tertarik untuk mendekati pasangan katak jantan yang paling nyaring dan sesuai dengan keinginan katak betina. Katak betina mendekati katak jantan kemudian katak jantan menaiki tubuh katak betina (amplexus) (Gambar 22 d). Pada posisi amplexus ini katak betina membawa katak jantan untuk masuk ke dalam air sampai waktu tertentu (Gambar 22 e). Pasangan tersebut naik lagi dan mencari daun Kecubung yang sesuai untuk peletakan sarang (Gambar 22 f). Setelah penentuan daun yang akan dipakai untuk sarang, pasangan saling menggerakkan kaki belakang dan menghasilkan busa (foam). Telur keluar beserta sperma katak jantan (Gambar 22 g). Setelah seluruh isi telur pada perut katak betina habis kemudian katak betina menutup sarang. Katak berpisah setelah prosesi selesai. Sarang biasanya diletakkan di atas permukaan daun maupun di bawah permukaan daun (Gambar 22 h).


(28)

Gambar 22 Urutan berbiak katak pohon Jawa. Ket : a) Katak jantan melakukan aktivitas calling b) Katak jantan saling beradu suara c) Katak betina siap berbiak d) Amplexus e) Pasangan memasuki perairan f) Menuju tempat peletakan sarang g) Pembuatan sarang h) Sarang di bawah

daun.

Posisi amplexus katak pohon Jawa adalah axilary. Katak jantan berada di punggung katak betina, kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah perut sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak betina. Kaki depan katak jantan seperti menekan perut katak betina sehingga bagian perut katak betina menggembung ke bawah (Gambar 23).


(29)

Ilustrasi urutan perkawinan disajikan pada contoh pengamatan tanggal 24 Desember 2008 di Cikundul A karena memiliki jumlah katak yang banyak dan sedang bersuara. Terdapat lima katak jantan yang sedang berkumpul dan sedang melakukan aktivitas pemanggilan dengan suara panggilan pendek. Aktivitas ini dimulai pada jam 19.00 WIB dengan suhu udara 16 oC dengan kelembapan relatif 90%. Kondisi kemungkinan terjadi perkawinan didukung dengan kondisi kawasan yang sedang gerimis. Kondisi ini berlangsung hingga jam 00.30 WIB dengan kondisi hujan semakin deras. Pada jam 00.45 WIB hujan berhenti, dan katak kembali melakukan aktivitas suaranya. Pada jam 01.00 WIB datang katak betina. Terjadi perubahan intensitas suara yang semakin sering dan terjadi pengelompokkan penkatak jantan menjadi tiga, dua pasangan dan satu katak jantan. Pejantan yang sendiri tidak melakukan aktivitas suara.

Pejantan yang berpasangan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian katak betina. Pada jam 01.17 WIB katak betina menghampiri seekor pejantan dan terjadilah amplexus. Suhu pejantan 18,8OC dan katak betina 18,8OC. Pasangan amplexus segera meninggalkan kelompok tersebut dan kemudian turun ke aliran sungai. Pasangan tersebut segera masuk ke dalam air sampai jam 02.00 WIB akhirnya naik ke permukaan. Suhu air pada saat itu 17,5OC dan kondisi suhu udara 18OC. Tepatnya pada jam 02.21 WIB pasangan tersebut berpisah. Kondisi ini diawali dengan gerakan katak betina yang agresif membenamkan diri sampai katak jantan melepaskan kaki depan sehingga katak jantan berpisah dari tubuh katak betina.

Kejadian ini berulang beberapa kali pada berbagai lokasi. Untuk mengetahui perilaku lanjutan yang dilakukan katak setelah amplexus dilakukan pengamatan pada terrarium buatan. Data tanggal 14 Mei 2009 (Tabel 5) menunjukan waktu berbusa selama 10 menit, keluar telur 3 jam 17 menit, dan total waktu berbiak 3 jam 40 menit. Demikian pula dengan tiga kejadian berikutnya pada tanggal 4 Juni 2009 terjadi 3 amplexus pada 3 terrarium yang berbeda dengan menghasilkan data total waktu 11 jam 30 menit, 6 jam 13 menit, dan 6 jam 55 menit. Usaha pencarian perilaku berbiak secara alami tetap dilakukan dan tepatnya tanggal 21 November 2009 pada Cibeureum D ditemukan kejadian katak bersarang di antara


(30)

bebatuan di atas kolam. Terdapat 3 sarang dalam jarak ± 1 meter. Hal ini membuat pengamatan terfokus pada lokasi tersebut.

Pada jam 18.00 WIB dilakukan survey pada lokasi tersebut dan hanya ditemukan 4 katak jantan dan hanya 1 katak jantan yang bersuara. Pengamatan dilakukan terus menerus untuk memantau kedatangan katak betina. Pada jam 18.43 WIB katak betina datang dari arah air terjun. Katak betina langsung melompat ke dalam kolam dan kemudian menghampiri kumpulan pejantan. Pada jam 19.13 WIB, terjadi amplexus. Kondisi lokasi yang relatif basah (walau tidak ada hujan karena berdekatan dengan air terjun) membuat bebatuan menjadi basah dan lembab. Pejantan lain terus melakukan panggilan namun pada jam 19.26 WIB pasangan amplexus masuk ke kolam dan naik lagi pada jam 19.32 WIB. Katak naik ke celah bebatuan dan segera membuat busa. Busa keluar tepat pada jam 19.37 WIB dan telur pertama keluar pada jam 19.43 WIB hingga menutup sarang pada jam 20.10 WIB. Katak berpisah pada jam 20.20 WIB dengan katak jantan meloncat dari punggung katak betina dan segera katak betina meninggalkan lokasi bersarang. Total waktu yang digunakan katak untuk berbiak hanya 1 jam 13 menit.

