Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol Siganus guttatus

sedangkan kelebihan interface yaitu dapat melihat secara langsung grafik realtime dari pantulan. Penggunaan baterai lebih mudah dalam kondisi jauh dari jangkauan listrik atau kondisi listrik yang sering padam, namun dengan power supply memungkinkan dalam penggunaan tanpa jangka waktu selama pasokan listrik tersedia.

4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol Siganus guttatus

Ikan baronang totol diuji menggunakan IFFI-2 dalam dua kondisi, yaitu dengan sisik dan tanpa sisik. Ikan yang diujikan berjumlah tiga ekor sebagai ulangan. Masing-masing berukuran 15.5 cm, 16 cm, dan 17 cm. Gambar 11 menunjukkan ikan baronang totol yang diujikan. Gambar 11. Ikan baronang totol Siganus guttatus yang diujikan Hasil pengukuran ikan baronang totol ditunjukkan pada Gambar 12, pengukuran dilakukan dengan kondisi ruangan yang gelap. Pengukuran dimulai dari jam ke-0 setelah ikan mati hingga jam ke-13. Perlakuan pematian ikan baronang totol dilakukan dengan cara dibiarkan mati dengan sendirinya. Hal ini mempercepat laju perubahan fase itu sendiri, sesuai dengan hasil penelitian Munandar et al. 2009 diketahui bahwa perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk 26 dan tanpa penyiangan menyebabkan perubahan fase kemunduran mutu ikan yang lebih cepat. Data hasil pantulan pengukuran ikan dengan IFFI-2 terdapat pada Lampiran 1. Rata-rata nilai digital ikan terdapat pada Lampiran 2. Hasil perolehan data yang telah diolah ditampilkan dalam grafik moving average, yang dilakukan dengan merata-ratakan setiap 2 titik untuk memperoleh tampilan grafik yang lebih baik. Gambar 12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2 Gambar 13 menunjukkan pantulan ketiga ikan dengan sisik yang telah dirata-ratakan perjamnya, serta Gambar 14 menunjukkan intensitas dB dari pantulan tersebut. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa nilai digital number 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm. Kedua panjang gelombang tersebut memiliki pola yang hampir sama, namun puncak tertinggi dan puncak terendah dari nilai digital berada pada jam yang berbeda, dimana untuk ikan dengan sisik puncak tertinggi panjang gelombang 660 nm berada di jam ke-3 dan puncak terendah di jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm puncak tertingginya berada pada jam ke-4 dan puncak terendah pada jam ke-9. Perbedaan nilai puncak nilai digital atau intensitas ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pendeteksian antara kedua panjang gelombang. Menurut Nilsen 27 dan Esaiassen 2005, rentang panjang gelombang dari 400 nm sampai 450 nm dan 525 nm sampai 630 nm merepresentasikan kemungkinan besar adanya darah dalam otot ikan, yaitu Mioglobin Mb dan Hemoglobin Hb. Maka dari itu perbedaan pola panjang gelombang 660 nm dan 525 nm dapat disebabkan oleh karakter panjang gelombang tersebut dalam mendeteksi Mioglobin Mb dan Hemoglobin Hb. Gambar 13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik Gambar 14 menunjukkan bahwa intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-2 sebesar -1.5 dB dan terendah pada jam ke-8 sebesar -2 dB. Intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 525 nm berada pada jam ke-4 sebesar -2 dB dan terendah pada jam ke-9 dengan intensitas -2.9 dB. Intensitas pantulan dari panjang gelombang 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm. 700 750 800 850 900 950 1000 1050 1100 1150 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 D ig ital n u m b e r Jam ke- 2 per. Mov. Avg. 660 2 per. Mov. Avg. 525 p o st r ig o r rig o r m o rtis 660 nm 525 nm p re rig o r 28 Gambar 14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik Fase ikan secara umum terdiri dari pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Gambar 13 menunjukkan bahwa pada jam ke-1 terjadi penurunan nilai digital. Penurunan intensitas ini dikarenakan menurut Abustam dan Ali 2005, otot yang menghasilkan energi mekanik dalam tubuh terdiri dari unsur-unsur