Proses produksi bahan aktif bioinsektisida

Hasil dan Pembahasan

1. Proses produksi bahan aktif bioinsektisida

a. Proses fermentasi Produksi bahan aktif yang digunakan untuk produk bioinsektisida diperoleh dengan proses fermentasi bakteri Bacillus thuringiensis. Bahan aktif yang dimaksudkan adalah protein kristal δ-endotoksin dan spora bakteri. Untuk memproduksi endotoksin komposisi media yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh langsung terhadap tingkat toksisitas dan formulasi produk yang dihasilkan Burges 1998. Jenis media yang dapat digunakan dalam proses fermentasi telah banyak diteliti dan Burges 1998 telah memberikan ulasan terhadap beberapa jenis komposisi media yang banyak digunakan dalam produksi bioinsektisida B. thuringiensis. Media yang umum digunakan dalam proses produksi adalah media cair dan media semi padat. Proses fermentasi menggunakan media cair lebih mudah dilakukan daripada media semi padat untuk menghasilkan produk yang akan diolah lebih lanjut untuk keperluan formulasi produk. Hal tersebut disebabkan media cair dapat mengurangi proses lanjutan yang diperlukan untuk menyiapkan bahan aktif. Penggunaan media sintetik yang terdiri dari isolat bahan –bahan murni, dapat digantikan dengan menggunakan media alami dari alam. Media alami dapat diperoleh dari limbah atau hasil samping agroindustri yang masih mengandung nutrisi lengkap atau menggunakan bahan sumber nabati atau hewani lainnya. Contoh media yang berasal dari limbah dan dikembangkan untuk fermentasi B. thuringiensis adalah media limbah pengolahan kacang-kacangan dan limbah darah sapi Obeta Okafor 1984 serta padatan dari limbah pengolahan air Brar et al. 2007. Limbah cair tahu merupakan hasil buangan industri tahu yang merupakan sisa dari proses penggumpalan tahu dan pada umumnya dibuang ke badan air. Limbah cair tahu masih memiliki nutrien yang cukup untuk pertumbuhan mikroba Tabel 3. Nutrien yang penting bagi pertumbuhan mikroba adalah kadar karbon dan nitrogen. Kadar karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh limbah cair tahu masih tergolong tinggi, sehingga apabila dibuang ke badan air akan memiliki potensi pencemaran dengan menurunkan mutu air yang cukup besar. Air kelapa banyak dimanfaatkan sebagai salah satu sumber media fermentasi karena mengandung gula-sederhana dan vitamin serta mineral Tabel 4. Prabakaran et al. 2007 menyebutkan fermentasi dengan media air kelapa dapat menghasilkan tingkat toksisitas dan jumlah spora yang sama dengan menggunakan media konvensional. Priatno 1999 dan Sriganti 2000 juga memperoleh hasil yang sama dalam menggunakan air kelapa sebagai media fermentasi B. thuringiensis, bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku media fermentasi B. thuringiensis. Penggunaan air kelapa dan limbah cair tahu dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi bioinsektisida B. thuringiensis. Tabel 3 Komponen kimiawi limbah cair tahu dan air kelapa Komponen Limbah cair tahu Air kelapa Berat basah Berat kering Berat basah Berat kering Total nitrogen 0.09 10.6 0.01 0.60 Total karbon 0.49 58.7 1.02 66.20 Sumber : Aryati 2011 b. Karakteristisasi bahan aktif hasil fermentasi Analisis karakteristik yang dilakukan terhadap larutan hasil fermentasi adalah jumlah kandungan spora viable spore count VSC dan analisis LC 50 serta potensi dari uji hayati terhadap larva Crocidolomia pavonana. Jumlah spora yang dihasilkan dapat menggambarkan keberadaan kristal endotoksin yang dimiliki oleh bahan aktif yang didapatkan. Proses fermentasi yang digunakan adalah menggunakan erlenmeyer, karena hasil penelitian Nelly 2012 menunjukkan penggunaan fermentasi skala kecil lebih banyak menghasilkan kristal protein dibanding fermentor 3L. Hal tersebut diduga disebabkan karena proses agitasi dan aerasi yang lebih baik pada proses fermentasi skala kecil, sehingga respirasi sel bakteri berlangsung lebih baik dan menyebabkan pertumbuhan yang lebih baik, sehingga dapat menghasilkan kristal protein yang lebih banyak. Jenis spora B. thuringiensis tertentu dapat memiliki toksisitas langsung terhadap larva atau membantu kerusakan yang diakibatkan δ-endotoksin pada pencernaan serangga Tang et al. 1995; Johnson 199 6; Glare O’Callaghan 2000. Akan tetapi perbandingan jumlah spora yang dihasilkan antara dua bakteri yang berbeda tidak dapat dijadikan parameter untuk menentukan bakteri mana yang memiliki tingkat toksisitas terbaik. Tingkat toksisitas sesungguhnya yang dimiliki oleh bahan aktif dapat diperoleh melalui uji hayati. Tabel 4 Kandungan nutrisi air kelapa Komponen Jumlah Asam nikotinat mgl 0.600 Asam pantotenat mgl 0.520 Biotin mgl 0.020 Riboflavin mgl 0.010 Asam folat mgl 0.003 Thiamin mgl Sedikit Pirodoksin mgl Sedikit Auksin mgl 0.070 Giberalin mgl Sedikit 1-3 difenil urea mgl 