32
Saraf Perifer
33
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
1.  Segmen distal
Bagian distal dari segmen yang cedera, degenerasi Wallerian sa- ngat  mirip  dengan  yang  terjadi  pada  cedera  tingkat  kedua.  Satu  per-
bedaan  penting  adalah  dimana  cedera  intrafascikular  mengganggu regenerasiaksonal dan oleh karena itu tubulus endoneurial tetap tidak
mendapatkan  inervasi  dalam  periode  yang  lama.  Saat  tidak  men da- pat kan  inervasi,  tubulus  endoneural  mulai  mengkerut  dalam  proses
yang  mencapai  maksimum  kira-kira  3  sampai  4  bulan  setelah  cedera. Lapisan  endoneurial  secara  progresif  menebal  secara  sekunder  tar-
hadap penumpukan kolagen sepanjang permukaan terluar dari mem- brane basal sel Schwann. Jika tubulus endoneurial tidak mendapatkan
regenerasi akson, fi brosis progresif menyebabkan terjadinya obliterasi pada  tubulus.
Susunan  proses-proses  sel  Schwann  menunjukkan  me- ngempisnya tubulus endoneurial yang terlihat secara mikroskopis pada
progresi degenerasi Wallerian pada cedera yang lebih bermakna. Kolum- kolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan menjadi
pedoman  penting  untuk  tunas  akson  selama  inervasi  kembali.  Band menyediakan ilustrasi awal peranan kedua dari sel-sel Schwann setelah
cedera  saraf,  yaitu  yang  berperan  neurosuportif  untuk  pertumbuhan kembali akson Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Pada  cedera  tingkat  keempat  dan  kelima  adalah  reaksi  lokal terhadap trauma berat. Tubulus endoneurial, dan juga fascikuli meng-
alami disrupsi. Epineurium juga mengalami cedera dan fi broblas epi- neurial reaktif juga terdapat pada ujung potongan saraf dalam 24 jam.
Ini diikuti oleh proliferasi sel-sel Schwann dan fi broblas perineurial dan epineurial. Puncak proliferasi selular dalam 1 minggu dan berlanjut se-
lama periode yang panjang. Seperti cedera ringan, permeabilitas kapiler mengalami peningkatan, kemungkinan sebagai akibat dari degranulasi
sel mast, dan edema serta infi ltrasi makrofag yang mengikuti. Besarnya respons  ini  berhubungan  dengan  beratnya  trauma  saraf  dan  jaringan
sekelilingnya Burnet  dan Zager, 2004.
Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf men- jadi  masa  yang  membengkak  dari  sel-sel  Schwann,  kapiler-kapiler,  fi -
broblas,  makrofag,  dan  serabut  kolagen  yang  tidak  terorganisir.  Re- generasi  akson  mencapai  ujung  proksimal  yang  membengkak  dan
membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa akson  membentuk  lingkaran  dalan  jaringan  parut  atau  membelok  ke
belakang  sepanjang  segmen  proksimal  atau  keluar  menuju  jaringan sekitar.  Beberapa  akson  yang  mengalami  regenerasi  dapat  mencapai
ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya cedera  asli,  perluasan  pembentukan  jaringan  parut,  dan  perlambatan
sebelum  akson  mencapai  tempat  cedera.  Seperti  pada  cedera  tingkat ketiga, tubulus endoneural tidak ditempati selama periode yang panjang
yang akan berlanjut menjadi berkerut dan fi brosis secara progresif, dan akan secara komplet mengalami obliterasi oleh adanya serabut-serabut
kolagen Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
2.  Segmen proksimal dan tubuh sel
Perubahan  tubuh  sel  neuronal  dan  dalam  serabut-serabut  saraf proksimal terhadap tempat cedera tergantung pada beratnya cedera dan
dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel. Sel-sel Schwann mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area cedera, dan akson-
akson  serta  myelin  diameternya  mengecil.  Degradasi  proksimal  ini da pat minimal terentang dari tempat cedera sampai kembali ke nodus
Ranvier  berikutnya  atau  dapat  meluas  ke  semua  jalur  dan  kembali ke  tubuh  sel.  Jika  tubuh  sel  secara  aktual  mengalami  degenerasi,  di-
mana  dapat  ter jadi  pada  trauma  yang  beat,  segmen  proksimal  akan mengalami dege ne rasi Wallerian dan akan difagosit.
Setelah terjadi ce- dera  bermakna,  seg men  proksimal  akson  diameternya  akan  mengecil,
khususnya  jika  koneksi  fungsional  terhadap  organ  yang  sesuai  tidak ditemukan.  Kemampuan  konduksi  saraf  akan  mengalami  penurun-
an.  Seperti  proses  regenerasi,  diameter  akson  membesar,  namun  tidak akan mencapai seperti saat belum terjadi cedera. Saling ketergantungan
defi nitif terjadi antara tubuh sel dan akson pada istilah penyembuhan: tubuh sel tidak akan sembuh secara penuh tanpa terjadi koneksi fungsi
tepi, dan diameter akhir akson tergantung pada luasnya penyembuhan tubuh sel Burnet  dan Zager, 2004.