Pengamatan waktu berbiak katak pohon Jawa dapat dilihat pada tabel 5 yang menunjukkan pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa. Katak pohon Jawa melakukan aktivitasnya pada jam 18.00 WIB atau pada saat matahari tenggelam. Aktivitas berbiak katak dimulai pada saat katak melakukan aktivitas calling dengan lama 30 menit sampai 8 jam 30 menit. Aktivitas amplexus dimulai saat katak jantan menaiki tubuh katak betina. Katak betina membawa katak jantan di punggungnya dan menuju lokasi bersarang. Lama waktu mencari lokasi sarang ini terjadi 53 menit sampai 8 jam 30 menit. Lamanya waktu pencarian tergantung kecocokan terhadap peletakan sarang.

Aktivitas pembuatan sarang dimulai pada saat katak betina telah menetukan lokasi bersarang dan mulai melakukan serangkaian gerakan sampai terbentuk busa. Busa terbentuk setelah kaki belakang dan katak betina digosokkan pada bagian punggung katak betina selama 6 sampai 28 menit. Proses keluarnya telur terjadi setelah setengah bagian busa dibentuk. Telur dikeluarkan melalui anus katak betina, ditarik dan diletakkan ke dalam busa. Busa ditutup setelah proses


(31)

pengeluaran telur dan sperma selesai. Sarang ditutup dengan busa dan dibentuk membulat. Proses berbiak katak pohon Jawa terjadi 1 jam 13 menit sampai 11 jam 30 menit.

Tabel 5 Pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa dimulai dari jam 18.00 WIB

Tanggal Durasi (jam : menit) Total

waktu (jam : menit)

Total waktu tanpa calling (jam : menit) Calling Amplexus Bertelur Menutup

sarang Berbusa keluar

telur Pengamatan di dalam terrarium

14-05-09 8:30 0:53 0:10 3:17 0:20 12:10 3:40

04-06-09 2:15 8:30 0:13 1:20 0:17 13:45 11:30

04-06-09 2:45 2:35 0:28 2:52 0:18 8:58 6:13

04-06-09 5:20 3:30 0:25 2:33 0:27 3:36 6:55

06-06-09 5:30 6:30 Jam 06.00 WIB berpisah

06-06-09 5:30 6:30 Jam 06.00 WIB berpisah

Pengamatan di alam

21-11-09 0:43 0:30 0:06 0:27 0:10 1:56 1:13

24-12-08 7:03 1:17 Jam 02.21WIB berpisah

26-12-08 3:00 1:00 Jam 22.00 WIB hilang

27-12-08 1:54 0:22 Jam 20.16 WIB hilang

18-04-09 1:20 5:15 Jam 00.35 WIB hilang

02-05-09 1:00 3:15 Jam 10.15 WIB hilang

14-05-09 3:45 1:45 Jam 23.30 WIB hilang

14-05-09 8:30 1:30 Jam 04.00 WIB berpisah

02-06-09 0:30 1:50 Jam 20.20 WIB berpisah

02-06-09 3:00 4:00 Jam 01.00 WIB berpisah

20-11-09 0:45 0:45 Jam 21.30 WIB berpisah

24-11-09 2:20 0:20 Jam 22.25 WIB hilang

24-11-09 5:25 0:45 Jam 01.15 WIB hilang

Keterangan : warna merah = aktivitas pengamatan direkam penuh

Sarang yang dibuat terdiri dari dua jenis yaitu sarang di daun dan sarang di batu. Adapun perbedaan kedua jenis sarang ini dapat dilihat di bawah ini:

a. Sarang di daun

Kecubung (Brugmansia suaveolens) mendominasi hampir dikeseluruhan lokasi penelitian. Peletakan sarang lebih banyak di tumbuhan Kecubung walaupun juga ditemukan pada jenis tumbuhan lain seperti Babakoan (Eupatorium sordidum) dan Congkok (Curculiga caviculata). Ketiga tumbuhan ini terdapat di seluruh lokasi penelitian. Habitat tumbuhan ini berada pada pinggir kolam atau pinggiran aliran sungai.

Peletakan sarang di daun dapat dilakukan pada permukaan daun atau di bawah daun. Sarang lebih banyak ditempatkan di permukaan daun Kecubung, namun ada juga sarang yang diletakkan pada bawah permukaan daun seperti yang ditemukan pada Cikundul A yaitu sarang menggantung dibawah daun, dan


(32)

kondisi daun tidak menutup. Sarang jatuh ke air dengan kondisi daun tetap utuh tanpa ada perubahan fisik daun. Ilustrasi kondisi peletakan sarang digambarkan pada Gambar 24.

Gambar 24 Sketsa peletakan sarang di daun Kecubung.

Peletakan sarang di daun Babakoan cenderung berada di bawah permukaan daun, namun ada juga yang berada di permukaan daun (Gambar 25 c). Setelah sarang jadi, daun menutup dan membentuk corong. Kondisi daun yang dipilih ialah daun tua karena setelah beberapa hari daun akan rontok dan membawa berudu jatuh ke air. Sarang pada tumbuhan Congkok jarang ditemui. Peletakan sarang pada tumbuhan ini hanya di temukan pada Gayonggong A. Kondisi vegetasi di sekitar kolam memang banyak ditumbuhi Congkok. Sarang diletakkan pada bawah permukaan daun karena bentuk daun yang membulat ke dalam (gambar 25 b).

Gambar 25 Peletakan sarang di daun. Ket : a) Sarang di balik daun Kecubung b) Sarang pada daun Congkok c) Sarang pada daun Babakoan.


(33)

b. Sarang di Sela Bebatuan

Peletakan sarang di bawah bebatuan sangat jarang terjadi. Peristiwa ini hanya terjadi pada satu lokasi yaitu lokasi Cibeureum C. Keadaan sarang di celah bebatuan ditemukan pada lokasi ini dengan kondisi habitat yang dipenuhi oleh bebatuan. Sebelum bulan Agustus 2008 kondisi sekitar kolam masih terdapat beberapa tumbuhan Kecubung dan Congkok.

Pada pengamatan bulan Desember 2008 ditemukan bekas sarang. Pada awal bulan Agustus diadakan pembersihan lingkungan pada jalur wisata air terjun Cibeureum. Kondisi sekitar kolam menjadi kering (bulan Agustus merupakan bulan kering) sehingga tumbuhan Kecubung dan Congkok tidak tumbuh lagi. Sampai pada bulan November yang merupakan awal musim penghujan ditemukan lokasi sarang di bawah bebatuan. Sarang berada tepat pada aliran air yang menyelinap di antara bebatuan (Gambar 26). Kondisi sekitar sarang juga terdapat sedikit rumput kering dan ranting pohon.

