Penerapan Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 161 Pid.Sus TPK 2015 PN.Jkt.Pst)

BAB II
PENGATURAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A.

Sejarah Justice Collaborator
Pada dasarnya, lahirnya Undang-Undang yang memfasilitasi kerja sama

saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan penegak hukum
pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Fasilitasi
tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan
omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia
Mafioso Sisilia). 38 Dalam United Nations Office on Drugs and Crime, Howard
Abadinsky menyebutkan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika
adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat
dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan. Jika
ada yang melanggar “sumpah diam” tersebut dan bekerjasama dengan polisi,
maka keselamatan dirinya dan keluarganya akan terancam karena organisasi yang
mereka khianati tidak akan segan untuk membunuh mereka. Dengan begitu,
negara menjadi kesulitan untuk membujuk saksi-saksi penting untuk memberi
kesaksian melawan bos mereka. Hal inilah yang membuat Departemen

Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program perlindungan saksi harus
dijadikan suatu lembaga. 39
Di Indonesia sendiri, perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against
38

Lilik Mulyadi, op. cit , Hal. 3-5
Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator
dalam Sistem Peradian Pidana di Iindonesia, Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia,
2012, Hal. 65-66
39

38

Universitas Sumatera Utara

39

Corruption (UNCAC) Tahun 2003 diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis
Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003 dan juga telah

diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan

United

Nations

Convention

Against

Corruption

(Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) yang berlaku efektif sejak 18
April

2006


dimana

ditegaskan

bahwa,

“setiap

negara

peserta

wajib

mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi
hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial
dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam
konvensi ini”.
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, “setiap
negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan

bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau
penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.” Selain
UNCAC, Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against
Transnasional Organized Crime melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir (United
Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC). Kedua
Konvensi PBB ini, yang telah diratifikasi oleh Indonesia,

merupakan dasar

hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide tentang Justice Collaborator dalam
peradilan pidana

Universitas Sumatera Utara

40

Selain dari ketentuan Konvensi di atas, ada hal-hal lain yang
melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator di Indonesia yaitu karena
kesulitan para penegak hukum untuk mengumpulkan saksi kunci untuk

membuktikan suatu perkara pidana. Hal ini dilatarbelakangi karena kurangnya
perlindungan yang diberikan kepada saksi dalam proses beracara mulai dari
penyelidikan sampai di pengadilan, sehingga banyak yang enggan untuk menjadi
saksi. Sebagaimana diketahui alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara
pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua
pembuktian perkara pidana, selau bersandar kepada pemeriksaan keterangan
saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 40
Tetapi di dalam praktek peradilan, aparat penegak hukum seringkali
menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas
dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama menghadirkan saksisaksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses di pengadilan. 41
Kesulitan untuk menghadirkan saksi dalam proses hukum tentu bukan
tanpa suatu alasan. Dalam banyak kasus seringkali seorang saksi enggan untuk
mengungkapkan apa yang diketahuinya maupun yang dialaminya karena mereka

40

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika Offset, 2013, Hal.

286
41
Firman Wijaya, op. cit, Hal. 19

Universitas Sumatera Utara

41

enggan berurusan lebih lanjut dengan aparat penegak hukum. Mereka juga takut
diancam ataupun diintimidasi oleh pelaku kejahatan. 42
Oleh karena itu lahirlah komitmen untuk menjamin perlindungan saksi dan
korban dalam sebuah undang-undang yang berawal dari gagasan reformasi sistem
politik dan hukum yang digulirkan sejak 1998. Lahirnya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sejatinya adalah demi
menciptakan iklim yang kondusif dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat
melalui pemenuhan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang
mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak
pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.43
Upaya untuk menumbuhkan partisipasi publik itulah yang pada akhirnya
melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator.

Sebelum istilah Justice Collaborator, ada istilah lain yang lebih dikenal
dalam hukum acara pidana di Indonesia yaitu saksi mahkota. Berikut beberapa
definisi mengenai saksi mahkota yang diberikan para ahli: 44
1.

R. Soesilo
“Saksi mahkota dalah saksi yang ditampilkan dari beberapa terdakwa/ salah
seorang terdakwa guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut.
Saksi mahkota dapat dibebaskan dari penuntutan pidana atau kemudian akan
42

Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2015, hal.