Tubuh  sel  saraf  sendiri  bereaksi  terhadap  cedera  aksonal.  6  jam setelah cedera, nukleus bermigrasi ke tepi dari sel dan granula-granula
Nissle,  endoplasmic  reticulum  kasar,  pecah  dan  berpencar.  Proses ini  disebut  sebagai  kromatolisis.  Secara  simultan,  respons  proliferasi
cepat  dari  sel  glial  granul-granul  Nissl,  endoplasmic  reticulum  kasar, pecah  dan  berpencar.  Proses  ini  disebut  sebagai  kromatolisis.  Secara
simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial perineuronal, sebagian besar  kemungkinan  mendapatkan  tanda  pada  beberapa  keadaan  oleh
proses  kromatolisis.  Proses  sel  glial  meluas  ke  neuron  yang  terkena dan  mengalami  interupsi  koneksi  sinaptik,  yang  memungkinkan  ter-
jadinya  isolasi  saraf  pada  fase  penyembuhan.
Kemampun  hidup  sel ti dak  dapat  dipastikan  setelah  cedera  saraf.  Insiden  apoptosis  yang
berhubungan dengan kematian sel pada radiks dorsalis saraf ganglion
LO saraf Perifer-Juli.indd   32-33 432013   12:09:52 AM
34
Saraf Perifer
35
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
pada  aksonotmesis  sebesar  20-50.  Kematian  terjadi  lebih  sering  jika aksonotmesis  terjadi  secara  prksimal  dan  pada  cedera  yang  meliputi
saraf  cranial  dan  sensori.  Saraf  sentral  memiliki  kapasitas  untuk  ber- generasi  kembali  dalam  lingkungan  tepi,  dan  saraf  tepi  kehilangan
ke mampuannya  saat  berada  dalam  lingkungan  sentral  Burnet   dan Zager, 2004.
Regenerasi Saraf
Pada  kasus  yang  berat  regenerasi  saraf  dimulai  hanya  setelah  de- generasi  Wallerian,  namun  pada  cedera  ringan  proses  regenerasi  dan
perbaikan dimulai secara dini. Untuk cedera tingkat pertama dan ke- dua  neurapraksia  dan  aksonotmesis,  biasanya  dilakukan  pemulihan
fungsi.  Ini  terjadi  secara  awal  melalui  pembalikan  blokade  konduksi atau se cara lambat melalui regenerasi aksonal. Penyembuhan fungsi-
onal ter jadi secara komplet pada tipe cedera tingkat lebih ringan. Per- ubah  an  morfologikal  dan  fi siologikal  secara  penuh  reversibel.  Pada
ka  sus  ce dera  yang  lebih  berat,  dimana  tubulus  endoneurial  disrupsi, re  gene rasi akson  tidak  dalam  waktu  lama  terjadi,  dapat  membelok
menuju ja ringan sekitar atau menuju tubulus andoneurial yang kurang tepat,  jadi  ga gal  untuk  menginervasi  kembali  organ  akhirnya  yang
sesuai Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Penyembuhan  fungsional  setelah  cedera  saraf  meliputi  beberapa step,  tiap  step  dapat  melambat  atau  mengganggu  proses  regeneratif.
Pada  kasus  yang  termasuk  salah  satu  tingkat  cedera,  ini  digunakan secara  awal  untuk  mengkategorikan  step-step  regeneratif  ini  secara
anatomik pada tingkat secara kasar. Rangkaian regenerasi dapat dibagi menjadi zona-zona anatomik:
1.  Tubuh sel saraf 2.  Segmen antara tubuh sel dan tempat cedera
3.  Tempat cedera sendiri 4.  Segmen distal antara tempat cedera dan organ akhir
5.  Akhir organ sendiri.
Regenerasi  yang  terlambat  atau  regenerasi  yang  tidak  berhasil kemungkinan sebagai akibat perubahan patologikal yang mengganggu
proses  perbaikan  pada  satu  atau  lebih  zona  ini  Osbourne,  2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Fase  regenerasi  dan  perbaikan  setelah  cedera  saraf  dapat  ber- akhir  sampai  beberapa  bulan.  Tanda  yang  paling  awal  dari  fase  ini
adalah  perubahan  yang  terlihat  pada  tubuh  sel  yang  merupakan  tan- da  pembalikan  kromatolisis.  Nukleus  kembali  ke  pusat  sel  dan  nuk-
leoprotein  mengalami  organisir  kembali  menjadi  granul-granul  Nissl yang  kompak.  Setelah  cedera,  beberapa  fungsi  metabolik  subselular
mengalami perubahan selama kromatolisis. Demikian juga sintesis Ribo nucleic acid
RNA mengalami peningkatan dan sintesis neurotransmit- ter  menurun.  Kromatolisis  menunjukkan  pergeseran  pada  fungsi  sel
dari  transmisi  sinaptik  menuju  perbaikan  selular.  Metabolisme  tubuh telah  deprogram  sehingga  sel  mampu  menghasilkan  sejumlah  besar
protein dan lipid yang diperlukan untuk pertumbuhan kembali akso- nal  selama  fase  regenerasi.  Aksoplasma  digunakan  untuk  regenerasi
ujung  akson,  yang  diperoleh  dari  segmen  proksimal  akson  dan  tubuh sel.  Komponen  cepat  dan  lambat  dari  aksoplasma  mengangkut  suplai
material  dari  tubuh  sel  menuju  tempat  regenerasi  aksonal.  Tingkat pe ningkatan  sintesis  protein  dan  lipid  pada  tubuh  sel  memengaruhi
per cepatan dan diameter akhir dari akson yang beregenerasi. Kapasi- tas  saraf  te pi  manusia  untuk  mengawali  respons  regeneratif  menetap
se lama se kurang-kurangnya 12 bulan setelah cedera, dan respons kuat dapat  di timbulkan  bahkan  setelah  cedera  berulang  Osbourne,  2007;
Burnet  dan Zager, 2004.
