Penerapan Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst)

(1)

Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Effendi, Masyhur, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,

Ghalia Indonesia, Bogor, 1993.

Ghufron, Nurul, Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pustaka Radja, 2014.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika Offset, 2013.

Jahja, Juni Sjafrien Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012.

Kaligis, Otto Cornelis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2006.

, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, PT Alumni Bandung, 2007.


(2)

Mulyadi, Lilik, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015. Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008.

Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.

Rawls, John, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Sunarso, Siswanto, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2015.

Surachmin & Cahaya, Suhandi, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui Untuk Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011.

Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Wijaya, Firman, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012.


(3)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti


(4)

Korupsi, 2003). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620)

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)

TESIS, SKRIPSI, JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH:

Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam indonesia, Yogjakarta 17 April 2013.

Abdul Haris Semendawai, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.

Aditya Wisnu Mulyadi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2015.

Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.


(5)

Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam Sistem Peradian Pidana di Iindonesia, Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, 2012.

Penerapan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Prespektif Pengawasan” Majalah Fokus Pengawasan, edisi 38 Triwulan II, 2013. Yogi Suwarno, Penelitian: Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA

LAN Jakarta , Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN RI.

INTERNET

Buku Perlindungan Terhadap Pelaku yang Bekerjasama, diakses melalui


(6)

2016

Agustus 2016

Agustus 2016

2016


(7)


(8)

COLLABORATOR

A. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perlindungan hukum bagi seorang Justice Collaborator adalah suatu hal yang mutlak untuk diterapkan, karena peranannya sebagai seorang informan dalam mengungkap kasus yang ia terlibat di dalamnya dan juga untuk mengungkap pelaku utama dari kasus tersebut. Hal ini dapat pula menjadi preseden baik dan mendorong bagi pihak-pihak lain untuk mengungkapkan perkara korupsi lain dengan jaminan yang pasti atas perlindungan dirinya. Itikad baik dari seorang Justice Collaborator yang melaporkan kejahatan berbau skandal dan bersifat serius, sekalipun dia sendiri merupakan bagian dari mata rantai kejahatan yang dilaporkannya, seharusnya mendapat apresiasi hukum dan respon positif dari aparat penegak hukum dan bukan sebaliknya justru mendapat perlakuan yang tidak layak. Penghargaan/ insentif bagi Justice Collaborator harus diwujudkan dalam bentuk pengurangan pidana yang signifikan, pemberian remisi istimewa, dan pelepasan bersyarat yang dipercepat.56

Jangan sampai seorang terdakwa tidak mau mengambil peran sebagai

Justice Collaborator karena tidak adanya reward dan punishment yang diberikan berkaitan dengan perannya padahal dengan dia mengambil peran tersebut banyak ancaman yang menunggu untuk dilakukan oleh para terdakwa yang lain. Oleh

56


(9)

karena itu perlindungan bagi Justice Collaborator sangat penting untuk dilakukan yang terkait dengan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena merupakan sarana jitu yang mampu memberikan pemecahan atas macetnya upaya prosedural dan kelemahan substansial/ materiil sistem hukum pidana dalam mengungka berbagai kejahatan dimensional dengan segala motifnya. Sehebat apapun scientific crime investigation tanpa ada keberanian seseorang yang mengambil resiko sebagai Justice Collaborator mustahil kejahatan berbau skandal dapat dibongkar.57

Perluasan Pihak yang berhak mendapatkan perlindungan, sesuai dengan nature-nya saksi, saksi Pelaku yang Bekerjasama secara otomatis dapat memperoleh perlindungan selayaknya saksi lain, dengan mempertimbangkan kondisi serta batasan-batasan tertentu dengan mengingat statusnya sebagai pelaku (calon terdakwa dan terpidana).

Oleh karena itu, perlindungan menjadi hal yang sangat penting untuk diberikan bagi seorang Justice Collaborator.

58

(1) Saksi dan Korban berhak:

Perlindungan saksi dan korban sebgaimana dimaksud di atas, diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dimana diatur sebagai berikut:

Pasal 5

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

57


(10)

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru;

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum;

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai bataswaktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p. mendapat pendampingan.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/ atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK. (3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

Megenai perlindungan yang diberikan kepada seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama berkaitan dengan terciptanya rasa aman dan keamanan yang harus dirasakan oleh saksi Pelaku tersebut., Soebroto Brotodiredjo mengambil istilah keamanan adalah suasana yang menciptakan individu manusia dan masyarakat suatu perasaan berikut:59

1. perasaan bebas dari gangguan baik fisik dan psikis;

59


(11)

2. adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keraguan, ketakutan; 3. perasaan dilindungi dari segala macam bahaya;

4. perasaan kedamaian, ketentraman lahiriah dan batiniah. Pasal 10A

(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

(2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi

Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;

b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau

c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau

b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

(5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Dalam penjelasan Pasal 10 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban disebutkan:yang dimaksud dengan “keringanan penjatuhan pidana” mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.


(12)

Selain perlindungan yang dimaksud dalam Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan korban, ada beberapa konsep penghargaan yang dapat diberikan dalam konteks hukum Indonesia, antara lain: a. Imunitas atau penghapusan penuntutan

1) Diberikan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama terhadap tindak pidana yang tengah diproses namun juga tindak pidana lain yang dilakukannya di masa lalu.

2) Pemberian imunitas ini harus diberikan secara selektif dan degan persyaratan-persyaratan tertentu KUHP secara tegas melarang pemberian penghargaan dalam bentuk imunitas, karena dianggap dapat memperlemh insentif bagi pelaku tindak pidana yang bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Namun secara hukum, JPU dapat menggunakan diskresi yang dimiliki (deponeering) untuk tidak membawa Saksi Pelaku yang Bekerjasama ke persidangan.

b. Peringanan Tuntutan dan Hukuman (mitigation punishment/leniency)

Bentuk – bentuk mitigation punishment yang sesuai dengan konsep hukum di Indonesia, antara lain:

1) Tuntutan dan Penjatuhan Hukuman Percobaan

Sebagaimana diatur dalam pasal 14a s/d 14f KUHPidana yang menjadikan dasar atas tuntutan dan hukuman percobaan sebagai pilihan dalam memberikan penghargaan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak perlu menjalani hukuman kecuali jika dalam masa percobaan yang ditetapkan hakim terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut


(13)

melakukan tindak pidana. Pemberian hukuman percobaan ini dapat diberikan atas inisiatif/kebijakan hakim maupun Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya.

Hambatan :

a) Ketentuan hukuman percobaan dalam KUHP hanya dapat diberikan terhadap tindak pidana dimana hakim akan menjatuhkan hukuman paling tinggi 1 tahun

b) Adanya ancaman minimum yang besarannya diatas 1 tahun penjara tidak memungkinkan dilakukannya penerapan pasal 14 KUHP

c) Belum adanya pengaturan khusus mengenai penghargaan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama

2) Pengurangan Tuntutan dan Hukuman

Respon positif atas implementasi penghargaan ini datang dari Mahkamah Agung melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana. Ditegaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama hakim dapat mempertimbangkan sanksi berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana yang paling ringan dibandingkan dengan terdakwa lain dalam kasus tersebut.