18
43

Ibid, hal. 19
Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di
Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, Hal. 67-68
44


Universitas Sumatera Utara

42

dituntut pidana secara tersendiri, tergantung dari kebijaksanaan penuntut
umum yang bersangkutan.”
2.

Andi Hamzah
“Saksi mahkota adalah salah seorang terdakwa dijadikan (dilantik) menjadi
saksi, jadi diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi atau
lebih mudahnya bahwa saki mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi
bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai saksi dilepaskan.
Biasanya saksi mahkota adalah terdakwa yang paling ringan hukumannya.
Pengubahan status terdakwa menjadi saksi itulah yang dipandang sebagai
pemberian mahkota “saksi” (seperti dinobatkan menjadi saksi). Biasanya
Jaksa memilih terdakwa yang paling ringan kesalahannya atau yang paling
“kurang dosanya” sebagai saksi.”


3.

Loebby Loeqman
“Saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi
dalam peristiwa penyertaan.”

4.

Mardjono Reksodiputro
“Saksi mahkota adalah saksi kunci yang diajukan oleh Jaksa penuntut
umum dimana tanpa saksi itu jaksa penuntut umum tidak mempunyai bukti.
Jadi jatuh bangunnya dakwaan jaksa penuntut umum sangat tergantung dari

Universitas Sumatera Utara

43

saksi mahkota. Disebut saksi mahkota yang merupakan penerjemahan
langsung dari kroon artinya mahkota dan getuige artinya saksi.”
Dari seluruh pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa saksi

mahkota adalah saksi yang diajukan oleh terdakwa, dimana yang menjadi saksi ini
adalah terdakwa yang paling kecil peranannya. Dikatakan saksi mahkota karena
saksi ini berbeda dari saksi yang lain, dimana berdasarkan kesaksiannya dia
diberikan mahkota bisa berupa pengurangan hukuman bahkan dibebaskan dari
penuntutan pidana tergantung dari kebijaksanaan penuntut umum, dan saksi
mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.
Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam
pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersamasama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka
tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986
K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan
bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum
mengajukan saksi mahkota dengan sarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya
sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang
diberikan kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi
saksi mahkota adalah, ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersamasama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang
perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”.

Universitas Sumatera Utara


44

Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada
prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat
kekurangan alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan
(splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI
memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang
penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana
Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa ”penggunaan saksi mahkota
adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM” (lihat :
Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI,
No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995,
tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.
Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai
sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan
yuridis. Adanya alasan klasik yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk
memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi
diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan
saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Secara normatif
penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsipprinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan
pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan
hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66
KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ juga melanggar

Universitas Sumatera Utara

45

instrumen hak asasi manusia secara internasional (International Covenant on Civil
and Political Right). 45 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
saksi mahkota dilihat sebagai pilihan terakhir jika alat bukti sangat minim
sehingga menghambat jalannya acara pembuktian dan agar keterangan saksi
mahkota tidak hanya menjadi satu-satunya alat bukti dalam suatu persidangan. 46
Selain saksi mahkota, ada juga istilah lain yang dikenal dalam hukum
Indonesia yaitu Whistleblower. Quentin Dempster berpendapat Whistleblower
adalah orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal,
bahaya mal praktik, atau korupsi. Sedangkan Prof. Mardjono Reksodiputro
menngartikan whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu. Ibarat
sempritan wasit (peniup peluit), Prof. Mardjono berharap kejahatan dan
pelanggaran hukum yang terjadi dapat berhenti apabila dilakukan dengan
mengundang perhatian publik. Sementara informasi yang dibocorkan oleh seorang
peniup peluit berupa informasi yang bersifat rahasia di kalangan lingkungan
informasi itu berada. Baik tempat, informasi yang diberikan, maupun informann
bermacam-macam. 47
Whitleblower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di Amerika
Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana. Adakah perbedaan
whistle blower ini dengan saksi mahkota? Keduanya memang sama-sama

45

http://pn-raha.go.id/index.php?page=detail.html&id=205 , diakses pada 3 Agustus 2016

46

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaantersangka-sebagai-saksi-di-persidangan, diakses pada 3 Agustus 2016
47

Prof. Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/ Whistle Blowers dan Penyadapan
(Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (dalam)
Firman Wijaya, op. cit, Hal. 7