Panjang segmen antara ujung akson yang beregenerasi dan tem- pat  cedera  tergantung  pada  beratnya  cedera  dan  akibat  degradasi  re-
trograd.  Tanda  pertama  dari  pertumbuhan  kembali  akson  pada  seg- men ini kemungkinan terlihat dalam 24 jam setelah cedera, atau dapat
mengalami  perlambatan  selama  beberapa  minggu  pada  cedera  berat. Tingkat pertumbuhan kembali aksonal ditentukan oleh perubahan da-
lam tubuh sel, aktivitas dari pertumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson, dan resistensi dari jaringan yang cedera antara tubuh
sel dan organ akhir. Kemungkinan multiplikasi tunas akson dalam tiap lapisan  endoneurial,  meskipun  pada  cedera  yang  lebih  ringan,  yang
tidak meliputi destruksi lapisan itu sendiri. Waktu proses degeratif dan regeneratif  harus  tumpang  tindih  antara  beberapa  segmen.  Sebagai
con toh,  pada  cedera  yang  lebih  ringan  dimana  tidak  ada  perlambatan yang bermakna pada regenerasi di daerah tempat cedera, pertumbuhan
kerucut  pada  ujung  akson  harus  bertemu  dengan  debris  degenerasi Wallerian  pada  segmen  distal.  Debris  ini  tidak  menggang  regerasi,
kemungkinan  karena  pertumbuhan  kerucut  mensekresi  protease  yang dapat  membantu  material  yang  terlarut  memblok  jalurnya  Osbourne,
2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Pada  cedera  sangat  proksimal  dimana  dipertimbangkan  terjadi perlambatan  sebelum  ujung  akson  mencapai  segmen  distal,  tubulus
LO saraf Perifer-Juli.indd   34-35 432013   12:09:52 AM
36
Saraf Perifer
37
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
endoneurial yang kosong di bagian distal diameternya mengecil. Faktor ini kemungkinan bertanggung jawab sebagai bagian dari perlambatan
pengakhiran  pertumbuhan  kembali  akson.  Intervensi  operasi  yang menghentikan  masuknya  nutrisi  arteri  tidak  terlihat  menunjukkan
gang guan  pada  regenerasi  aksonal,  hal  ini  menunjukkan  bahwa  ar- teri  longitudinal  dalam  saraf  itu  sendiri  tidak  mengalami  interupsi.
Pada  cedera  yang  lebih  berat  yang  mengganggu  tubulus  endoneurial, fascikel  saraf,  atau  tulang  belakang,  menjadi  rintangan  yang  berat
untuk regenerasi akson mencapai tempat cedera. Kemungkinan di si- ni  terjadi  gap  antara  ujung  saraf  yang  yang  terganggu,  mengizinkan
tu nas  akson  yang  mengalami  regenerasi  sampai  berjalan  menuju  ja- ringan  sekitar.  Pembentukan  jaringan  parut  pada  tempat  cedera  yang
berat,  perluasannya  tergantung  pada  multipel  faktor  meliputi  waktu terjadinya regenerasi tunas setelah cedera Osbourne, 2007; Burnet  dan
Zager, 2004.
Sebelumnya  akson  yang  tak  bermyelin  dapat  mengalami  re ge- nerasi  menuju  lapisan  endoneurial  yang  mengandung  akson  yang
ber myelin  dan  vice  versa.  Resistensi  bahwa  akson  ditemukan  pada tempat  cedera  menyebabkan  pembentukan  tunas-tunas  akson  kecil.
Anak-anak  akson  ini  tidak  semua  membuat  jalurnya  menuju  segmen distal. Tidak ada neurotropisme spesifi k yang diketahui dapat memacu
pertumbuhan  akson  yang  berregenerasi  menuju  tubulus  endoneurial, namun  beberapa  bentuk  pengaruh  neurotropik  masih  diperlihatkan
pada  paradigma  eksperimental.  Pembentukan  jaringan  parut  pada  ja- ringan mengganggu regenerasi dan tunas akson yang misindirek me-
nuju  tubulus  endoneurial  yang  tidak  berhubungan  secara  fungsional. Sisa  jaringan  parut  juga  mengganggu  proses  maturasi  akson.  Akson
yang berhasil memasuki tubulus endoneurial pada segmen distal me- nuju  tempat  cedera  memberikan  pencapaian  yang  bagus  pada  or gan
akhir,  memberikan  kondisi  pertumbuhan.  Tingkat  regenerasi  distal me lambat jika tubulus endoneurial terganggu karena tunas akson per-
tama kali menemukan jalurnya menuju tubulus sebelum tumbuh. Per- tumbuhan  kerucut  khusus  pada  ujung  tiap  tunas  akson  mengandung
fi lopodia  multipel  yang  melekat  ke  lamina  basalis  sel  Schwann  dan menggunakannya  sebagai  panduan.  Panduan  kontak  dan  kemotaksis
penting pada pertumbuhan kerucut. Karena beberapa tunas akson kecil dapat masuk pada tubulus endoneurial yang sama, serabut saraf yang
berregenerasi dapat mengandung lebih dari satu akson daripada saraf asli Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Jika organ akhir yang tidak berhubungan secara funsional di capai, perkembangan  selanjutnya  dari  akson  dan  myelinisasi  kembali  ti dak
terjadi. Perkembangan dan maturasi akson gagal jika organ akhir, ka- rena tidak mendapat inervasi, mengalami perubahan yang tidak meng-
izinkan  terjadinya  koneksi  secara  fungsional.  Jika  masuknya  akson yang berregenerasi menuju segmen distal terlambat lebih dari kira-kira
4  bulan,  akson  akan  memasuki  tubulus  endonerial  dengan  dia meter kecil, umumnya 3µm atau kurang. Pengerutan ini dapat membuat lebih
sulit untuk tunas akson untuk menempati dan memasuki tubulus neu- ronal,  namun  ini  tidak  menunjukkan  gangguan  pada  pertumbuhan
kembali  akson  segera  setelah  tunas-tunas  memasuki  tubulus.  Ini  di- sebabkan  oleh  endoneurium  yang  elastis.
