Penerapan Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 161 Pid.Sus TPK 2015 PN.Jkt.Pst)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat

untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyainya
sejak lahir dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang
dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihakpihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa
hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan, agar tidak
terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda
mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan
pedoman untuk berperilaku secara pantas. 1
Patokan-patokan untuk berperilaku secara pantas tersebut, dikenal dengan
sebutan norma atau kaidah. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa
norma yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tersebut, yaitu
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Norma hukum bertujuan agar tecapai kedamaian di dalam kehidupan bersama. 2
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana
kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum

1

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014. Hal. 1
2
Ibid

1

Universitas Sumatera Utara

2

dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil.
Dalam masyarakat yang adil, kebebasan warga negara dianggap mapan;
hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau
kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk

menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik;
secara analogis, ketidakadilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari
ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebajikan utama umat manusia,
kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat. 3
R. W. M. Dias di dalam bukunya “Jurisprudence” berpandangan bahwa
secara umum keadilan itu, didasarkan pada pengertian equality (persamaan). Di
bidang perlakuan terhadap hukum harus diberikan perlakuan yang sama bagi
setiap orang. Dalam kebijakan publik tidak dibenarkan adanya diskriminasi
berdasarkan gender, status sosial, atau keyakinan agama. 4
Indonesia adalah negara hukum hal ini secara jelas dicantumkan dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Indonesia
sebagai negara hukum berpikir secara hukum bagaimana keadilan dan ketertiban
dapat terwujud, yaitu dengan pengakuan dan pengukuhan hak asasi manusia.5
Dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah diatur

3

John Rawls, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Hal. 3-4
4

R. W. M. Dias, Jurisprudence, (dalam) Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi
Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hal.97
5
Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia
Indonesia, Bogor, 1993, Hal. 27

Universitas Sumatera Utara

3

mengenai kedudukan dan perlindungan yang sama bagi semua orang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar. Beberapa diantaranya yaitu:
Pasal 27 ayat (1) menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 G ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28 I ayat (1) menyatakan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
Indonesia sebagai negara berkembang diperhadapkan dengan suatu
permasalahan besar yaitu korupsi. Korupsi merupakan masalah yang telah sejak
lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional
yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah
jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negara ini dengan mengatakan,

Universitas Sumatera Utara

4

bahwa “corruption is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi
pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia 6

Hal yang memperparah perilaku dan tindakan korupsi semakin menggurita
adalah acuh tak acuhnya lingkungan terhadap praktik tersebut. Orang-orang yang
mengetahui praktik-praktik korupsi yang terjadi disekelilingnya seringkali
membiarkannya. Pembiaran atau kurang responnya ketika melihat perilaku dan
tindakan korupsi bisa jadi disebabkan karena hal itu tidak terkait dengan
kepentingannya. Bisa jadi dikarenakan dia juga mendapatkan “keuntungan” dari
praktik korupsi yang ada pada lingkungan kerjanya, atau ada belenggu yang kuat
sehingga mereka melakukan gerakan silent terhadap praktik haram tersebut. 7
Tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan extra ordinary
crime, yaitu merupakan tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan
luar biasa dikarenakan adanya implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi
dan keuangan negara.

8

Kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi

tindak pidana korupsi jelas membutuhkan extraordinary measures / extraordinary
enforcement (penanganan yang luar biasa). 9


6

Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014, Hal. 64
7
Kata Pengantar dari Redaksi, “Penerapan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam
Prespektif Pengawasan” Majalah Fokus Pengawasan, edisi 38 Triwulan II, 2013, Hal. 4
8
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator Dalam Upaya
Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015, Hal. 37
9
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008,
Hal. 10