Universitas Sumatera Utara

46

mengungkap suatu tindak pidana, namun bedanya adalah whistle blower bukan
tersangka. Sementara saksi mahkota adalah tersangka yang bersedia membantu
penyidik mengungkap seluruh jaringan kejahatan dan membeberkan semua pelaku
yang terlibat. Untuk itu, dia dikeluarkan dari tersangka dan dijadikan saksi
(mahkota), dan harus dilindungi dari balas dendam teman-temannya sebagaimana
whistle blower. 48
Saksi mahkota sendiri hampir memiliki persamaan dengan Justice
Collaborator, dimana saksi mahkota dan Justice Collaborator sama-sama
merupakan salah satu tersangka dari kasus yang ia terlibat di dalamnya dan akan
dibongkarnya. Namun tetap ada perbedaan antara saksi mahkota dan Justice
Collaborator yaitu dimana berdasarkan pendapat para ahli diatas, saksi mahkota
dapat dibebaskan dari tuntutan pidana yang diberikan kepadanya, namun untuk
Justice Collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama) seseorang tersebut tidak
dapat dibebaskan namun reward yang ia dapatkan yaitu berupa keringanan
penjatuhan pidana serta pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak
narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
Saksi Pelaku yang berstatus narapidana, hal ini tercantum dalam Pasal 10 A ayat
(3). Selain perbedaan tersebut, ada perbedaan lainnya yaitu, peran saksi mahkota
diberikan oleh inisiatif jaksa, sedangkan peran Justice Collaborator diberikan
karena ada inisiatif sendiri dari terdakwa yang mengakui kesalahannya dan
membantu aparat penegak hukum untuk membongkar kasus yang ia terlibat di
dalamnya tersebut.
48

Nurul Ghufron, Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pustaka
Radja, 2014, Hal. 41

Universitas Sumatera Utara

47

Lahirnya peran Justice Collaborator di Indonesia tentu saja masih
menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W.
Eddyono di Jakarta dimana ia mengatakan penetapan Justice Collaborator (JC)
terhadap tersangka dan terdakwa yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum
dalam membongkar tidak pidana di pengadilan belum memiliki kesamaan
pandangan dalam penegakan hukum. Padahal, sejak Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diperbaharui menjadi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diberlakukan,
setidaknya praktik berlangsung sepuluh tahun masih ditemukan permasalahan
krusial dalam pemberian reward terhadap Justice Collaborator di pengadilan.
Cara pandang hakim, jaksa, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atas pelaku
bekerjsama yang berbeda-beda mengakibatkan reward atas pelaku yang
bekerjasama sulit di dapatkan, ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal
pelaku yang bekerjasama. Selain perbendaan pandangan soal penetapan stasus
tersangka menjadi Justice Collaborator, frasa “pelaku utama” dalam regulasi
dinilai kurang tepat. Sebab dimungkinkan bakal menimbulkan banyak penafsiran
yang berbeda. Oleh karena itu ia merekomendasikan agar seluruh institusi
penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan pandangan
terkait frasa ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan Justice
Collaborator. Karena bila perbedaan pandangan penetapan Justice Collaborator
di pengadilan kerap terjadi, maka harapan mengusung peran Justice Collaborator

Universitas Sumatera Utara

48

dalam membongkar perkara bakal surut. Boleh jadi, tersangka maupun terdakwa
bakal berpikir ulang bekerjasama dengan penyidik dan penuntut umum di
pengadilan. Dan hal ini akan mempersulit tugas Jaksa dalam mengungkap kasuskasus khusus. 49
Namun sekalipun banyak pro dan kontra terhadap peran Justice
Collaborator, peran Justice Collaborator sebenarnya efektif untuk digunakan,
hanya saja pengaturan hukum mengenai Justice Collaborator inilah yang perlu
lebih disempurnakan lagi.
B.

Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Tahapan korupsi yang telah berkembang di Indonesia ditunjukkan mulai

dari terbentuknya negara pasca kolonial (post colonial state), periode demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai setelah berakhirnya rezim
Soeharto.
Perkembangan tindak pidana korupsi dari setiap periodenya akan dijabarkan
di bawah ini:
1.

Kekuasaan negara Republik Indonesia –wewenang dan pelaksanaan
kebijakan maupun programnya—terselenggara berkat sokongan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyimpangan atas pendapatan
dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan
pegawainya.