Kembalinya  fungsi  tidaklah membutuhkan penyembuhan yang absolute dari arsitektur  saraf. Efek
dari  tidak  mendapatkan  inervasi  dalam  jangka  panjang,  dimana  akan mengganggu  penyembuhan  fungsional,  pada  tempat  cedera  men-
cegah regenerasi akson dari masuknya pada tubulus endoneurial yang sesuai  atau  pada  organ  akhir. Akhir  organ  mengalami  perubahan  ka-
rakteristik  histologikal  dengan  degenerasi  saraf  dan  inervasi  kembali. Atrofi   serabut-serabut  otot  sangat  cepat  dan  nukleus  sel  cenderung
pada daerah sentral daripada posisi normalnya di tepi Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Proliferasi  hebat  fi broblas  juga  menjadi  karakteristik  gambaran histologikal dari saraf yang tidak mendapatkan inervasi. Kolagen baru
menumpuk pada endomysium dan perimysium. Umumnya, serabut otot tidak diganti oleh jaringan ikat namun serabut-serabut mengalami atrofi
yang dipisahkan oleh jaringan ikat tebal, sehingga semua pola internal dari  serabut-serabut  otot  masih  ada.  Terkadang  pengeluaran  serabut
otot terjadi. Ini merupkn fenomena yang lambat, umumnya terjadi pada 6 dan 12 bulan setelah tidak mendapatkan inervasi. Regenerasi tunas-
tunas akson mengikuti sel-sel Schwann asli untuk tidak menginervasi motor endplate
untuk pembentukan kembali neuromuscular junction . Per-
tunasan  kolateral  juga  terjadi,  menghasilkan  kelompok  serabut  saraf yang mendapat inervasi kembali. Ini merupakan karkteristik penemu-
an  otot  yang  mengalami  inervasi  kembali,  bertolak  belakang  dengan pola  acak  yang  ditemukan  pada  otot  normal.
Penyembuhan  motorik yang terjadi tidak komplet setelah cedera sedang sampai berat. Ini di-
sebabkan  oleh  beberapa  faktor  dalam  otot  itu  sendiri  dan  dalam  saraf yang berregenerasi. Fibrosis intramuskular dapat membatasi keguna an
kontrksi yang dihasilkan oleh rangsangan saraf. Terapi fi sik yang te pat dapat  membantu  menjaga  otot  yang  tidak  mendapatkan  inervasi  da-
lam kondisi optimal untuk menerima akhiran akson yang beregenerasi.
Penyembuhan motorik fungsional secara nyata terganggu jika beberapa akson  tidak  dapat  membentuk  koneksi  fungsional  kembali  dengan
LO saraf Perifer-Juli.indd   36-37 432013   12:09:52 AM
38
Saraf Perifer
39
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
otot. Meskipun dengan jumlah yang cukup, kesalahan inervasi kembali yang  menyilang  dapat  mnghasilkan  fungsi  suboptimal:  otot  “cepat”
yang asli kemungkinan mendapatkan inervasi kembali dari akson yang sebelumnya  menginervasi  otot  “lambat”,  dan  akibatnya  kemungkinan
bentuk campuran dengan kontraksi yang tidak efi sien Osbourne, 2007; Burnet  dan Zager, 2004.
Pada  kasus-kasus  dimana  penyembuhan  motorik  bermakna  ter- jadi, hasil fungsional kemungkinan diganggu oleh defi cit sensori yang
mengikuti, khususnya proprioseptif. Reseptor sensori yang tidak men- dapatkan  inervasi  tetap  hidup  dan  dapat  membuat  penyembuhan
fungsional  setelah  satu  tahun  dan  kemungkinan  setelah  beberapa  ta- hun.  Pada  cedera  tingkat  pertama  dan  kedua  dan  kedua,  kembalinya
sen sasi  terjadi  secara  komplet,  meskipun  setelah  6  sampai  12  bulan tidak mendapatkan inervasi. Ini disebabkan oleh inervasi yang baik oleh
akson aslinya terhadap reseptor sensori Burnet  dan Zager, 2004.