Universitas Sumatera Utara

5

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukanlah suatu hal yang mudah.
Dari segi represif, kesukaran memberantas korupsi terletak pada kesulitan dalam

hal membuktikan kejahatan korupsi disidang pengadilan. 10
Upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap organized crime yang
dikerjakan oleh pemerintah tentu tidak sedikit. Upaya-upaya yang telah dikerjakan
yaitu mulai dari penguatan kompetensi aparat penegak hukum, pendirian lembaga
negara baru bersifat khusus, hingga rekonstruksi sistem hukum pidana. Selain
melakukan upaya penegakan hukum secara institusional dalam rangka
optimalisasi pembaruan sistem pencegahan dan penanggulangan organized crime,
sangat penting juga diatur mengenai peran serta masyarakat. Dalam upaya
menumbuhkembangkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana
terorganisir, harus diciptakan iklim kondusif antara lain dengan cara memberikan
perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang
mengetahui, melaporkan dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu
aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani organized crime
tersebut. 11
Upaya

Pemerintah

untuk


memberantas

korupsi

dengan

cara

menumbuhkembangkan partisipasi publik salah satunya yang masih baru dikenal
adalah menggunakan peran Justice Collaborator. Justice Collaborator atau yang
disebut juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah tersangka, terdakwa, atau
10
11

Ibid, Hal. 12.
Lilik Mulyadi, op. cit. Hal 38

Universitas Sumatera Utara


6

terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana dalam kasus yang sama. 12
Justice Collaborator merupakan langkah baru yang dimunculkan untuk
memudahkan mengungkapkan perilaku dan tindakan korupsi. Hal ini dikarenakan
perkembangan modus perilaku korupsi semakin canggih dan bervariatif. Untuk itu
perlu didorong upaya yang lebih mengena dalam mengungkap kasus-kasus
korupsi. Dengan peran dari Justice Collaborator diharapkan akan membantu
pihak penegak hukum dalam mengungkap praktik dan modus korupsi dari orangorang terdekat pelaku tersebut. Sehingga informasi, data, modus serta praktik
korupsi dapat diungkapkan. 13
Dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentu
masih memiliki beberapa kekurangan, salah satunya mengenai pemberian reward
bagi seorang Justice Collaborator , pemerintah belum memberikan stimulus dan
iming-iming yang “besar” bagi orang-orang yang rela menjadi pahlawan
pemberantasan korupsi dengan menjadi Justice Collaborator. Perang melawan
korupsi sudah seharusnya ditabuh oleh semua masyarakat Indonesia bukan hanya
oleh penegak hukum. Sehingga peran serta masyarakat dalam mewujudkan

pemerintahan yang bersih dapat terwujud. Memang belum ada peraturan yang

12

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
13
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013, loc. cit. Hal. 4

Universitas Sumatera Utara

7

memadai terkait dengan Justice Collaborator. Oleh karena itu perlu didorong
peraturan yang mewadahi hal tersebut sehingga akan memaksimalkan peran
Justice Collaborator sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif
dimaksudkan bahwa orang punya niat korupsi akan takut karena apabila
lingkungannya mengetahui akan dilaporkan kepada penegak hukum. Sedangkan
langkah represif diartikan apabila orang sudah terjerat hukum terkait dengan
perbuatan pidana korupsi “harus” mengungkapkan bagaimana perbuatan tersebut
terjadi dan siapa saja yang terlibat. 14

Peran sebagai Justice Collaborator tentu bukanlah suatu keputusan yang
mudah untuk diambil oleh seorang pelaku tindak pidana. Suatu pengungkapan
atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun Serious Crime oleh
Justice Collaborator jelas merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan.
Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan
melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat
prevensial (mencegah sebelum terjadi). Kehadiran Justice Collaborator memang
sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang Justice Collaborator
berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi keselamatan fisik maupun
psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya. 15
Ancaman yang ditujukan terhadap diri seorang Justice Collaborator
maupun keluarganya merupakan suatu konsekuensi logis yang akan diterima oleh
seorang Justice Collaborator dari rekan sekerjanya dalam suatu tindak pidana.