3) Remisi /Grasi

a) Tindakan narapidana yang membantu mengungkap tindak pidana dapat masuk dalam kriteria penerima remisi yang diatur dalam Psal 3 KepPres tersebut, dan dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat umum lainnya tentunya terhadap Saksi Pelaku yang


(14)

Bekerjasama juga dapat memperoleh hak-hak narapidana pada umumnya, seperti PB/Asimilasi.

b) Dalam konteks Grasi, penerapan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dapat dijadikan salah satu bentuk lain dari penghargaan bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang dijatuhi hukuman diatas 2 tahun, dengan mempertimbangkan adanya batasan-batasan sebagaimana diatur dalam UU tersebut.60

Untuk mendapatkan perlindungan sebagai Justice Collaborator tentu tidak dapat diberikan kepada sembarang orang, harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar mendapatkan perlindungan, yaitu:

Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban

a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);

b. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;

c. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya; d. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang

dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan

e. adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Mengenai syarat pemberian perlindungan, Abdul Haris Semendawai menjelaskan sebagi berikut:

Nilai pentingnya Informasi, bukti maupun kesaksian yang diberikan Saksi yang Bekerjasama menjadi satu faktor utama dalam pemberian status Justice

60


(15)

Collaborator. Salah satu parameternya adalah dengan tanpa adanya informasi, bukti maupun kesaksian yang diberikan Justice Collaborator tersebut maka suatu tindak pidana tidak dapat/sangat sulit terungkap atau terbukti di Pengadilan. Di Belanda prinsip ini dikenal dengan prinsip subsidiaritas (principle of subsidiarity), dimana pemberian status sebagai Justice Collaborator hanya dapat dilakukan sebagai pengganti jika cara-cara lain untuk mengungkap kejahatan telah gagal atau dapat dipastikan tidak akan membuahkan hasil untuk mengungkap tindak pidana:

a. Jenis Tindak Pidana yang Akan Diungkap

Perlu dilakukan pembatasan terhadap insentif yang diberikan bagi Justice Collaborator, hanya dapat diberikan jika yang bersangkutan dapat memberikan informasi, keterangan, bukti dan kesaksian atas terjadinya tindak pidana skala besar (terorganisir dan serious crimes)

b. Peran/keterlibatan JC dalam Tindak Pidana yang diungkapnya

Perlu memperhatikan faktor seberapa besar peran Justice Collaborator dalam tindak pidana yang dilaporkannya.

Justice Collaborator bukan pelaku utama dari tindak pidana yang dilaporkannya.

c. Rasa Keadilan Masyarakat

Dampak yang timbul dari masyarakat dalam pemberian penghargaan. Gejolak dukungan dan/atau penolakan dari masyarakat, khususnya dalam perkara dimana informasi mengenai JC tersebut telah menjadi komoditi publik


(16)

Tingkat keseriusan ancaman yang mungkin timbul baik terhadap jiwa si

Justice Collaborator maupun keluarganya dengan diungkapnya informasi tersebut.

e. Tindak Pidana lain yang dilakukan oleh Justice Collaborator

Penghargaan berupa penghapusan penuntutan dapat diberikan kepada Justice Collaborator atas tindak pidana lain yang pernah dilakukannya di masa lalu dengan mempertimbangkan persyaratan yang berlaku. Syarat-syarat tersebut yaitu:

1) Batasan Tindak Pidana, parameternya :

a) Bukan tindak pidana terhadap nyawa atau perkosaan

b) Bukan tindak pidana yang didalamnya terdapat tuntutan masyarakat agar pelaku diadili

c) Telah dilakukannya konsultasi terlebih dahulu apabila terdapat pihak ketiga yang menjadi korban dari tindak pidananya

2) Pengakuan atas tindak pidana yang telah dilakukan dan pengembalian/ kompensasi kerugian

a) Yang bersangkutan harus memberikan pengakuan secara lengkap atas segala tindak pidana yang pernah dilakukannya dan disertai dengan pengembalian hasil tindak pidana yang dilakukan (Korupsi).

b) Pengakuan ini menjadi penting sebagai satu bahan bargain agar penghapusan penuntutan dapat dilakukan secara efektif.61

Selain itu, dalam Pasal 32 a ayat (2) diseutkan bahwa:

61


(17)

(2) Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut.

B. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agusng Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

Mengenai perlindungan bagi Justice Collaborator yang diatur dalam Peraturan bersama ini, diatur dalam:

Pasal 4 Peraturan Bersama, dimana diatur mengenai syarat untuk mendapatkan perlindungan, yaitu:

Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah sebagai berikut:

a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;

b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;

c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;

d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan

e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.


(18)

Untuk mendapatkan perlindungan sebagai Justice Collaborator, diatur sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan: a. perlindungan fisik dan psikis;

b. perlindungan hukum;

c. penanganan secara khusus; dan d. penghargaan.

(2) Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa:

a. pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan;

b. pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap;

c. penundaan penuntutan atas dirinya;

d. penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; dan/atau

e. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.


(19)

a. keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan; dan/atau

b. pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah seorang narapidana.

Mengenai perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dalam Pasal 9 disebutkan perlindungan bagi Saksi Pelaku yang bekerjasama diberikan setelah adanya persetujuan dari aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim).

Dalam Pasal 10 merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai:

(1) perlindungan dalam bentuk penghargaan yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a, yaitu: berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau Pimpinan KPK;

b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpinan KPK;

c. permohonan memuat identitas Saksi Pelaku yang Bekerjasama, alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan;

d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan permohonan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penuntut Umum wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.


(20)

permohonan diajukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai mekanisme pemberian perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga diatur dalam Peraturan Bersama ini, yaitu diatur dalam:

Pasal 8, disebutkan:

(1) Perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) kepada LPSK.

(2) Perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh LPSK berdasarkan rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim).

(3) Dalam hal rekomendasi aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum serta pihak-pihak terkait

Perlindungan terhadap saksi dan korban tentu merupakan hal yang tepat untuk diberikan bagi seorang Justice Collaorator, namun ada beberapa hal yang menyebabkan batalnya perlindungan bagi seorang Justice Collaborator, dimana hal ini diatur sebagaimana berikut:

Pasal 11, menyebutkan:

(1) Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dibatalkan apabila berdasarkan penilaian dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya yang bersangkutan telah dengan sengaja memberikan keterangan atau laporan yang tidak benar.


(21)

(2) Terhadap Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang memberikan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

(3) Pembatalan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya kepada pejabat yang menerbitkan keputusan pemberian perlindungan dan pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembatalan dimakud.

(4) Apabila dalam persidangan ternyata tindak pidana yang diungkapkan oleh Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak terbukti (terdakwa dibebaskan) maka hal tersebut tidak membatalkan perlindungan atau penghargaan yang telah atau akan diberikan kepadanya.

C. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

Dalam SEMA Nomor Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

Butir 9 SEMA menyebutkan:

a. yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam sema ini, megakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan terebut serta memberika keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

b. jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana.


(22)

Dari ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 diatas dapat dilihat bahwa betuk perindungan hukum bagi seorang Justice Collaborator yaitu:

a. menjatuhkan pidana percobaan bersyataart khusus; dan/atau

b. menjatuhkan pidana berupa pidana penara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa Hakim dalam memberikan pengurangan hukuman, harus tetap memperhatikan rasa keadilan di masyarakat.


