Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida Study of microencapsulated bioinsecticide from Bacillus thuringiensis

kulit berada dalam kondisi lapar disebabkan harus melalui tahap puasa pada saat penggantian kulit. Hal ini juga dapat mempermudah pengukuran toksisitas disebabkan larva berpeluang besar untuk segera mengkonsumsi toksin yang berada pada permukaan daun. Hasil uji hayati yang didapatkan hanya berlaku terhadap serangga yang diuji dan tidak untuk serangga lain. Hal tersebut disebabkan karena sensitifitas setiap serangga terhadap bahan aktif toksin yang sama berbeda.

2. Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida

a. Penetapan kondisi operasi mesin spray dryer Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida dilakukan menggunakan alat spray dryer . Penggunaan metode ini menghasilkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi, proses yang lebih cepat, serbuk yang dihasilkan lebih halus dan mudah untuk peningkatan skala dibandingkan peralatan mikroenkapsulasi lainnya Gharsallaoui et al. 2007. Eslamian dan Ashgriz 2011 menyatakan bahwa karakteristik serbuk yang dihasilkan dari proses pengeringan semprot bergantung dari kondisi operasi mesin suhu, kelembaban dan tekanan dan karakteristik larutan kekentalan dan konsentrasi. Pada tahap ini parameter-parameter tersebut digunakan untuk mencari kondisi optimum pengoperasian mesin spray dryer. Konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan untuk optimasi proses mikroenkapsulasi adalah 10 maltodekstrin. Konsentrasi tersebut digunakan karena merupakan konsentrasi dengan kekentalan tertinggi yang dibuat untuk produk mikroenkapsulasi pada percobaan ini. Penggunaan konsentrasi tertinggi bertujuan sekaligus untuk menetapkan kondisi operasi untuk konsentrasi yang lebih rendah. Karakteristik kekentalan dan konsentrasi bahan yang dikeringkan mempengaruhi langsung mutu partikel yang dihasilkan proses atomisasi, semakin besar konsentrasi larutan yang digunakan, maka parameter pengoperasian akan semakin rumit. Kekentalan yang terlalu tinggi mengakibatkan proses pemompaan cairan ke mesin jet penyemprot menjadi terhambat. Kekentalan yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan proses atomisasi menjadi tidak sempurna, sehingga mutu serbuk yang dihasilkan tidak baik. Dengan kata lain parameter operasi yang digunakan untuk mengeringkan larutan dengan kekentalan tinggi diasumsikan dapat mewakili parameter yang digunakan untuk kekentalan rendah, karena kekentalan rendah memiliki karakter yang lebih mudah dioperasikan oleh alat pengering dan alat atomisasi. Kekentalan yang dihasilkan oleh konsentrasi 5 adalah 14.7 cp sedangkan konsentrasi 10 adalah 26.7 cP. Tabel 7 menunjukan hasil produk yang didapatkan pada kondisi operasi mesin spray dryer yang divariasikan. Kecepatan suplai larutan yang terbaik didapatkan pada kecepatan 50 mlmenit. Kondisi yang diinginkan adalah kecepatan suplai yang tinggi agar dapat mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan mutu serbuk yang didapat. Proses pengeringan didasarkan pada penguapan partikel cair larutan yang telah melalui proses atomisasi. Panas akan menguapkan air dengan cepat dan menyebabkan lapisan bahan enkapsulasi menyelubungi bahan aktif. Tabel 7 Pengaruh kondisi operasi mesin spray dryer terhadap mutu produk yang dihasilkan dengan konsentrasi maltodekstrin 10. Laju alir mlmin Suhu inlet o C Suhu outlet o C Mutu serbuk Bebas alir Clogging pada alat 30 100 50 - +++ 40 100 50 - ++ 40 110 60 - ++ 50 120 70 +++ - 50 130 80 ++ - 60 150 100 + - Keterangan : - tidak ada, +++ tampak sekali, ++ tampak, + kurang tampak . Alat jet penyemprot yang berada pada tabung outlet bekerja berdasarkan tekanan udara tinggi yang diberikan pada aliran cairan, sehingga mengakibatkan partikel cairan terpecah menjadi ukuran yang sangat kecil. Proses tersebut disebut sebagi proses atomisasi. Kecepatan alir cairan pada alat jet penyemprot penting untuk diperhatikan. Kecepatan alir yang terlalu rendah menyebabkan proses atomisasi yang berlebihan sehingga partikel yang terbentuk terlalu kecil sehingga mengakibatkan panas yang berlebihan pada permukaan serbuk saat proses pengeringan. Kecepatan alir yang terlalu tinggi akan memberikan efek kebalikan, proses panas tidak dapat mengeringkan partikel cairan karena partikel yang dihasilkan terlalu besar akibat proses atomisasi yang tidak sempurna. Hasil percobaan optimasi suhu inlet menunjukan bahwa sampel larutan bioinsektisida memiliki titik suhu penguapan partikel cairan untuk pembentukan serbuk terbaik adalah pada suhu inlet 120 o C Tabel 7. Suhu yang lebih rendah pada kondisi operasi ini akan menghasilkan partikel serbuk yang mengalami pengeringan tidak sempurna sehingga mengakibatkan pelengketan clogging pada dinding tabung inlet dan outlet. Suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan proses pengeringan terlalu tinggi, sehingga kerusakan bahan aktif dan serbuk terjadi. Tabel 7 menunjukan bahwa suhu inlet yang lebih tinggi dari 120 o C mengurangi mutu bebas alir serbuk. Proses pengeringan pada tabung inlet akan berlangsung cepat, sehingga dapat meminimalisasi kerusakan yang diakibatkan pada bahan aktif. Hasil tersebut sesuai dengan yang diperoleh oleh Alamilla-Beltran et al. 2005, yakni suhu yang digunakan pada saat pengeringan juga berpengaruh terhadap morfologi partikel yang dihasilkan. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa partikel yang dikeringkan pada suhu rendah antara 100 o C sampai 110 o C memiliki kecenderungan untuk membentuk partikel serbuk yang utuh dan tidak hancur. Penggunaan suhu yang tinggi 170 o C-200 o C akan menyebabkan pembentukan partikel matriks enkapsulasi yang tidak sempurna. Suhu yang terlampau tinggi akan mengakibatkan proses penguapan air dari partikel berlangsung sangat cepat dan pada akhirnya partikel matriks yang terbentuk akan pecah. Suhu optimum tabung outlet yang didapatkan adalah 70 o C Tabel 7. Suhu outlet merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut disebabkan sampel lebih lama tinggal pada tabung outlet. Kecepatan aliran udara sentrifugasi di dalam tabung outlet lebih kecil dibandingkan dengan tabung inlet, sehingga menyebabkan serbuk lebih lama jatuh ke tempat penampungan. Suhu yang terlalu tinggi pada tabung outlet dapat merusak aktifitas bahan aktif. Peningkatan suhu outlet yang melebihi suhu optimum menimbulkan resiko kerusakan bahan aktif yang semakin tinggi dan juga mutu serbuk yang dihasilkan semakin menurun. Pendekatan untuk meramalkan dan mencari kondisi operasi pengeringan yang baik adalah dengan memahami karakteristik bahan yang dikeringkan. Salah satu karakteristik tersebut adalah kelengketan bahan yang dihasilkan pada proses pemanasan. DE Dekstrosa Ekuivalen yang dimiliki oleh suatu bahan karbohidrat diduga memiliki hubungan erat dengan kelengketan yang dimiliki produk pada saat pengeringan. Karakter kelengketan bahan tersebut juga berkaitan erat dengan perubahan fase transisi seperti plastik. