Kekeringan dapat menimbulkan efek negatif terhadap tinggi tanaman serta luas
daun pada tanaman. Meskipun hal ini dapat mengurangi dampak kekeringan karena
berguna untuk
mengurangi pengaruh
evapotranspirasi, penyempitan pada luas daun juga berakibat pada penurunan pertumbuhan
serta perkembangan tanaman padi karena fotosintesis yang semakin sedikit dan CO
2
yang semaikin sedikit diserap. Penurunan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
mengakibatkan penurunan pada produktivitas Bocco 2012.
Menurut Leilah 2005 pada penelitiannya di Saudi Arabia tentang tanaman gandum ada
tujuh prosedur dalam statistik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis respon
produktivitas tanaman terhadap kekeringan antara lain, simple correlation, path analysis,
multiple
linear regression,
stepwise regression.
factor analysis,
principal components dan cluster analysis.
III METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Bagian Laboratorium Agrometeorology Departemen
Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB pada Bulan Agustus 2011 hingga Bulan
April 2012.
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, software Microsoft visual Basic
6.0, Microsoft office, Model Shierary-Rice serta Shierary-Weather.
Bahan yang
dipergunakan dalam
penelitian ini adalah: data kabupaten BPS 2004 yang berupa
data vektor Indonesia dengan atribut batas-batas wilayah, kabupaten dan nama
provinsi data curah hujan dan hari hujan bulanan
rata-rata 35 tahun 1970-2004 yang dihimpun dari sumber- sumber seperti
BMKG, PU, dan sektor swasta. Data rata- rataa curah hujan ini mewakili kondisi
curah hujan normal pada kawasan tersebut.
data sawah dari Bakosurtanal 2003 yang dilengkapi dengan atribut jenis sawah
irigasi dan tadah hujan data sawah Baplan yang merupakan
tafsiran landsat 2007 data elevasi atau ketinggian wilayah
dengan menggunakan data DEM Digital Elevation Model dari SRTM Shuttle
Radar Topography
Mission yang
bersumber dari http:srtm.ci.cgiar.org data produksi padi BPS 2009 setiap
provinsi di
Jawa dan
Bali yang
merupakan data produktivitas setiap satu kali tanam.
3.2 Tahap Pengerjaan
Penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi tiga tahap pengerjaan yaitu tahap
persiapan data, simulasi model serta analisis hasil simulasi. Penjelasan setiap tahap
dijelaskan di bawah ini
3.2.1 Persiapan Data
Data yang dibutuhkan untuk menjalankan model simulasi Shierary pada penelitian ini
adalah data spasial yang berbentuk grid sawah yang memiliki resolusi spasial sebesar
1×1 km dengan informasi sebagai berikut:
koordinat x,y atau longitude-latitude nama provinsi dan kabupaten
keterangan jenis sawah irigasi atau tadah hujan
data curah hujan bulanan serta hari hujan bulanan rata-rata
data ketinggian altitude Untuk
menghasilkan data
dengan informasi yang lengkap maka dibutuhkan
pengolahan data dengan menggunakan SIG. Beberapa tahapan untuk mempersiapkan data
masukan model adalah sebagai berikut:
melakukan koreksi terhadap data sawah yang berasal dari Bakosurtanal dan
Baplan menggunakan tekhnik penumpang tindihan
overlay serta
mengubah menjadi bentuk grid sawah berukuran 1
km
2
memasukan informasi data curah hujan, dan hari hujan bulanan rata-rata dari
Bulan Januari hingga Desember serta data ketinggian dengan menggunakan data
DEM.
untuk melengkapi keterangan pada grid sawah,
data yang
telah diberikan
informasi curah hujan, hari hujan dan ketinggian dioverlay dengan kabupaten
BPS 2004.
3.2.2 Simulasi Model
Model Shierary secara umum mengolah data masukan model melalui dua tahap.