kimia C, H, O yang menghasilkan energi kimiawi. Setelah mati maka aktifitas kontraksi otot menjadi lemah Abustam dan Ali, 2005 dan menyebabkan intensitas pantulan menurun pada fase pre rigor. Pada fase ini, tubuh ikan masih bersifat elastis. Kemudian pada jam ke-2 hingga ke-4 intensitas pantulan cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan glikogen cadangan yang terdapat pada tubuh ikan yang menyebabkan kekakuan otot ikan. Kekakuan otot ini dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk aktomiosin Munandar et al., 2009. Menurut Abustam dan Ali 2005, waktu yang -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 In te n si tas d B Jam ke- 2 per. Mov. Avg. Series1 2 per. Mov. Avg. Series2 p re rig o r rig o r m o rtis p o st r ig o r 660 nm 525 nm 29 dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat mati, serta jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ikan mati . Semakin berkurangnya ATP, otot ikan tidak dapat mempertahankan elastisitasnya lagi sehingga menjadi kaku. Ikan Gambar 13 mengalami fase rigor mortis cukup cepat pada jam ke-2 hingga jam ke-7 dikarenakan oleh perlakuan cara mematikan ikan dimana ikan dibiarkan mati dengan sendirinya menyebabkan ikan mengalami stress. Sesuai dengan Abustam dan Ali 2005 bahwa kondisi stress dan kurang istirahat menjelang mati akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rigor mortis akan berlangsung cepat. Menurut Nurjanah 2004, post rigor ditunjukkan dengan kondisi ikan yang telah mengeluarkan cairan-cairan atau lendir dalam tubuhnya terutama pada bagian perut ikan. Semakin lama daging terpapar tanpa perlakuan maka semakin banyak kontaminan mikrobia di dalamnya. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, namun daging sudah tidak elastis. Pada Gambar 13, terlihat bahwa penurunan nilai digital yang signifikan terus terjadi hingga jam ke-8 hingga jam ke-9, kemudian terjadi lagi peningkatan nilai digital hingga jam ke-11. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munandar 2012 dimana setelah memasuki post rigor hingga akhir pengukuran intensitas pantulan masih mengalami penurunan, akan tetapi intensitas perubahannya tidak seperti yang terjadi pada masa sebelum memasuki tahapan post rigor. Fluktuasi yang terdapat 30 pada fase post rigor kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang melunak Jaya dan Ramadhan, 2006, adanya lendir pada tubuh ikan, atau adanya gangguan dari luar maupun sensor itu sendiri. Meskipun mengalami penurunan, grafik tetap mengalami fluktuasi meskipun kecil. Jam 11 hingga jam ke-13, terlihat pada panjang gelombang 660 nm nilai intensitas relatif sama. Hal ini menandakan sensor tidak sensitif lagi untuk mendeteksi fase setelah post rigor, yaitu fase busuk. Kondisi ikan tanpa sisik digambarkan pada Gambar 15 dan. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa apabila dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik, peningkatan nilai digital yang menunjukkan fase rigor mortis tidak terlalu signifikan, meskipun peningkatan nilai digital tetap ada. Begitu pula dengan penurunannya, tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik Gambar 13. Namun pola yang dimiliki baik oleh pantulan ikan dengan sisik dan tanpa sisik relatif serupa, perbedaan terdapat pada nilai digital maupun intensitasnya. Dengan hal ini dapat diperkirakan bahwa untuk percobaan pendeteksian baronang totol yang dilakukan berupa perlakuan dengan sisik dan tanpa sisik, pengukuran ikan dengan sisik menghasilkan intensitas pantulan yang lebih tinggi, karena sifat sisik relatif lebih keras dibandingkan kulit sehingga intensitas pantulannya relatif lebih kuat. Terlihat pada kondisi ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran intensitas -1.5 dB hingga -2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran-2 dB hingga -2.9 dB, sedangkan pada kondisi ikan tanpa sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran panjang gelombang -1.7 31 dB hingga -2.2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran -1.8 dB hingga -2.9 dB. Pantulan kondisi ikan tanpa sisik terlihat pada Gambar 15 Gambar 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik . Gambar 16 menampilkan intensitas pantulan tanpa sisik, terlihat bahwa nilai digital ataupun intensitas tertinggi pada panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-1 dan terendah pada jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm intensitas tertingginya berada pada jam ke-4 dan terendahnya pada jam ke-13. Gambar 16, menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 660 nm, grafik pada fase post rigor jam ke-9 hingga akhir pengukuran relatif tidak berfluktuasi. Hal ini menandakan bahwa pada ikan tanpa sisik, instrumen tidak mendeteksi perbedaan fase post rigor dan fase busuk. Kondisi ikan pada kedua fase tersebut sama-sama sudah mengalami penurunan, namun ikan pada fase post rigor masih 700 750 800 850 900 950 1000 1050 1100 1150 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 D ig ital n u m b e r Jam ke- 2 per. Mov. Avg. 660 2 per. Mov. Avg. 525 p re rig o r rig o r m o rtis p o st r ig o r 660 nm 525 nm 32 dapat dikonsumsi. Berdasarkan Grafik ikan tanpa sisik yang telah ditampilkan, terlihat bahwa pantulan panjang gelombang 660 nm menampilkan intensitas yang lebih kuat, namun pola yang lebih representatif menunjukkan terjadinya perubahan tingkat kesegaran ikan ditampilkan pada pantulan panjang gelombang 525 nm untuk ikan tanpa sisik. Gambar 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik Hasil visualisasi pada grafik-grafik sebelumya kurang menampikan pola yang lebih representatif dengan fase-fase kemunduran mutu ikan. Untuk lebih mempermudah dalam hal pengamatan pola tersebut dengan menggunakan instrumen IFFI-2, maka diamati pula rasio dari kedua panjang gelombang tersebut. Rasio yang dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang Gambar 17 serta pengurangan kedua panjang gelombang Gambar 18 pada ikan dengan sisik dan tanpa sisik. -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 In te n si tas d B Jam ke- 2 per. Mov. Avg. 660 2 per. Mov. Avg. 525 p re rig o r rig o r m o rtis p o st r ig o r 660 nm 525 nm 33 Gambar 17. Perbandingan pembagian intensitas panjang gelombang dB Gambar 18. Perbandingan selisih intensitas panjang gelombang dB -31 -30.5 -30 -29.5 -29 -28.5 -28 -27.5 -27 -26.5 -26 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 In te n si tas d B Jam ke- Dengan sisik 10log660525660 Dengan sisik 10log660525525 Tanpa sisik 10log660525660 Tanpa sisik 10log660525525 -20 -18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 In te n si tas d B Jam ke- Dengan sisik 10log660-525660 Dengan sisik 10log660-525525 Tanpa sisik 10log660-525660 Tanpa sisik 10log660-525525 p re rig o r rig o r m o rtis p o st r ig o r p re rig o r rig o r m o rtis p o st r ig o r 34 Kedua grafik di atas menampilkan empat buah garis berbeda warna yang merupakan intensitas pantulan dari ketiga ikan yang dirata-ratakan. Garis biru tua dan merah menunjukkan intensitas rasio pada ikan dengan sisik, sedangkan garis hijau dan ungu menunjukkan intensitas rasio ketiga ikan tanpa sisik. Kedua grafik di atas memiliki pola yang relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Intensitas rasio perbandingan menampilkan intensitas yang lebih kuat dibandingkan rasio selisih Gambar 17. Pada kedua grafik tersebut juga terlihat bahwa intensitas rasio ikan tanpa sisik lebih lemah dibandingkan ikan dengan sisik. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa rasio pada jam ke-1 secara umum mengalami peningkatan. Kemudian intensitas rasionya melemah serta pada jam ke-4 berada pada kondisi intensitas rasio yang paling lemah. Setelah jam tersebut, intensitas rasio semakin meningkat, dan pada jam ke-11 menunjukkan intensitas rasio yang mengalami penurunan. Hal ini menjelaskan bahwa pada intensitas rasio perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm, ikan dengan sisik maupun tanpa sisik memiliki perbedaan intensitas yang kecil pada jam ke-4 dalam mendeteksi ikan, sehingga perbedaan intensitas kedua panjang gelombang yang kecil tersebut menunjukkan fase rigor mortis dengan baik. Jam ke-4 hingga ke-7 merupakan fase post rigor. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, sehingga kondisi daging yang kembali menjadi lunak Abustam dan Ali, 2005. Pada jam ke-10 serta jam ke-12 terlihat adanya nilai intensitas rasio yang relatif sama, hal ini menunjukkan bahwa pada sensor tidak melihat fase busuk ikan dengan sensitif. 35 Hasil penelitian Nurhayati, et al. 2010 pada ikan bandeng menunjukkan bahwa enzim katepsin menyebabkan pelunakan tekstur pada kemunduran mutu ikan, peningkatan aktifitas enzim katepsin lebih cepat pada ikan yang disimpan di suhu ruang, serta mengalami peningkatan dari fase pre rigor hingga post rigor dan menurun pada fase busuk. Gambar 18 menunjukkan rasio pengurangan kedua panjang gelombang, terlihat bahwa pola yang ditampilkan relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Grafik ikan dengan sisik menampilkan pada jam ke-4 rasio intensitasnya kecil dibandingkan jam-jam lainnya. Kisaran intensitasnya berada pada -9 dB dan -10 dB, sedangkan untuk ikan tanpa sisik intensitas terendahnya berada pada jam ke-3 dengan nilai intensitas -16 dB dan - 17 dB. Terlihat bahwa dengan intensitas rasio pengurangan, penurunan mutu pada fase busuk lebih terlihat. Apabila dibandingkan, intensitas rasio perbandingan kedua panjang gelombang dan selisih pengurangan kedua panjang gelombang, dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa rasio perbandingan menampilkan hasil visualisasi yang lebih baik, sehingga memudahkan pengamatan fase-fase ikan. Hal ini terlihat dimana pola dari masing-masing fase terlihat dengan jelas dan relatif sama perjamnya dimana terlihat bagian-bagian mana yang perubahannya terlihat jelas. Selain itu, pada rasio pengurangan terjadi perbedaan pola pada jam ke-3 dan ke-4 sehingga rasio perbandingan menampilkan hasil yang lebih baik, meskipun fase busuk lebih terlihat pada rasio pengurangan. 36 Selama penyimpanan, ikan mengalami perubahan biokimia, kimia, fisik, dan proses mikrobiologi yang terutama disebabkan oleh waktu dan suhu, faktor lain seperti penanganan dan stress juga mempengaruhi kemunduran mutu ikan Olsen et al., 2008. Nilai intensitas-intensitas pantulan yang ditampilkan pada grafik-grafik sebelumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsistensi peletakan instrumen pada ikan, gangguan dari luar, dan kondisi ikan itu sendiri seperti tekstur dan warna. Ketidakakuratan yang disebabkan oleh peletakan instrumen dikarenakan instrumen dipindahkan dari satu ikan ke ikan-ikan berikutnya, sehingga ketika kembali ke posisi awal maka akan memungkinkan peletakan yang berubah dari semula. Selain itu, semakin meningkatnya waktu kondisi tubuh ikan mengalami penggembungan yang disebabkan oleh aktifitas enzimatis maupun mikroba Abustam dan Ali 2005. Pada saat pengambilan data, penggembungan tersebut akan mengakibatkan kemiringan-kemiringan pada peletakan instrumen sehingga memungkinkan adanya cahaya yang keluar. Gangguan dari luar misalnya adanya serangga seperti lalat yang menghinggapi instrumen ketika ikan mengalami fase busuk, sehingga menimbulkan getaran-getaran yang menimbulkan pengaruh pada nilai digital. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh sensor itu sendiri, dimana terkadang sensor tidak menangkap pantulan cahaya sehingga menghasilkan nilai digital nol 0. Gangguan-gangguan dapat terlihat secara langsung pada interface seperti pada Gambar 19. 37 Gambar 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar maupun dari sensor Kondisi ikan seperti tekstur dan warna mempengaruhi intensitas pantulan. Hal ini karena tekstrur yang semakin kasar akan membaurkan pantulan. Semakin tinggi kekenyalan daging maka pantulan akan semakin tinggi. Warna mempengaruhi intensitas dikarenakan adanya darah dalam tubuh ikan serta komponen-komponen darah seperti Mioglobin Mb dan Hemoglobin Hb.

4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Baronang Totol