Gambar 26 Sketsa peletakan sarang di sela bebatuan.

Sarang yang ditemukan pada tanggal 20 November 2009 jam 15.00 WIB sebanyak 5 sarang. Namun pada saat jam 18.00 WIB dilakukan pengamatan lagi, sarang tersisa 3 buah, diduga sarang telah dirusak oleh hewan lain. Kondisi ini diperbaiki lagi oleh katak dengan melakukan perkawinan lagi dan meletakkan sarang di tempat sarang lama. Peletakan sarang kembali ini dapat menjadi indikasi bahwa katak akan kembali ke tempat semula meletakkan sarang (Gambar 27).


(34)

Gambar 27 Sarang di sela bebatuan.

Dalam peristiwa perkembangbiakan terjadi gangguan yaitu berupa gangguan pada katak betina yang sedang diteliti dengan metode pergerakan spool track (Gambar 28 a), gangguan katak jantan lain (Gambar 28 b dan Gambar 28 c), dan serangan dari hewan lain seperti sigung (Gambar 28 d) dan kelelawar. Gangguan juga disebabkan oleh aktivitas pengamat yang terlalu dekat dengan pasangan berbiak.

Gambar 28 Gangguan selama proses perkawinan. Ket : a) Gangguan dengan pemakaian spool track b) Gangguan dari individu lain saat amplexus


(35)

5.1.4 Akustik suara katak jantan

Dari seluruh pengamatan ditemukan 234 dari 271 frekuensi pejantan yang sedang berkumpul. Pengambilan data dilakukan pada 5 individu yang telah di identifikasi akan melakukan proses berbiak. Pengamatan dilakukan pada saat katak mulai melakukan aktivitas suara dan ditemukan tiga pola suara umum yang dapat dijumpai pada katak pohon Jawa yaitu suara pendek, suara panjang, dan suara pendek lirih. Ketiga suara tersebut digambarkan dalam bentuk oscilogram, spectrogram, dan power spectrum. Pola ini terbentuk setelah dilakukan penataan ulang suara melalui pembersihan suara dari noise dan suara pengganggu seperti suara air, katak lain, dan serangga malam. Pengambilan contoh suara diambil pada tanggal 29 Desember 2008 jam 19.57 WIB selama 30 menit dengan lokasi Rawa Gayonggong. Pada saat pengambilan data suara, cuaca relatif cerah dengan kondisi suhu 16oC dan kelembaban mencapai 89 %. Dari rentang waktu ini dapat di lihat pola suara katak umum secara keseluruhan.

Gambar 29 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1891


(36)

Gambar 30 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan panjang katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1463

+/- 24 dan spectrum level dB/Hz: 36.

Gambar 31 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek lirih katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz:


(37)

Pola umum dari 5 katak jantan yang sedang bersuara dapat di gambarkan pada Tabel 6 yang menunjukkan parameter rata-rata (mean) dan jarak (range) pada tiap level pulse duration, pulse frequency, dan amplitude.

Tabel 6 Mean dan range dari suara katak jantan yang berhasil direkam

Pulse duration

(ms)

Pulse dominant frequency (Hz)

Maximum amplitude

(Hz)

Frequency amplitude (Hz) N individuals=5 ;

n calls=68

Mean (SD) 12,48 2199,25 0,04 2100,57

Range 8,75-21,31 1968,75-3093,75 0,03-0,05 2061,11-2258,21 5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak pohon Jawa yang berbiak Katak betina memilih pejantan dengan penentuan khusus dari individu katak betina. Penentuan ini diduga karena kesesuaian ukuran tubuh, kecocokan suara, dan kondisi pesaing yang beragam. Persaingan yang terjadi membuat ketertarikan individu katak betina untuk memilih individu katak jantan. Pertemuan dengan beberapa individu katak betina siap berbiak ditandai dengan menggembungnya bagian perut dan adanya perilaku mendekati kumpulan katak jantan yang melakukan aktivitas calling. Hal lain yang diduga menjadi ciri morfologi katak betina siap berbiak yaitu terjadinya perubahan (pembesaran) kelenjar di bagian punggung seperti pada Polypedates leucomystax di Universitas Gajah Mada. Kelenjar yang memiliki lumen yang penuh berisi sekret hanya ditemui pada kulit bagian kloaka dan femur dorsal individu katak betina yang sedang nesting

(Nurisnawati 2009).

Katak jantan melakukan panggilan suara berbiak setelah katak betina mendekati kumpulan katak jantan. Suara dihasilkan oleh pernafasan yang masuk ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan ke bagian larynx untuk membentuk getaran dan chord suara (Wells 2007). Selain membuat panggilan berbiak, katak jatan memiliki perilaku saling beradu untuk menarik perhatian katak betina. Wells (2007) menjelaskan bahwa katak jantan melakukan persaingan berupa bentuk tubuh, ukuran tubuh, warna dan suara bahkan pergulatan seperti pada African bullfrogs (Pyxicephalus adspersus) yang melakukan pergulatan hingga mencederai lawannya.


(38)

Pertemuan perubahan warna ditemukan pada beberapa lokasi. Pada habitat dengan substrat gelap, cenderung katak memiliki warna yang lebih gelap dan pada pasangan yang ditemukan di atas daun warna lebih cerah. Kondisi ini diduga katak melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan untuk menghindarkan diri dari gangguan predator. Proses persaingan memperebutkan betina dilakukan dengan persaingan suara antara 2 indvidu ketika betina mendekati kumpulan katak jantan. Pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga biasanya terjadi perkelahian antar katak jantan yang berakhir dengan jatuhnya katak jantan pengganggu ke tanah (Yazid 2006).

