Dekomposisi Bahan Organik Tanah

Senyawa humat mempunyai peranan yang sangat menguntungkan di bidang pertanian. Bersama dengan fraksi primer tanah, senyawa tersebut bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Senyawa humat terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, senyawa humat dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan sejumlah proses fisiologi tanaman. Asam humat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan permeabilitas sel, sebagai pembawa nutrien ke membran sel, mempengaruhi produksi m-RNA, dan sintesis enzim, atau melalui aksi hormon pertumbuhan maupun sebagai regulator pertumbuhan tanaman. Sedangkan secara tak langsung, senyawa humat mampu memperbaiki kesuburan tanah dengan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanah, seperti melalui perbaikan agregat, aerasi dan kemampuan menahan air, meningkatkan KTK tanah, serta terlibat dalam ikatan kompleks liat-metal-humus melalui pertukaran ion, jerapan permukaan, khelat maupun reaksi kompleks koagulasi dan peptisasi Stevenson dan Cole, 1999.

2.2 Dekomposisi Bahan Organik Tanah

Kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh iklim, vegetasi, topografi, bahan induk dan waktu, serta pola pertanaman. Bahan organik tanah berada pada kondisi yang dinamis dan ditentukan oleh keseimbangan antara laju penambahan dan laju dekomposisinya. Stevenson 1994 menyajikan proses dekomposisi bahan organik sebagai berikut: 1. fase perombakan bahan organik segar dengan merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil 2. fase perombakan lanjutan yang melibatkan enzim mikroorganisme tanah. Fase ini dibagi lagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: a. tahap awal: dicirikan dengan kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi akibat pemanfaatan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri b. tahap kedua: dicirikan dengan terbentuknya senyawa organik sebagai produk intermediet dan biomassa baru sel organisme c. tahap akhir: dicirikan dengan terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman atau hewan yang lebih resisten, dan peran fungi dan aktinomicetes pada tahap ini lebih dominan 3. fase perombakan dan sintesis ulang senyawa-senyawa organik humifikasi membentuk humus Proses dekomposisi bahan organik secara umum terbagi menjadi dua sistem, yaitu dekomposisi aerobik dan dekomposisi anaerobik. Dekomposisi aerobik merupakan proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan adanya O 2 bebas, dengan hasil akhir utama proses tersebut adalah H 2 O, CO 2 , unsur hara, dan energi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada pengomposan aerobik di antaranya: a. gula sederhana CH 2 O x + x O 2 → x CO 2 + x H 2 O + energi b. protein N-organik → NH 4 + → NO 2 - → NO 3 - + energi c. S-organik + x O 2 → SO 4 2- + energi d. P-organik, fitin, lesitin → H 3 PO 4 → CaHPO 4 Mikroorganisme yang terlibat dalam dekomposisi aerobik di antaranya fungi, bakteri dan aktinomicetes. Fungi sangat respon terhadap aerasi yang baik selama proses dekomposisi dan dapat tumbuh cepat dalam keadaan aerobik. Metabolisme fungi lebih efisien dibandingkan dengan bakteri. Mikroorganisme tersebut juga lebih banyak menggunakan karbon dan nitrogen, namun menghasilkan lebih sedikit CO 2 dan ammonium dibandingkan dengan bakteri. Kurang lebih 50 bahan organik yang dilapuk oleh fungi digunakan untuk membentuk sel tubuhnya, sedangkan bakteri hanya mampu mengasimilasi 5-10 C melalui proses metabolismenya. Respon aktinomicetes terhadap dekomposisi bahan organik kurang efektif dibandingkan kedua mikroorganisme sebelumnya. Pada dekomposisi tersebut bila aerasi dan kelembaban bahan organik cukup baik, maka metabolisme dari beberapa mikroorganisme menjadi meningkat. Sedangkan dekomposisi anaerobik merupakan proses dekomposisi bahan organik tanpa O 2 bebas, dengan hasil utamanya adalah CH 4 , CO 2 , dan sejumlah hasil antara. Bahan organik yang memiliki BOD Biological Oxygen Demand dan COD Chemical Oxygen Demand yang tinggi, serta berada dalam kapasitas yang sangat besar lebih efektif apabila didekomposisikan secara anaerobik. Secara garis besar mekanisme dekomposisi ini terdiri dari tiga tahapan proses penting, di mana masing-masing tahapan didominasi oleh jenis bakteri pengurai yang berbeda, yaitu: a. tahap pertama merupakan tahap pemecahan polimer menjadi bentuk lebih sederhana secara enzimatik oleh enzim ekstraselular selulose, amilase, protease, dan lipase melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Kelompok mikroorganisme fakultatif berperan dalam pemecahan substrat organik dengan memutuskan rantai panjang karbohidrat kompleks, protein, dan lipid menjadi senyawa rantai pendek agar lebih mudah larut dan dapat dijadikan sebagai substrat bagi mikroorganisme berikutnya b. tahap kedua merupakan tahap produksi asam melalui proses asetogenesis dan dehidrogenasi. Bakteri yang berperan pada tahap ini merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam, seperti Clostridium, Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei Sim, 2005. Bakteri tersebut menghasilkan asam dengan mengubah senyawa rantai pendek hasil proses tahap hidrolisis menjadi asam-asam organik asam asetat, propionat, laktat, formiat, butirat atau suksinat, alkohol dan keton metanol, etanol, gliserol dan aseton, hidrogen H 2 , dan karbon dioksida c. tahap ketiga merupakan tahap pembentukan gas metana melalui proses metanogenesis. Pada tahapan ini bakteri metanogenik, seperti Methanococcus, Methanosarcina, Methanobacillus, dan Methanobacterium, merombak H 2 , CO 2 , dan asam asetat membentuk gas metana dan CO 2 Untuk memperoleh efisiensi perombakan yang tinggi, maka kondisi optimum yang mendukung kehidupan mikroorganisme yang terlibat pada kedua proses dekomposisi tersebut perlu diperhatikan. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sistem perombakan antara lain: karakteristik bahan baku, rasio CN, suhu, pH, Eh, ketersediaan unsur hara, dan efek racun.

2.3 Limbah Cair Kelapa Sawit