(23)

161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst) A. Posisi Kasus

1. Kronologis Kasus62

Terdakwa dari kasus bernomor: 161/ Pid. Sus/ TPK/ 2015/ PN. Jkt. Pst yaitu Gatot Pujo Nugroho sebagai Terdakwa 1 dan Evy Susanti sebagai Terdakwa 2. Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 merupakan pasangan suami istri yang melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa 1 merupakan Gubernur Sumatera Utara Periode 2013-2018 berusia 53 tahun dan beralamat di Jalan Seroja Komplek Citra Seroja Blok A Nomor 19 Lingkungan XIV Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal Sumatera Utara (KTP). Terdakwa 2 merupakan seorang pekerja swasta berusia 45 tahun yang beralamat di Jalan Tebet Barat Xa Nomor 44a, Jakarta Selatan (KTP).

Kasus penyuapan hakim bermula sekitar bulan Maret sampai dengan 9 Juli 2015. Dimana awalnya karena dilakukan penyelidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho.

62


(24)

Pada tanggal 19 Maret 2015 Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara mengeluarkan surat panggilan permintaan keterangan yang ditujukan kepada Ahmad Fuad Lubis selaku Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan tanggal 31 Maret 2015 mengeluarkan surat permintaan keterangan yang ditujukan kepada Sabrina selaku Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Selain Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, pada tanggal 20 Maret 2015 Kejaksaan Agung juga mengeluarkan surat permintaan keterangan yang ditujukan kepada Kepala Biro Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Sekretaris Daerah Pemprovsu terkait kasus korupsi dimana dalam surat tersebut sudah tercantum nama Gatot Pujo Nugroho.

Oleh karena panggilan itu , Terdakwa I dan Terdakwa II melakukan konsultasi dengan O. C. Kaligis, dan dari pertemuan itu diambil keputusan agar O.C. Kaligis melakukan pendampingan kepada Ahmad Fuad Lubis dan Sabrina pada saat pemberian keterangan di Kejaksaan Agung. Setelah pendampingan tersebut, O.C. Kaligis menyarankan agar dilakukan pengajuan uji kewenangan ke PTUN Medan dan disetujui oleh para terdakwa. Selama proses persidangan di PTUN Medan, semua urusan dilakukan oleh O.C. Kaligis, Yagari Bhastara Guntur, dan Yurinda Tri Achyuni. Tetapi para terdakwa pernah memonitor mengenai perkembangan kasus tersebut. Dalam hal pemberian suap kepada hakim, itu berdasarkan ide dari O.C. Kaligis namun aliran dananya berasal dari para terdakwa. Saat pemberian uang suap kepada Hakim setelah proses persidangan selesai, pada tanggal 9 Juli 2015 Yagari Bhastara Guntur ditangkap oleh KPK sesaat setelah meninggalkan ruangan Ketua Hakim PTUN Medan.


(25)

Kasus penyuapan terhadap Patrice Rio Capella bermula sekitar bulan April – Mei 2015. Awalnya pada tanggal 20 Maret 2015 setelah Ahmad Fuad Lubis mendapatkan surat panggilan permintaan keterangan terkait Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho.

Sehubungan dengan hal tersebut, Terdakwa II berkonsultasi dengan Yulius Irawansyah yang merupakan Advokat pada Kantor Pengacara O.C. Kaligis dan Yulius Irawansyah mengusulkan agar dilakukan pendekatan Partai melalui islah, karena menurutnya hal ini ditenggarai oleh ketidakharmonisan antara Terdakwa I dengan Wakilnya Tengku Erry Nuradi yang merupakan anggota Parta Nasdem. Selain dengan orang-orang tersebut, Terdakwa II juga menjalin komunikasi dengan Fransisca Insani Rahesti yang juga merupakan teman dari Patrice Rio Capella (Anggota Komisi III DPR, eks Sekjen Partai Nasdem).

Dari pembicaraan dengan Fransisca inilah, para Terdakwa mulai menjalin komunikasi dengan Patrice Rio Capella untuk menjembatani islah antara Terdakwa I dengan Wakilnya Tengku Erry Nuradi dan mengamankan posisi Terdakwa I sebagai Gubernur Sumatera Utara. Untuk dapat melakukan islah ini, Patrice Rio Capella melalui Fransisca Insani Rahesti menyampaikan mengenai uang bayaran yang harus diberikan oleh para Terdakwa walaupun disampaikan


(26)

secara tersirat. Setelah Fransisca menyampaikan mengenai uang tersebut, Terdakwa I setuju untuk memberikan uang tersebut.

Setelah Yagari Bhastara Guntur tertangkap tangan sedang melakukan penyuapan hakim PTUN Medan, maka Patrice Rio Capella dan Fransisca Insani Rahesti mulai menyusun strategi agar mereka tidak terseret, namun Fransisca merasa takut dan akhirnya mengembalikan uang kepada Penyidik KPK.

2. Dakwaan

Dakwaan Pertama:63

Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dan Terdakwa II Evy Susanti bersama-sama dengan Otto Cornelis kaligis dan Moh. Yagari Bhastara Guntur alias Gary, pada bulan Maret sampai dengan tanggal 9 Juli 2015 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2015, bertempat di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medandi Jalan Bunga Raya Nomor 18 Medan Sumatera Utara atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, yang melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memeberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim yaitu memberi sejumlah uang kepada Tripeni Irianto Purba selaku Hakim PTUN Medan sebesar SGD5,000 (lima ribu dollar Singapura) dan USD15,000 (lima belas ribu dollar Amerika Serikat), Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku Hakim PTUN masing-masing sebesar USD5,000 (lima ribu

63


(27)

dollar Amerika Serikat) serta Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan sebesar USD2,000 (dua ribu dollar Amerika Serikat), dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, yaitu untuk mempengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditangani oleh yang ditangani oleh Tripeni Irianto Putro, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi sebagai Majelis Hakim PTUN Medan agar putusannya mengabulkan permohonan yang diajukan oleh terdakwa I melalui Otto Cornelis Kaligis. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHAP.

atau

Dakwaan Kedua

Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dan Terdakwa II Evy Susanti bersama-sama dengan Otto Cornelis Kaligis, Moh. Yaghari Bhastara Guntur alias


(28)

Gary, pada bulan April 2015 sampai denan tanggal 9 Juli 2015 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalm tahun 2015, bertempat di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan di Jalan Bunga Raya Nomor 18 Medan Sumatera Utara atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi hadiah atau janji yaitu memberi hadiah sebesar SGD5,000 (lima ribu dollar Singapura), USD 15,000 (lima belas ribu dollar Amerika Serikat), USD5,000 (lima ribu dollar Amerika Serikat), dan USD5,000 (lima ribu dollar Amerika Serikat) serta USD2,000 (dua ribu dollar Amerika Serikat) kepada pegawai negeri yaitu kepada Tripeni Irianto Putro selaku Hakim PTUN Medan, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku Hakim PTUN serta Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan atau setidaknya selaku pegawai negeri yang menerima gaji dari keuangan negara, dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, yaitu terdakwa menganggap uang tersebut diberikan kepada pegawai tersebut di atas meningat kekuasaan dan wewenangnya yang menangani gugatan permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS),