Intensitas tertinggi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak terjadi pada bulan Desember, hal ini dikarenakan adanya puncak musim hujan yang terjadi di seluruh lokasi berbiak. Pada kawasan tropis, temperatur berpengaruh besar pada proses perkawinan (Inger & Greenberg 1956). Kondisi iklim mikro yang relatif stabil khususnya pada lokasi penelitian menjadikan aktivitas berbiak terjadi hampir sepanjang tahun kecuali pada bulan September. Pada bulan ini hujan tidak terjadi di kawasan penelitian dengan suhu mencapai 6oC pada malam hari dan 26oC pada siang hari. Kondisi pada bulan ini juga terdapat angin kencang yang mengakibatkan kerusakan pada lokasi berbiak seperti tumbangnya pepohonan dan jatuh dahan pohon. Angin kencang mengakibatkan katak betina tidak leluasa bergerak mendekati lokasi berbiak karena katak betina cenderung memakai tajuk tengah untuk bergerak di hutan.

Frekuensi pertemuan dengan 271 katak jantan dan 40 katak betina siap berbiak tersebar di seluruh lokasi pengamatan. Terjadinya persaingan pejantan siap berbiak ditandai dengan aktivitas suara untuk memancing kehadiran katak betina. Kehadiran katak betina ditandai dengan suara katak jantan dengan intensitas lebih sering dan terjadi persaingan antar individu katak jantan. Katak jantan saling berdekatan untuk beradu suara.

Hasil rataan yang tersebar di seluruh lokasi terdapat 4 sampai 14 pejantan yang melakukan aktivitas berkumpul untuk menunggu katak betina, dan 1 sampai 2 katak betina mendatangi lokasi perkawinan. Jumlah ini mendekati pada katak pohon hijau di kampus IPB yaitu Individu katak jantan yang aktif setiap malamnya di Arboretum Fahutan berkisar antara 2-12 ekor dan katak betina 1-3


(39)

ekor, sedangkan di Lab. Konservasi Tumbuhan ditemukan individu katak jantan antara 2-13 ekor dan katak betina 1-3 ekor (Yazid 2006).

5.2.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa katak pohon Jawa berbiak sepanjang tahun, namun terdapat puncak katak melakukan aktivitas berbiak. Puncak berbiak terjadi pada bulan Desember. Aktivitas berbiak terjadi secara bersamaan dengan intensitas tinggi digunakan untuk meningkatkan keberhasilan berbiak dan meningkatkan kesuksesan pembuahan (Wells 2007). Akivitas puncak ini dapat dilihat dari frekuensi perjumpaan katak jantan sebanyak 64 ekor dengan 51 diantaranya melakukan aktivitas suara. Keadaan ini juga memancing katak betina untuk melakukan aktivitas berbiak dengan frekuensi datangnya katak betina ke lokasi berbiak dengan jumlah delapan ekor. Puncak aktivitas berbiak ini juga dipicu oleh curah hujan tertinggi dari bulan Desember sampai April (Gambar 8). Aktivitas harian tertinggi di jumpai pada saat setelah hujan. Pada saat hujan turun katak cenderung diam dan tidak bersuara. Keadaan lingkungan setelah hujan mengakibatkan kelembapan yang meningkat (lebih dari 90 %). Menurut Hödl (2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan.

Aktivitas berbiak dimulai saat anura melakukan calling (Hödl 2000). Aktivitas calling katak pohon Jawa dimulai saat menjelang petang dan suhu turun. Hal ini juga ditemukan pada amfibi tropis dengan memanfaatkan suhu yang rendah untuk mengeluarkan suara (Wells 2007). Aktivitas amplexus terjadi puncaknya pada jam 18.00 WIB sampai jam 22.00 WIB, demikian halnya dengan pertemuan katak bertelur. Kondisi ini di dukung dengan kondisi cuaca gerimis atau hujan sehingga katak bertelur pada awal malam. Keadaan ini serupa dengan penelitian pada katak pohon bergaris di Universitas Gajah Mada dan katak pohon hijau di Kampus IPB Dramaga yaitu puncak aktivitas berbiak katak terjadi pada awal malam jam 20.00 WIB sampai jam 22.00 WIB (Yazid 2006; Nurisnawati 2009).

Katak pohon Jawa menggunakan bentang alam berupa aliran sungai, kubangan air, air terjun, dan rawa untuk melakukan aktivitas hidupnya, dimulai dari berudu sampai dewasa berada di lokasi tersebut. Amfibi membutuhkan tempat yang lembab atau basah untuk melangsungkan hidupnya (Wells 2007).


(40)

Lokasi berbiak katak pohon Jawa tergantung dari keberadaan air. Sumber air berasal dari curahan air hujan dan keberadaan air sungai serta genangan air. Katak pohon Jawa adalah spesies yang dapat ditemukan di hutan primer atau hutan terbuka dengan arus air yang tenang (Kurniati 2003). Air dimanfaatkan katak betina untuk membasahi diri sebelum proses amplexus dan perlindungan diri dari ancaman. Katak amplexus membenamkan seluruh tubuhnya termasuk tubuh katak jantan diduga untuk persiapan sebelum bersarang atau untuk memisahkan pejantan yang tidak diminati katak betina. Strategi ini juga digunakan untuk melindungi diri saat terjadi ancaman dari pengamat atau menghindar dari katak jantan lain. Vegetasi yang digunakan sebagai pendukung aktivitas berbiak yaitu tumbuhan Babakoan (Eupatorium sordidum), Kecubung (Brugmansia suaveolens), dan Congkok (Curculiga caviculata). Katak menjadikan ketiga tumbuhan ini untuk melakukan aktivitas calling, amplexus, dan sebagai tempat meletakkan telurnya (foam). Daun dari ketiga tumbuhan utama ini digunakan sebagai tempat untuk istirahat, bersarang, dan untuk melakukan aktivitas amplexus. Selain itu bebatuan dan serasah digunakan katak pohon Jawa untuk melakukan aktivitas calling dan amplexus.