14

Ibid
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,
Penaku, Jakarta, Hal.17
15

Universitas Sumatera Utara

8

Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya perlindungan yang dijamin
kepastiannya oleh Pemerintah dan juga peraturan perundang-undangan agar tidak
terjadi sesuatu yang buruk baik kepada diri seorang Justice Collaborator maupun
keluarganya.
Negara Indonesia sudah mengatur mengenai pemberian perlindungan
kepada seorang tersangka, terdakwa, ataupun terpidana dari suatu tindak pidana.
Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya SEMA No. 4 Tahun 2011. Menyusul
setelah itu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006
tentang Perlindungan saksi dan korban menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014.
Perubahan peraturan perundang-undangan mengenai Perlindungan Saksi
dan Korban tentu bukan tanpa sebab. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa untuk meningkatkan
upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak
pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan
terhadap saksi pelaku, pelapor dan ahli. Dimana dalam peraturan yang lama belum
ada diatur secara khsusus mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa keberadaan saksi dan korban
merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada
proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap Saksi dan Korban diberikan

Universitas Sumatera Utara

9

Perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai
subjek hukum yang dilindungi dalam Undang-Undang ini diperluas selaras
dengan perkembangan hukum di masyarakat, dimana selain Saksi dan Korban,
ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak
pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (Justice Collaborator), Pelapor (WhistleBlower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang
berhubungan dengan suatu perkara pidana sehingga terhadap mereka juga perlu
diberikan perlindungan. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban kelemahan yang sebelumnya terdapat dalam
peraturan yang lama telah diperbaiki salah satunya yaitu perluasan subjek
perlindungan.
Justice Collaborator dalam peranannya sebagai pengungkap fakta dalam
mengungkap suatu tindak pidana tentu perlu dilindungi dan harus benar-benar
menjamin keamanan dan kenyamanan mereka dan hal itu harus dituangkan secara
jelas didalam undang-undang, sehingga mereka tidak takut dan berani untuk
mengungkap fakta. Melihat betapa urgent hal tersebut sehingga penulis merasa
perlu dibahas untuk melihat bagaimana penerapan jaminan yang diberikan oleh
undang-undang tersebut kepada para saksi pelaku pengungkap fakta dan sejauh
mana undang-undang memberikan perlindungan kepada Justice Collaborator
tersebut.
B.

Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam

skripsi ini, agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari pokok

Universitas Sumatera Utara

10

materi yang ada dan lebih terarah maka penulis membatasi lingkup pembahasan
dalam skripsi ini dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan dimengerti.
Oleh karena itu, penulis membatasi ruang lingkup kajian permasalahan
yang ada sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah pengaturan Justice Collaborator dalam penyelesaian tindak
pidana korupsi di Indonesia?

2.

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap terdakwa tindak pidana korupsi
dalam kedudukannya sebagai Justice Collaborator?

3.

Bagaimanakah penerapan Justice Collaborator terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi pada putusan Nomor:161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst?

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang penulis telah kemukakan di atas,

maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan jawaban dan arah atas
permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum di Indonesia mengatur
tentang peran Justice Collaborator untuk mengungkap kasus korupsi dalam
penyelesaian tindak pidana korupsi.

2.

Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap
terdakwa tindak pidana korupsi yang berkedudukan sebagai Justice
Collaborator.

3.

Untuk mengetahui bagaimana penerapan Justice Collaborator terhadap
terdakwa

tindak

pidana

korupsi

pada

putusan

Nomor:

161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst

Universitas Sumatera Utara

11

Selain tujuan tersebut, penulis dalam menulis Skripsi ini mengharapkan
diperoleh manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1.

Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah
informasi, kontribusi pemikiran, dan ilmu pengetahuan dibidang ilmu
hukum pidana, dan bisa menjadi landasan bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya. Secara khusus, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi
landasan dalam kajian mengenai bagaimana mengatasi masalah tindak
pidana korupsi dan penyelesaiannnya melalui peran Justice Collaborator.
b. Hasil penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi literatur untuk
penulisan selanjutnya, khususnya mengenai bagaimana mengatasi masalah
tindak pidana korupsi dan penyelesaiannnya melalui peran Justice
Collaborator.

2.

Manfaat Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberi sumbangsih
pemikiran terhadap setiap pihak yang terkait dalam menangani masalah
tindak pidana korupsi, terkhusus dalam penyelesaian masalah tersebut
melalui peran Justice Collaborator dan juga bagaimana setiap pihak
tersebut memberikan perlindungan kepada Justice Collaborator agar
mereka tidak takut mengungkapkan kasus korupsi yang mereka ikut terlibat
di dalamnya.

Universitas Sumatera Utara

12

D.

Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul “Penerapan Justice Collaborator terhadap

terdakwa

tindak

pidana

korupsi

(Studi

Putusan

Nomor:

161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst) merupakan suatu judul yang sebelumnya
belum pernah ditulis dalam bentuk skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, hal ini dapat dibuktikan dimana judul skripsi ini telah diperiksa
sebelumnya oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU / Pusat Dokumentasi
dan Informasi Hukum FH USU, pada tanggal 22 Juni 2016. Kalaupun ada
beberapa redaksi yang mirip dengan beberapa skripsi sebelumnya atau karya tulis
lainnya, hal tersebut tidak lain untuk menunjang perbendaharaan dari materi
skripsi ini.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis memulainya dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan korupsi, kemudian bahanbahan yang berkaitan dengan Justice Collaborator. Dan setelah itu penulis
merangkai sendiri menjadi sebuah karya ilmiah yang disebut dengan skripsi. Oleh
karena itu, penulis berkeyakinan bahwa skripsi ini murni dibuat sendiri oleh
penulis dan dapat dipertanggungjawabkan.
E.

Tinjauan Kepustakaan

1.

Pengertian Perlindungan Hukum

Universitas Sumatera Utara

13

Secara universal, masyarakat dunia mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai sejumlah hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai
manusia diakui, sekalipun manusia itu belum dilahirkan ke dunia ini. 16
Di dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara, hak dan kewajiban
merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu dalam diri hukum. Artinya, hak
dan kewajiban itu diatur oleh hukum. Hal ini dimaksudkan agar hak dan
kewajiban manusia sebagai individu di dalam suatu masyarakat, bangsa dan
negara dapat terlaksana dengan baik dan tertib, sehingga hak dan kewajiban
individu sering diartikan sebagai hak dan kewajiban masyarakat. 17
Indonesia sebagai negara hukum menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Hal ini dapat dilihat dari pengaturan dalam konstitusinya yaitu Undang-Undang
Dasar 1945. Walaupun dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada secara
khusus disebutkan kata Hak Asasi Manusia dalam kalimat: “bahwa kemerdekaan
itu adalah hak segala bangsa....”, tetapi dalam batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 sudah diatur konsep perlindungan hukum terhadap hak-hak setiap
warga negaranya. 18 Beberapa diantaranya yaitu:
Pasal 27 ayat (1) menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 G ayat (1) menyatakan:

16

O. C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana
dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, PT Alumni, Bandung 2006, Hal. 49
17
Ibid, Hal. 113
18
Ibid, Hal. 18-19

Universitas Sumatera Utara

14

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28 G ayat (2) menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia...”
Pasal 28 I ayat (1) menyatakan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pasal 28 I ayat (2):
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.”
Pasal 28 J menyatakan:
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Pasal 28 J ayat (2) menyatakan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

Universitas Sumatera Utara

15

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan ntuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi.”
Setiap ketentuan yang telah diatur dan termuat dalam setiap pasal dari
UUD tersebut telah memberikan jaminan kepada setiap warga negara yang
kesemuanya itu bermuara pada prinsip equality before the law. Sebagai latar
belakang filosofis dan pengaturan persamaan kedudukan di hadapan hukum,
dinyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dilengkapi dengan hakhaknya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut melekat pada jati diri manusia sebagai
hak yang sangat mendasar atau asasi. Hak asasi yang sangat funndamental adalah
manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. 19
Perlindungan hukum merupakan sesuatu yang diberikan dan dijamin oleh
negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak
asasi manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum. 20
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan
definisi mengenai perlindungan, yaitu:
a.

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun
19

Ibid, Hal. 21
Ibid, Hal. 17

20

Universitas Sumatera Utara

16

2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama
Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa:
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi
Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
b.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 1 angka 8 menyebutkan:
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.”

c.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat.
Pasal 1 angka 1, menyebutkan:
Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman
baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada

Universitas Sumatera Utara

17

tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
d.