(29)

Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan Modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara agar putusannya mengabulkan permohonan yang diajukan oleh terdakwa. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Dan

Pertama terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dan Terdakwa II Evy Susanti, pada tanggal 20 Mei 2015 atau pada suatu waktu antara bulan April sampai dengan bulan Mei atau setidak-tidaknya pada suatuwaktu tertentu dalam tahun 2015, bertempat di Cafe Hotel Kartika Chandra Jalan Jenderal Gatot Subroto Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakrta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, , yang melakukan atau turut serat melakukan perbuatan, memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu memberikan uang sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Patrice Rio Capella selaku anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode tahun 2014


(30)

sampai dengan tahun 2019 dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) dan selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) periode tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 melalui Fransisca Insani Rahesti, dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yaitu pemberian uang atau janji tersebut agar Patrice Rio Capella menggunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kejaksaan Agung Republik Indonesia selaku mitra kerja Komisi III DPR RI agar memfasilitasi islah (perdamaian) guna memudahkan pengurusan penghentian penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan Modalpada Sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung RI, yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu bertentangan dengan kewajiban Patrice Rio Capella sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 butir 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Pasal 208 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 288 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib dan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (5) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat


(31)

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Atau

Terdakwa I dan Terdakwa II, pada tanggal 20 Mei 2015 atau pada suatu waktu antara bulan April sampai dengan bulan Mei 2015 aau setidaknya pada suatu waktu tertentu pada tahun 2015, bertempat di cafe Hotel Kartika Chandra Jalan Jenderal Gatot Subroto Jakarta atau setidak-tidaknya termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang melakukan atau turut serta melakukan memberi hadiah atau janji yaitu memberi uang sebasar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) kepada pegawai negeri yaitu Patrice Rio Capella, dengan mengingat kekuasaan atau wewenang dianggap melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang


(32)

Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

3. Fakta Hukum64

a. Berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, bukti surat, dan petunjuk terkait dakwaan I diperoleh fakta hukum sebagai berikut:

Kasus ini bermula sekitar bulan Maret sampai dengan 9 Juli 2015. Dimana awalnya karena dilakukan penyelidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho.

Pada tanggal 19 Maret 2015 Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara mengeluarkan surat panggilan permintaan keterangan yang ditujukan kepada Ahmad Fuad Lubis selaku Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan tanggal 31 Maret 2015 mengeluarkan surat permintaan keterangan yang ditujukan kepada Sabrina selaku Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Selain Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, pada tanggal 20 Maret 2015 Kejaksaan Agung juga mengeluarkan surat permintaan keterangan

64


(33)

yang ditujukan kepada Kepala Biro Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Sekretaris Daerah Pemprovsu terkait kasus korupsi dimana dalam surat tersebut sudah tercantum nama Gatot Pujo Nugroho.

Bahwa setelah mengetahui pemanggilan tersebut, Terdakwa I dan Terdakwa II menemui O.C. Kaligis yang notabenenya adalah pengacara pribadi dari para terdakwa dimana kedatangan mereka adalah untuk membahas bagaimana agar panggilan-panggilan tersebut tidak mengarah kepada Terdakwa I. Lalu atas perintah para terdakwa, Ahmad Fuad Lubis dan Sabrina mendatangi O.C. Kaligis dengan tujuan pendampingan dalam memberikan keterangan di Kejaksaan Agung.

Setelah pendampingan tersebut, O.C. Kaligis menyarankan kepada para terdakwa agar diajukan permohonan pengujian kewenangan ke PTUN Medan terhadap surat permintaan keterangan dari Kejatisu dengan tujuan agar panggilan tidak mengarah ke Terdakwa I, dan terdakwa I menyetujui usulan tersebut.

Pada tanggal 29 April 2015, sebelum mendaftarkan gugatan O.C. Kaligis, Yaghari Bastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni melakukan konsultasi dengan Ketua Pengadilan PTUN Medan yaitu Tripeni Irianto Putro yang difasilitasi oleh Syamsir Yusfan, dan setelah pertemuan tersebut Tripeni Irianto Putro mempersilahkan gugatan dimasukkan ke PTUN, dan setelah pertemuan O.C. Kaligis memberikan uang sebesar SGD 5.000 kepada Tripeni Irianto Putro dan USD 1000 kepada Syamsir Yusfan. Pada 5 Mei 2015 Yagari Bhastara Guntur mendaftarkan gugatan ke PTUN setelah mendapatkan telepon dari Syamsir Yusfan, dan setelah pendaftaran gugatan Yagari Bhastara Guntur memberikan


(34)

uang sebesar USD 10.000 kepada Ketua PTUN Medan dengan tujuan agar Ketua PTUN Medan yang menjadi Ketua Majelis Hakim untuk menangani kasus tersebut.

Beberapa hari setelah pendaftara gugatan, Yagari Bhastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni mendatangi kantor Tripeni Irianto Putro, yang dihadiri Dermawan Ginting dan Amir Fauzi, untuk menyampaikan permohonan yang akan dinyatakan tidak sah. Dalam pertemuan tersebut Amir Fauzi sempat mengatakan tidak setuju dengan petitum permohonan yang diajukan oleh mereka. Tetapi mereka mengatakan bahwa itu adalah hal baru dan juga sudah diperiksa oleh beberapa ahli.

Pada tanggal 18 Mei dilakukan sidang pertama, dan sebelum dimulai O. C. Kaligis menemui Ketua PTUN Medan untuk meyakinkan agar bersikap berani memutus sesuai petitum karena gugatan termasuk kategori baru. Setelah melalui persidangan, pada tanggal 30 Juni 2015 O. C. Kaligis menelepon Evy Susanti meminta uang sebesar USD 30.000 yang diserahkan oleh Evy Susanti sebesar USD 15.000, dan sisanya pada 1 Juli 2015 sebesar USD 15.000 dan hal ini diketahui oleh Terdakwa I.

Setelah menerima uang dari Terdakwa II, O.C. Kaligis, Yagari Bhastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni berangkat ke Medan untuk menemui hakim PTUN yang memeriksa perkaranya. Keesokan harinya O.C. Kaligis, Yagari Bhastara Guntur, dan Yurinda Tri Achyuni mendatangi Ketua PTUN Medan dan mendesak agar permohonannya dikabulkan sambil menyerahkan uang kepada Tripeni namun ditolak oleh Tripeni.


(35)

Pada hari yang sama O. C. Kaligis dan Yurinda Tri Achyuni pulang ke Jakarta, sedangkan Yagari Bhastara Guntur diperintahkan oleh O.C. Kaligis untuk tetap di Medan agar menemui hakim anggota. Pada saat menemui hakim anggota terjadilah kesepakatan untuk memenuhi permintaan O. C. Kaligis tapi dengan adanya pemberian uang yang akan diberikan pada 5 Juli 2015. Setelah itu Dermawan Ginting dan Amir Fauzi menemui Tripeni Irianto Putro, dalam pertemuan itu terjadilah kesepakatan bahwa permohonan akan dikabulkan sebagian.