Keseluruhan lokasi penelitian dapat dibagi ke 3 lokasi besar berdasarkan keberadaan air untuk melakukan aktivitas berbiak. Lokasi ini yaitu :

a. Aliran sungai

Katak memakai aliran sungai yang bersumber dari air tejun. Kondisi ini terdapat pada beberapa aliran sungai dari sumber utama air terjun Cibeureum dan Cikundul. Dari aliran sungai ini dijumpai 7 lokasi katak melakukan perilaku berbiak.

b. Kolam periodik

Kolam periodik terdapat di tiga lokasi yaitu dua pada HM 26 dan satu lokasi di HM 1. Lokasi ini sangat tergantung dari limpahan air hujan. Pada bulan Agustus dan September terjadi kekeringan dan tidak ditemukan individu dewasa. Substrat di lokasi berupa tanah, serasah, dan tumbuhan Kecubung.

c. Kolam aliran sungai

Lokasi berbiak di kolam aliran sungai ini hanya ditemukan pada satu lokasi saja yaitu di bawah aliran air terjun Cibeureum. Substrat dasar dan pinggiran


(41)

kolam berupa bebatuan lumpur yang terbawa dari aliran air. Pada tepi kolam juga ditumbuhi rerumputan dan satu tumbuhan Kecubung. Katak menggunakan celah bebatuan untuk meletakkan telur. Kolam digunakan untuk kecebong yang berkembang dari telur yang telah diletakkan di celah bebatuan.

Katak pohon Jawa menggunakan seluruh bagian dari habitatnya untuk melakukan aktivitas berbiak serta menggunakan vegetasi untuk melakukan aktivitas amplexus, calling , dan peletakan telur. Kondisi habitat yang sesuai untuk katak pohon Jawa melakukan aktivitas calling dapat dibagi menjadi beberapa kriteria yaitu: lokasi dengan suhu antara 14oC sampai 18oC dengan kondisi cuaca terang dan gerimis dengan kondisi kelembaban 90%; lokasi berada di dekat perairan dengan arus yang relatif tenang antara 0 m3/detik sampai 0,1 m3/detik, dengan pH 6 – 7.

Individu katak betina katak pohon Jawa mendekati kumpulan pejantan yang sedang melakukan aktivitas calling setelah terjadi persaingan suara katak. Katak betina memilih pejantan yang siap untuk berbiak dan segera melakukan amplexus. Perilaku mencari tempat peletakan bersarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jenis substrat peletakan sarang, yaitu:

a. Daun dengan buluh halus di bagian atas dan bawah daun

Peletakan sarang seperti ini dapat ditemukan pada tumbuhan Kecubung, Babakoan, dan Congkok. Peletakan sarang dapat terjadi di permukaan daun maupun di balik daun. Hal ini serupa dengan peletakan sarang pada Philautus vittiger di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, katak meletakkan sarang di balik daun Kecubung (Kusrini 2008). Sarang diletakkan pada bagian tengah daun. Daun melipat dan membentuk corong. Karakter daun yang tipis dan lebar mengakibatkan daun lentur dan mudah untuk di gulung. Penggulungan daun ini di duga sarang terbuat dari enzim yang mudah mengering dan mengakibatkan daun menggulung. Hal ini diduga sebagai perlindungan sarang terhadap ancaman dari luar sarang.

b. Sela-sela bebatuan di aliran air

Habitat katak pohon Jawa pada lokasi penelitian cenderung mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Aktivitas wisata di kawasan air terjun Cibeureum mengakibatkan perubahan berupa hilangnya tumbuhan dari lokasi


(42)

berbiak dan adanya timbunan sampah. Perubahan ini ditanggapi katak dengan berubahnya lokasi peletakan sarang yang bermula dari peletakan sarang di daun menjadi di bawah bebebatuan dan ditutupi serasah. Kondisi ini ditemukan pada satu lokasi tepat di bawah air terjun Cibeureum (Cibeureum C). Kondisi serupa juga di dapatkan pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga. Katak meletakkan sarang pada lahan miring dengan memanfaatkan serasah dan rumput kering (Yazid 2006).

5.2.3 Perilaku berbiak

Aktivitas katak dimulai saat menjelang petang. Rata-rata katak mulai beraktivitas pada jam 18.00 WIB. Aktivitas katak dimulai saat katak pertama kali membuka mata dan bergerak. Pada perilaku berbiak katak dimulai pada saat katak jantan melakukan aktivitas suara (calling) dan katak betina melakukan pergerakan mendekati katak betina. Pengamatan pada pejantan melakukan aktivitas calling di seluruh lokasi penelitian dimulai pada jam 19.00 WIB. Katak jantan memanggil katak betina secara bersautan setelah katak jantan berkumpul. Berdasarkan pengamatan, katak berkumpul 2 sampai 14 ekor dan mengeluarkan suara secara bergantian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi energi dan meminimalisir predator (Hödl 2000).

Katak betina mendatangi lokasi berbiak setelah menentukan lokasi tempat berkumpulnya pejantan. Pemilihan ini berdasarkan kecocokan suara dengan individu katak betina. Pada pengamatan ditemukan katak betina mendatangi tiga lokasi berdekatan dan meninggalkan keseluruhan lokasi. Diduga hal ini disebabkan ketidakcocokan suara yang dihasilkan katak jantan dan ukuran pejantan siap berbiak.

Katak jantan terpilih kemudian didekati katak betina untuk amplexus. Katak jantan menaiki tubuh katak betina dengan posisi axilary (kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah perut sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak betina). Katak betina membawa katak jantan menuju ke lokasi bersarang. Pada beberapa pengamatan, katak jantan lain juga mengikuti katak betina yang akan bersarang. Hal ini menimbulkan gangguan pada saat katak bersarang. Katak lain menaiki punggung katak betina dan memaksa menyingkirkan pejantan pilihan katak betina. Persaingan ini mengakibatkan


(43)

kegagalan bersarang. Perilaku ini diduga karena persamaan kesiapan berbiak pejantan. Pada beberapa pengamatan juga ditemukan katak betina membenamkan diri ke dalam air sehingga katak jantan terlepas. Hal ini diduga terdapat gangguan pada saat perjalanan menuju lokasi bersarang. Gangguan ini dapat berupa gangguani pejantan lain, perubahan suhu lapangan, gangguan pengamat, dan gangguan binatang lain.