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 11 Tahun 2011
tentang Pedoman Pelayanan Permohonan Perlindungan pada Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 1 angka 4 menyebutkan:
Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan dan tindakan untuk pemenuhan
hak dan pemberian bantuan serta memberikan rasa aman kepada saksi
dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan yang telah disebutkan

diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan merupakan suatu pelayanan
pemenuhan hak yang diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan
rasa aman baik secara fisik maupun mental kepada saksi maupun korban dari
tindakan berupa ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun,
yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.

Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya
disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata
Latin yang lebih tua. Dari kata Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti

Universitas Sumatera Utara

18

Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu
corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa
Indonesia, yaitu “korupsi” yang memiliki arti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 21
Dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan bahwa: Corruption an act is
done with an intention to give someone advantage inconsistent with official duty
and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully
and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself
or for another person, contrary to duty and the rights of others. (Korupsi
merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.
Perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang secara
bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasaannya untuk
mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bertentangan dengan tugas dan hak orang lain) 22
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) korupsi bermakna
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain. 23
Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan
sebagai berikut seperti Juniadi Suwartojo (1997) yang dikutip Yogi Suwarno
21

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 4-5
22
Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012, Hal. 8-9
23
Ibid, Hal. 9

Universitas Sumatera Utara

19

menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih
yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau
menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan,
penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang
dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan,
penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya
dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak
langsung

merugikan

kepentingan

dan/atau

keuangan

negara/masyarakat.

Sementara Brooks memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja
melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban,
atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan
yang sedikit banyak bersifat pribadi.” Selanjutnya Alfiler menyatakan bahwa
korupsi adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected
norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other
rewards.” 24
Korupsi itu merusak, dan alasannya sederhana saja, yakni, karena
keputusan-keputusan

penting

yang

diambil

berdasarkan

pertimbangan-

pertimbangan pribadi, tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik. Jika
tidak dapat dikendalikan, korupsi dapat mengancam lembaga-lembaga demokrasi
dan ekonomi pasar. Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan
ke bidang-bidang tidak produktif -kelompok penindas- karena kelompok elite

24

Yogi Suwarno, Penelitian: Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA LAN
Jakarta , Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN RI

Universitas Sumatera Utara

20

akan selalu berusaha melindungi diri mereka, kedudukan dan harta kekayaan
mereka. 25
Untuk mengetahui adanya tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam halhal sebagai berikut: 26
a.

Unsur/ elemen yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal dari Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur tersebut meliputi:
1)

Perbuatan melawan hukum
yakni tindakan atau perbuatan yang melanggar atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, peraturan pelaksana undangundang, melanggar keputusan presiden, peraturan menteri, atau
peraturan direksi bagi suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara)

2)

Menyalahgunakan wewenang, kedudukan, dan sarana
Dalam implementasinya di lapangan, sering terjadi berbagai
penyimpangan antara lain:
a) Penyimpangan yang dimulai dari tingkat perencanaan suatu proyek
yang disebut korupsi berencana, yakni kedekatan atau adanya
hubungan khusus antara rekanan pemborong dengan pejabatpejabat di daerah dan pejabat di kementrian maupun di lembaga
DPR di tingkat daerah dan pusat. Konspirasi ini meliputi harga
yang di mark up maupun proses disetujuinya proyek itu oleh pihak
pengambil keputusan di daerah dan pusat.

25

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, Hal.9
26
Juni Sjafrien Jahja, op. cit. Hal. 45-50

Universitas Sumatera Utara

21

b) Menyimpan uang negara pada rekening pribadi. Perbuatan ini
dilakukan dengan memindahkan uang negar di bawah tanggung
jawabnyadari rekening instansi yang secara struktural di bawah
kendali pejabat tersebut ke rekening pribadinya, sehingga bunganya
dapat dengan leluasa dipakainya.
3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Konstruksi yuridis dalam undang-undang pemberantasan korupsi
yang dianut di

Indonesia sangat meluaskan jangkauannya.

Walalupun pelaku tindak pidana tidak mendapat sesuatu keuntungan
sama sekali tetapi harus mempertanggungjawabkan kerugian
keuangan negara yang timbul karenanya. Beberapa negara selalu
mengaitkan dengan adanya suap yang diterima oleh si pelaku.
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Besarnya jumlah kerugian negara harus ditentukan oleh hasil audit
yang dilakukan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini adalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP).
b.