Setelah  cedera  berat  dan  perbaikan  saraf,  penyembuhan  sensori tidak  terjadi  secara  komplet.  Hal  ini  dihubungkan  dengan  kombinasi
faktor,  meliputi  kegagalan  akson  sensori  untuk  mencapai  kulit,  pe- nyilangan  inervasi  kembali  akson  biasanya  dari  satu  tipe  reseptor
membuat hubungan dengan tipe reseptor lain, dan kemungkinan de- generasi  reseptor  sensori.  Inervasi  kembali  sensori  menunjukkan  se-
bagai modal spesifi k, namun ini lebih jarang daripada inervasi kembali motorik, dimana ini berarti penyilangan inervasi kembali sensori lebih
sering  terjadi.  Terjadi  kematian  reseptor-reseptor  sensori  berkapsul yang  tidak  mendapatkan  inervasi,  seperti  korpuskel  Pacini,  korpuskel
Meissnerr,  dimana  secara  cepat  mengadaptasi  reseptor-reseptor  yang memediai sentuhan cahaya dan vibrasi, dan juga sel-sel Merkel, dimana
secara lambat mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuh- an  konstan  dan  tekanan.  Dipercaya  bahwa  pengkhususan  reseptor-
reseptor  tetap  ada  pada  keadaan  atrofi   selama  periode  yang  panjang, menunggu  kedatangan  akhiran  saraf  yang  sesuai.  Sensasi  proteksi,
dimana  penyembuhan  beberapa  tahun  setelah  tidak  mendapatkan inervasi,  dimediai  oleh  reseptor-reseptor  sensori.
Tingkat  regenerasi aksonal cenderung konstan. Laporan tingkat regenerasi bervariasi dari
0,5  sampai  9  mm  per  hari.  Keragaman  ini  disebabkan  oleh  beberapa faktor:
1.  Tingkat  pertumbuhan  akson  menurun  dengan  peningkatan jerak dari tubuh sel menuju ujung akson.
2.  Pengukuran  regenerasi  akson  dibuat  dalam  jenis  yang  ber - beda setelah metode-metode yang berbeda dari cedera saraf.
3.  Teknik-teknik untuk pengukuran regenerasi berbede-beda se- bagai contoh, tanda Tinel dibandingkan dengan pe nyem buhan
fungsional.
Tingkat  regenerasi  dapat  tergantung  pada  beratnya  cedera  saraf, durasi tidak mendapatkan inervasi, dan kondisi dari jaringan tepi. Re-
generasi  setelah  perbaikan  operasi  saraf  lebih  lambat  daripada  re ge- nerasi yang tidak terkomplikasi, sebagian besar kemungkinan se ba gai
akibat dari beratnya cedera yang terjadi. Penuaan juga me nyebab- kan  perlambatan  tingkat  pertumbuhan  kembali  aksonal  Burnet   dan
Zager, 2004.
Regenerasi aksonal tidak sama dengan pengembalian fungsi. Pro- ses  maturasi  mendahului  pengembalian  fungsi.  Perubahan  morfologi
dari  maturasi  yang  mengawali  sepanjang  akson  yang  berregenerasi terjadi secara lambat daripada pertumbuhan akson dan berlanjut selama
periode proteksi. Myelinisasi kembali berkembang pada keadaan yang sama  dengn  perkembangan  serabut-serabut  saraf,  meliputi  pelurusan
sel-sel  Schwann  dan  pelingkaran  akson  untuk  membentuk  lapisan multilamela.  Proses  ini  dimulai  dalam  2  minggu  dari  onset  regenerasi
aksonal dan menyebabkan akson yang bermyelin sangat mirip dengan aslinya  kecuali  terjadinya  pemendekan  antarnodus.  Diameter  akson
meningkat  secara  progresif  sampai  dimensi  normal  dicapai,  namun pelebarannya  tergantung  pada  terjadinya  koneksi  fungsional  antara
ujung akson dan organ akhir yang sesuai Burnet  dan Zager, 2004.
Faktor Faktor Neurotropik
Tedapat  kaskade  cell-signaling  molecule  dan  faktor  tropik  yang  mirip dengan  respons  peradangan.  Faktor-faktor  neurotropik  seperti  Neural
Growth Factor NGF, brain-derived neurotrophic factor
, faktor siliari neu- rotropik, dan lainnya yang penting dalam proses perbaikan saraf.
Fak- tor pertumbuhan saraf merupakan molekul neurotropik pertama yang
teridentifi kasi dan tetap  sebagai karakteristik  terbaik.  Ini meliputi ke- mampuan  hidup  dan  pemeliharaan  sel  saraf  dalam  keadaan  normal
dan  menjadi  komponen  penting  dari  proses  perbaikan  saraf.  Faktor- faktor  seperti  NGF  secara  kuat  dilepaskan  dari  target  organ  saraf  tepi
dan  diangkut  menuju  tubuh  sel  saraf  melalui  pengankutan  aksonal retrograd.  Ini  kemungkinan  bahwa  penurunan  NGF  dan  faktor  topik
lainnya  mencapai  tubuh  sel  disebabkan  oleh  disrupsi  aksonal  yang terjadi  secara  dini  setelah  cedera  saraf  memerlukan  signal  molecular
LO saraf Perifer-Juli.indd   38-39 432013   12:09:52 AM
40
Saraf Perifer
41
untuk  memacu  proses  perbaikan.  Segera  setelah  cedera,  jumlah  NGF dan  NGF  messenger  RNA  sangat  meningkat,  sejalan  dengan  perannya
sebagai  faktor  neurotropik.  Meskipun  invasi  makrofag  merangsang produksi NGF malalui pelepasan interleukin-1β, dimana mengesankan
bahwa  makrofag  berperan  pada  pagositosis  dan  regenerasi.  Sel-sel Schwann  menghasilkan  faktor-faktor  neurotropik  meliputi  NGF  pada
tempat cedera Burnet  dan Zager, 2004.