Tahap pertama adalah tahap pembangkitan data iklim menggunakan model Shierary-
Weather. Data iklim bulanan yang terdiri dari curah hujan dan hari hujan yang berorientasi
spasial terdapat informasi Lintang, Bujur dan
ketinggian digunakan
untuk membangkitkan data iklim harian yang terdiri
dari suhu C, radiasi MJm
2
, RH , serta kecepatan angin kmjam. Tahapan kedua
adalah menjalankan
model simulasi
pertanian. Model
simulasi pertanian
dijalankan dalam
sembilan skenario
penurunan curah hujan dari penurunan 0 hingga 80 curah hujan dengan interval 10
pada setiap provinsi di kawasan Jawa dan Bali. Penentuan skenario penurunan curah
hujan sebesar 80 dilakukan untuk menduga pengaruh
kekeringan ekstrim
dengan penurunan curah hujan bulanan 70 yang
mungkin terjadi karena fenomena ENSO Kuenzer 2009.
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam model ini yaitu:
varietas padi yang digunakan di Jawa dan Bali adalah IR64 dan memiliki suhu dasar
17 C
parameter kondisi
tanah, seperti
kedalaman, kapasitas lapang, dan titik layu permanen dianggap sama pada setiap
titik. waktu penanaman untuk sawah irigasi
adalah juliane date 150 30 Mei pada masa tanam pertama dan 250 7
September pada masa tanam kedua. Penanaman pada sawah tadah hujan
hanya sekali, yaitu pada juliane date 250 7
September. Masa
tanam ini
disesuaikan dengan pola curah hujan dominan pada kawasan Jawa dan Bali
yang termasuk dalam pola curah hujan Moonsonal.
kecepatan angin dianggap konstan dan sama disemua tempat yakni 5 kmjam.
Data hasil
model Shierary
berupa produksi tanaman padi pada masing-masing
skenario penurunan curah hujan dianalisis dengan menggunakan regresi linear.
3.2.3 Analisis Hasil Simulasi
Analisis hasil simulasi model dilakukan melalui tiga tahapan yaitu pengelompokan
tipe iklim, pembandingan hasil keluaran model dengan data BPS validasi model dan
terakhir adalah analisis regresi sederhana pada hasil keluaran model setiap grid sawah.
Langkah klasifikasi dengan menggunakan metode Oldeman dijelaskan dibawah ini:
Identifikasi bulan-bulan basah dalam metode Oldeman pada penelitian ini
menggunakan rumus excel sebagai berikut:
= if[curah hujan grid] 200,1,0
Pengelompokan iklim Oldeman menjadi 5 zona
agroklimat utama
dengan menggunakan jumlah bulan basah setiap
grid dilakukan dengan menggunakan rumus pada excel sebagai berikut:
=if[jumlah BB] 9, ‘A’,if[jumlah BB] 6,
‘B’,if[jumlah BB]4,’C’,if[jumlah BB]3,’D’,’E’
Hasil klasifikasi oldeman pada setiap grid sawah diolah dengan menggunakan tekhnik
SIG untuk mengetahui sebaran spasial masing-masing zona agroklimat.
Validasi model dilakukan menggunakan data produktivitas tanaman padi per provinsi
hasil simulasi model dengan data BPS tahun 2009. Proses validasi dapat dilakukan dengan
menggunakan Lampiran 1. Setelah dilakukan validasi model maka langkah selanjutnya
adalah analisis hasil keluaran model. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis statistika sederhana pada data hasil keluaran dengan menggunakan regresi linear
yang sesuai dengan persamaan
y = mx.
Nilai m merupakan slope yang dapat diinterpretasikan sebagai nilai sensitivitas
suatu lahan pertanian terhadap kekeringan. Pada penelitian ini, nilai m juga digunakan
sebagai
indikator respon
produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Semakin
besar nilai m maka semakin besar pula sensitivitas suatu lahan terhadap kekeringan.
Nilai m yang besar juga menandakan respon produktivitas
tanaman padi
terhadap kekeringan di kawasan tersebut besar.