Modus operandi korupsi
Dari berbagai kasus yang ditandatangani kejaksaan dan instansi penegak
hukum lainnya, ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi
menggunakan modus:
1)

Pemalsuan dokumen dilakukan dengan cara membuat surat palsu,
dokumen palsu atau berita acara palsu. Hal ini sering tejadi dalam

Universitas Sumatera Utara

22

pembangunan proyek fisik, sepeeti gedung, lahan, jalan, reboisasi,
pengerukan sungai, dan berbagai pekerjaan yang memerlukan
adanya berita acara pada saat pencairan dana proyek.
2)

Pemalsuan kuitansi, biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah
uang yang diisikan berbeda dengan besar jumlah fisik dana yang
sebenarnya.

3)

Menggelapkan uang/ barang milik negara atau kekayaan negara.

4)

Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang yang
memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri dengan maksud
agar pegawai negeri tersebut berbuat atau menalpakan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya.

5)

Gratifikasi, setiap pemberian dalam arti luas yang nilainya
Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan Cuma-Cuma, fasilitas lainnya baik yang diterima di
dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik) 27

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

27

Ibid, Hal. 63

Universitas Sumatera Utara

23

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan tindak
pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 28
a.

Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Merugikan Keuangan Negara
atau Perekonomian negara
1) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu

korporasi

yang

dapat

merugikan

keuangan

negara

atau

perekonomian negara;
2) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunkan kewenangan,
kesempatan atau saranna yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.

Tindak Pidana Korupsi Terkait Suap-menyuap
1) Pasal 5 Ayat (1) huruf a: menyuap pegawai negeri dengan memberikan
janji-janji karena jabatannya;
2) Pasal 5 Ayat (1) huruf b: menyuap pegawai negeri dengan memberikan
hadiah karena jabatannya;
3) Pasal 5 Ayat (2): pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji;
4) Pasal 6 Ayat (1) huruf a: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
Hakim;
5) Pasal 6 Ayat (1) huruf b: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
Advokat;
28

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik
Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal. 17-30

Korupsi (Mengetahui Untuk

Universitas Sumatera Utara

24

6) Pasal 6 Ayat (2): bagi Hakim dan Advokat yang menerima hadiah atau
janji.
c.

Tindak Pidana Korupsi yang Beraitan dengan Pembangunan, Leveransir, dan
Rekanan
1) Pasal 7 Ayat (1) huruf a: pemborong, ahli bangunan yang melakukan
perbuatan curang;
2) Pasal 7 Ayat (1) huruf b: setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bangunan yang membiarkan perbuatab
curang;
3) Pasal 7 Ayat (1) huruf c: seorang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan TNI dan/atau Kepolisian RI melakukan perbuatan curang;
4) Pasal 7 Ayat (1) huruf d: setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan barang keperluan TNI dan/atau Kepolisian
RI membiarkan perbuatan curang;
5) Pasal 7 Ayat (2): orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI dan/atau
Kepolisian RI membiarkan perbuatan curang.

d.

Tindak Pidana Korupsi Penggelapan
1) Pasal 8: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara
waktu menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;

Universitas Sumatera Utara

25

2) Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara
waktu memalsukan buku-buku atau daftar-daftar administrasi;
3) Pasal 10 huruf a: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang bukti;
4) Pasal 10 huruf b: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;
5) Pasal 10 huruf c: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;
6) Pasal 11: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji yang berhubungan dengan jabatannya;
7) Pasal 12 huruf a: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji yang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan jabatannya;
8) Pasal 12 huruf b: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji karena telah melakukan sesuatu perbuatan dalam
jabatannya;

Universitas Sumatera Utara

26

9) Pasal 12 huruf c: hakim yang menerima hadiah atau janji;
10) Pasal 12 huruf d: advokat menerima hadiah atau janji.
e.