Faktor-faktor neurotropik, seperti molekul signaling lainnya, ber- ikatan dengan reseptor-reseptor inase tirosin spesifi k dan mentransmi-
si signal yang mengatur aktivitas gen. konsentrasi reseptor faktor per- tumbuhan  saraf  pada  sel-sel  Schwann  membentuk  band  of  Bungner
yang meningkat setelah cedera. NGF yang berikatan dengan reseptor- resep tor ini pada sel-sel Schwann terjadi untuk pertumbuhan kembali
tunas  akson.  NGF  ini  diambil  oleh  akson  kemudian  diangkut  secara re tro grad  dari  kerucut  yang  tumbuh  menuju  tubuh  sel,  menyediakan
rangsang an berkelanjutan untuk pertumbuhan dan juga panduan untuk akson yang tumbuh Burnet  dan Zager, 2004.
���
Gambar 4.6.  Skema faktor neurotropik Sumber dari Burnett dan Zager, 2004.
Cedera Peningkatan NGF dan NGF messenger
RNA
Sel Schwann
Reseptor NGF band of bungner Badan sel saraf
Rangsangan pertumbuhan
Bab 5
DIAGNOSIS CEDERA SARAF TEPI
AA Raka Sudewi
P
enyembuhan  sering  terhambat  oleh  hilangnya  kemampuan  fung- sional secara menetap dan oleh nyeri neurotropik. Nyeri neuro tro-
pik  biasanya  terjadi  hanya  setelah  cedera  dan  menetap  selama  bebe- rapa minggu atau bahkan tahun, dan sangat tidak menyenangkan dan
resis ten  terhadap  sebagian  besar  strategi  terapiutik,  sehingga  menu- run kan kualitas hidup. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya nyeri
neuropatik  kurang  dimengerti  namun  kemungkinan  oleh  mekanisme sentral  dan  tepi.  Gejala-gejala  pertama  dapat  disebabkan  oleh  reaksi
peradangan lokal yang dapat mengiritasi saraf. Transeksi saraf memacu kaskade  beberapa  selular  dan  humoral.  Makrofag  dan  sel-sel  mast
menginvasi tempat cedera dan menghasilkan sitokin dan faktor-faktor yang memacu pembentukan jaringan ikat parut. Beberapa dari sitokin
ini  dan  faktor  lainnya  seperti  histamine  atau  serotonin  bertanggung jawab terhadap produksi nyeri. Bagaimanapun reaksi peradangan ha-
nya  berakhir  dalam  beberapa  minggu,  namun  nyeri  neurotropik  ber- sifat  kronis,  kemungkinan  disebabkan  oleh  aktivitas  ektopik  serabut-
serabut C yang tersensititasi, permintaan ektra nosiseptor, dan aktivitas abnormal spontan pada tunas-tunas saraf yang beregenerasi. Baru-baru
ini  difokuskan  perhatian  tarhadap  neuroma  dan  mikroneuroma  yang berkembang  pada  tempat  cedera  yang  kemungkinan  sebagai  penye-
bab nyeri neuropatik Robinson, 2005.
Nyeri  neuroma  merupakan  gejala  sisa  yang  paling  sering  pada cedera  saraf,  dimana  biasanya  tidak  mempan  terhadap  pengobatan
farmakologikal  dan  membutuhkan  indikasi  operasi.  Neuroma  dapat terjadi  setelah  biopsi  diagnostik  saraf  oleh  karena  itu  neuroma  harus
dipertimbangkan  sebagai  masalah  klinis  serius  karena  tidak  dapat
LO saraf Perifer-Juli.indd   40-41 432013   12:09:54 AM
42
Saraf Perifer
43
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
sembuh meski dengan operasi mikro. Neuroma merupakan penebalan berbentuk pentolan yang terbentuk oleh tidak tepatnya dan tidak rata-
nya serabut-serabut saraf yang beregenerasi. Diagnosis cedera saraf tepi
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fi sik serta pemeriksa- an penunjang Kowalik dkk, 2006
Anamnesis
Pada  anamnesis  dapat  diketahui  dengan  pasti  lokasi  dan  saraf  yang terkena  cedera,  bisa  didapatkan  macam  dan  jenis  kelainan  patologik,
sedangkan  dengan  pemeriksaan  neurologik  akan  menentukan  lokasi kerusakanya. Riwayat trauma baik yang lama ataupun baru harus di-
telusuri  dengan  teliti  karena  penting  sekali  mengetahui  dengan  pasti penyebab kerusakan. Dari pemeriksaan neurologik lengkap, ganggu an
motorik,  sensorik,  dan  refl eks  harus  dianalisis  dan  dikaitkan  sehing- ga  dapat  ditentukan  berat  dan  luasnya  kerusakan.
Gejala  klinis  dari cedera pada saraf tepi tergantung dari saraf yang terkena. Cedera pada
saraf  motorik  menyebabkan  hilangnya  fungsi  otot,  sedangkan  cedera pada  saraf  sensoris  menyebabkan  hilangnya  sensasi  dari  distribusi
sensori  saraf  yang  terkena  dan  atau  neuromatous  atau  nyeri  kausalgia Sjamsuhidajat dan Dong, 2004.
Pemeriksaan fisik
Permeriksaan fi sik untuk cedera saraf tepi meliputi pemeriksaan pada semua otot yang dipersarafi  oleh saraf tepi.