5.800 Sorbitol mgl 15.000 Myoinositol mgl 0.010 Syclo inositol mgl 0.050 Kalium mg100 ml 312 Natrium mg100 ml 1050 Kalsium mg100 ml 290 Magnesium mg100 ml 300 Besi mg100 ml 1 Tembaga mg100 ml 14 Fosfor mg100 ml 370 Belerang mg100 ml 240 Sumber: Tuleckle 1961 dan Ketaren 1978 diacu dalam Priatno 1999 Jumlah VSC yang didapatkan dari larutan hasil fermentasi adalah 1.33 x 10 5 CFUml Tabel 5. Hasil tersebut tidak berbeda dari yang didapatkan oleh Aryati 2011 menggunakan media yang sama yakni 1.58 x 10 5 CFUml, akan tetapi keduanya berbeda cukup signifikan dengan hasil VSC produk komersial. Perbedaan nilai tersebut apabila dipandang dari sisi toksisitas produk yang dihasilkan, semata-mata hanyalah menggambarkan adanya toksin kristal yang dihasilkan akan tetapi tidak menggambarkan perbedaan jumlah yang dihasilkan atau tingkat toksisitas yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah spora tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan tingkat toksisitas antar sampel karena jumlah spora tidak berbanding lurus dengan tingkat toksisitas yang dihasilkan Nelly 2012. Akan tetapi nilai spora penting untuk melihat perkembangan bakteri dan pembentukan kristal endotoksin pada proses fermentasi. Hal tersebut disebabkan karena pembentukan kristal endotoksin berjalan pada masa sporulasi. Oleh karena itu perbandingan jumlah spora yang dimiliki dua sampel yang berbeda tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki masing-masing sampel. Tabel 5 Perbandingan karakteristik sampel pada hasil penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya dan produk komersial. Karakter Sampel Hasil penelitian ini Hasil penelitian sebelumnya Produk komersial VSC CFUml 1.37 x 10 5 1.58 x 10 5 1.2 x 10 9 LC 50 sampe l gml 62. x 10 -3 0.02 x 10 -6 3 x 10 -5 Potensi sampel IUmg 7.7 26267 16000 Aryati 2011 Keterangan : LC 50 standar pada percobaan sebelumnya = 0.05 x 10 -6 gml Daun yang digunakan pada pengujian ini adalah daun brokoli, daun yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah daun sawi hijau . Nilai LC 50 merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur dosis yang dibutuhkan dari bahan aktif untuk membunuh 50 populasi serangga. Dulmage 1990 menyatakan bahwa untuk menyatakan tingkat toksisitas yang dimiliki oleh bioinsektisida B. thuringiensis tidak cukup hanya melalui pengukuran LC 50 , akan tetapi diperlukan juga nilai potensi. Nilai LC 50 dari suatu bahan aktif akan selalu berubah dalam setiap pengukuran seiring dengan waktu disebabkan penurunan mutu bahan aktif dan keragaman yang terdapat antara populasi serangga yang digunakan pada waktu yang berbeda. Dengan kata lain LC 50 dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki oleh bahan aktif yang berbeda pada satu saat pengukuran yang sama, sedangkan untuk hasil pengukuran yang dilakukan pada waktu yang berbeda digunakan nilai potensi. Hasil perhitungan potensi yang dimiliki sampel uji berasal dari rasio perbandingan nilai LC 50 antara sampel dan LC 50 standar yang diukur pada waktu yang sama. Rumus perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Perhitungan potensi memerlukan produk bahan aktif standar yang memiliki nilai potensi yang telah terukur. Produk standar yang digunakan pada percobaan ini dan percobaan sebelumnya adalah sama dan memiliki nilai potensi 16000 IUmg. Nilai LC 50 yang dihitung adalah berdasarkan bobot total padatan dari larutan fermentasi. Sesungguhnya pengukuran LC 50 akan lebih akurat jika hanya berdasarkan bobot kristal endotoksin dan spora. Akan tetapi, pengukuran bobot kristal endotoksin dan spora saja dari larutan fermentasi cukup sulit dilakukan, oleh karena itu, digunakan asumsi bobot total padatan. Kandungan yang terdapat dalam total padatan larutan fermentasi adalah total sel hidup, total spora, padatan media fermentasi dan kristal δ-endotoksin. Jumlah total padatan pada larutan fermentasi adalah 0.01 gml. Nilai LC 50 yang dimiliki larutan fermentasi pada percobaan ini adalah sebesar 0.062 gml. Hal tersebut berarti untuk mematikan 50 serangga dengan jumlah total 10 ekor serangga diperlukan sekitar 5 ml cairan fermentasi. Jumlah tersebut terlalu kecil untuk keperluan aplikasi di lapangan. Hal tersebut mendukung alasan diperlukannya sebuah produk yang lebih terkonsentrat untuk keefektifan penggunaan. Dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Aryati 2011 Tabel 5 nilai LC 50 yang didapat pada percobaan ini lebih besar. Hasil LC 50 yang lebih besar menandakan tingkat toksisitas yang lebih kecil. Oleh karena itu, semakin kecil nilai LC 50 maka semakin baik tingkat toksisitas yang dimiliki. Nilai potensi yang diperoleh adalah 7.7 IUmg. Nilai potensi akan berbanding terbalik dengan nilai LC 50 . Semakin besar nilai potensi yang dimiliki, maka tingkat toksisitasnya