Tindak Pidana Korupsi Kerakusan (Knevelarij)
1) Pasal 12 huruf e: pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud

untuk

kewenangannya
membayar,

atau

menguntungkan
memaksa
menerima

diri

seseorang

sendiri
untuk

pembayaran

menyalahgunakan

memberikan

dengan

sesuatu,

potongan,

atau

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
2) Pasal 12 huruf f: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima,
meminta, atau memotong pembayaran ;
3) Pasal 12 huruf g: pegawai negeri atau penyelenggara negara meminta,
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;
4) Pasal 12 huruf h: pegawai negeri atau penyelenggara negara menggunakan
tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, telah merugikan orang
yang berkah;
5) Pasal 12 huruf i: pegawai negeri atau penyelenggara negara turut serta
dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan.
f.

Tindak Pidana Korupsi tentang Gratifikasi 29
1) Pasal 12B: gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

29

Yang dimaksud dengan Gratifikasi menurut penjelasan didalam Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah “pemberian secara luas”, yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakuka dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Universitas Sumatera Utara

27

2) Pasal 12C: penerima wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK.
g.

Tindak Pidana Korupsi Pemberian Hadiah
Pasal 13: setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai
negeri.

3.

Pengertian Justice Collaborator
Istilah Justice Collaborator merupakan istilah yang belum lama dikenal

dalam hukum Indonesia. Lahirnya Justice Collaborator ditenggarai karena
sulitnya mengungkapkan suatu tindak kejahatan karena sulitnya mengumpulkan
bukti-bukti yang cukup dan memadai. Bagaimana mungkin aparat penegak hukum
bisa mengumpulkan bukti-bukti jika orang-orang yang terlibat atau yang
mengetahui tindak kejahatan tersebut tidak mau dan tidak berani memberikan
informasi karena ancaman balasan terhadap dirinya dan juga keluarganya. 30
Karena latar belakang inilah peran Justice Collaborator lahir, dan
perannya begitu penting. Keberadaan Justice Collaborator dianggap sangat
penting karena sulit dan/atau besarnya sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk
mengungkap tindak pidana berat/serius, seperti korupsi atau mafia hukum tanpa
adanya informasi dari “orang dalam”. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain: (1) tindak pidana semacam ini kerap dilakukan secara terorganisir; (2)
para pelaku sama-sama diuntungkan dengan adanya tindak pidana sehingga sulit
mengharapkan adanya laporan dari pihak yang dirugikan; (3) pelaku tindak pidana
tidak jarang melibatkan pihak yang memiliki kekuatan (kekuasaan/jabatan,

30

Firman Wijaya, op. cit. Hal. 20

Universitas Sumatera Utara

28

finansial, dsb) sehingga orang yang mengetahui tindak pidana tersebut takut untuk
melaporkan ke aparat penegak hukum; (4) pelaku mengetahui cara dan semakin
canggih dalam menyembunyikan tindak pidana (transaksi dilakukan tunai,
melakukan money laundring, melalui perantara, menghindari percakapan agar
tidak terekam, dan sebagainya) sehingga tidak mudah untuk menemukan buktibukti tindak pidana tersebut. 31
Berikut beberapa defini mengenai Justice Collaborator, yaitu:
a.

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun
2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Pasal 1 angka 3):
“Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku
suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk
mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana
untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara

31

Buku Perlindungan Terhadap Pelaku yang Bekerjasama, diakses melalui
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved
=0ahUKEwiMmvbOtpPOAhUcT48KHa3ZB0YQFgggMAE&url=http%3A%2F%2Fpembaruanpe
radilan.net%2Fv2%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2011%2F07%2FBuku%2520Perlindungan%2520Terhadap%2520Pelaku
%2520Yang%2520Bekerja%2520Sama.pdf&usg=AFQjCNHFuQYTfUZc9EJrafCt_N3u5H7d_w
&sig2=wDXDKVxBXdt3yg1w_z_-kQ&bvm=bv.128153897,d.c2I Hal. 5

Universitas Sumatera Utara

29

dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta
memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.”
b.

Council of Europe Committee of Minister
Collaborator of justice adalah seseorang yang juga berperan sebagai
pelaku tindak pidana, atau secara meyakinkan adalah merupakan bagian
dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan
terorganisir dalam segala bentuknya, atau merupakan bagian dari
kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan bersedia untuk
bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian
mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau
terorganisir, atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait
dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya. 32

c.