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Forssell 2004, yakni sifat dan karakteristik yang dimiliki maltodekstrin berhubungan erat dengan nilai DE yang dimiliki. Nilai DE menggambarkan seberapa besar tingkat pemutusan rantai karbon yang dilakukan oleh enzim untuk membentuk molekul yang lebih kecil. Maltodekstrin yang memiliki nilai DE semakin kecil akan memiliki sifat dan karakteristik yang mirip dengan pati, sebaliknya semakin besar nilai DE maka sifat dan karakteristik yang dimiliki akan semakin mirip dengan larutan glukosa Sun et al. 2010. Hasil analisis bilangan DE pada bahan maltodekstrin menunjukkan maltodekstrin pada penelitian ini memiliki DE 19. Sehingga bahan maltodekstrin yang digunakan memiliki karakteristik seperti larutan glukosa. Truong et al. 2004 menjelaskan mengenai pengaruh fase transisi gelas pada kelengketan produk karbohidrat di dalam penelitiannya. Hasilnya adalah penjelasan bahwa karbohidrat memiliki karakteristik suhu perubahan fase transisi gelas menjadi seperti plastik T g dan suhu terbentuknya bahan yang lengket T s . Ketika suhu pengeringan bahan lebih tinggi dari suhu T s maka bahan mengalami perubahan material amorf dari fase seperti kaca menjadi lebih fleksibel seperti plastik. Apabila suhu pengeringan lebih tinggi dari T g yang dimiliki bahan, maka bahan akan bersifat lengket dan menempel pada dinding tabung sehingga menurunkan rendemen yang didapat serta mutu produk yang dihasilkan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa suhu T s memiliki kisaran 10 o C sampai 23 o C lebih tinggi dari T g. hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa rendemen produk yang didapatkan dari bahan karbohidrat yang mudah lengket dapat ditingkatkan dengan cara mencari kondisi operasi optimum dari spray dry berdasarkan konsep fase transisi gelas yang dimiliki oleh bahan. Salah satu model yang menunjukkan hubungan antara DE dan T g adalah yang dihasilkan pada penelitian Langrish et al.. 2007. Pada penelitian tersebut menggunakan maltodekstrin dengan DE 18 yang tidak berbeda jauh dengan DE bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hubungan yang didapatkan antara kedua parameter adalah T g = 176.35-1.4 DE. Melihat bahwa DE yang digunakan pada penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan yang digunakan pada penelitian ini, maka diasumsikan rumus tersebut dapat digunakan juga untuk bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hasilnya adalah maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini memiliki T g = 148.35 o C. Suhu optimum pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pengoperasian berlangsung di bawah suhu tersebut sehingga menjelaskan mengapa hasil serbuk yang diperoleh pada suhu tersebut lebih baik dan tidak mengalami pelengketan dibandingkan percobaan pada suhu yang lebih tinggi. Rumus tersebut menggambarkan mengapa bahan-bahan yang memiliki kadar glukosa tinggi atau memiliki DE sangat tinggi, molekul sakarida dengan bobot molekul rendah yang tinggi serta kandungan asam organik yang tinggi sulit untuk dikeringkan dan dibuat produk serbuk menggunakan spray dryer. Truong et al. . 2004 menjelaskan bahwa bahan-bahan tersebut memiliki sifat termoplastik yang tinggi pula. Bahan-bahan tersebut akan memiliki titik T g yang sangat rendah sekali, sehingga pada saat pengeringan menggunakan spray dryer akan mengalami penumpukan dan pelengketan pada dinding alat. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian Adhikari et al.. 2006 yang mendapatkan bahwa bahan-bahan karbohidrat dengan berat molekul sangat rendah memiliki tingkat kelengketan yang tinggi ketika dikeringkan, sehingga tidak dapat diproduksi menjadi serbuk menggunakan spray dryer. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk meramalkan kondisi operasi optimum dari bahan karbohidrat berkaitan dengan karakteristik T g yang dimiliki adalah rasio bobot molekul yang terkandung dalam bahan. Hal tersebut dijelaskan oleh Takeiti et al.. bahwa DE tidak dapat digunakan secara mutlak untuk meramalkan karakteristik yang dimiliki oleh maltodekstrin atau bahan karbohidrat untuk digunakan dalam aplikasi. Salah satu cara yang lebih tepat adalah dengan rasio distribusi massa yang terkandung dalam maltodekstrin. Maltodekstrin dapat mengandung sakarida dengan rasio massa besar dan kecil berbeda tergantung jenis pati yang digunakan dan hidrolisis enzim yang berlangsung. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Avaltroni et al. 2004 yang mengemukakan bahwa maltodekstrin dengan DE yang kecil juga masih mengandung struktur sakarida dengan Derajat Polimerisasi DP yang tinggi, akan tetapi dengan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan maltodekstrin yang mengandung DE lebih tinggi. Bahan maltodekstrin yang memiliki nilai DE sama, tetapi memiliki rasio berat molekul sakarida yang terkandung berbeda akan menghasilkan bahan dengan karakteristik berbeda pula. Griffin dan brooks 1989 mengemukakan bahwa sakarida dengan massa besar berpengaruh terhadap stabilitas dan solubilitas yang dihasilkan, sedangkan sakarida dengan massa kecil berpengaruh terhadap viskositas, kristalinitas dan kemanisan produk yang dihasilkan. Secara ringkas Marchal et al.. 1999 menjelaskan hubungan antara karakteristik tersebut sebagai berikut : 1. Higroskopisitas antara bahan dengan panjang Derajat Polimerisasi DP berbeda adalah DP3DP4=DP7DP5DP6DP11DP2. 2. Viskositas akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. 3. Derajat kemanisan akan menurun seiring dengan peningkatan DP 4. Kestabilan waktu simpan akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. Umumnya DP di atas 7 sampai 12 akan menunjukkan waktu simpan yang lebih baik. Penelitian pendugaan karakteristik dari rasio bobot molekul dilakukan dengan menggunakan pendekatan permodelan. Roos dan Karel 1991 mengemukakan tentang hubungan antara rasio bobot molekul dan kemampuan bahan untuk dibekukan. Avaltroni et al. 2004 dalam penelitiannya menjelaskan mengenai hubungan antara rasio bobot molekul dan T g serta viskositas yang dihasilkan dengan model matematika tertentu. b. Pemilihan bahan enkapsulan Bahan karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan bioinsektisida karena selain mudah terdegradasi juga dapat berfungsi sebagai daya tarik konsumsi bagi serangga. Kemampuan daya tarik konsumsi itu disebabkan karena karbohidrat merupakan bahan alami yang terkandung di dalam daun yang merupakan pakan alami dari serangga. Beberapa bahan karbohidrat yang dapat digunakan dalam proses enkapsulasi dinding matriks adalah laktosa dan maltodekstrin. Dulmage 1990 menyatakan bahwa bahan yang umum digunakan untuk produk enkapsulasi adalah laktosa. Laktosa memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan amorf melindungi inti bahan aktif. Kekurangan yang dimiliki adalah harga yang dimiliki cukup mahal, sehingga dapat menaikan harga produk yang dihasilkan. Maltodekstrin adalah produk turunan pati yang lebih murah dan sudah banyak digunakan sebagai bahan enkapsulan pada industri makanan, farmasi dan obat- obatan dan probiotik. Konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan adalah laktosa 5 bv, maltodekstrin 5 bv dan 10 bv. Sampel dikeringkan dengan mesin spray dryer menggunakan kondisi operasi optimum yang dihasilkan pada percobaan sebelumnya. Rendemen maksimum yang dihasilkan oleh proses mikroenkapsulasi adalah 25 sedangkan minimum 5 berdasarkan berat total padatan larutan fermentasi dan bahan enkapsulan yang ditambahkan Tabel 8. Penyebab dari perbedaan rendemen yang dihasilkan diduga berhubungan dengan kadar air produk yang dihasilkan. Hal tersebut juga terlihat pada produk yang menggunakan bahan laktosa. Serbuk yang menggunakan bahan enkapsulan laktosa tidak mengalami pengeringan dengan baik sehingga serbuk yang dihasilkan buruk Gambar 6c dan rendemen yang dihasilkan juga rendah karena banyak tertinggal dan menempel pada dinding tabung. Tabel 8 Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap rendemen dan mutu produk yang dihasilkan Bahan enkapsulan Rendemen Kadar air Mutu serbuk Maltodekstrin 