49

http://icjr.or.id/problem-penetapan-bagi-pelaku-yang-bekerjasama-masih-terjadi-dipengadilan-hakim-dan-jaksa-masih-belum-sepakat-soal-status-pelaku-yang-bekerjasama/, diakses
pada 18 Juli 2016

Universitas Sumatera Utara

49

2.

Nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi
negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi rebutan bagi
para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan
perwira Angkatan Darat (AD), perusahaan negara yang penting pun mereka
kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, Bank-Bank
Pemerintah, Perhutani, serta Telkom dan PLN.

3.

Para birokrat, baik sipil maupun militer, telah terlibat kolusi dalam bisnis
yang mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian
lisensi, proyek dan kredit, maupun monopoli dan proteksi sampai privatisasi
BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan
ekonomi Orde Baru sampai masa pemulihan ekonomi saat ini, patronasi
bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya, dan
kini masih bertahan.

4.

Berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan
bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar ordernya
bersumber dari negara. Di samping menjadi “mesin uang” bagi pemupukan
kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan
bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer.

5.

Perluasan korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi
tumbuhnya orang kaya baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring dengan
meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat dan pegawai menjadi OKB
adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah, seperti produk

Universitas Sumatera Utara

50

otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai oleh sejumlah konglomerat
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)
6.

Dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan
para pegawainya yang korup. Suap-menyuap, “jual beli perkara”, dan
pemerasan adalah potret mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai
“mafia peradilan” yang terus berlangsung hingga kini. Aparat penegak
hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan dari
masyarakat.

7.

Birokrasi tidak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana
pembangunan, tetapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam
melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi
yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri
manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan “birokrasi
pungutan” (collect money bureaucracy)

8.

Berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup
menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis
illegal, seperti penebangan hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan
pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah
pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian.

9.

Setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa
1980an dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dikuasai segelintir orang serta
kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan pergolakan daerah dan
terorisme. Selainmasalah timor timur, juga terjadi pergolakan bersenjata

Universitas Sumatera Utara

51

(armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik
komunal di Sambas, Sampit, Poso, dan Maluku. Berbagai aksi teror bom
juga telah meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan
senjata api.
10.

Pemilihan umum (Pemilu) 1999 telah menjadi ajang perebutan kursi
kekuasaan politik. Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih
hasil secara formal sebagai kekuatan yang besar –dengan merebut kursi
DPR dan DPRD- telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan dana yang
populer disebut “politik uang” (money politics) dengan membagibagikannya kepada calon pemilh

11.

Selain tumbuh sebagai bagian dari patronasi politik dalam kegiatan bisnis,
para politisi (birokrat) di parlemen (DPR) –dengan menguatnya kedudukan
mereka- telah pula timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati
permainan “politik daging sapi” baik dalam menghadapi lawan dan
membentuk koalisi maupun menseleksi calon pejabat tertentu, Hakim
Agung, dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen.
Selain itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang yang
diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-dua orang yang terlibat
atau lawan politiknya.

12.

Sejak paruh 1997, ekonomi Indonesia dilanda krisis sehingga terjadi
peningkatan angka pengangguran dan kemskinan melalui penyaluran dana
sosial. Program pemereintah dijalankan berupa menyalurkan dana Jaring
Pengaman Sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM. Seiring dengan

Universitas Sumatera Utara

52

timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun
terpaksa menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial
ini juga telah membuka dugaan terjadinya penyimpangan.
13.

Reformasi tidak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil
dan lapisan politisi sipil, tetapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan
ekonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan
jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah
yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Seperti Aceh, Riau, Papua, dan
Kalimantan Timur juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan
dalam pengelolaan anggaran dan SDA tersebut.

C.

Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita

hadapi di zaman kita ini. Korupsi telah mewabah dan ada dimana-mana. Darimana
dan bagaimana memulai pemberantasan korupsi, ketika penyimpangan kekuasaan
itu sudah sistemik merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan, dalam
lingkungan politik dan birokrasi yang tidak mendukung.
Korupsi merupakan masalah yang telah sejak lama mewarnai berbagai
aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Selama beberapa dasawarsa,
fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar
ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang
mengulas kondisi korupsi di negara ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is
way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan

Universitas Sumatera Utara

53

kehidupan bangsa Indonesia. 50 Oleh karena itu, pandangan pesimistis akan
menyatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas praktik korupsi di
Indonesia. 51
Perkembangan modus salah satu kejahatan, yakni korupsi, akhir-akhir ini
menunjukkan skala yang semakin meluas dan juga semakin canggih. Dampak
yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi demikian mengguncang moralitas norma
dan praktek peradilan. Kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi
tindak pidana korupsi tentu saja membutuhkan extra ordinary measures / extra
ordinary enforcement (penanganan yang luar biasa).
Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa
reformasi, mustahil mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela.
Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, atau
mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap dibiarkan merajalela.
Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan di setiap
masa kepemimpinan nasional di Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara singkat
kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemimpin bangsa ini mulai dari masa
kepemimpinan

Soekarno

sampai

masa

kepemimpinan

Susilo

Bambang

Yudhoyono. 52
1.

Masa pemerintahan Soekarno (1945-1966)
Dalam kurun waktu 1956-1957 muncul gerakan anti korupsi yang

dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Kampanye anti korupsi, memberantas orang-orang yang dianggap “tak tersentuh”
50

Elwi Danil, ibid
O. C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, PT Alumni Bandung, 2007, hal. 193
52
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hal. 182-190
51

Universitas Sumatera Utara

54

dan kebal hukum, baik di kalangan politisi, pengusaha maupun pejabat. Zulkifli
bekerjasama dengan Jaksa Agung Suprapto dan melibatkan pemuda-pemuda
mantan tentara pelajar. Konon, alasan Zulkifli waktu itu aparat hukum tidak
berjalan dan tidak berfungsi, sehingga dia harus bertindak dengan caranya sendiri
dengan membentuk “pasukan khusus”. Pada masa itu dikeluarkan Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantsan Korupsi. Dalam
aturan itu muncul istilah korupsi. Peraturan itu dibuat karena KUH Pidana
dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktik-praktik korupsi ketika
itu.
Satu tahun kemudian dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan

Darat

Nomor

PRT/PEPERPU/013/1958

tentang

Pengusutan,

Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda.
Terakhir pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada 1961, Pemerintah dan DPR Gr menerbitkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang.
2.

Masa pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor di masa pemerintahan

Soeharto dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu sebagai berikut:
a.

Periode 1967

Universitas Sumatera Utara

55

Sebagai Pejabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi,

sekaligus

payung

hukum

untuk

membentuk

Tim

Pemberantasan Korupsi. Tim ini bertanggungjawab kepada Jaksa
Agung. Pada Tahun 1982, Tim Pemberantasan Korupsi dibubarkan.
b.

Periode 1970
Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun 1970 tentang Pembentukan Komisi Empat. Komisi yang
dibentuk pada Januari 1970 itu bertugas meneliti dan mengkaji
kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi. Usia
Komisi Empat sangat singkat. Pada Mei 1970, Komisi Empat
dibubarkan.

c.

Periode 1971
Presiden Soeharto membentuk Komite Anti Korupsi, menggantikan
Komisi Empat, pada Juni 1970. Namun, Komite Anti Korupsi juga
dibubarkan tiga bulan kemudian persisnya pada Agustus 1970.
Kemudian Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana orupsi. Untuk pertaa
kalinya, Indonesia memiliki Undang-Undang khusus Tindak Pidana
Korupsi.

d.

Periode 1977
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1977

tentang

Pembentukan

Tim

Operasi

Tertib

(Opstib),

Universitas Sumatera Utara

56

menindaklanjuti langkah Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib.
Tim itu dibentuk untuk meningkatkan daya dan hasil gunaserta
meningkaatkan kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis
praktik-praktik penyelewengan dalam segala bentuk. Tim Operasi
Tertib yang dibentuk pada Juli 1977 dibubarkan pada Maret 1988.
e.

Periode 1980
Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun
1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1980 mengatur bahwa baik pemberi maupun penerima suap bisa
didakwa melakukan kejahatan. Kemudian Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai
Negeri.

f.

Periode 1982
Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun
tidak dilandasi surat Keputusan presiden sebagai payung hukumnya.

3.

Masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999)
a.

Periode 1998
Pemerintahan pertama pascareformasi yang dipimpin oleh B. J. Habibie
memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidaktidaknya dua peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

57

1) Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, olusi, dan Nepotisme (KKN), dihasilkan
dalam Sidang Umum MPR RI 1998, dan
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Pennyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan oleh
Pemerintah dan DPR.
b.