Pada 5 Juli 2015 sesuai kesepakatan, O. C. Kaligis, Yagari Bhastara Guntur, Yurinda Tri Achyuni pergi ke Medan untuk menyerahkan uang. Atas perintah O. C. Kaligis, Yagari Bhastara Guntur menyerahkan uang kepada Dermwan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing sebesar USD 5.000. Di hari yang sama Terdakwa II menelepon Yagari Bhastara Guntur untuk memastikan apakah semua aman, dan dijawab aman oleh Yagari Bhastara Guntur.

Pada 6 Juli O. C. Kaligis menelepon Yagari Bhastara Guntur untuk memastikan apakah semua aman, dan jawaban Yagari adalah aman. Di hari yang sama Yagari Bhastara Guntur juga bertemu Gatot Pujo Nugroho dimana Gatot menanyakan perkembangan perkaranya.

Pada 7 Juli adalah pembacaan putusan. Setelah pembacaan putusan Yagari Bhastara Guntur memberikan uang kepada Syamsir Yusfan sebesar USD 1.000 dan kembali ke Jakarta, disini uang belum diserahkan kepada Tripeni Irianto Putro karena akan diserahkan sendiri oleh O. C. Kaligis di minggu selanjutnya. Pada 8 Juli Syamsir Yusfan menelepon Yagari Bhastara Guntur dan mengatakan bahwa


(36)

Hakim Ketua akan mudik, dan atas perintah O. C. Kaligis keesokan harinya Yagari Bhastara Guntur berangkat ke Medan untuk menyerahkan uang sebesar USD 5.000 kepada Tripeni. Saat Yagari Bhastara Guntur akan keluar dari ruangan Tripeni, KPK menangkap Yagari Bhastara Guntur dan Tripeni Irianto Putro. b. Berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, bukti

surat, dan petunjuk terkait dakwaan II diperoleh fakta hukum sebagai berikut:

Kasus ini bermula sekitar bulan April – Mei 2015. Awalnya pada tanggal 20 Maret 2015 setelah Ahmad Fuad Lubis mendapatkan surat panggilan permintaan keterangan terkait Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho.

Sehubungan dengan hal tersebut, Terdakwa II berkonsultasi dengan Yulius Irawansyah yang merupakan Advokat pada Kantor Pengacara O.C. Kaligis dan Yulius Irawansyah mengusulkan agar dilakukan pendekatan Partai melalui islah, karena menurutnya hal ini ditenggarai oleh ketidakharmonisan antara Terdakwa I dengan Wakilnya Tengku Erry Nuradi yang merupakan anggota Parta Nasdem. Selain dengan orang-orang tersebut, Terdakwa II juga menjalin komunikasi dengan Fransisca Insani Rahesti yang juga merupakan teman dari Patrice Rio Capella (Anggota Komisi III DPR, eks Sekjen Partai Nasdem).


(37)

Sekitar bulan Maret 2015, dilakukan pertemuan antara Patrice Rio Capella, O.C. Kaligis dan Fransisca Insani Rahesti membahas mengenai islah yang akan dilakukan dengan Tengku Erry Nuradi dan Patrice Rio Capella setuju. Pada bulan April, Patrice Rio Capella juga pernah bertemu Terdakwa I, dan dari pertemuan tersebut Terdakwa I semakin yakin bahwa Patrice Rio Capella akan membantu permaslahan yang idhadapinya di Kejagung. Pada bulan Mei, Fransisa menerima pesan yang dikirimkan oleh Patrice Rio Capella yang dianggap Fransisca bahwa itu adalah bentuk permintaan uang bayaran, lalu pesan ini disampaikan kepada Yulius Irawansyah dan Yulius yang menyampaikan ke Terdakwa II lalu Terdakwa II menyampaikan ke Terdakwa I dan pemberian uang tersebut disetujui oleh Terdakwa I.

Setelah itu, 19 Mei 2015 dilakukanlah islah antara Terdakwa I dengan Tengku Erry Nuradi yang juga dihadiri oleh Surya Paloh dan O. C. Kaligis. Dari pertemuan tersebut tercapailan kesepakatana untuk memperbaiki hubungan antara Terdakwa I dan Tengku Erry Nuradi. Pada tanggal 20 Mei siang, Terdakwa II bertemu dengan Fransisca Insani Rahesti untuk menyerahkan uang sebesar Rp 20.000.000 yang akan diserahkan kepada Patrice Rio Capella dan Rp 10.000.000 untuk Fransisca Insani Rahesti. Malam harinya Fransisca menyerahkan uang tersebut kepada Patrice Rio Capella dan Patrice Rio Capella memberikan Fransisca Insani Rahesti sebesar Rp 50.000.000.

Pada tanggal 22 Mei, Terdakwa II bertemu Patrice Rio Capella dan Fransisca Insani Rahesti untuk meminta tolong agar dilakukan perdamaian dengan Tengku Erru Nuradi serta mengamankan posisi Terdakwa I selaku Gubernur


(38)

Sumatera Utara, dan dari pembicaraan itu Patrice Rio Capella menyampaikan akan menjalin komunikasi dengan Kejagung setelah pulang Umroh. Pada tanggal 3 Juni, sepulang dari umroh, Patrice Rio Capella ditegur oleh Surya Paloh karena pertemuan dengan para terdakwa.

Pada saat terjadi operasi tangkap tangan terhadap Yagari Bhastara Guntur pada 9 Juli 2015, maka pada bulan Agustus Fransisca Insani Rahesti menghubungi Patrice Rio Capella karena takut hal tersebut akan merembet ke dirinya, lalu diadakanlah pertemuan antara kedua orang itu dan Patrice Rio Capella meminta agar apabila Fransisca dipanggil oleh KPK ia mengatakan uang tersebut masih berada di tangannya. Setelah beberapa kali terjadi pertemuan antara Patrice Rio Capella dan Fransisca Insani Rahesti karena ketakutan Fransisca dan beberapa kali ia mengembalikan uang tersebut kembali kepada Patrice, namun akhirnya uang tersebut dikembalikan lagi kepada Fransisca, maka selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 2015 Fransisca mengembalikan uang tersebut kepada penyidik KPK karena dirinya tidak mapu berbohong.

4. Tuntutan Pidana65

Jaksa Penuntut Umum dalam Tuntutannya menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagai berikut:

a. Menyatakan Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dan Terdakwa II Evy Usanti telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama menyuap Hakim dan menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagaimana diatur

65


(39)

dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHAP dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke (1).

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan Terdakwa II Evy Susanti berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya para terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 5 (lima) bulan kurungan

c. Menyatakan barang bukti dari berkas perkara dirampas untuk negara dan dikembalikan kepada siapa barang tersebut disita.

d. Menetapkan agar para Terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)


(40)

Pertimbangan hakim menyatakan perbuatan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidanasebagaimana yang telah diatur dan dan diancam dengan pidana pada Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (ke-1) KUHPidana dan Pasal ke-13 Undang-Undang Nomor 3ke-1 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Fakta hukum yang terungkap dalam persidangan tidak adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Dalam pertimbangannya, hakim juga menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II telah memberikan keterangan terus terang, serta telah memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara lain yang berhubungan dengan itu, sehingga perkara Terdakwa I dan Terdakwa II aupun perkara lain menjadi terang dan mudah pembuktiannya, oleh karena itu Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum yang telah menetapkan


(41)

statusnya sebagai Justice Collaborator, dan hal ini dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dalam penjatuhan pidana.