Katak betina membawa pejantan menuju lokasi yang ditentukan. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada kondisi lingkungan tempat peletakkan sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan sarang berada di daun Babakoan, daun Congkok, daun Kecubung dan sela bebatuan. Penentuan lokasi ini diduga karena daun Babakoan, Kecubung, dan Congkok memiliki daun yang lebar dan berbuluh sehingga cocok untuk meletakkan sarang. Tumbuhan Babakoan, Kecubung, dan Congkok hidup dekat dengan perairan. Menurut Iskandar (1998) jenis Polypedates dan Rhacophorus membuat massa buih telur oleh pasangan katak betina dan katak jantan selama amplexus (berdekapan) pada tumbuhan yang menggantung di atas permukaan air. Sarang diletakkan pada permukaan dan bagian bawah daun. Pada beberapa sarang, sarang diletakkan dengan menggabungkan beberapa helai daun.

Peletakan sarang di sela bebatuan hanya terjadi pada satu lokasi. Lokasi ini tidak terdapat tumbuhan Kecubung, Congkok, dan Babakoan. Penentuan peletakkan sarang ini dikarenakan adanya sumber air di bawah tegakan tumbuhan tersebut. Strategi peletakan sarang di sela bebatuan ini merupakan keberhasilan dalam mempertahankan keberadaannya di kawasan air terjun Cibeureum. Kondisi vegetasi yang terbuka dan banyak gangguan mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku. Hal ini juga dilaporkan oleh Kadadevaru dan Kanamadi (2000) bahwa jenis Rhacophorus malabaricus dapat melakukan adaptasi pada daerah yang penutupan tajuknya telah hilang. Adaptasi yang digunakan katak pohon Jawa dengan meletakkan sarang pada sela bebatuan dan saat air sungai melewati sarang maka berudu dapat ikut bersama alirannya. Pada kasus lain yaitu pada Rhacophorus reinwardtii di Arboretum Fahutan kampus IPB Dramaga Bogor. Katak pohon hijau tidak meletakkan telurnya pada tanah yang tergenang, akan tetapi meletakkan telur pada sisi miring parit yang ada di sebelah selatan


(44)

Arboretum Fahutan (Yazid 2006). Peletakan sarang pada lokasi kolam periodik hanya ditemukan pada saat kolam dipenuhi oleh air.

Katak amplexus menempatkan diri pada lokasi sarang ditandai dengan dimulainya katak betina mengeluarkan busa. Pada jenis Rhacophoridae busa dihasilkan dari enzim (cucco saliva) di bagian punggung katak betina dan membentuk sarang dengan kaki belakang (Hödl 2000). Katak betina mulai menggosokkan kaki belakangnya sampai timbul busa. Telur dikeluarkan bersamaan dengan sperma pejantan. Diduga pembuahan terjadi pada saat telur dikeluarkan dari kloaka katak betina. Menurut Aritonang (2010), katak betina katak pohon Jawa mampu menghasilkan telur antara 50 sampai 140 butir. Sarang dibentuk membulat pada bagian bawah atau permukaan daun dan daun segera membentuk kerucut menghadap ke bawah. Hal ini diduga karena sarang menarik permukaan atau bawah daun sehingga terbentuk corong. Sarang busa digunakan untuk perlindungan telur dari kekeringan, pemangsa, dan cahaya matahari (Hödl 2000). Proses pembuatan sarang katak pohon Jawa tercatat antara 20 menit sampai 510 menit.

Gangguan berbiak terjadi dikarenakan 2 faktor, yaitu faktor manusia dan faktor alam. Faktor manusia berupa gangguan pada saat penelitian menggunakan metode spool track yang dipasang pada individu katak betina di lokasi 3. Katak betina telah mendekati lokasi berbiak namun tidak dapat amplexus karena terganggu oleh gulungan benang. Gangguan juga terjadi oleh pengamat karena menggunakan cahaya yang terlampau terang kemudian cahaya diganti dengan cahaya lampu dilapis frame berwarna merah dari bahan plastik.

Gangguan alami terutama pada saat amplexus sampai bersarang disebabkan oleh individu katak jantan lain yang menumpuki pasangan amplexus. Gangguan hewan lain seperti sigung dan kelelawar terjadi pada saat pra-kawin dan pasca kawin. Pada saat pengamatan terlihat sigung memakan sarang katak yang terdapat pada sela bebatuan sedangkan gangguan kelelawar terjadi pada saat katak jantan melakukan aktivitas calling. Katak disambar oleh kelelawar, diduga katak menjadi mangsa bagi kelelawar, namun hal ini tidak dapat didokumentasikan karena kekurangan alat.


(45)

5.2.4 Akustik suara

Menurut Hödl (2000), suara digunakan katak sebagai atraksi berbiak dan pertahanan wilayah. Atraksi berbiak berupa wilayah berkumpulnya katak dan wilayah untuk berbiak. Pada katak pohon Jawa atraksi dilakukan dengan berkumpulnya katak dan penandaan wilayah dengan suara. Suara dikeluarkan dengan 3 tipe yaitu panggilan panjang, pendek, dan pendek lirih. Suara panggilan panjang digunakan katak untuk memanggil betina, panggilan panjang ini di deskripsikan dengan dua ketukan panjang. Suara ini semakin sering dikeluarkan jika betina telah masuk dalam kumpulan katak jantan. Setelah terjadi amplexus pun masih terjadi suara panggilan panjang. Suara panggilan panjang bisa diartikan suara untuk menarik betina agar mendekati jantan yang siap untuk amplexus. Suara panggilan pendek terjadi sebelum katak betina datang di dalam kumpulan. Suara terdiri dari satu panggilan keras. Suara ini di keluarkan katak ketika berada dalam satu kumpulan. Katak saling beradu suara sampai betina datang. Suara semakin sering dilakukan saat 2-7 ekor berdekatan pada jarak ±1 meter. Suara ketiga yaitu panggilan pendek lirih. Suara ini dikeluarkan pada saat katak pada kondisi tenang. Kondisi ini dapat diartikan sebagai situasi katak yang sedang bertahan. Katak melakukan panggilan ini pada saat terjadi gangguan , misalkan terdapat predator (sigung) atau gangguan pengamat pada saat melakukan proses perekaman perilaku. Suara berupa panggilan lirih di keluarkan pada saat bersembunyi dan diam. Suara ini diduga digunakan katak untuk bertahan dari gangguan. Penelitian Yazid (2006) menyimpulkan bahwa katak pohon hijau memiliki 6 tipe suara selama periode berkembang biak yaitu panggilan pendek, panjang, amplexus, teritori, berkelahi, dan gabungan antara beberapa tipe. Frekuensi dominan berkisar antara 1052 – 1891 Hz dan spectrum level berkisar antara 36-75 dB/Hz. Katak pohon hijau memiliki frekuensi dominan antara 477-2108 Hz dengan spectrum level berkisar antara 44 – 58 dB/Hz. Yazid (2006) menyebutkan suara katak jantan Katak pohon hijau panggilan berbiak (pendek) Frekuensi Hz: 477 +/- 3,0 dan spectrum level dB/Hz:55); suara panggilan berbiak (panjang) Frekuensi Hz: 1830 +/- 38 dan spectrum level dB/Hz:58. Hal ini terjadi kemiripan dengan suara katak pohon Jawa karena frekuensi dan spectrum level memiliki selang yang sama.