Periode 1999
Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999

tentang

Pemberantasan

Tindak

Pidana

Korupsi

sebagai

penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.

Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk sejumlah
peraturan perundang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, termasuk Tim Pemberantasan Tipikor, meliputi antara lain sebagai
berikut:
a.

Periode 1999
1) Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden

Nomor 127 Tahun 1999, sebagai dasar hukum

Pemerintahan

membentuk

Komisi

Pemeriksaan

Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN).

Universitas Sumatera Utara

58

2) Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden, bertanggal 13 Oktober 1999, tentang Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan Standar Pemeriksaan
yang Telah Ditetapkan.
b.

Periode 2000
1) Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 44 tahun 2000, bertangggal 10 Marret 2000
tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON)
2) Presiden Abdurrrahman Wahid menerbitkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Teroris (TGPTPK) pada 5 April
2000. Tim gabungan beranggotakan 24 orang dari berbagai unsur
ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung dan merupakan cikal
bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
3) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen
Kehakiman dan HAM, tanggal 7 Juli 2000, menerbitkan Surat
Keputusan untuk menetapkan Pembentukan Tim Persiapan
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.

5.

Masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
a.

Periode 2001

Universitas Sumatera Utara

59

1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Maksud dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:
a) Memberikan

pijakan

hukum

untuk

mencegah

dan

memberantas Tindak Pidana Korupsi yang nyata-nyata
merugikan keuangan negara, dan
b) Memberikan pijakan hukum untuk pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagai komisi
yang bersifat independen.
2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
yang dibentuk pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pada
5 April 2000, terpaksa dibubarkan menyusul keputusan Mahkamah
Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000 tersebut pada Juli 2001.
b.

Periode 2002
1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK). KPK dibentuk atas dasar ketentuan Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Universitas Sumatera Utara

60

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3) Pemerintah membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
berkedudukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dibentuk
berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK.
c.

Periode 2003
1) Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia
Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pada tanggal 21 September 2003. Hasil panitia seleksi,
diperoleh 10 nama dan diserahkan ke Presiden pada 6 Desember
2003. Dari 10 nama itu, DPR memilih lima sebagai pimpnan KPK.
2) DPR pada 19 Desember 2013 mengesahkan lima pimpinan KPK
hasil pilihan anggota Komisi Hukum DPR.
3) Pemerintah Indonesia, diwakili Menteri Kehakiman dan HAM,
Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB tentang
Pemberantasan Korupsi 2003, di New York, AS, pada 18
Desember 2003.

6.

Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Semangat memberantas korupsi pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, di awal pemerintahannya, diperkuat dengan menerbitkan
sejumlah undang-undang serta keputusan/ instruksi khusus presiden

Universitas Sumatera Utara

61

berkaitan dengan upaya pemberantasan Tipikor, dan tidak ketinggalan pula
membentuk “tim khusus”.
a.

Periode 2004-2005
1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Surat
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
2) Presiden SBY membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dimana dasar hukumnya diatur
dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2005,
bertanggal 2 Mei 2005. Dalam pelaksanaan tugasnya Timtas
Tipikor menjalankannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya
masing-masing serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Keppres tersebut menegaskan, Timtas Tipikor dibentuk untuk
mendukung lembaga-lembaga penegak hukum dalam rangka
meningkatkan upaya percepatan pemberantasan Tipikor.
3) Presiden SBY mengeluarkan surat Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 50/ M/ 2006, bertanggal 19 Mei 2006, tentang
Pembentukan

Komisi

Kepolisian

Nasional

(Kompolnas).

Pembentukan Kompolnas adalah tindak lanjut Pasal 37 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Tujuan
dibentuknya Kompolnas adalah untuk mengawasi kinerja Polri agar
sesuai dengan kapasitasnya, yaitu sebagai pelayan, pengayom, dan
pelindung

masyarakat

dengan

penuh

kewibawaan.