Sebelum menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan:

Hal-hal yang memberatkan:

a. Terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi.

Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;

b. Terdakwa telah membuka semua perkara lain yang berkaitan; c. Terdakwa menyesali perbuatannya;

d. Terdakwa belum pernah dihukum.

Mengingat Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHAP dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) KHUPidana.

Dalam amar putusannya Majelis Hakim memutuskan:66

66


(42)

a. Menyatakan Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dan Terdakwa II Evy Susanti terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan Pertama alternatif ke-1 Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana tercantum dalam dakwaan Kedua alternatif ke-2.

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan terhadap Terdakwa II Evy Susanti oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 5 (lima) bulan.

c. Menetapkan masa selama Terdakwa I dan Terdakwa II berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.


(43)

d. Memerintahkan agar terdakwa I dan Terdakwa II tetap berada dalam tahanan.

e. Menetapkan agar para Terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

B. Analisa Kasus

1. Kedudukan Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti sebagai Justice Collaborator

Bagaimana menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator sudah memiliki ketentuan yang diatur pertama kali dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. Di dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada butir 9 ditentukan bahwa syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Justice Collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama) adalah sebagai berikut:

a) yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b) Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat siginifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat menungkap tindak


(44)

memiliki peran lebih besar dan/atau mngembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana.

Suatu tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam butir 9 huruf a, disebutkan dalam butir 1 yaitu tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tidak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Berdasarkan isi SEMA diatas maka untuk dapat menetapkan seseorang sebagai Justice Collaborator haruslah sesuai dengan apa yang telah dipersyaratkan. Syarat tersebut yaitu:

1. Yang bersangkutan merupakan salah satu peaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 yaitu tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tidak pidana lainnya yang bersifat terorganisir

2. Yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukannya 3. Yang bersangkutan bukan merupakan pelaku utama

4. Yang bersangkutan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.


(45)

5. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat siginifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat menungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mngembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana

Syarat pertama yaitu Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti harus merupakan pelaku dalam tindak pidana serius dan/ atau terorganisir sebagaimana yang ditetapkan dalam SEMA tersebut, dalam kasus ini tindak pidana serius dan/ atau terorganisis tersebut adalah tindak pidana korupsi. Berdasarkan putusan hakim dalam putusan nomor 161/ Pid. Sus/ TPK/ 2015/ PN. Jkt. Pst, Gatot Pujo Nugroho (Terdakwa I) dan Evy Susanti (Terdakwa II) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan Pertama alternatif ke-1 Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana tercantum dalam


(46)

dakwaan Kedua alternatif ke-2. Dalam melakukan tindak pidana korupsi ini, Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti melakukannya bersama-sama dengan beberapa terdakwa lainnya, yaitu: Otto Cornelis Kaligis (Penasehat Hukum Terdakwa), Moh. Yagari Bhastara Guntur (Pengacara di Kantor O.C. Kaligis), Tripeni Irianto Putro (Hakim Ketua PTUN Medan), Dermawan Ginting (Hakim PTUN Medan), Amir Fauzi (Hakim PTUN Medan), Syamsir Yusfan (Panitera PTUN Medan), Patrice Rio Capella (Anggota Komisi III DPR RI, Sekjen Partai NASDEM), dimana semua terdakwa tersebut baik pemberi maupun penerima suap akan dipidana.

Syarat yang kedua menyatakan bahwa yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukannya. Mengenai syarat ini dapat dilihat dalam pengakuan terdakwa serta bagaimana terdakwa bersikap selama proses peradilan berlangsung. Dalam pertimbangan hakim, bagian keadaan yang meringankan disebutkan bahwa terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya tersebut, tentu saja ini menjadi dasar bahwa dapat disimpulkan syarat yang kedua juga terpenuhi.

Syarat yang ketiga menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pelaku utama. Tidak ada disebutkan bagaimana tolak ukur untuk menentukan apakah sesorang dapat dikatakan sebagai pelaku utama atau tidak. Namun, bila dikatakan pelaku utama hal ini dapat dilihat dari seberapa besar peran Justice Collaborator

dalam tindak pidana yang diungkapkannya.67

67

Abdul Haris Semendawai, op. cit, Hal. 19

Bila melihat kepada kasus yang menjerat Terdakwa I dan Terdakwa II, dapat dilihat bahwa kedua terdakwa


(47)

memang memiliki peran yang cukup besar yaitu sebagai aliran dana dari kasus penyuapan Hakim dan Panitera PTUN Medan dan juga penyuapan terhadap mantan Sekjen NASDEM Patrice Rio Capella. Namun ide untuk melakukan penyuapan kepada Hakim dan Panitera PTUN adalah murni dari O.C. Kaligis, hal ini dapat dilihat pada keterangan para saksi dalam proses persidangan. Melihat bagaimana peran para terdakwa dalam kasus penyuapan hakim PTUN bahwa ide murni dari O.C.Kaligis, dan dalam pengakuan terdakwa terdakwa sempat tidak setuju dilakukannya pengajuan gugatan ke PTUN Medan karena sudah diadakan islah antara Gatot Pujo Nugroho dengan Wakil Gubernur Tengku Erry Nuradi yang diduga akibat konflik antara dua orang penting di Sumut ini yang membuat terbongkarnya kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho, sehingga dianggap terdakwa bahwa tidak perlu lagi diajukan gugatan ke PTUN, namun O.C.Kaligis tetap menjalankan Gugatan ke PTUN dan mengenai uang yang diberikan kepada Hakim dan Panitera untuk uang suap, didahulukan oleh O.C.Kaligis. Disini dapat dilihat bahwa O.C.Kaligis adalah penggerak dari pemberian suap kepada Hakim dan Panitera PTUN sehingga O.C. Kaligis adalah pelaku utama dari tindak pidana yang dimaksud. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti telah memenuhi syarat bukan pelaku utama dari tindak pidana yang dimaksud.


(48)

Syarat yang selanjutnya yaitu memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tersangka dalam kasus dugaan suap Hakim PTUN bukan hanya Gatot dan Evy, tetapi juga ada beberapa orang lain yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Mengenai syarat ini dapat dilihat dalam pertimbangan hakim dimana disebutkan bahwa para Terdakwa telah memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara lain yang berhubungan dengan itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II memenuhi syarat mengenai pemberian keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Syarat yang terakhir yaitu Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat siginifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat menungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mngembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana. Dalam pertimbangan hakim disebutkan bahwa Hakim sependapat dengan Penuntut Umum terkait penetapan Gatot Pujo Nugroho sebagai Justice Collaborator dengan dalil bahwa peranan Terdakwa I dan Terdakwa II dalam kedudukannya sebagai Justice Collaborator telah membuat terang perkara mereka dan juga perkara pelaku lain dan juga mudah dilakukan pembuktiannya sehingga semua perkara lainpun jadi terbuka. Dari hal ini dapat disimpulkan juga bahwa syarat yang kelima sudah terpenuhi.