5 5 4.5 Baik Maltodekstrin 10 25 3.4 Baik Laktosa 5 6.1 Buruk Konsentrasi maltodekstrin 5 dan laktosa 5 memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan maltodekstrin dengan konsentrasi 10. Farimin dan Nordin 2009 menyimpulkan bahwa hal tersebut diduga disebabkan karena rendahnya konsentrasi padatan di dalam larutan yang melalui proses pengeringan sehingga masih banyak air bebas yang terkandung dalam serbuk yang tidak mampu diuapkan oleh panas. Sonthipermpoon et al.. 2006 juga memperoleh hasil yang sama dan mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi maltodekstrin yang digunakan sebagai bahan enkapsulan berpengaruh terhadap mutu dan persentase rendemen serbuk yang dihasilkan. Proses tersebut berkaitan erat dengan kemampuan pembentukan struktur transisi seperti plastik yang dimiliki oleh maltodekstrin pada saat penguapan air berlangsung. Maltodekstrin yang memiliki kemampuan membentuk struktur transisi seperti plastik yang baik akan membentuk lapisan dinding matriks yang baik dan menghasilkan serbuk dengan tekstur yang baik pula. Lapisan dinding matriks yang akan terbentuk berhubungan dengan kadar air bebas yang terkandung. Hal tersebut disebabkan karena dengan adanya air maka ketidakstabilan molekul maltodekstrin masih tinggi sehingga mempengaruhi kemampuannya saling berikatan untuk membentuk lapisan dinding matriks. Semakin banyak kadar air bebas yang tidak mampu dilepaskan oleh proses penguapan maka kemampuan maltodekstrin dalam membentuk lapisan dinding akan semakin menurun. Akibat yang ditimbulkan adalah serbuk akan menempel pada lapisan dinding alat dan tidak ikut mengalir bersama aliran udara siklon menuju tempat penampungan. Hasil yang sama pada saat pengeringan menggunakan bahan pewarna alami juga diperoleh Quek et al.. 2007. Mereka menemukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin dapat meningkatkan persentase rendemen produk yang diperoleh. Hasil analisis mereka mengenai hal tersebut sama dengan penjelasan sebelumnya. Hubungan antara konsentrasi maltodekstrin yang digunakan dan kemampuan waktu simpan dan retensi produk yang dihasilkan juga diteliti oleh Yoshii et al. 2001. Penelitiannya mengungkapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin, maka waktu simpan atau kemampuan retensi yang dimiliki produk akan semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat lapisan dinding amorf bahan enkapsulan terbentuk sehingga dapat memerangkap lebih banyak bahan aktif dan menghindari kerusakan yang dialami pada saat pengeringan serta mengurangi jumlah bahan aktif yang tidak terenkapsulasi. Hubungan antara kadar air dan rendemen yang didapat ini dapat juga menjelaskan hasil yang didapat pada Tabel 7. Suhu pengeringan di bawah suhu inlet 120 o C menunjukkan bahwa adanya penyumbatan atau clogging pada alat. Penyumbatan tersebut adalah disebabkan karena proses pengeringan tidak mampu menguapkan secara sempurna air yang berada pada partikel atau dengan kata lain bahwa produk yang dihasilkan akan menempel pada dinding tabung disebabkan kadar air yang terkandung masih tinggi. Hal ini memperkuat pernyataan dalam hasil penelitian Wang dan Langrish 2008. Mereka menyatakan dalam tulisannya bahwa deposisi bahan yang menempel pada permukaan mesin spray dryer akan mempengaruhi langsung rendemen yang diperoleh. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwasanya pada proses pengeringan kadar air produk yang dihasilkan merupakan parameter penting untuk menghasilkan serbuk yang baik dan bermutu. Dari Tabel 8 dan Gambar 6 terlihat bahwa bahan laktosa tidak dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan produk bioinsektisida. Produk dengan bahan enkapsulan maltodekstrin menunjukkan tekstur serbuk dan hasil yang lebih baik. Hal tersebut berbanding terbalik dengan produk dengan bahan enkapsulan laktosa. Produk tersebut mengalami proses browning dan memiliki sifat higroskopis yang tinggi sehingga produk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat sebagai produk yang baik. Serbuk yang dihasilkan terlihat menggumpal dan berwarna kecoklatan. Produk berwarna kecoklatan karena adanya proses browning dan karamelisasi, sedangkan pengumpalan terjadi akibat proses pengeringan yang tidak sempurna di dalam tabung spray dryer sehingga serbuk saling melekat satu sama lain. Produk yang mengalami proses karamelisasi dan menggumpal tidak dapat dilarutkan di dalam air dan akan menyebabkan penyumbatan pada alat penyemprot bioinsektisida pada saat aplikasi. Reaksi Maillard yang menimbulkan proses browning juga menyebabkan munculnya senyawa flavor yang dapat mempengaruhi serangga untuk memakan umpan bahan aktif yang diaplikasikan. a b c Gambar 6 Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap penampakan produk yang dihasilkan. aproduk maltodekstrin 5 b produk maltodekstrin 10 c produk laktosa 5 Proses browning yang terjadi pada produk laktosa dapat menggambarkan rusaknya bahan aktif kristal protein. Hal tersebut disebabkan karena proses browning melibatkan reaksi antara molekul karbohidrat dan molekul protein. Bereaksinya protein pada reaksi browning menunjukkan kemungkinan telah berubahnya struktur protein yang akan berimplikasi juga terhadap aktivitas toksin protein. Hasil samping yang menghasilkan molekul flavor pada reaksi maillard juga memungkinkan memberikan pengaruh bagi selera makan larva serangga. Dalam produk laktosa padatan umumnya mengandung dua jenis partikel serbuk yakni bentuk amorf dan kristal. Proses kristalisasi terhadap bahan laktosa yang dapat berimplikasi terhadap karakterisitik produk yang dihasilkan. Perbandingan karakteristik antara bentuk kristal laktosa dan bentuk amorf diantaranya adalah: bentuk kristal lebih sukar larut dibandingkan bentuk amorf Porkharkar et al. 2006, bentuk kristal memiliki sifat bebas alir lebih baik dibandingkan dengan bentuk amorf Chan Chew 2003, bentuk kristal akan memiliki waktu simpan lebih lama dibandingkan bentuk amorf karena bentuk amorf memiliki higroskopisitas lebih tinggi sehingga rentan mengalami penggumpalan Chidavaenzi et al. 2001. Perbandingan kristal yang dihasilkan dalam proses pengeringan spray dryer ternyata dipengaruhi oleh skala mesin yang digunakan. Islam dan Langrish 2010 mengemukakan bahwa kristal akan semakin banyak terbentuk jika suhu pengeringan dinaikkan pada mesin spray dryer skala pilot, sedangkan Das et al. 2010 menemukan bahwa konsentrasi kristal akan semakin tinggi jika suhu diturunkan menggunakan mesin skala laboratorium. Das et al. menerangkan bahwa perbedaan ini disebabkan karena kemampuan menghasilkan partikel serta kondisi pengeringan yang berbeda pada setiap mesin yang digunakan. Islam dan Langrish 2009 menerangkan bahwa dalam proses spray drying menggunakan bahan laktosa terdapat beberapa perubahan yang terjadi. Perubahan pertama adalah terbentuknya partikel amorf yang merupakan partikel yang terbentuk pada proses menggunakan bahan laktosa terdapat beberapa perubahan yang terjadi. Perubahan pertama adalah terbentuknya partikel amorf yang merupakan partikel yang terbentuk pada proses spray drying pada umumnya. Fase kedua adalah pembentukan partikel kristal. Penyebab rusaknya produk laktosa tersebut juga berhubungan erat dengan kelembaban tempat produksi dan tempat penyimpanan yang tinggi yang menyebabkan proses browning dan pembentukan partikel yang lengket berjalan lebih cepat. Peristiwa ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Pan dan Melton 2007 yang mengemukakan bahwa laktosa akan melalui proses browning lebih cepat pada proses