1.  Pemeriksaan motor Penekanan  atas  pemeriksaan  motor  secara  klinis  untuk  cedera  sa-
raf  spesifi k  adalah  tahap  terpenting  dalam  mengelola  semua  ce- dera  saraf,  adalah  pemeriksaan  teliti  anggota,  dengan  perhatian
be sar  pada  semua  fungsi  motor  dan  sensori.  Pemeriksaan  harus me  nentukan  apakah  kehilangan  distal  sisi  cedera  lengkap  atau  ti-
dak.  Pemeriksaan  motor  cukup  sebagai  bukti  regenerasi  bila  pe- mu lihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga
ditentukan  dengan  respons  motor  terhadap  stimulasi.  Sti mulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan
peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien dengan cedera  saraf  peroneal  tidak  mampu  memulai  aksi  volunter  pada
otot  peroneal  dan  tibial  anterior  eversi  dan  dorsofl eksi  kaki.  Ini berlangsung  beberapa  minggu  setelah  per baikan  elektrofi siologis
yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf pe roneal: 1 tepat di belakang kepala fi bula, atau 2 tepat di dalam
hamstring lateral, di mana batang saraf mudah dipalpasi.
2.  Tanda Tinel Bila  parestesi  dihasilkan  oleh  perkusi  saraf  distal  dari  cedera,  ini
menunjukkan  beberapa  akson  sensori  utuh  dari  titik  perkusi  me- lalui  cedera  ke  egati  saraf  pusat.  Bila  respons  selanjutnya  ber ge-
rak  ke  distal  dengan  berjalannya  waktu,  terutama  bila  berkaitan dengan  berkurangnya  parestesi  sebagai  respons  atau  ketukan  pa-
da daerah cedera, membuktikan regenerasi serabut saraf terus ber- langsung  melewati  egativ  distal  terjadi  tanda  Tinel  positif.  Tan-
da  Tinel  positif  hanya  menunjukkan  regenerasi  serabut  ha lus  dan tidak  menunjukkan  apa  pun  tentang  kuantitas  dan  kuali tas  yang
sebenarnya dari serabut yang baru. Di sisi lain, interup si saraf to- tal  ditunjukkan  oleh  tiadanya  respons  sensori  distal  tan da  Tinel
egative setelah waktu yang memadai telah berlalu un tuk terjadinya regenerasi  serabut  halus  4-6  minggu.  Tanda  Tinel  negatif  lebih
bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Ti nel positif.
3.  Berkeringat Kembalinya  keringat  didaerah  otonom  menunjukkan  regenerasi
serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pe- mulihan  motori  atau  sensoris  dalam  beberapa  minggu  atau  bulan,
karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan ber  keringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motorik atau sen soris.
4.  Pemulihan sensoris Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila
terjadi didaerah otonom di mana tumpang tindih saraf berdekatan minimal.  Daerah  otonom  saraf  median  adalah  permukaan  volar
dan  dorsal  telunjuk  dan  permukaan  volar  jempol.  Saraf  radial  ti- dak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan
sen  soris  pada  distribusi  ini,  biasanya  mengenai  sejumput  daerah anatomis  tertentu.  Daerah  otonom  saraf  ulnar  adalah  permukaan
pal mar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial ada- lah  tumit  dan  sebagian  telapak  kaki,  sedang  saraf  peroneal  adalah
tengah  dorsal  kaki.  Sayangnya  pemulihan  sensoris,  bahkan  pada daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motorik.
Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000
LO saraf Perifer-Juli.indd   42-43 432013   12:09:54 AM
44
Saraf Perifer
45
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis, meliputi: 1.  Sinar-X Tulang Belakang Servikal dan lainnya
Fraktur tulang belakang servikal sering berhubungan dengan ce- dera  regang  proksimal  yang  berat  yang  tidak  dapat  direparasi,
pa ling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Frak tur tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula danatau di-
amati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang meng hantam ba hu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentu  kan
tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus
biasanya lebih prok- simal dibanding sisi fraktur yang tampak, sering pada tingkat akar.
Fraktur  humerus  tengah  terutama  berkaitan  dengan  cedera  sa raf radial.  Fraktur  kominuta  radius  dan  ulna  pada  tingkat  lengan  ba-
wah  tengah  juga  berkaitan  dengan  cedera  saraf  median  dan  ulnar, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen
peroneal  saraf  siatik  sering,  namun  tidak  selalu,  terkena  secara khusus  pada  dislokasi  atau  cedera  panggul.  Fraktur  femur  bawah
dan fraktur tibial dan fi buler bisa mengenai saraf peroneal dan atau  tibial.  Sekali  lagi,  cedera  saraf  mungkin  lebih  proksimal  dari
da erah  fraktur  yang  diperkirakan.  Fraktur  femur  tengah  bisa  ber- kait  an  de ngan  cedera  regang  siatik  lebih  ke  proksimal  pada  ting-
kat  bokong.  Radiograf  dada  bisa  menampakkan  elevasi  diafragma yang  ti dak  berfungsi,  yang  berarti  paralisis  saraf  frenik.  Ini  tanda
prognosis  yang  relatif  buruk  untuk  reparasi  akar  saraf  C5  setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada
tingkat leher Solomon dkk, 2003.
