I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tanah secara optimum sebagai salah satu usaha pembangunan pertanian berkelanjutan yang bertujuan
mencapai produksi maksimum dan stabil, maka diperlukan usaha-usaha untuk memperbaiki sifat-sifat tanah baik sifat fisik, kimia, dan biologi tanah maupun
untuk mempertahankan dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Bahan organik tanah merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat
penting bagi ekosistem tanah maupun terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan tanaman, terutama sebagai sumber dan pengikat hara, serta sebagai
substrat bagi mikroorganisme tanah. Bahan organik tanah yang telah terdekomposisi dan secara mikroskopis
tidak memiliki sel tumbuhan dikenal dengan humus. Bagian terbesar dari humus adalah senyawa humat. Senyawa tersebut memiliki peranan yang sangat penting
di bidang pertanian, yakni bersama dengan fraksi liat terlibat dalam sejumlah aktivitas kimia dalam tanah dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, baik
secara langsung maupun tak langsung. Secara tidak langsung, senyawa humat mampu memperbaiki kesuburan tanah dengan memperbaiki kondisi fisik, kimia
dan biologi tanah. Secara langsung, senyawa tersebut dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan sejumlah
proses fisiologi lainnya Stevenson dan Cole, 1999. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang diusahakan secara terus-menerus
yang diiringi dengan penggunaan pupuk anorganik tanpa diimbangi usaha pengembalian bahan organik ke dalam tanah, dapat mengakibatkan penurunan
kandungan bahan organik tanah dengan cepat, sehingga produktivitas tanahnya menjadi semakin rendah. Oleh karena itu sangat penting artinya menambahkan
bahan organik ke dalam tanah, baik melalui pengembalian sisa panen maupun pemberian pupuk organik berupa kompos matang atau “pupuk organik siap guna”
yang beredar di pasaran. Pemberian pupuk organik ini selain dapat memperbaiki dan mempertahankan cadangan total bahan organik tanah, serta memperbaiki
sifat-sifat tanah, juga sebagai penyeimbang penggunaan pupuk anorganik dan mengurangi dampak negatifnya terhadap tanah.
Di sisi lain, seiring dengan terus meningkatnya luasan areal perkebunan kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq yang diiringi dengan peningkatan jumlah
pabrik pengolahan kelapa sawit PPKS selama beberapa tahun terakhir ini, mendorong peningkatan total produksi minyak sawit mentah yang cukup
signifikan. Saat ini diprediksi lebih dari 420 unit PPKS yang beroperasi dengan rata-rata kapasitas olah 30-60 ton tandan buah segar TBS per jam dihasilkan
sekitar 42 juta ton limbah cair, di mana setiap ton CPO Crude Palm Oil yang diproduksi akan menghasilkan 2.5 ton limbah cair.
Selama ini untuk memenuhi standar lingkungan agar limbah tersebut dapat dialirkan ke perairan bebas, proses pengolahan yang biasa dilakukan antara lain:
1 Open Ponding Systems, yaitu pengolahan limbah secara biologi konvensional yang berbasis pada proses dekomposisi anaerobik dan aerobik oleh
mikroorganisme tertentu untuk merombak polutan organik dalam beberapa kolam pengendapan dan pemisahan limbah, dan 2 mendekomposisikan limbah cair
secara anaerobik murni dalam biodigester Lubis et al., 2004; Yeoh, 2004. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis kimia yang diperoleh dalam limbah sebelum dan
sesudah pengolahan secara biologis Satyoso et al., 2005, diketahui bahwa limbah cair tersebut memiliki kandungan hara N, P, K dan Mg yang cukup tinggi
sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai pupuk organik, dan masih belum termanfaatkan secara optimal saat ini. Hara-hara tersebut merupakan hara makro
yang sangat dibutuhkan tanaman kelapa sawit untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah sawit, mengingat bahwa 1 ton TBS yang dihasilkan setara
dengan 6.3 kg urea, 2.1 kg TSP, 7.3 kg MOP, dan 4.9 kg Kieserit Poeloengan et al.
, 2003. Selain itu, limbah yang dihasilkan tidak saja mengandung senyawa anorganik, seperti P, Ca, Mg, Na, Mn, Fe, Cu dan Zn, namun juga mengandung
senyawa organik yang cukup tinggi, seperti asam lemak dan asam amino. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui
seberapa besar potensi dan bagaimana kualitas limbah cair terdekomposisi tersebut untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik maupun sebagai sumber
bahan organik tanah. Kualitas pupuk organik yang dihasilkan ditentukan dari
kandungan hara maupun kandungan senyawa humat dalam pupuk organik tersebut, serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman maupun kandungan
hara dalam tanah dibandingkan dengan pengaruh hasil aplikasi pupuk anorganik yang digunakan maupun pupuk organik yang beredar di pasaran.
Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk organik bagi tanaman maupun sumber bahan organik tanah dipandang sebagai salah satu alternatif penanganan
limbah menuju produksi minyak sawit yang bersih, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah dan menghemat biaya pemupukan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pupuk organik cair yang berasal dari limbah cair pengolahan kelapa sawit dengan membandingkan
perbedaan proses dekomposisinya, terutama terhadap kandungan hara dan senyawa humat dalam pupuk tersebut. Penelitian ini juga untuk mengetahui
pengaruh aplikasi pupuk organik cair yang dihasilkan terhadap pertumbuhan tanaman maupun kandungan hara dalam tanah dibandingkan dengan aplikasi
pupuk anorganik yang digunakan maupun pupuk organik cair yang beredar di pasaran.
1.3 Hipotesis
Perbedaan proses dekomposisi limbah cair pengolahan kelapa sawit dapat mempengaruhi karakteristik pupuk organik cair yang dihasilkan. Akan tetapi
secara umum diduga terjadi peningkatan konsentrasi hara dalam limbah cair yang telah terdekomposisi tersebut dibandingkan dengan limbah cair segar. Aplikasi
pupuk organik cair yang berasal dari limbah cair terdekomposisi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan memperbaiki sifat tanah, serta mampu
mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1