Bentuk

Universitas Sumatera Utara

62

pengawasan itu adalah dilibatkannya partisipasi aktif masyarakat
untuk menyampaikan laporan, kritik, dan saran perihal kinerja
aparat Polri di lapangan kepada Kompolnas.
4) Presiden SBY mengeluarkan Surat Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Melalui
Keputusan Presiden Nomor 116/ M/ 2005, Presiden menetapkan
tujuh orang anggota Komisi Kejaksaan yanga akan mengawasi
jaksa dan kinerja kejaksaan. Komisi Kejaksaan dapat memberikan
rekomendasi kepada Presiden atau Jaksa Agung mengenai
pemberhentian jaksa dari tugasnya.
5) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
6) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
7) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dimana komisi ini bertujuan
melakukan pengawasan dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berbeda dengan komisikomisi lain, pembentukan Komisi Yudisial merupakan amanat
langsung Konstitusi Negara, yaitu Pasal 24B UUD 1945, untuk
memberikan landasan kuat bagi reformasi hukum lembaga

Universitas Sumatera Utara

63

peradilan dan dipertegas lagi dalam Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b.

Periode 2006-2008
1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
2) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang
Korupsi, 2003.
3) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
4) Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor: 012016-019/ PUU-IV/ 2006, bertanggal 19 Desember 2006, berisi
pembatalan atas keberadaan Pengadilan Tipikor. MK menilai,
Pengadilan Tipikor yang dasar pembentukannya adalah ketentuan
Pasal 53 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga perlu diatur kembali Pengadilan
Tipikor

dengan

Undang-Undang

khusus

sebagai

payung

hukumnya.
5) Presiden SBY membubarkan Timtas Tipikor –setelah bekerjasama
selama dua tahun- mellui Keppres nomor 10 Tahun 2007,
bertanggal 11 Juni 2007. Selama dua tahun bekerja Timtas Tipikor
menghasilkan prestasi tinggi karena berhasil menyelamatkan aset
dan kekayaan negara senilai hampir 4 triliun rupiah.

Universitas Sumatera Utara

64

6) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
7.

Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014)
a.

Presiden SBY membentuk UPK3R dipimpin Koentoro Mangkusubroto
dibentuk Presiden SBY.

b.

Presiden SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

c.

Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.

d.

Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts
Transnational Organized Crime (Konvensi PBB menentang Kejahatan
Transnasional yang Terorganisasi)

e.

Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

f.

Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menggantikan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

g.

Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Indonesia Corruption Watch dalam tulisannya “Catatan Setahun Kinerja
Pemerintahan Jokowi-JK Bidang Pemberantasan Korupsi” terhitung mulai tanggal
20 Oktober 2014 sampai pada 20 Oktober 2015 menuliskan masih lemahnya

Universitas Sumatera Utara

65

kinerja Jokowi-JK dalam bidang pemberantasan Korupsi. Padahal dalam program
visi dan misi Jokowi-JK yang dikenal dengan Program Nawacita salah satu
agenda yang erat dengan isu pemberantasan korupsi adalah program Nawacita
nomor 4 yaitu “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Lemahnya
kinerja Jokowi-JK dalam upaya pemberantasan Korupsi dapat dilihat dalam
beberapa hal, misalnya penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh
Kejaksaan dan Kepolisian harus dikatakan belum memuaskan dan masih jauh dari
harapan. Kinerja pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi-JK justru
tenggelam dibalik sejumlah kegaduhan di bidang hukum khususnya soal
kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK.
Lemahnya kinerja Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi juga dapat
dilihat dengan berbagai tindakan kontroversial yang dilakukan oleh Menteri
Hukum dan HAM yaitu Yasona Laoly. Salah satunya yaitu mengenai gagasan
melonggarkan kebijakan pemberian remisi untuk koruptor yang selama ini diatur
ketat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana tindakan ini
dianggap sebagai tindakan yang pro koruptor. Namun ditengah-tengah banyaknya
penolakan dan kecaman dari berbagai pihak, pemberian remisi tetap saja diberikan
pada pemerintahan Jokowi-JK dan hal tersebut dinilai menyimpang dari PP
Nomor 99 Tahun 2012 yang menjadi dasar hukum pemberian remisi.