Penurunan curah hujan akan berdampak besar pada produktivitas tanaman padi di kawasan
sawah ini. Untuk menentukan nilai m diperlukan perhitungan sebagai berikut.
p = produksi ton100 ha
-1
Δp = 100
p – p
i
p
-1
=linest[range produksi],[range penurunan curah hujan],false,false10
Lambang p
menyatakan produktivitas
tonha ,
Δp persentase penurunan produktivitas . Penggunaan formula linest
dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan
nilai m
yang dapat
diinterpretasikan sebagai
persentase penurunan produktivitas setiap penurunan
10 curah hujan. Data m pada setiap grid diolah dengan menggunakan tekhnik GIS
sehingga dihasilkan
sebaran spasial
sensitivitas padi sawah Jawa dan Bali terhadap kekeringan.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengolahan data spasial sawah pada kawasan Jawa dan Bali, simulasi
model serta analisis hasil hasil simulasi model didapatkan hasil sebagai berikut.
4.1.
Sebaran Sawah Jawa dan Bali
Jawa dan Bali memiliki luas sawah sebesar 3.6 juta hektar yang terdiri dari 81
sawah irigasi dan 19 sawah tadah hujan. Luas panen pada kawasan Jawa dan Bali
sebesar 6.5 juta hektar karena pada kawasan ini sawah irigasi mengalami dua kali panen
sedangkan
sawah tadah
hujan hanya
mengalami satu kali panen. Menurut data BPS 2009, luas panen pada kawasan ini
sekitar 6.2 juta hektar. Luasan panen berdasarkan data BPS berbeda 4 dari pada
sawah hasil olahan yang digunakan dalam penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan oleh
beberapa hal seperti:
perbedaan metode pengukuran yang dilakukan oleh BPS, Baplan maupun
Bakosurtanal, perbedaan waktu pembuatan peta
sehingga kemungkinan
besar sudah
banyak sawah yang mengalami konfersi lahan,
perubahan luas sawah saat sawah yang yang bebrbentuk poligon diubah menjadi
menjadi grid sawah dengan ukuran 1 km
2
. Menurut penelitian Boling 2004 yang
dilakukan di Jawa Tengah, luas sawah kawasan Jawa Tengah berada pada kisaran 1
juta hektar dan 30 dari sawah di provinsi tersebut merupakan sawah tadah hujan.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa sawah Jawa Tengah sebesar 1.2 juta hektar dan
hanya 18 yang merupakan sawah tadah hujan. Faktor yang mengakibatkan perbedaan
luas sawah yang digunakan Boling dan penelitian ini serupa dengan faktor yang
mengakibatkan
perbedaan luas
sawah terhadap data BPS.
Sebaran spasial sawah tadah hujan dan irigasi di kawasan Jawa dan Bali dapat
diperlihatkan melalui Gambar 2.
Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali
Kawasan Jawa dan Bali didominasi oleh sawah irigasi yang terpusat pada bagian Utara
Jawa Barat, dan tersebar merata di Jawa bagian Tengah dan Timur hingga Bali. Sawah
tadah hujan banyak terdapat pada bagian Tenggara Provinsi Banten, bagian Tengah
hingga Selatan Jawa Barat serta sebagian kecil kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur,
DIY dan Bali. Sebaran sawah tadah hujan biasanya
terpengaruh oleh
kondisi klimatologi wilayah tersebut. Sawah dengan
tipe ini cenderung membutuhkan curahan hujan yang tinggi dan musim hujan yang
panjang.
Produksi pada
sawah yang
sudah menggunakan sistem irigasi relatif tidak
tergantung dengan besar curah hujan bulanan bila dibandingkan dengan sawah tadah hujan.
Sawah irigasi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk tetap berproduksi dalam
keadaan kekeringan meteorologis atau curah hujan dibawah normal sehingga sawah tipe
ini dapat berproduksi sebanyak dua kali dalam setahun. Lain halnya dengan sawah
irigasi, produksi padi pada sawah tadah hujan sangat tergantung pada kondisi curah hujan,
serta pola curah hujan bulanan yang terjadi Makurira 2011.
4.2. Zona Agroklimat Oldeman Jawa-Bali