C. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Sugiyono 2005: 11 menjelaskan bahwa metode penelitian deskriptif adalah:
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih independen tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel
satu dengan variabel yang lain.
Tujuan utama menggunakan metode deskriptif ini sebagaimana diungkapkan oleh Travis dalam Hikmat 2007: 23 ”yaitu untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang
sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu”. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan
dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu. Sebagai cirinya, metode ini 1 memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada
masa sekarang, pada masalah-masalah aktual; dan 2 data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian di analisa, karena itu metode ini sering juga disebut metode
analitik Surakhmad, 1985: 139-140. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
observasi, interview wawancara, serta studi dokumentasi. Berikut penjelasan masing- masing teknik penelitian tersebut:
Observasi, yakni mengamati dan mencermati serta melakukan pencatatan data atau informasi yang sesuai dengan konteks penelitian
Wawancara, yakni teknik pencarian datainformasi mendalam dalam bentuk pertanyaan susulan setelah teknik angket dalam bentuk lisan.
Studi dokumentasi, yakni penelusuran dan perolehan data yang diperlukan melalui data yang telah tersedia.
D. Lokasi Penelitian
Penulis melakukan penelitian dilingkungan kerja kantor kecamatan Ujungberung, dengan alamat kantor Jl. Alun-Alun Utara No 211 Telp. 022 780000 Bandung 40616
BAB IV PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian B. Tinjauan Umum
Pelayanan pemerintah pada umumnya dicerminkan oleh kinerja birokrasi serta peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan pelayanan publik bagi masyarakat. Pernyataan
bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yang tidak akan lepas dari pelyanan, pelayan publik membawa konsekuensi besar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai
negara berdaulat. selayaknya jika tindakan dari badan-badan maupun istanstsi pemerintah selaku aparatur penagakan hukum dan pelayan masyarakat, harus sesuai dengan ketentuan
hukum. Namun apabila perumusan peran lembaga pemerintah dalam undang-undang tidak selaras dengan fungsinya, sangat mungkin pelaksanaan pelayanan publik tidak bersifat
resiprosikal. Meskipun, dalam UU republik indonesia Nomor 25 tahun 2005 1 telah ditegaskan bahwa, “Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undan-undang dasar Negara Republik indonesia Tahun1945”.
Dalam konteks perumusan peran kecamatan tampak bahwa orientasi organisasi lebih mengarah pada official perspective pandangan yang bersifat formalistik yang mengejar
pada prestise dan efisiensi organisasi, bukan pada social perspective yang lebih mengutamakan pada kepentingan umum sesuai dengan harapan masyarakat. Memang,
perubahan lembaga kecamatan tidak bisa berjalan sendiri. Sebagai salah satu pelayan publik, perubahan paradigma kecamatan bergerak dalam dinamika masyarakat yang diliputi oleh
gejolak politik, ekonomi, budaya, modernisasi, sosial, dan hukum. Dalam konstruksi demikian sulit dibayangkan lahir lembaga kecamatan yang bersih,
berwibawa, dan adil di tengah-tengah situasi kenegaraan dan kemasyarakatan yang masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sebagai suatu lembaga pelayanan masyarakat, lembaga
kecamatan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian perubahan paradigma kecamatan sebagai institusi penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat di samping tergantung pada
produk hukum yang mengatur dirinya UUNomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, juga bergantung kepada proses demokratisasi, penegakan keadilan dan HAM di tingkat
negara dan masyarakat serta terkait pula dengan kemauan internal pegawai kecamatan sendiri.
Didalam UU Nomor 25 Tahun 2009,pemerintah sebagai ujung tombak dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pelayanan
publik, masyarakat adalah seluruh pihak baik warga negara maupun penduduk sebagai orang perseorangan kelompok, maupun badan pemerintah yang bekedudukan sebagai penerima
manfaat.
Pengorganisasian dan Tata Cara Kerja kecamatan itu diatur berdasarkan Keppres Nomor 70 Tahun 2002. Dalam hal ini saluran kewenangan di tingkat kecamatan menerapkan
tipe staf fungsional dan general, di mana terdapat pejabat fungsional seperti camat, yang memiliki wewenang terbatas dalam bidang pekerjaan tertentu, di samping itu camat juga
dibantu oleh staf yang tidak memiliki kewenangan komando, antara lain staf ahli, dan staf auxiliarypendukung pengurusan administrasi personel, logistik, keuangan, pendidikan dan
latihan. Kemudian pada tingkat strukturral ke bawah berlaku bentuk organisasi garis dan fungsional yang dicirikan oleh adanya pejabat fungsional yang memiliki kewenangan terbatas
di bidang pekerjaan tertentu. Dari gambaran tersebut, dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, organisasi
kecamatan secara keseluruhan mulai dari tingkat camat hingga ke sub staf merupakan organisasi yang sangat besar, menganut bentuk organisasi garis, staf dan fungsional. Dalam
hal pengorganisasian kecamatan, camat sebagai pelaksana memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan semua tugas dan menginruksianya, sedangkan pada pejabat fungsi memiliki
kewenangan terbatas dalam bidang pekerjaan tertentu. Secara lebih rinci, pada tingkat tugas pokoknya, bentuk organisasinya adalah garis dan fungsional. Ini ditunjukkan dari adanya
pegawai-pegawai kecamatan yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh tugas kecamatan di wilayah kecamatanya masing-masing.
Akhirnya bagi pihak kecamatan, masyarakat bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan jasa, tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban hak khususnya atas penggunaan kekuatan oleh individu-individu pegawai maupun pertanggungjawaban kecamatan tentunya tidak meniadakan
pertanggungjawaban publik public accountability. Disini akuntabilitas publik menjadi sangat penting mengingat pekerjaan kecamatan syarat dengan pengurusan pelayanan
dibidang administrative, mperijinan dan lain-lainya, bahkan menyangkut identitas seseorang
yang hal itu cukup sulit untuk dikontrol low-visibility. Konsekwensinya ialah, dalam kondisi ini akses publik harus dibuka seluasnya bagi pengawasan pegawai kecamatan, baik
terhadap tindakan dari para pegawai kecamatan maupun perumusan kebijakan dan manajemen kinerja kecamatan. Kondisi ini dibutuhkan bukan saja oleh pemerintah, tetapi
juga oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai obyek tindakan kecamatan. Secara struktural, dalam lembaga kecamatan antara lain:
1. Kekuasaan sekretaris camat. 2. Kekuasaan di bidang pelayanan
3. Kekuasaan di bidang pendidikan dan kemasyarakatn. 4. Kekuasaan di bidang Ekbang dan Lingkungan Hidup.
5. Kekuasaan di bidang pemerintahan. 6. Kekuasaan di bidang umum dan kepegawaian
7. Kekuasaaan di bidang keuangan dan program. Dari beberapa kekuasaan itu melahirkan tiga fungsi utama kecamatan antara lain:
1. Sebagai perangkat daerah yang melaksanakan asas desentralisasi 2. Sebagai pelayan masyarakat termasuk mensejahterakan.
3. Sebagai pengayom masyarakat guna membangun integritas kesatuan wilayah. Ketiga fungsi diatas merupakan fungsi yang benar-benar harus di lksanakan
dalam bidang pemerintahan.
C. Harapan Masyarakat