(1)

Pada satu lokasi di Rawa Gayonggong ditemukan katak pohon Jawa dan katak pohon hijau melakukan aktivitas suara dengan jarak yang berdekatan ±10 cm. Keadaan ini di duga adanya persamaan lokasi berbiak dan terjadinya perebutan wilayah berbiak. Menurut Hödl (2000), katak mengeluarkan suara antara 100 Hz-6 kHz. Katak pohon Jawa mengeluarkan suara dengan panjang gelombang 1400 Hz sampai 1900 Hz. Waktu yang digunakan katak untuk melakukan aktivitas calling antara 30 menit sampai 510 menit.

Pada pengambilan data suara terdapat kendala berupa kondisi suara yang diambil masih memiliki noise yang di akibatkan oleh gangguan satwa lain dan suara angin. Tidak adanya lokasi ideal untuk pengambilan suara menjadikan lama waktu yang mampu direkam hanya 30 menit dan dapat merekam 5 individu. Pada pengambilan advertisement calls dari enam spesies di Bali oleh Márquez& Eekhout ( 2007) mampu menghasilkan 3 sampai 12 individu yang berhasil direkam. Kekurangan alat dalam pengambilan data seperti noise reduction dan microphone menjadi kendala dalam pengambilan data suara.


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1.) Katak berbiak memiliki ciri morfologi katak jantan dengan mengembangnya kantung suara di bawah mulut; katak betina dengan perut menggembung dan berisi penuh telur. Intensitas tertinggi ditemukannya katak sedang melakukan aktivitas berbiak terjadi pada bulan Desember dengan frekuensi perjumpaan katak jantan 64 kali dan katak betina 8 kali.

2.) Puncak katak berkumpul dan melakukan amplexus terjadi pada bulan Desember. Katak melakukan amplexus yang terjadi pada jam 18.30 WIB sampai 02.35 WIB. Puncak katak melakukan amplexus terjadi pada rentang waktu jam 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Vegetasi pendukung untuk proses perkawinan adalah Congkok (Curculiga caviculata), Kecubung (Brugmansia suaveolens), dan Babakoan (Eupatorium sordidum).

3.) Urutan berbiak katak pohon Jawa yaitu : 1) katak jantan memanggil, 2) katak betina merespon panggilan katak jantan, 3) katak betina memilih katak jantan yang sesuai, 4) posisi amplexus, 5) pencarian lokasi bersarang, 6) pengeluaran telur, 7) katak berpisah setelah katak jantan membuahi telur yang dikeluarkan katak betina. Gangguan selama katak melakukan perkawinan yaitu: gangguan dengan pemakaian spool track, gangguan dari individu lain saat amplexus, gangguan individu lain saat bersarang, gangguan oleh sigung, gangguan oleh kelelawar, dan gangguan oleh pengamat.

4.) Katak jantan mengeluarkan tiga jenis suara yaitu suara panggilan panjang dengan frekuensi Hz: 1463 +/- 24 dan spectrum level dB/Hz:36, suara panggilan pendek dengan frekuensi Hz: 1891 +/- 24 dan spectrum level dB/Hz: 36, suara panggilan pendek lirih dengan frekuensi Hz: 1053 +/- 22 dan spectrum level dB/Hz: 75.

6.2 Saran

Pemantauan jumlah populasi perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi katak pohon Jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar kelestarian dapat terpantau dan dapat diketahui perkembangannya.


(3)

Aritonang SJ. 2010. Peluang Hidup Telur dan Berudu Katak Pohon Jawa (Rhacophorus Margaritifer Schlegel 1837) Di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Provinsi Jawa Barat. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. London: Johns Hopkins Univ. Pr.

Frost. 2009.Amphibian Species of the World 5.3, an Online Reference. Version 5.3 (12 February, 2009) American Museum & Natural http://research.amnh.org/herpetology/amphibia/references.php?id=24228 [5 July 2009]

Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco: Freeman.

Goin CJ, Goin OB, Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology.W.H Freeman and Company. San Fansisco. 378 hal.

Hödl W. 2000. Amphibian Foam Nests. Di dalam: Hofrichter R, editor. The Encyclopedia of Amphibians. Canada: Keyporter Books Limited. 152-182p. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali- Seri Panduan Lapangan. Puslitbang-

LIPI. Bogor.

[IUCN] The IUCN Red List of Threatened Species. 2009. http://www.iucnredlist.org/details/59002/0 [ 27 Mei 2009]

Kadadevaru GG , Kanamadi RD. 2000. Courtship and Nesting Behavior of the Malabar Gliding Frog, Rhacophorus malabaricus (Jerdon, 1870). Current Science 79 (3): 377-380.