Dengan terpenuhinya semua syarat yang ditentukan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 ini, maka Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti tepat untuk


(49)

mendapatkan status sebagai Justice Collaborator. Selain yang diatur oleh SEMA Nomor 4 Tahun 2011, mengenai syarat sesorang dapat ditetapkan sebagai Justice Collaborator juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum danHAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI serta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia serta Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam aturan-aturan ini sendiri, syarat untuk menetapkan seseorang sebagai Justice Collaborator juga tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Dalam Peraturan Bersama pada Pasal 4 dimana disebutkan untuk mendapat perlindungan, seseorang harus ditetapkan sebagai Justice Collaborator dengan syarat: tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir; memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis. Sedangkan dalam Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 28 ayat (2) dimana disebutkan untuk mendapat perlindungan, seseorang harus ditetapkan sebagai Justice Collaborator dengan syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK; sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku


(50)

dalam mengungkap suatu tindak pidana; bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya; kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis.

Menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat yang ditetapkan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh penetapan sebagai seorang Justice Collaborator menurut pendapat penulis haruslah benar-benar mempedomani peraturan yang ada. Jangan sampai seseorang yang mengajukan dirinya untuk mendapatkan penetapan sebagai seorang Justice Collaborator ternyata merupakan otak dari perbuatan korupsi yang dilakukan. Seperti halnya dalam putusan ini, penetapan Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti sebagai Justice Collaborator

adalah untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus Suap Hakim PTUN Medan dan suap terhadap Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella. Dalam putusan hakim, hakim sependapat dengan jaksa yang menetapkan kedua tersangka sebagai Justice Collaborator. Menurut penulis terungkapnya kasus suap ini membuat terang kasus Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho. Karena kasus suap terhadap Hakim dan Panitera PTUN Medan serta suap terhadap Patrice Rio Capella adalah upaya yang dilakukan para Terdakwa untuk menghindarkan Terdakwa I dari panggilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tetapi sekalipun Terdakwa I adalah Tersangka dalam Tindak


(51)

Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, haruslah kasus yang para Terdakwa sedang/ telah berikan kesaksian diputus oleh pengadilan dan memperoleh ketentuan hukum yang tetap barulah setelah itu dapat dilakukan penuntutan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atas tindak pidana lain yang ia dituntut di dalamnya.

Mengenai syarat tersebut bersesuaian dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010, dengan pemohon Susno Duadji. Dalam putusan ini Susno Duadji memohonkan pengujian terhadap Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, dimana Susno Duadji merupakan saksi pelapor yang bekerjasama dengan penegak hukum, namun tidak lama setelah laporan yang ia berikan ia dituntut atas tindak pidana korupsi yang lain yang menjadikan statusnya sebagai tersangka. Namun dalam putusannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, membuat lebih terang mengenai apa yang harus dilakukan terhadap seseorang yang berkedudukan sebagai saksi pelapor namun kemudian dituntut terhadap kasus pidana lain yang ia menjadi tersangka di dalamya. Dilakukannya perubahan terhadap Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku,


(52)

dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputusoleh pengadilan danmemperolehkekuatan hukum tetap”.

Kasus yang menyeret Gubernur Sumatera Utara dan penetapannya sebagai

Justice Collaborator dalam kasus suap Hakim dan Panitera PTUN Medan serta suap terhadap Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella, penulis sependapat dengan Jaksa dan Hakim yang menetapkan Terdakwa sebagai Justice Collaborator.

2. Penerapan Justice Collaborator terhadap Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti

Ditetapkannya Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti sebagai Justice Collaborator dalam kasus suap Hakim dan Panitera PTUN Medan dan Patrice Rio Capella tentu akan mempengaruhi putusan hakim terhadap kedua Terdakwa tersebut. Setelah ditetapkan sebagai Justice Collaborator bagaimana penerapan status tersebut dilakukan terhadap Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti telah termuat dalam putusan hakim Nomor: 161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst, salah satunya yaitu pengurangan hukuman yang diberikan terhadap kedua Terdakwa.

Pada tanggal 14 Maret 2016 Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dalam Nomor Putusan 161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst menyatakan Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti, secara sah dan meyakinkan telah terbukti bersalah dengan melakukan tindak pidana turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf


(53)

a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam putusan tersebut, hakim menjatuhkan vonis terhadap Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan terhadap Terdakwa II Evy Susanti dengan pidana penjara selama 2 (dua) 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 3 (tiga) bulan, dengan pertimbangan ada hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa terus terang mengakui perbuatannya, terdakwa telah membuka semua perkara lain yang berkaitan, terdakwa menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum. Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan tentang status para Terdakwa sebagai Justice Collaborator

(saksi pelaku yang bekerjasama).

Berdasarkan penjatuhan pidana penjara dan pidana denda yang diberikan oleh Majelis Hakim dapat dilihat bahwa penjatuhan pidananya lebih ringan


(54)

dimana dalam tuntutan Jaksa terhadap Terdakwa I dituntut dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan terhadap Terdakwa II pidana penjara selama 4 (empat) tahun ditambah pidana denda masing-masing sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 5 (lima) bulan kurungan.

Pengurangan hukuman yang didapatkan oleh Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti tentu tidak terlepas dari kedudukannya sebagai Justice Collaborator. Dimana sesuai pengaturan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 sebagaimana aturan yang dijadikan acuan hakim dalam pertimbangannya pada butir 9 huruf C disebutkan bahwa: “atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama , hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut, yaitu: menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/ atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Kasus suap Hakim PTUN Medan ini termasuk satu kasus yang unik, karena hampir semua terdakwa mendapatkan penetapan sebagai Justice Collaborator dan mendapatkan pengurangan hukuman. Terdakwa Yagari Bhastara Guntur anak buah O.C. Kaligis menerima putusan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, pidana denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan pidana kurungan.68

68

Terdakwa Tripeni Irianto Putro yang merupakan Ketua PTUN Medan dan Hakim Ketua yang menadili


(55)

perkara terkait menerima putusan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan pidana kurungan.69 Terdakwa Dermawan Ginting Hakim Anggota perkara terkait menerima putusan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan pidana kurungan.70 Terdakwa Amir Fauzi Hakim Anggota perkara terkait menerima putusan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan pidana kurungan.71 Terdakwa Syamsir Yusfan Panitera PTUN Medan menerima putusan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan tanpa pidana denda.72 Terdakwa Patrice Rio Capella menerima putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan pidana kurungan.73 Terdakwa Otto Cornelis Kaligis pada Pengadilan Tingkat Pertama mendapatkan putusan pidana penjara selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan lalu Terdakwa mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi dan oleh Pengadilan Tinggi dijatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, dan O.C. Kaligis berniat mengajukan banding.74

Abdul Haris Semendawai Ketua LPSK tidak

diakses pada 4 Agustus 2016


(56)

menpermasalahkan seseorang dinyatakan sebagai Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum, sepanjang persyaratannya terpenuhi. Jumlah terdakwa yang menjadi Justice Collaborator

juga tidak menjadi persoalan. Hanya, LPSK berharap kebijakan seperti yang dibuat penyidik dan hakim pada perkara Gatot dapat dilakukan secara konsisten, apabila terdapat kasus yang serupa. Abdul Haris jjuga mengatakan meski sudah ada syarat yang jelas soal siapa saja yang dapat menjadi Justice Collaborator, namun kewenangan memberi status itu dapat disalahgunakan. Karenanya, dia berharap aturan mengenai itu dilaksanakan secara konsisten.75

