Klasifikasi Iklim Oldeman Respon Produktivitas Tanaman Padi Terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial)

Gambar 1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia sumber: BMKG Merujuk pada Gambar 1, kawasan Jawa dan Bali merupakan kawasan yang memiliki curah hujan bulanan bertipe moonsonal yang memiliki puncak curah hujan pada Bulan Desember hingga Januari. Wilayah Jawa dan Bali dalam keadaan normal memiliki bulan kering pada Bulan April hingga Oktober dan bulan basah pada Bulan Oktober hingga April Krave 2007. Menurut penelitian Boling 2004 di Jawa Tengah, meskipun memiliki tipe curah hujan moonsonal, kawasan ini memiliki kondisi curah hujan yang bervariasi secara temporal. Boling juga menambahkan bahwa tahun-tahun di Provinsi Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi tahun-tahun basah pada tahun 1997-1998, tahun kering pada tahun 1999 dan tahun moderat. Perbedaan kondisi curah hujan yang seperti ini merupakan salah satu penyebab variasi produktivitas tanaman padi yang dibudidayakan. Hal yang sama juga berlaku bagi kawasan Jawa dan Bali, meski secara umum tipe curah hujan pada kawasan ini adalah moonsonal, variasi kondisi curah hujan pada kawasan ini cukup besar. Variasi pola curah hujan juga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi di kawasan ini Boling 2010.

2.2 Klasifikasi Iklim Oldeman

Klasifikasi Oldeman merupakan salah satu sistem klasifikasi iklim yang hanya mengunakan curah hujan sebagai dasar pembagian tipe iklim. Metode ini menggunakan istilah bulan basah sebagai bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan sekurang-kurangnya 200 mm sebagai faktor stratifikasi pertama. Nilai 200 mm merupakan rata-rata curah hujan bulanan agar 80 curah hujan memenuhi kebutuhan air pada tanaman padi setiap bulan yaitu 145 mm. Terdapat lima zona agroklimat utama dalam klasifikasi iklim Oldeman yaitu Mantel 2001: Zona A : 9 bulan basah berurutan Zona B :7 hingga 9 bulan basah berurutan Zona C :5 hingga 6 bulan basah berurutan Zona D :3 hingga 4 bulan basah berurutan Zona E : 3 bulan basah berurutan Zona agroklimat utama dalam klasifikasi Oldeman dapat dibagi menjadi beberapa zona menurut bulan kering sebagai faktor stratifikasi kedua. Bulan kering dalam klasifikasi iklim Oldeman didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Nilai 100 mm didasari oleh rata-rata curah hujan bulanan agara dapat mendukung pertumbuhan palawija yang memerlukan sekurang- kurangnya 80 curah hujan bulanan lebih besar dari 75 mm. Pembagian zona agroklimat menurut klasifikasi oldeman dengan penambahan bulan kering diperlihatkan dalam Tabel Tjasyono 2004. Tabel Pembagian Zona Agroklimat Klasifikasi Iklim Oldeman Zona faktor stratifikasi Penjabaran dimodifikasi Bulan basah bebrurutan Bulan kering berurutan A lebih dari 9 - Pada umumnya penanaman padi dapat dilakukan sepanjang tahun dengan produksi yang kecil karena kerapatan fluks radiasi matahari rendah sepanjang tahun B1 7 sampai 9 kurang dari 2 Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan dua kali setahun dan musim kering yang pendek cukup utk tanaman palawija B2 7 sampai 9 2 sampai 4 C1 5 sampai 6 kurang dari 2 Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun dan palawija dua kali setahun C2 5 sampai 6 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun dan palawija dua kali setahun. Tetapi penanaman palawija yang kedua rawan terkena bulan kering C3 5 sampai 6 5 sampai 6 D1 3 sampai 4 kurang dari 2 Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan sekali setahun dengan produksi tinggi karena kerapatan fluks radiasi yang tinggi. D2 3 sampai 4 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun atau satu kali palawija setahun tergantung pada air irigasi. D3 3 sampai 4 5 sampai 6 D4 3 sampai 4 lebih dari 6 E1 kurang dari 3 kurang dari 2 Umumnya terlalu kering, hanya dapat satu kali penanaman palawija tetapi sangat tergantung dengan adanya hujan E2 kurang dari 3 2 sampai 4 E3 kurang dari 3 5 sampai 6 E4 kurang dari 3 lebih dari 6 Sumber : Koesmaryono 2008 2.3 Kekeringan Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditimbulkan oleh kondisi curah hujan wilayah di bawah keadaan normal ataupun keadaan yang diharapkan. Kekeringan memiliki variasi yang besar terhadap waktu dan lokasi Patuwan 2002 b . Kekeringan merupakan integrasi antara kejadian alamiah dengan permintaan terhadap suplai air Wilhite 2005. Selanjutnya Wilhite 2005 juga menambahkan bahwa kekeringan mengakibatkan sistem Hidrologi dan Agrologi suatu wilayah tidak seimbang sehingga mempengaruhi produktifitas lahan. Kekeringan dapat dipelajari dengan menggunakan empat definisi kekeringan yaitu Kekeringan Meteorologis, Kekeringan Pertanian, Kekeringan Hidrologis serta Kekeringan Sosial Ekonomi. Keempat definisi kekeringan tersebut dijelaskan oleh Mishra 2010 dalam pengajian ulang terhadap konsep kekeringan. Kekeringan Meteorologis didefinisikan sebagai defisit tingkat dan waktu curah hujan di suatu wilayah dalam durasi waktu tertentu. Curah hujan merupakan indikator yang sering digunakan dalam analisis Kekeringan Meteorologis. Kekeringan Pertanian merupakan defisit pada level kelengasan tanah sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan pada sebagian fase atau keseluruhan fase pertumbuhan. Dari aspek pertanian kekeringan juga berkaitan erat dengan kesetimbangan antara curah hujan dan evapotranspirasi yang terjadi pada suatu lahan. Kekeringan Hidrologis didefinisikan sebagai defisit presipitasi, maupun debit aliran dalam periode yang lama pada suatu reservoir seperti Daerah Aliran Sungai DAS ataupun danau. Kekeringan secara sosial ekonomi adalah suatu kondisi defisit presipitasi yang mulai berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi. Frekuensi kejadian El Nino di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir Bates 2008. Liao 2010 menambahkan bahwa Fenomena El Nino Southern Oscillation ENSO memiliki dampak yang signifikan terhadap curah hujan bulanan serta ketersediaan air suatu kawasan. Berdasarkan observasi inter- seasonal, inter-annual , serta variabilitas curah hujan spasial selama beberapa dekade terakhir di kawasan Asia seperti Indonesia juga cenderung mengalami penurunan curah hujan dari keadaan normal Bates 2008. Fenomena ENSO di kawasan Asia dapat mengakibatkan penurunan curah hujan bulanan lebih dari 40 Liao 2010. Kuenzer 2009 menambahkan bahwa kekeringan yang ditimbulkan oleh fenomena ENSO dapat mengakibatkan penurunan curah hujan hingga 70 bahkan lebih.

2.4 Model Simulasi Pertanian