Universitas Sumatera Utara

66

Terakhir, pemberian remisi oleh pemerintah yaitu remisi dasawarsa
kemerdekaan unuk 1938 narapidana korupsi. 53 Remisi sebenarnya sah-sah saja
ketika narapidana telah melakukan Justice Colaborator di mana syarat sebagai
Justice Collaborator telah diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Namun kita
harus mempertanyakan apakah dari total 1.938 narapidana korupsi tersebut telah
melakukan Justice Colaborator ataukah tidak. Dan kalau tidak hal ini tentu
menjadi catatan buruk pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan JokowiJK. 54
Peran sebagai Justice Collaborator yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun
2012 merupakan salah satu syarat pemberian remisi, hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 34 A ayat (1) huruf a, dimana disebutkan bahwa Pemberian
Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme,
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
transnasional

terorganisasi

lainnya,

selain

harus

memenuhi

persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan bersedia
bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara
tindak pidana yang dilakukannya. Dari ketentuan ini sebenarnya dapat dilihat
bagaimana semangat pemberantasan korupsi dengan peranan seorang Justice
Collaborator. Justice Collaborator atau yang dikenal juga dengan Saksi pelaku

53

http://www.antikorupsi.org/id/content/catatan-setahun-kinerja-pemerintahan-jokowi-jkbidang-pemberantasan-korupsi, diakses pada 12 Agustus 2016
54

http://lpmarena.com/2016/01/02/refleksi-akhir-tahun-pemberantasan-korupsi-jokowi-jk/,
diakses pada 12 Agustus 2016

Universitas Sumatera Utara

67

yang bekerjsama dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban menyebutkan Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana
yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dalam kasus yang sama. 55 Berdasarkan hal ini pemerintah seharusnya
menegakkan peran seorang Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia.
D.

Pengaturan Justice Collaborator dalam mengungkap Kasus Korupsi di
Indonesia
Di Indonesia, pengaturan tentang Justice Collaborator termuat dalam

beberapa aturan sebagai berikut:
1.

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun
2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama
Dalam konsideran peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM Republik

Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
55

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Universitas Sumatera Utara

68

Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia disebutkan bahwa
keberadaan pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat
membantu penegak hukum dalam upaya mengetahui, menemukan kejelasan dan
mengungkap tindak pidana, termasuk pelaku utama suatu tindak pidana.
Dalam peraturan bersama ini diatur lebih lanjut mengenai pengertian
pelapor, saksi pelapor, saksi pelaku yang bekerjasama, tindak pidana serius, dan
perlindungan. Diatur juga mengenai maksud dan tujuan dibentuknya peraturan
bersama tersebut. Selain itu, dalam peraturan bersama ini diatur mengenai syarat
mendapatkan perlindungan, bentuk perlindungan, mekanisme untuk mendapatkan
perlindungan dan membatalkan perlindungan, sosialisasi serta pembiayaan.
2.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja
sama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Pengaturan mengenai Justice Collaborator dalam SEMA Nomor 4 tahun

2011 diatur secara singkat. Dimana dalam SEMA Nomor 4 tahun 2011 ini
disebutkan bahwa:
SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dalam angka 9 menyebutkan:
Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:
a.

Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang

Universitas Sumatera Utara

69

dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
b.

Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat
signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengaungkap
tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya
yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil
suatu tindak pidana;

c.

Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama
sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan
dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai
berikut:
1)

Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/ atau

2)

Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di
antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang
dimaksud.
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana
hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

3.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Payung hukum mengenai Perlindungan Saksi dan Korban telah mengalami

perubahan. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 disebutkan

Universitas Sumatera Utara

70

bahwa perubahan beberapa pasal dalam peraturan ini disebabkan karena beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat.
Beberapa aturan harus diatur ulang sehingga peraturan ini diharapkan bisa
lebih efektif. Adapun salah satunya yaitu ketentuan mengenai subjek hukum yang
dilindungi dalam Undang-Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan
hukum di masyarakat. Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga
memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi
Pelaku (Justice Collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula
orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu
perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia
alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana,
sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam Undang-Undang ini yakni
tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi,
tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana
perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak
pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi
Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan
jiwanya.

Universitas Sumatera Utara

71

Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: Bab I mengatur tentang
Ketentuan Umum, Bab II Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, Bab III
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di bagian kesatu mengatur tentang
penjelasan umum, bagian kedua kelembagaan, bagian ketiga pengangkatan dan
pemberhentian, bagian keempat pengambilan keputusan dan pembiayaan, Bab IV
mengatur tentang syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, pada
bagian kesatu mengatur tentang syarat pemberian perlindungan dan bantuan,
bagian kedua tata cara pemberian perlindungan, bagian ketiga tata cara pemberian
bantuan, pada Bab V mengatur tentang ketentuan pidana, Bab VI ketentuan
peralihan, dan terakhir Bab VII Ketentuan penutup.

Universitas Sumatera Utara