Selain mengenai pemberian status sebagai Justice Collaborator di atas, ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dalam pemberian perlindungan bagi status Justice Collaborator, yaitu berkaitan dengan pemberian perlindungan bagi seorang Justice Collaborator dimana baik dalam Undang-Undang Nor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan bagi Saksi dan Korban, Sema Nomor 4 Tahun 2011, maupun dalam peraturan bersama tidak ada diatur mengenai seberapa besar pengurangan hukuman yang didapatkan oleh seorang Justice Collaborator. Seperti dalam kasus yang terdapat dalam putusan ini, baik Terdakwa I maupun Terdakwa II mendapatkan keringanan hukuman yang berbeda, padahal mereka sama-sama terlibat baik dalam pemberian uang suap kepada Hakim PTUN Medan maupun terhadap Anggota Komisi III DPR Patrice Rio Capella. Bila melihat kepada aturan hukum yang terdapat di USA, mengenai pemberian perlindungan dalam bentuk keringanan hukuman ditegaskan secara jelas bahwa pengurangan


(57)

hukuman sekitar 35% dari ancaman pidana atau penurunan pelangaran dua atau tiga tingkat.76

76


(58)

A. Kesimpulan

1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator dalam penyelesaian tindak pidana korupsi di Indonesia lahir dari diratifikasinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. Lalu dengan diratifikasinya Konvensi ni lahirlah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentag Perlindungan Saksi dan Korban, dimana aturan mengenai Justice Collaborator diatur secara eksplisit dalam Pasal 10 ayat (2) UndangUndang tentang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut. Namun siring dengan perkembangannya masih terdapat banyak kerancuan dalam penerapan Undang-Undang ini, sehingga lahirlah SEMA Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu, tetapi SEMA inipun belum cukup untuk merangkul pemberian perlindungan bagi Justice Collaborator karena selain hanya mengikat di ranah pengadilan, SEMA ini juga tidak menjelaskan lebih jelas lagi bagaimana menjalankan perlindungan bagi Justice Collaborator oleh karena itu diadakanlah duduk bersama antara Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara


(59)

2. Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia yang menghasilkan peratran bersama. Namun dianggap bahwa peraturan bersama inipun masih belum sesuai dengan perkembangan hukum di masyarakat sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana dengan dikeluarkannya peraturan ini, dapat mengatasi pelik yang terjadi mengenai penetapan serta bentuk perlindungan bagi Justice Collaborator dalam kedudukannya sebagai saksi kunci untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Perlindungan hukum terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dalam kedudukannya sebagai Justice Collaborator sudah banyak diatur dalam berbagai peraturan. Dimana pada dasarnya semua peraturan tersebut mengatur syarat penetapan seseorang sebagai Justice Collaborator sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tidak pidana lainnya yang bersifat terorganisir

b. Yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukannya c. Yang bersangkutan bukan merupakan pelaku utama


(60)

d. Yang bersangkutan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

e. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat siginifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat menungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana

Setelah seorang pelaku tindak pidana memenuhi syarat sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, barulah tersangka, terdakwa, atau terpidana tersebut berhak untuk mendapatkan perlindungan, yaitu: baik perlindungan tersebut dalam bentuk penanganan secara khusus seperti pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana, pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana yang dilaporkannya, dan memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya, serta perlindungan dalam bentuk penghargaan atas kesaksiannya seperti keringanan penjatuhan pidana dan/ atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

4. Mengenai penerapan Justice Collaborator terhadap terdakwa tindak pidana korupsi pada putusan Nomor:161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst,


(61)

hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Gatot Pujo Nugroho dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan terhadap Terdakwa II Evy Susanti dengan pidana penjara selama 2 (dua) 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 3 (tiga) bulan, dengan pertimbangan ada hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa terus terang mengakui perbuatannya, terdakwa telah membuka semua perkara lain yang berkaitan, terdakwa menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum. Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan tentang status para Terdakwa sebagai Justice Collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama) yang dicantumkan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya.

B. Saran

1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator merupakan hal yang masih baru dalam hukum Indonesia, namun telah banyak upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dari peraturan tersebut. Namun ada beberapa hal yang masih harus diperhatikan mengenai Justice Collaborator tersebut yaitu perlunya diatur secara lebih tegas mengenai eksistensi Justice Collaborator dalam suatu pasal tersendiri.

2. Seperti telah disebutkan di dalam skripsi ini, dalam hal pemberian perlindungan masih banyak sekali hal-hal yang harus diperhatikan,


(1)

16. banyak hal, terimakasih buat setiap cerita yang juga boleh sama-sama kita lalui.

17. Sahabat dari masih kecil Tiar dan Dita, terimakasih telah membawa ku dalam doa-doa kalian, terimakasih buat waktu yang pernah kita lewati. Juga buat sahabat-sahabat SMA “Lobu Sayang”, Vina, Meilani, Ulina, Melati, Benni, Febe, dan juga Nani, terimakasih buat keceriaan dan semangat kalian. Terkhusus buat Nani dan Vina, aku sungguh berterimakasih atas perjuangan dan pengorbanan kalian, jika bukan karena kalian, mungkin berkas yang ku butuhkan tidak akan pernah ku dapatkan. Aku mengasihi kalian semua

18. UKM KMK USU UP FH, pelayanan dan juga rumah bagi orang-orang yang telah Allah persatukan karena kasihNya. Terimakasih kepada semua Pengurus, PKK, dan juga AKK, aku bersyukur Allah mempertemukan kita. Buat setiap orang-orang di pelayanan ini yang membuat ku terus menerus diasah dan dibentuk untuk semakin setia dalam melayani Allah yang kita percaya.

19. Panitia Natal 2012, terimakasih buat setiap perjuangan kita, terimakasih buat setiap canda dan tawa, terkhusus buat BPH Natal 2012, aku bersyukur buat pertemuan kita teman-teman ku.

20. Teman-teman Stambuk 2012, Grup F FH USU, IMADANA terimakasih buat semua cerita, semangat berjuang teman-teman.

Buat orang-orang yang belum dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas semuanya.


(2)

vi

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga berguna bagi kalangan akademik yang membutuhkannya. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, April 2016

Penulis,


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 12

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi ... 17

3. Pengertian Justice Collaborator ... 27

F. Metode Penelitian... 31

G. Sistematika Penulisan ... 35

BAB II PENGATURAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Justice Collaborator ... 38


(4)

viii


(5)

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 52 D. Pengaturan Justice Collaborator dalam mengungkap Kasus

Korupsi di Indonesia... 67

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

A. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 72 B. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana

Korupsi dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ... 81 C. Perlindungan Hukum terhadap Terdakwa Tindak Pidana


(6)

x

D. dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana

(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice

collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu ... 85

BAB IV PENERAPAN JUSTICE COLLABORATORTERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 161/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst) A. Posisi Kasus 1. Kronologis Kasus ... 87

2. Dakwaan ... 90

3. Fakta Hukum ... 96

4. Tuntutan Pidana ... 102

5. Putusan ... 103

B. Analisis Kasus ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 125