pemanasan dengan lingkungan mengandung tingkat kelembaban menengah sampai tinggi. Adhikari et al. 2006 juga mengemukakan bahwa kelembapan juga mempengaruhi kelengketan yang dihasilkan oleh laktosa. Peningkatan kelembaban pada saat pengeringan akan menurunkan T g dari bahan laktosa sehingga menyebabkan munculnya bahan yang lengket pada dinding tabung. Faktor lain yang menyebabkan proses penggumpalan adalah sifat higroskopik dari produk enkapsulasi laktosa yang dihasilkan. Burrington 2011 menyatakan bahwa laktosa memiliki sifat higroskopis yang tinggi, sehingga mengakibatkan laktosa yang telah melalui proses pengeringan melalui mesin spray dryer sangat cepat menyerap air dari udara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan laktosa pada proses yang menggunakan panas serta pengeringan sangat tergantung kepada kelembaban pada saat proses pengeringan berlangsung dan pada saat penyimpanan. Lebih lanjut, penelitian Islam dan Langrish 2009 mencoba menjelaskan hubungan antara fase transisi seperti plastik, proses kristalisasi dan rendemen yang dihasilkan pada pengeringan menggunakan spray dryer pada bahan laktosa. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa seiring dengan peningkatan suhu pengeringan akan menurunkan rendemen yang diperoleh. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya partikel amorf yang terbentuk telah memasuki fase transisi seperti plastik dan karena waktu kontak panas pada mesin yang singkat sehingga tidak memungkinkan partikel tersebut berubah lebih lanjut menjadi partikel kristal. Dibandingkan dengan kondisi operasi optimum yang digunakan untuk pengeringan, laktosa memiliki T g lebih rendah yakni 110 o C Roos Karel 1991. Titik T g tersebut dapat berubah seiring dengan kelembaban pada proses pengeringan. Semakin tinggi kelembaban maka T g akan semakin rendah. Hal tersebutlah yang menjelaskan mengapa tingkat produk yang menggunakan bahan enkapsulan laktosa, karena suhu pengeringan lebih tinggi dari T g laktosa sehingga bahan laktosa telah berubah menjadi partikel lengket dan menempel pada dinding tabung. Hasil mikroenkapsulasi menggunakan bahan laktosa dengan spray dryer pada percobaan ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Susanto 2011 menggunakan metode freeze dryer. Produk yang diolah melalui proses freeze drying tidak mengalami penggumpalan, browning dan karamelisasi. Hal tersebut disebabkan karena metode freeze drying tidak melibatkan proses pemanasan sehingga tidak memicu timbulnya reaksi Maillard. Metode tersebut juga mampu menghasilkan serbuk dengan kadar air rendah sehingga tidak menimbulkan penggumpalan. Perbandingan antara dua percobaan tersebut memberikan kesimpulan bahwa proses mikroenkapsulasi dengan menggunakan bahan laktosa akan lebih baik apabila digunakan dengan metode yang tidak melibatkan pemanasan, terutama pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penurunan mutu produk yang dihasilkan. Cara lain untuk mengatasi kerusakan oleh panas yang dimiliki oleh laktosa mungkin dapat diatasi dengan penggantian bahan lain yang juga berasal dari susu. Casein merupakan salah satu bahan yang juga terkandung di dalam susu. Hasil penelitian oleh Behle et al.. 1996 melaporkan bahwa casein dari susu dapat digunakan pada formulasi produk bioinsektisida B. thuringiensis. Casein merupakan protein sehingga tidak mengalami reaksi Maillard. Hal tersebut menandakan proses pencoklatan dan karamelisasi yang merusak produk serbuk dapat dihindari Bahan enkapsulan maltodekstrin menghasilkan produk bioinsektisida serbuk lebih baik dibandingkan laktosa. Nilai DE bahan maltodekstrin yang digunakan ideal untuk mengemulsi bahan aktif pada saat pencampuran karena maltodekstrin dapat larut dengan baik. Peristiwa ini penting agar proses enkapsulasi pada saat pengeringan berlangsung dengan baik. Proses emulsi yang berlangsung dengan baik itulah yang membuat produk bioinsektisida dengan bahan enkapsulan maltodekstrin memiliki sifat bebas alir yang baik. Produk bioinsektisida yang dihasilkan juga memiliki kemampuan untuk larut dengan baik pada air bersuhu rendah. Hal ini akan memudahkan aplikasi dan mencegah timbulnya penyumbatan pada alat penyemprot. Hasil pengamatan menggunakan SEM menunjukan penampakan partikel enkapsulasi yang berbeda untuk masing-masing konsentrasi maltodekstrin yang ditambahkan Gambar 7. Permukaan partikel dengan konsentrasi enkapsulan 10 terlihat paling jelas. Partikel yang terbentuk memiliki ukuran panjang dan lebar 43 µm x 35 µm. Partikel yang dihasilkan oleh konsentrasi enkapsulan 5 menunjukkan tingkat aglomerasi yang tinggi dan ditunjukkan oleh ukuran partikel yang lebih besar yakni 593 µm x 538 µm. Partikel terlihat mengembang hingga hampir 10 kali lebih besar dibandingkan partikel dengan konsentrasi 5, disebabkan karena proses pengikatan air yang tinggi. Hal tersebut diduga karena proses terbentuknya dinding matriks yang kurang sempurna sehingga menyebabkan konsistensi matriks yang terbentuk rendah dan dapat mengikat air dari udara dengan cepat disebabkan DE maltodekstrin yang tinggi. Kondisi yang dimiliki oleh partikel serbuk dengan konsentrasi 5 ini dapat menyebabkan turunnya mutu produk selama proses penyimpanan. Lisansky et al. 1993 di dalam Burges 1998 juga menemukan peristiwa yang sama menggunakan bahan enkapsulan gum arab. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa kadar air serbuk yang diperoleh harus lebih rendah dari 7 untuk menghindari terjadinya proses aglomerasi dan kontaminasi dari bakteri lain. Selain kemungkinan terjadinya kontaminasi dari bakteri lain yang dapat menggunakan bahan enkapsulan sebagai media nutrisi untuk pertumbuhan, aktivasi kembali dari spora B. thuringiensis yang terenkapsulasi juga memungkinkan untuk menimbulkan kerusakan pada produk bioinsektisida. Hasil yang didapatkan menyimpulkan bahwa produk dengan konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin 5 tidak dapat digunakan sebagai produk bioinsektisida yang baik. a b Gambar 7 Pengaruh konsentrasi terhadap permukaan partikel serbuk yang terbentuk dari proses mikroenkapsulasi. a produk mikroenkapsulasi maltodekstrin konsentrasi 10 perbesaran 2000x b produk mikroenkapsulasi konsentrasi 5 perbesaran 150x a b Gambar 8 Penampakan sampel serbuk bioinsektisida dengan a konsentrasi 5 dan b konsentrasi 10, setelah penyimpanan pada suhu 4 o C selama 6 bulan Penyimpanan setelah 6 bulan menunjukkan bahwa produk dengan konsentrasi enkapsulan 10 lebih baik dibandingkan konsentrasi 5 Gambar 8. Produk dengan konsentrasi 10 dapat mempertahankan karakteristik serbuk yang baik, sedangkan produk dengan 5 tidak dapat mempertahankannya. Sifat higroskopis yang tinggi, aktif kembalinya spora bakteri dan menggunakan bahan enkapsulan sebagai media pertumbuhan, merusak karakteristik serbuk yang dimiliki oleh produk dengan konsentrasi bahan enkapsulan 5 Gambar 8a. Ukuran partikel dapat berhubungan dengan sifat bebas alir serbuk yang dihasilkan. Hasil penelitian Wang dan Zhou 2012 mengemukakan bahwa peningkatan DE maltodekstrin dapat meningkatkan sifat bebas alir produk yang diperoleh. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan DE akan berdampak pada peningkatan ukuran partikel serbuk yang dihasilkan. Partikel serbuk yang semakin besar akan memiliki luas permukaan lebih besar yang mengakibatkan luas kontak antar partikel serbuk juga semakin kecil. Hal tersebut juga ditemui pada hasil penelitian Loksuwan 2006, dimana ukuran serbuk yang dihasilkan oleh maltodekstrin lebih besar dibandingkan yang dihasilkan menggunakan bahan enkapsulan pati. Hal ini menguatkan hasil yang didapatkan pada tahap percobaan optimasi kondisi operasi spray dryer dan pemilihan bahan enkapsulan, bahwa sifat bebas alir produk menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin cukup baik. Perubahan ukuran partikel ternyata berlangsung selama proses pengeringan. Alamila-Bertran 2004 mengungkapkan bahwa adanya proses pengembangan ukuran partikel yang terjadi pada setiap partikel menggunakan tingkat panas pada suhu yang berbeda beda. Partikel produk akhir yang didapatkan memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan awal keluar dari lubang penyemprotan. . Tingginya DE yang dimiliki oleh maltodekstrin dianggap memiliki kekurangan bagi serbuk yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi DE yang dimiliki maka semakin besar tingkat aglomerasi dan higroskopisitas bahan yang dimiliki Forrsell 2004. Produk yang memiliki sifat higroskopis tinggi akan mudah menggumpal pada saat penyimpanan dan menurunkan waktu simpan yang dimiliki. Akan tetapi hasil penelitian Wang dan Zhou 2012 menunjukkan hasil yang berlawanan. Mereka menyatakan bahwa peningkatan DE maltodekstrin tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam peningkatan higroskopisitas. Wang dan Zhou 2012 menjelaskan hal tersebut diduga disebabkan jumlah titik pengikat air pada maltodekstrin dengan DE yang berbeda kemungkinan sama, sehingga menyebabkan kesamaan tingkat higroskopisitas antara keduanya. Hipotesa tersebut memperkuat hasil yang didapatkan Anandaraman dan Reineccius 1986. Mereka mengemukakan bahwa maltodekstrin merupakan bahan yang dapat meningkatkan waktu simpan minyak kulit jeruk dan semakin besar DE yang dimiliki maka semakin baik kemampuan dari maltodekstrin untuk mengawetkan produk. Kemampuan maltodekstrin sebagai bahan enkapsulan dalam meningkatan kemampuan retensi dan waktu simpan juga didukung oleh penelitan-penelitian lain menggunakan bahan inti yang berbeda. Finotelli dan Rocha-Leao 2005 menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat digunakan untuk mengenkapsulasi asam askorbat dan hanya menunjukkan 7 penurunan bahan aktif selama 60 hari penyimpanan. Selim et al. 2008 menyebutkan bahwa dibandingkan dengan gum arab, maltodekstrin berhasil mengenkapsulasi bahan pigmen dan memiliki waktu simpan yang paling lama. Produk laktosa tidak dapat digunakan sebagai produk mikroenkapsulasi bioinsektisida karena mutu serbuk yang rendah, begitu juga dengan produk yang menggunakan maltodekstrin dengan konsentrasi 5. Sehingga dapat disimpulkan bahwa produk mikroenkapsulasi menggunakan konsentrasi maltodekstrin 10 adalah yang terbaik diantara ketiganya. c. Karakterisasi produk mikroenkapsulasi Produk maltodekstrin terpilih dari tahap sebelumnya adalah produk dengan dengan konsentrasi 5 dan 10 untuk dikarakterisasi lebih lanjut. Hasil karakterisasi produk bioinsektisida dengan menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai VSC yang dimiliki oleh produk maltodekstrin dengan konsentrasi 5 lebih rendah dibandingkan dengan produk dengan konsentrasi 10 Tabel 9. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi yang lebih banyak mampu mengenkapsulasi jumlah spora yang lebih banyak pula. Analisis beda nyata memperlihatkan bahwa nilai VSC kedua konsentrasi tidak berbeda nyata. Tabel 9 menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dari jumlah spora yang terkandung dalam larutan fermentasi awal dibandingkan dengan produk mikroenkapsulasi terdapat penurunan yang signifikan. Nilai log VSC digunakan semata-mata untuk mempermudah penyajian data. Penggunaan nilai sebenanya dari jumlah spora sulit digunakan untuk menjelaskan kondisi sebenarnya dari jumlah spora di dalam sampel. Tabel 9 Pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin terhadap karakter produk Produk Karakter produk VSC CFUg Log VSC CFUg LC 50 gml Potensi IUmg Lapisan film Fitotoksistas Larutan fermentasi 1.3 x 10 7a 7.1 a 0.062 a 7.7 - - Maltodekstrin 5 3.9 x 10 3 b 3.5 b 0.003 b 160.0 + - Maltodekstrin 10 2.8 x 10 4 b 3.9 b 0.027 c 17.8 + - Keterangan: Perhitungan didasarkan atas bobot masa bahan aktif 0.01 gml cairan fermentasi - tidak ada + ada Huruf yang sama pada kolom yang sama menandakan tidak berbeda nyata α = 0.01 Tukey- Kramer Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menandakan berbeda nyata α = 0.05 model Probit Penurunan jumlah spora akibat proses mikroenkapsulasi adalah sekitar 10 3 sampai 10 4 CFUg sedangkan menurut nilai log VSC mencapai 50 Tabel 9. Penurunan tersebut dapat disebabkan karena jumlah bahan enkapsulan yang ditambahkan masih belum mampu untuk mengenkapsulasi seluruh jumlah spora yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan positif antara peningkatan konsentrasi bahan enkapsulan dan peningkatan jumlah log VSC yang dimiliki. Penyebab lainnya adalah diduga dengan adanya panas pada proses pengeringan spray dryer yang mempengaruhi mutu spora yang terenkapsulasi. Montville et al. 2005 menjelaskan bahwa ketahanan panas maksimum bagi spora bakteri spesies Bacillus hanyalah mencapai sekitar 90-100 o C. Suhu pemanasan spray dryer yang melebihi 100 o C menurunkan jumlah spora produk. Hasil yang berbeda diperoleh Susanto 2011, dimana penurunan jumlah spora dalam produk yang terjadi hanya sebesar 14 Tabel 12. Proses freeze drying dapat meminimalisasi penurunan jumlah spora yang terkandung dalam produk karena minimnya kontak bahan aktif dengan panas. Spora bakteri B. thuringiensis subsp aizawai tidak memiliki peran besar bagi toksisitas terhadap serangga Glare O’Callaghan, 2000, oleh karena itu menurunnya jumlah spora yang terkandung tidak akan berperan besar bagi berkurangnya toksisitas produk yang dihasilkan. Produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5 memiliki nilai LC 50 lebih rendah dibandingkan produk dengan konsentrasi 10. Hal tersebut menandakan toksisitas produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5 lebih tinggi dari produk dengan konsentrasi 10. Produk dengan konsentrasi 5 mengalami peningkatan toksisitas dua puluh kali lipat dibandingkan larutan fermentasi asli berdasarkan nilai LC 50 . Produk dengan konsentrasi 10 hanya mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat. Perbedaan ini diduga disebabkan karena kandungan rasio bahan enkapsulan dan bahan aktif antara kedua produk yang berbeda. Bahan aktif dengan konsentrasi 5 memiliki rasio antara bahan aktif dan bahan enkapsulan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10. Hal tersebut berarti kandungan bahan aktif yang dimiliki oleh produk konsentrasi 5 lebih tinggi per satuan massa tertentu dibandingkan dengan produk konsentrasi 10. Kristal protein yang merupakan parameter utama dalam respon mortalitas serangga hanya dihasilkan 20 sampai 30 dari total protein yang diproduksi oleh bakteri Glare O’Callaghan 2000. Jumlah bahan enkapsulan yang lebih banyak memungkinkan bahan-bahan lain seperti spora, protein serta asam-asam amino hasil metabolisme, sel hidup, dan bahan-bahan media fermentasi ikut terenkapsulasi dalam produk. Jumlah bahan-bahan lain selain kristal protein apabila semakin banyak ikut terenkapsulasi akan menurunkan kemampuan toksisitas dari produk mikroenkapsulasi. Nilai potensi yang didapatkan untuk larutan hasil fermentasi adalah sebesar 7.7 IUmg Tabel 9. Produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5 mengalami peningkatan potensi toksisitas lebih tinggi dibandingkan produk 10. Penjelasan mengenai hal tersebut sama dengan penjelasan mengenai perbedaan antara nilai LC 50 masing-masing