2. Mielografi Menjadi  bagian  penting  dalam  mengelola  pasien  dengan  cedera
regang  Pleksus  Brakhialis  berat.  Biasanya  tidak  diindikasikan  untuk cedera  pleksus  di  tingkat  infraklavikuler  atau  aksiler  kebanyakan
luka  tembak  pada  pleksus,  kecuali  ada  bukti  radiologis  kerusakan tulang  belakang  servikal  atau  trayeknya  supraklavikuler  medial.
Mielografi  modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar- akar  pada  ruang  subarakhnoid,  dan  membandingkan  sisi  terkena
dan  sisi  sehat  menentukan  daerah  disrupsi  akar.  Mielografi   tetap berguna  membantu  perencanaan  pada  cedera  pleksus  Edward,
2000. 3.  Tomografi  Terkomputer CT dan Pencitraan Resonansi Magnetik MRI
Pencitraan  tomografi   terkomputer  dengan  kontras  intratekal  di- man faatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas te-
tap tidak dij umpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup  semua  daerah  radik  pada  setiap  tingkat.  Akibatnya,
mielografi   tetap  merupakan  pemeriksaan  radiologis  yang  disukai. Pencitraan  resonansi  magnetik  mungkin  membantu  menampilkan
akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak  menggantikannya.  Cairan  Serebrospinal  CSS  di  dalam  me-
ningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi .
Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000
Gambar 5.1.  CT Scan servikal irisan sagital
Gambar 5.2.  MR Myelogram
LO saraf Perifer-Juli.indd   44-45 432013   12:09:54 AM
46
Saraf Perifer
47
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
Sedangkan pemeriksaan elektrofi siologik, meliputi: 1.
Elektromiografi Pemeriksaan  EMG  dasar  2-3  minggu  setelah  cedera  menunjukkan
perluasan  denervasi  dan  menegaskan  pola  atau  distribusi  cedera. Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari tanda-tan -
da reinervasi atau denervasi yang persisten. Pada regenerasi, akti- vitas insersional mulai pulih dan fi brilasi serta potensial de ner vasi
berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi mo  tor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjuk kan bahwa be-
berapa serabut yang mengalami regenerasi mencapai otot dan ter- jadi beberapa rekonstruksi hubungan akson-motor end plate. EMG
menjadi  penting  karena  dapat  membuktikan  regenerasi  be berapa minggu  atau  bulan  sebelum  fungsi  motor  volunter  tam pak.  Juga
melacak  adanya  sisa  unit  motor  yang  berarti  cedera  parsial  segera setelah cedera Edward, 2000.
EMG  terutama  membantu  menentukan  tingkat  cedera  cedera Pleksus
Brakhialis  hingga  bisa  menyeleksi  pasien  untuk  dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi otot paraspinal
mengarahkan pada cedera proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya  merupakan  temuan  negatif.  Kerusakan  proksimal  pada
tiga  akar  terbawah  dapat  berakibat  denervasi  paraspinal  ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih ke lateral dan
karenanya  dapat  diperbaiki.  Elektromiografer  memiliki  kesulitan membedakan tingkat spinal di dalam otot paraspinal karena sangat
tumpang tindih.
Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000 2.  Potensial Aksi Saraf Sensori SNAP
Pemeriksaan  SNAP membantu  menilai  tingkat  regangan  pada  ce-
dera  Pleksus  Brakhialis.  Cedera  tingkat  akar  yang  terbatas  didaerah preganglion  dan  tidak  meluas  ke  daerah  post  ganglion  berakibat
hilangnya  sensori  distal  lengkap  dan  tetap  mempertahankan  kon- duksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan se-
rabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Stimu- lasi  telunjuk  bahkan  jempol  yang  anestetik  dapat  menimbulkan
SNAP
pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit
untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena
tidak ada stimulasi noninvasif spesifi k atau daerah pencatatan un- tuk hantaran ini Edward, 2000.
3.   Somatosensory-Evoked Potential SSEP Pemeriksaan  SSEP  digunakan  menilai  tingkat  cedera  apakah  pre-
ganglionik  atau  post  ganglionik,  pada  cedera  Pleksus  Brakhialis.  Ia ber nilai  terbatas  pada  bulan-bulan  pertama  cedera.  Pemeriksaan
somatosensori  berguna  pada  saat  operasi  atas  cedera  brakhial  ka - rena  regangan  atau  kontusi.  Bila  cedera  postganglionik,  sti mu  -
lasi  akar  proksimal  dari  tingkat  cedera  membangkitkan  po tensial somatosensori  di  atas  tulang  belakang  servikal  SSP
dan  mem- bangkitkan  evoked  cotical  responECR
respons kortikal di atas kra-
Gambar 5.4.  Ilustrasi SSEP Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000. Gambar 5.3.  Ilustrasi EMG dan SNAP Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000.
Stimulus or voluntary eff ect
Stimulus SNAP from
Median nerve
Muscle potential
A Electromyography EMG B Sensory Nerve Action
Potential SNAP
SSP
ECR DRG
Stimulating electrode
C Somatosensory Evoked Potentials SSEP
LO saraf Perifer-Juli.indd   46-47 432013   12:09:55 AM
48
Saraf Perifer
49
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
nium kontralateral. Bila cedera preganglionik, stimulasi terha dap akar, bahkan  di  dalam  atau  dekat  foramen  intervertebral,  tidak  mem-
bangkitkan respons apa pun, maka reparasi jarang berhasil Edward, 2000.
4.  Potensial Aksi Saraf Intrabedah NAP