Kurniati H. 2003. Amphibians & Reptiles of Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia. Reseach Center for Biology-LIPI. Nagao Natural Environment Foundation-NEF. Cibinong

Kusrini MD, Fitri A. 2006. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Salak, West Java, Indonesia. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Márquez R, Eekhout XR. 2007. Advertisement calls of six species of anurans from Bali, Republic of Indonesia. Journal of Natural History. 40 (9): 571 – 588 http://dx.doi.org/10.1080/00222930600712129 [11 Desember 2011]


(4)

49

Nurisnawati D. 2009. Mekanisme Pembentukan Sarang Busa (Foam Nest) pada Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829 (Anura; Rhacophoridae). Skripsi Sarjana Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Sullivan BK, Ryan MJ, Verrell P A. 1995. Female choice and mating system structure. In: H. Heatwole and B. K. Sullivan (eds) Amphibian biology, Surrey Beatty & Sons:469-517 pp. Amphibian Biology.

[TNGGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 1995-2020. Buku II. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

[TNGGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2001. Mengenal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Seri Buku Informasi. Cibodas.

[TNGGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Tentang TNGGP Hewan. http://gedepangrango.org/tentang-tnggp/hewan/ [ 27 May 2009].

[TNGGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Tentang TNGGP Unduhan. http://gedepangrango.org/ [2 September 2009]

Van Steenis CGGJ. 2006. Flora Pegunungan Jawa (The Mountain Flora of Java). Terjemahan A. Hamzah dan M. Toha. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor.

Wells KD. 1977. The Social Behaviour of Anuran Amphibians. Anim. Behav. 25: 666-693. AB25 666-293.

Whitten T, Soeriaatmadja RE, Alif SA. 1996. The Ecology of Java & Bali. Jakarta-Indonesia.

Yazid M. 2006.Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhacophorus reindwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Dramaga. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(5)

WIRAMA HYPANANDA. Perilaku Berbiak Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan DONES RINALDI

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) memiliki tujuan 1) mengetahui karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon Jawa, 2) mengetahui pemilihan waktu dan tempat berbiak katak pohon Jawa, 3) mendeskripsikan sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa dimulai dari pra- kawin sampai dengan paska kawin termasuk hal-hal yang mengganggu proses berbiak, 4) mendeskripsikan akustik suara katak jantan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi katak, lokasi berbiak, dan waktu berbiak. Pengambilan data perilaku berbiak dilakukan pada bulan Maret sampai November 2009. Data yang diambil berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa karakteristik morfologi katak berbiak dan musim berbiak, pemilihan waktu dan tempat berbiak katak, sistimatika perilaku berbiak katak, dan akustik suara katak jantan. Data sekunder mencakup kondisi umum, data iklim, dan curah hujan.

Katak Pohon Jawa berbiak memiliki ciri morfologi pada jantan yaitu berkembangnya kantung suara di bawah mulut; sedangkan pada betina ditandai dengan perut menggembung dan berisi penuh telur. Selama pengamatan terdapat frekuensi perjumpaan 271 jantan 40 betina yang melakukan aktivitas berbiak. Terdapat 19 pasangan amplexus yang dapat diamati dengan 5 pasangan yang dapat diamati secara menyeluruh. Puncak katak berkumpul dan melakukan amplexus terjadi pada bulan Desember. Puncak katak melakukan amplexus terjadi pada rentang waktu jam 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Pada pengamatan perilaku berbiak didapatkan sistematika berbiak katak pohon jawa yaitu: 1) katak jantan memanggil, 2) katak betina merespon panggilan katak jantan, 3) katak betina memilih jantan yang sesuai, 4) posisi amplexus, 5) pencarian lokasi bersarang, 6) pengeluaran telur, 7) katak berpisah setelah jantan membuahi telur yang dikeluarkan betina. Gangguan dengan pemakaian spool track, gangguan dari individu lain saat amplexus, gangguan individu lain saat bersarang, gangguan oleh sigung, gangguan oleh kelelawar, dan gangguan oleh pengamat.Jantan bersuara memiliki 3 pola utama, yaitu suara panggilan panjang, suara panggilan pendek, dan suara panggilan pendek lirih.


(6)

SUMMARY

WIRAMA HYPANANDA. Breeding Behavior of Javanese Tree Frog

(Rhacophorus margaritifer, Schlegel, 1837) in Gunung Gede Pangrango

National Park. Under supervisor of MIRZA DIKARI KUSRINI and DONES RINALDI

Research on breeding behavior of Javanese tree frog (Rhacophorus margaritifer, Schlegel, 1837) research aims to describe 1) morphology characteristic of breeding frog and breeding intensity of Javanese tree frog; 2) time preference and breeding site of Javanese tree frog, 3) breeding behavior systematic of Javanese tree frog from pre-breeding to post-breeding phase including disturbance factors; and 4) male frog acoustic sounds. Preliminary study was held on November to December 2008 to found suitable location for breeding site, time of breeding, and frog congregation in Cibereum waterfall track in Gunung Gede Pangrango National Park. Breeding behavior research was carried out on March to November 2009.Data collected consisted of primary and secondary data. Primary data consisted of morphology characteristic of breeding frog and breeding season, time and site breeding preference, systematic of frog breeding behavior, and male frog acoustic sound. Secondary data consisted of information regarding general condition, climate , and rainfall .

Breeding morphology characteristic of Javanese tree frog consisted of development of vocal sac under mouth on the male frog and stomach full of ovum on the female. During the observation the number of frogs in breeding consisted of 271 males and 40 females, Nineteen pair of amphibian in amplexus were encountered, and complete mating behavior were successfully observed for five pairs. Frogs congregate and perform amplexus in high number during December. Time of amplexus occurred between 18:00 and 22:00. The breeding systematic of javan tree frog on the observation site consisted of 1) male frog calling, 2) female response male calling, 3) female select the matching male, 4) amplexus position, 5) searching for nesting site, 6) oviposition, 7) male and female frogs separate after fertilization. During the observation several disturbances occurred caused by the use of spool track by other research, disruption by other individual during amplexus and nesting, disruption by polecat, and observer.Male’s calls have three principal types: long call, short call, and soft short call.