produk. Penyebab perbedaan nilai potensi antara komersial dan produk yang dihasilkan pada percobaan ini diduga karena perbedaan galur B. thuringiensis yang digunakan dan sensitifitas serangga terhadap jenis toksin yang dihasilkan. Penyebab lainnya adalah produk komersial sudah merupakan produk yang dihasilkan dari proses pemekatan dan pemurnian bahan aktif sehingga toksisitas yang dihasilkan pun lebih tinggi. Perbedaan penggunaan media fermentasi juga diduga dapat menjadi penyebab perbedaan tingkat toksisitas. Produk komersial pada umumnya menggunakan media konvensional untuk meproduksi bahan aktif. Setiap subspesies B. thuringiensis akan menghasilkan jenis kristal protein yang berbeda. Kristal protein yang dihasilkan juga akan memiliki kandungan δ- endotoksin dengan komposisi tertentu. Subspesies aizawai memiliki kompisis jenis δ-endotoksin yang lebih banyak dibandingkan dengan subspesies berliner Tabel 10. Tabel 10 komposisi δ-endotoksin subsp. aizawai dan berliner Subspesies Komposisi δ-endotoksin aizawai CryIAa, CryIAb, CryIAd, CryIC, CryICb, CryIEb, CryIf berliner CryIab, CryYAc, Cry1Ab5 Sumb er : Glare O’Callaghan2000, Zhu Adamezyk 2004 Dulmage 1981 yang pertama kali mengemukakan bahwa setiap subspesies dari B. thuringiensis akan memiliki nilai potensi yang berbeda. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh susunan unik endotoksin yang dimiliki masing- masing subspesies. Hal tersebut diperkuat oleh hasil yang diperoleh Tabashnik 1992 serta Asano dan Hori 1995 yang menyatakan bahwa sinergi antara masing-masing komposisi endotoksin yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Glare dan O’Callaghan 2000 menyimpulkan bahwa kombinasi δ- endotoksin yang berbeda dapat menimbulkan peningkatan tingkat toksisitas interaksi positif pada serangga uji dan dapat juga menimbulkan penurunan interaksi negatif. Kelebihan banyak kombinasi δ-endotoksin adalah kemungkinan target grup serangga menjadi lebih luas. Hal tersebut akan tetapi juga memiliki sisi negatif yakni kemungkinan timbulnya interaksi negatif antar komposisi δ-endotoksin terhadap serangga uji tertentu. Subspesies berliner mungkin tidak memiliki target grup serangga yang luas, akan tetapi dengan sedikitnya kemungkinan kombinasi interaksi δ-endotoksin dapat memperkecil kemungkinan hasil interaksi negatif pada toksisitas serangga uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapat pada penelitian ini memperkuat hipotesis bahwa perbedaan galur yang digunakan akan menghasilkan karakteristik bahan aktif yang berbeda pula. Penyebab lainnya adalah dugaan bahwa jumlah kristal dan jenis protein yang dihasilkan masing-masing bakteri berbeda. Jumlah kristal protein yang dihasilkan berhubungan dengan nutrisi yang terkandung dalam media fermentasi yang dipergunakan oleh bakteri. Produk komersial diduga merupakan produk yang menggunakan fermentasi media konvensional. Media konvensional memiliki kandungan nutrien yang lebih lengkap untuk pembentukan kristal protein yang maksimal. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya. Nelly 2012 menyebutkan bahwa proses produksi yang menggunakan media konvensional memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan media substitusi limbah cair tahu, dengan kata lain proses produksi menggunakan media konvensional diduga menghasilkan kristal protein yang lebih banyak. Hal tersebut berdasarkan hasil analisis perbandingan kandungan asam amino pada masing-masing sampel Tabel 11. Konsentrasi kristal protein yang dimiliki oleh produk komersial lebih tinggi dibandingkan dengan proses fermentasi yang digunakan dalam penelitian. Produk komersial memiliki kandungan total asam amino rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil fermentasi menggunakan media cair tahu dan ampas tahu. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa produk komersial memiliki kandungan asam amino hidrofobik yang lebih banyak. Nelly 2012 membahas bahwa kandungan asam amino hidrofobik yang tinggi menyebabkan produk komersial memiliki tingkat toksisitas yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Butko et al.. 1994 yang mengemukakan bahwa fragmen δ-endotoksin sebagian besar bersifat hidrofobik. Chandra et al. 1999 juga mengungkapkan bahwa semua jenis kristal endotoksin memiliki kesamaan motif susunan delapan asam amino yang bersifat hidrofobik. Sifat hidrobik dari fragmen δ-endotoksin menyebabkan lapisan lipida pada membran dinding sel pencernaan serangga dapat ditembus dan membentuk saluran ion. Perbedaan kemampuan masing-masing kristal endotoksin dalam merusak dan menimbulkan respon toksin pada serangga bergantung pada susunan asam amino yang terkandung dalam kristal terutama gugus hidrofobik dan reseptor yang dimiliki oleh serangga. Penelitian Chandra et al.. 1999 membuktikan bahwa modifikasi pada gugus hidrofobik suatu kristal endotoksin dapat merubah tingkat toksisitasnya. Penelitian yang dilakukan menghasilkan suatu kristal yang menghasilkan respon mortalitas yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena kristal mampu menghasilkan saluran pori yang lebih besar sehingga menyebabkan kerusakan sel lebih cepat. Bravo et al. 2007 juga mengkonfirmasi hal tersebut dan menjelaskan bahwa proses infeksi dan kerusakan pada dinding sel pencernaan serangga merupakan hasil penetrasi kristal endotoksin yang telah berubah konformasi menghasilkan saluran ion pada dinding sel. Tabel 11 Perbandingan komposisi asam amino antara sampel fermentasi dan produk komersial Bactospeine No Parameter Fermentasi limbah cair tahu bb Bactospeine WP bb A. Protein 1,36 14,29 B. Asam amino Hidrofilik 1. Aspartat 0,16 1,47 2. Glutamat 0,19 1,80 3. Serina 0,07 0,60 4. Histidina 0,02 0,29 5. Tyrosin 0,05 0,53 6. Threonina 0,05 0,58 7. Arginina 0,05 0,70 8. Lysina 0,14 0,75 9. Valina 0,06 0,68 Total asam amino hidrofilik 0,63 7,4 Nilai presentasi dari protein 46,32 51,78 C. Asam amino hidrofobik 1. Methionina 0,02 0,19 2. Glisina 0,09 0,54 3. Phenilalanin 0,07 0,81 4. Iso-leusin 0,04 0,67 5. Leusin 0,06 1,05 6. Alanin 0,09 0,68 Total asam amino hidrofobik 0,37 3,94 Nilai presentasi dari protein 27,21 27,57 Sumber : Nelly 2012 Pemberian bioinsektisida B. thuringiensis kepada serangga ternyata juga menunjukkan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dari serangga itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena rusaknya sistem pencernaan serangga mengakibatkan berkurangnya nutrisi yang dapat diserap oleh serangga untuk pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Tamez-Guerra et al. 1999 dengan serangga yang berbeda. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya kemampuan bahan aktif untuk menghambat laju kerusakan yang diakibatkan pada tanaman. Serangga yang telah memakan bahan aktif diduga mengalami rangsangan untuk memperlambat kecepatan konsumsinya, hal tersebut diduga disebabkan karena adanya respon syaraf serangga akan adanya racun perut yang mulai disebabkan oleh toksin. Ketahanan serangga yang telah memiliki tingkat kedewasaan larva lebih tinggi juga lebih baik terhadap infeksi toksin B. thuringiensis dibandingkan serangga dengan tingkat kedewasaan lebih rendah. Proses formulasi produk mikroenkapsulasi menggunakaan spray dryer memiliki peningkatan tingkat toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan produk yang melalui proses enkapusulasi freeze dry Tabel 12. Hal tersebut menandakan bahwa proses spray drying memiliki kemampuan lebih baik dalam membentuk partikel enkapsulan yang melindungi inti bahan aktif. Keunggulan yang dimiliki proses tersebut terletak pada proses pencampuran atau emulsifikasi antara bahan aktif dan bahan enkapsulan serta proses atomisasi yang menghasilkan partikel yang lebih baik dibandingkan freeze drying. Pembentukan partikel yang lebih baik mengakibatkan konsentrat bahan aktif yang terdapat dalam produk lebih seimbang sehingga meningkatkan toksisitas produk yang dihasilkan. Tabel 12 Perbandingan kenaikan nilai potensi dan penurunan nilai log VSC antara dua jenis proses mikroenkapsulasi dengan konsentrasi bahan enkapsulan pada spray drying 5 maltodekstrin dan freeze drying 6 laktosa Jenis proses Peningkatan nilai potensi kali lipat Penurunan nilai log VSC Spray drying 19.8 51 Freeze drying 0.13 14 Susanto 2011 Gambar 9 memperlihatkan penampakan visual daun brokoli yang digunakan dalam percobaan. Pada Gambar 9c dapat dilihat bahwa brokoli memiliki lapisan lemak atau lemak cukup tebal pada permukaan daun.. Lapisan lemak ini dapat menyulitkan bahan aktif untuk melekat pada permukaan daun dengan baik. Penggunaan bahan tambahan perekat umum digunakan untuk penyemprotan produk bionsektisida pada permukaan daun yang memiliki lapisan lemak. Salah satu produk perekat yang ada di pasaran adalah Agristick yang mengandung bahan aktif poliglikol eter sebagai surfaktan. Agristick tidak memiliki kemampuan toksin kepada serangga uji. Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan Agristick sebagai kontrol positif pada setiap pengujian uji hayati Gambar 9b. Gambar daun yang diambil adalah bagian bawah penampang daun. Hal tersebut disebabkan karena larva C. pavonana memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi lapisan epidermis daun dari permukaan bawah. a b c Gambar 9 Perbandingan permukaan daun yang diberi perlakuan berbeda. a lapisan film pada daun dengan perlakuan maltodekstrin 10 + Agristick 1 b daun tanpa lapisan film dengan perlakuan Agristick 1 c daun brokoli tanpa perlakuan Aplikasi bahan-bahan kimia seperti insektisida dapat mengakibatkan pengaruh fitotoksik pada tanaman yang dibudidayakan Dadang Prijono 2008. Hal tersebut disebabkan komponen tertentu di dalam bahan insektisida dapat merusak permukaan daun atau bagian tertentu dari tanaman. Efek tersebut dipicu oleh aktifnya bahan kimia setelah terpapar oleh matahari. Efek fitotoksik pada tanaman awalnya berupa bintik-bintik kuning pada permukaan daun dan kemudian menjadi seperti bekas terbakar Gambar 10b. Bahan yang menunjukan efek fitotoksik pada tanaman tidak dapat dipergunakan sebagai komponen pengendalian serangga pada tanaman budi daya. Penelitian yang dilakukan oleh Coyle et al. 2000 menunjukkan bahwa bioinsektisida komersial B. thuringiensis bisa saja memiliki sifat fitotoksik kepada tanaman. Penelitian tersebut Lapisan lemak Lapisan film menunjukkan salah satu produk bioinsektisida B. thuringiensis komersial menunjukkan efek fitotoksik pada tanaman kapas dengan penggunaan konsentrasi di atas 50. a b Gambar 10 Efek fitotoksik bioinsektisida pada tanaman. a efek negatif fitotoksik produk mikroenkapsulasi pada tanaman brokoli b contoh efek fitotoksik positif pada tanaman lain yang disebabkan bahan kimia tertentu Penggunaan produk mikroenkapsulasi maltodekstrin, pada saat 8 jam pertama di bawah sinar matahari setelah awal aplikasi memunculkan bercak- bercak kuning pada permukaan daun. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pengujian fitotoksik untuk melihat apakah produk memiliki efek tersebut pada tanaman. Pengamatan setelah 3 hari pasca penyemprotan pada daun brokoli dan tanaman dibiarkan di bawah sinar matahari menunjukan bahwa produk bioinsektisida tidak memiliki efek fitotoksik terhadap tanaman Tabel 9 dan Gambar 10. Bercak-bercak kuning ternyata hanyalah noda pada permukaan daun akibat penyemprotan bahan aktif yang lama-kelamaan akan menghilang. Kontrol postif yang menggunakan Agristick 0.1 juga menunjukkan hasil negatif untuk pengujian fitotoksik. Hal tersebut berarti bahwa bahan aktif non-bioinsektisida Agristick 0.1 tidak memiliki efek fitotoksik pada tanaman. Hasil pengamatan menggunakan SEM menunjukan hasil enkapsulasi yang baik Gambar 11a. Dinding matriks enkapsulan terlihat jelas, tidak terlihat adanya komponen bahan aktif yang berada di luar partikel serbuk. Permukaan 1 µm partikel terlihat tidak rata dan memiliki pori. Melihat ukuran partikel serbuk yang mencapai ukuran 40 µm, diduga kuat spora dan bakteri yang berukuran sekitar 1 µm Carrera et al. 2007 terenkapsulasi dalam jumlah banyak atau terbentuknya inti terenkapsulasi lebih dari satu multiple core Lakis 2007. a b Gambar 11 Perbandingan bahan aktif sebelum dienkapsulasi kiri dan sesudah dienkapsulasi kanan Permukaan partikel yang tidak rata disebabkan karena hilangnya kandungan air pada partikel pada saat proses pengeringan. Proses penyusutan terjadi karena penguapan air di dalam partikel yang terbentuk pada saat proses atomisasi sehingga mengakibatkan lapisan dinding matrix menjadi menyusut Oakley 1997, di dalam Alamilla-Beltran et al.. 2004. Permukaan partikel yang tidak rata dapat menyebabkan penurunan sifat bebas alir dari partikel serbuk karena adanya gesekan antar partikel. Permukaan partikel yang baik adalah tidak memiliki benjolan dan rata. Pembentukan dinding matriks amorf bahan enkapsulan dipengaruhi oleh suhu yang digunakan. Hal tersebut dilaporkan oleh Alamila-Bertran 2004 pada percobaan pengamatan perubahan morfologi serbuk maltodekstrin selama proses pengeringan dengan tingkat suhu yang berbeda-beda. Pengeringan dengan suhu rendah 110 o C menunjukkan bahwa serbuk cenderung untuk menunjukkan permukaan yang mengkerut dan pecah. Hal ini disebabkan karena proses difusi air pada saat pengeringan berjalan lebih lambat dan menyebabkan serpihan dinding yang terbentuk tidak segera mengeras dan rapuh. Pengeringan pada suhu tinggi 200 o C menghasilkan partikel dengan dinding lebih tebal dan berpori. Permukaan partikel yang dihasilkan oleh bahan enkapsulan maltodekstrin terlihat tidak terlalu rata tetapi tidak terlalu berlekuk. Hal tersebut diduga disebabkan karena bahan maltodekstrin memiliki kandungan karbohidrat dengan berat molekul rendah yang dapat berfungsi sebagai pelindung dari proses penyusutan. Maltodekstrin yang mengandung molekul dengan berat molekul rendah memiliki elastisitas pembentukan polimer dinding matriks amorf yang lebih baik dibandingkan dengan maltodekstrin dengan berat molekul besar Forssell 2004. Loksuwan 2006 juga mengkonfirmasi tentang hasil yang sama, dimana semakin besar nilai DE bahan enkapsulan yang digunakan maka benjolan atau lekukan pada permukaan partikel yang dihasilkan oleh spray drying dapat dikurangi. Penampakan kristal protein pada daun pasca aplikasi produk mikroenkapsulasi Gambar 12a dapat terlihat menggunakan mikroskop cahaya. Dengan kata lain melihat dari hasil penampakan partikel serbuk enkapsulasi, dimana tidak terlihat kristal protein atau spora berada di luar partikel maka dapat disimpulkan proses mikroenkapsualasi berhasil membungkus bahan aktif dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kristal protein yang ditemukan pada saat serbuk telah dilarutkan dan diapliaksikan pada permukaan daun tanaman. Produk juga terlihat dapat membantu menyingkirkan lapisan lemak dari permukaan daun dan menyebabkan bahan aktif dapat menempel dan terfiksasi dengan baik pada permukaan daun. a b Gambar 12 Penampakan bahan aktif pada permukaan daun. Setelah daun diberi produk mikroenkapsulasi a dan sebelum diberi perlakuan b. Gambar diambil dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x.

3. Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida

Dokumen yang terkait

Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium

1 41 50

“Uji Efektifitas Bacillus thuringiensis dan Beauverria bassiana (Balsamo) vuillemin Terhadap Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren.) (Isoptera: Rhinotermi) di Laboratorium

1 35 53

Uji Efektifitas Beauveria basianna DAN Bacillus thuringiensis Terhadap Ulat Api (Setothosea asigna Eeck) Di Laboratorium

1 36 46

Uji Efektivitas Bacillus thuringiensis Berliner dan Beauveria bassiana Vui!! Terhadap Ulat Krop Crocidolomia binotalis ZeC (Lepidoptera : Pyralidae) Pada Tanaman Kubis di Laboratorium

2 59 84

Uji Efektifvitas Entomopathogen Bacillus thuringiensis Berliner Terhadap Ulat Daun Jati Hyblaea puera Cramer (Lepidoptera : Hybleidae) Di Laboratorium

0 34 58

Eksplorasi protein toksin bacillus thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang

0 7 82

Characterization of protoxin protein and chitinase enzyme from indigenous isolates Bacillus thuringiensis

2 9 122

Determination of C/N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 3 240

Determination of C N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 16 127

Bioesai Bioinsektisida Berbahan Aktif Bacillus thuringiensis Asal Tanah Lebak terhadap Larva Spodoptera litura Bioessay of Bacillus thuringiensis Berliner Bioinsecticide Against Spodoptera litura Fabricius

0 0 7