akan semakin baik. Potensi yang dimiliki oleh sampel pada percobaan ini lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh percobaan sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena rasio LC 50 sampel dan LC 50 standar pada percobaan ini lebih kecil 0.03 dibandingkan dengan percobaan sebelumnya 2.5. Nilai LC 50 standar pada percobaan ini juga mengalami peningkatan dibandingkan pengukuran pada percobaan sebelumnya. Perbedaan hasil toksisitas LC 50 dan potensi yang didapatkan dibandingkan dengan percobaan sebelumnya diduga disebabkan karena metode yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati 2011. Metode uji hayati pada percobaan ini mencoba menghindari pengaruh selain toksin bahan aktif kepada mortalitas larva C. pavonana. Penggantian daun dan alas tisu perhari dapat menghindari kekeringan, stress berlebihan dan tumbuhnya jamur yang dapat menyebabkan kematian pada larva. Jenis daun yang digunakan sebagai media penempelan bahan aktif pada penelitian ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati 2011. Pada penelitian ini digunakan brokoli sedangkan penelitan sebelumnya menggunakan daun sawi hijau ceisin. Selera dan respon larva terhadap daun yang menjadi bahan makanan berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat mempengaruhi respon mortalitas larva terhadap bahan aktif yang dicobakan Meade Hare 1993. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Sari 2002 yang mengemukakan bahwa pertumbuhan larva C. pavonana pada daun brokoli jauh lebih baik dibandingkan pada daun sawi hijau. Larva yang tumbuh pada daun sawi hijau lebih banyak mengalami kegagalan untuk berkembang menjadi pupa. Hal tersebut diduga karena kandungan nutrisi yang dimiliki oleh brokoli lebih baik dibandingkan dengan daun sawi hijau Tabel 6. Kondisi larva yang kurang sehat karena pakan yang kurang baik dapat ikut menimbulkan pengaruh kepada respon mortalitas yang diamati, sehingga respon mortalitas yang diukur bukan karena pengaruh bahan aktif semata. Hal tersebutlah yang diduga mempengaruhi nilai LC 50 pada penelitian sebelumnya menjadi lebih rendah. Penyebab lain adalah keragaman antar populasi larva yang digunakan. Dulmage 1990 menyatakan bahwa nilai pengukuran LC 50 memiliki kendala apabila diperbandingkan dengan hasil yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal tersebut disebabkan adanya keragaman yang tidak dapat dikontrol dari serangga uji yang dipelihara. Hal-hal yang dapat memberikan pengaruh terhadap keragaman tersebut adalah faktor biologis pada saat pemeliharaan, faktor genetis atau adanya respon kekebalan dari serangga. Tabel 6 Kandungan nutrisi daun untuk pengujian per 100 g bagian yang dapat dimakan Kandungan Brokoli Sawi hijau Proteing 3.6 1.7 Lemakg 0.5 0.4 Karbohidratg 3.6 3.4 Vitamin B 1 mg 0.04 Vitamin Cmg 3.0 3.0 Sumber : Sari 2002 Uji hayati dilakukan pada larva C. pavonana. Larva tersebut dipergunakan karena pemeliharaan dan proses mendapatkan larva yang lebih mudah dibandingkan serangga uji yang lain. Serangga tersebut disebut juga ulat krop kubis. Serangga C. pavonana tergolong serangga polifagus yang artinya serangga tersebut dapat menyerang lebih dari satu jenis tanaman; dalam hal ini semua tanaman yang tergolong kubis-kubisan. Tanaman yang terserang dapat termakan habis dan minimal menurunkan mutu dan nilai jual yang dimiliki oleh tanaman. Chapman 1998 menjelaskan bahwa saluran pencernaan serangga umumnya terbagi tiga bagian : bagian depan stromodeum, bagian tengah mesentron dan bagian belakang proktodeum. Kondisi keasaman saluran pencernaan dapat berbeda-beda tergantung dari preferensi makan serangga. Umumnya saluran pencernaan bagian depan cenderung memiliki pH asam dan bagian tengah cenderung netral dan mengandung sistem buffer. Saluran pencernaan bagian belakang untuk serangga pemakan tumbuhan memiliki pH basa. Bagian saluran pencernaan ini diduga merupakan lokasi aktivitas toksin dari δ endotoksin, karena kondisi pH yang diperlukan untuk proses aktivasi endotoksin sesuai. Larva yang digunakan adalah larva instar dua. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas bahan aktif pada tahap awal perkembangan larva. Instar pertama tidak dapat dipergunakan karena kondisi larva masih sangat lemah apabila dipindahkan ke dalam cawan. Larva instar dua yang baru berganti kulit berada dalam kondisi lapar disebabkan harus melalui tahap puasa pada saat penggantian kulit. Hal ini juga dapat mempermudah pengukuran toksisitas disebabkan larva berpeluang besar untuk segera mengkonsumsi toksin yang berada pada permukaan daun. Hasil uji hayati yang didapatkan hanya berlaku terhadap serangga yang diuji dan tidak untuk serangga lain. Hal tersebut disebabkan karena sensitifitas setiap serangga terhadap bahan aktif toksin yang sama berbeda.

2. Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida

Dokumen yang terkait

Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium

1 41 50

“Uji Efektifitas Bacillus thuringiensis dan Beauverria bassiana (Balsamo) vuillemin Terhadap Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren.) (Isoptera: Rhinotermi) di Laboratorium

1 35 53

Uji Efektifitas Beauveria basianna DAN Bacillus thuringiensis Terhadap Ulat Api (Setothosea asigna Eeck) Di Laboratorium

1 36 46

Uji Efektivitas Bacillus thuringiensis Berliner dan Beauveria bassiana Vui!! Terhadap Ulat Krop Crocidolomia binotalis ZeC (Lepidoptera : Pyralidae) Pada Tanaman Kubis di Laboratorium

2 59 84

Uji Efektifvitas Entomopathogen Bacillus thuringiensis Berliner Terhadap Ulat Daun Jati Hyblaea puera Cramer (Lepidoptera : Hybleidae) Di Laboratorium

0 34 58

Eksplorasi protein toksin bacillus thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang

0 7 82

Characterization of protoxin protein and chitinase enzyme from indigenous isolates Bacillus thuringiensis

2 9 122

Determination of C/N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 3 240

Determination of C N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 16 127

Bioesai Bioinsektisida Berbahan Aktif Bacillus thuringiensis Asal Tanah Lebak terhadap Larva Spodoptera litura Bioessay of Bacillus thuringiensis Berliner Bioinsecticide Against Spodoptera litura Fabricius

0 0 7