Reccomendation Rec(2005)9 of the Commitee of Ministers to member
states on the protection of witnesses and collaborators of justice (Adopted
by the Committee of Ministers on April, 20th , 2005 at the 924th meeting
of the Minister`s Deputies
“Collaborator of Justice” means any person who faces criminal charges,
or has been convicted of taking part in criminal association or other
criminal organisation of any kind, or in offences of organised crime, but
who agrees to coorporate with criminal justice authorities, particularly by
giving testimon about a criminal association or organisation, or about any

32

Abdul Haris Semendawa, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam
Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Hal. 29

Universitas Sumatera Utara

30

offence connected with organised crime or other serious crimes 33
(Terjemahan bebas: Justice Collaborator adalah setiap orang yang
menghadapi tuntutan criminal atau sudah ditetapkan untuk ambil bagian
dalam asosiasi tindak pidana atau organisasi tindak pidana lainnya atau
khususnya korupsi, tetapi dia setuju untuk bekerjasama dengan pejabatpejabat peradilan pidana dengan memberikan kesaksian mengenai asosiasi
atau organisasi tindak pidana atau tentang segala tindak pidana yang
berhubungan dengan tindak pidana korupsi dan kejahatan-kejahatan serius
lainnya).
d.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan: “Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana
yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dalam kasus yang sama.”

e.

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
Justice Collaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam
status saksi, pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada
penegak hukum dalam bentuk, misalnya pemberian informasi penting,
bukti-bukti yang kuat, atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang
dapat mengungkapkan suatu tindak pidana dimana orang tersebut terlibat di

33

Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi
Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana,
Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam indonesia, Yogjakarta 17 April 2013, Hal. 8

Universitas Sumatera Utara

31

dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut (atau bahkan suatu tindak
pidana lainnya) 34
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Justice Collaborator atau
yang disebut juga saksi pelaku yang bekerjasama adalah seorang tersangka,
terdakwa, atau terpidana yang bukan pelaku utama, mau bekerjasama dengan
aparat penegak hukum untuk memberikan bantuan melalui kesaksiannya untuk
membongkar suatu tindak pidana yang ia terlibat di dalamnya.
F.

Metode Penelitian

1.

Penelitian
Penelitian Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (Juridis

normative) yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma
hukum secara tertulis.

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai perlindungan
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dalam kedudukannya sebagai Justice
Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
yang ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Peraturan bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi
Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan
beberapa peraturan lainnya. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian
kepustakaan.
34

Aditya Wisnu Mulyadi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2015 Hal. 65

Universitas Sumatera Utara

32

Oleh karena tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian hukum normatif maka pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan. Pendekatan Perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. 35 Dalam penelitian ini maka
pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penerapan status Justice Collaborator terhadap terdakwa
tindak pidana korupsi dalam kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2.

Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:
a.

Bahan Hukum Primer:
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunya otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. 36
Bahan hukum primer dalam tulisan ini berupa dokumen peraturan
perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia, yakni diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Undang-Undang Nomor 31
35
36

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Grup, Jakarta, 2005, Hal. 133
Ibid, Hal. 181

Universitas Sumatera Utara

33

Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di
dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Putusan Pengadilan, Peraturan Bersama,
dan sebagainya.
b.

Bahan Hukum Sekunder:
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. 37
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan hukum sekunder,
yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat
digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada
serta memberikan petunjuk kepada penulis di dalam memulai penulisan. Adapun
bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu
semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi dalam penulisan skripsi
ini, yaitu buku-buku ilmu hukum, jurna-jurnal ilmu hukum, skripsi, tesis, laporan
penelitian ilmu hukum, artikel ilmiah hukum, dan bahan seminar, lokakarya, dan
juga sumber-sumber lain yakni internet dan situs-situs terpercaya yang memiliki
relevansi dengan apa yang penulis bahas dalam penulisan skripsi ini.
c.

Bahan Hukum Tertier:

37

Ibid

Universitas Sumatera Utara

34

Bahan hukum tertier meliputi semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan ketertangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder
seperti kamus, artikel, ensiklopedi dan lain-lain.
3.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dikenal juga dengan istilah library
research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai literatur untuk memperoleh ba