Segmen proksimal dan tubuh sel

32 Saraf Perifer 33 Patofisiologi Cedera Saraf Tepi

1. Segmen distal

Bagian distal dari segmen yang cedera, degenerasi Wallerian sa- ngat mirip dengan yang terjadi pada cedera tingkat kedua. Satu per- bedaan penting adalah dimana cedera intrafascikular mengganggu regenerasiaksonal dan oleh karena itu tubulus endoneurial tetap tidak mendapatkan inervasi dalam periode yang lama. Saat tidak men da- pat kan inervasi, tubulus endoneural mulai mengkerut dalam proses yang mencapai maksimum kira-kira 3 sampai 4 bulan setelah cedera. Lapisan endoneurial secara progresif menebal secara sekunder tar- hadap penumpukan kolagen sepanjang permukaan terluar dari mem- brane basal sel Schwann. Jika tubulus endoneurial tidak mendapatkan regenerasi akson, fi brosis progresif menyebabkan terjadinya obliterasi pada tubulus. Susunan proses-proses sel Schwann menunjukkan me- ngempisnya tubulus endoneurial yang terlihat secara mikroskopis pada progresi degenerasi Wallerian pada cedera yang lebih bermakna. Kolum- kolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan menjadi pedoman penting untuk tunas akson selama inervasi kembali. Band menyediakan ilustrasi awal peranan kedua dari sel-sel Schwann setelah cedera saraf, yaitu yang berperan neurosuportif untuk pertumbuhan kembali akson Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Pada cedera tingkat keempat dan kelima adalah reaksi lokal terhadap trauma berat. Tubulus endoneurial, dan juga fascikuli meng- alami disrupsi. Epineurium juga mengalami cedera dan fi broblas epi- neurial reaktif juga terdapat pada ujung potongan saraf dalam 24 jam. Ini diikuti oleh proliferasi sel-sel Schwann dan fi broblas perineurial dan epineurial. Puncak proliferasi selular dalam 1 minggu dan berlanjut se- lama periode yang panjang. Seperti cedera ringan, permeabilitas kapiler mengalami peningkatan, kemungkinan sebagai akibat dari degranulasi sel mast, dan edema serta infi ltrasi makrofag yang mengikuti. Besarnya respons ini berhubungan dengan beratnya trauma saraf dan jaringan sekelilingnya Burnet dan Zager, 2004. Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf men- jadi masa yang membengkak dari sel-sel Schwann, kapiler-kapiler, fi - broblas, makrofag, dan serabut kolagen yang tidak terorganisir. Re- generasi akson mencapai ujung proksimal yang membengkak dan membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa akson membentuk lingkaran dalan jaringan parut atau membelok ke belakang sepanjang segmen proksimal atau keluar menuju jaringan sekitar. Beberapa akson yang mengalami regenerasi dapat mencapai ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya cedera asli, perluasan pembentukan jaringan parut, dan perlambatan sebelum akson mencapai tempat cedera. Seperti pada cedera tingkat ketiga, tubulus endoneural tidak ditempati selama periode yang panjang yang akan berlanjut menjadi berkerut dan fi brosis secara progresif, dan akan secara komplet mengalami obliterasi oleh adanya serabut-serabut kolagen Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004.

2. Segmen proksimal dan tubuh sel

Perubahan tubuh sel neuronal dan dalam serabut-serabut saraf proksimal terhadap tempat cedera tergantung pada beratnya cedera dan dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel. Sel-sel Schwann mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area cedera, dan akson- akson serta myelin diameternya mengecil. Degradasi proksimal ini da pat minimal terentang dari tempat cedera sampai kembali ke nodus Ranvier berikutnya atau dapat meluas ke semua jalur dan kembali ke tubuh sel. Jika tubuh sel secara aktual mengalami degenerasi, di- mana dapat ter jadi pada trauma yang beat, segmen proksimal akan mengalami dege ne rasi Wallerian dan akan difagosit. Setelah terjadi ce- dera bermakna, seg men proksimal akson diameternya akan mengecil, khususnya jika koneksi fungsional terhadap organ yang sesuai tidak ditemukan. Kemampuan konduksi saraf akan mengalami penurun- an. Seperti proses regenerasi, diameter akson membesar, namun tidak akan mencapai seperti saat belum terjadi cedera. Saling ketergantungan defi nitif terjadi antara tubuh sel dan akson pada istilah penyembuhan: tubuh sel tidak akan sembuh secara penuh tanpa terjadi koneksi fungsi tepi, dan diameter akhir akson tergantung pada luasnya penyembuhan tubuh sel Burnet dan Zager, 2004. Tubuh sel saraf sendiri bereaksi terhadap cedera aksonal. 6 jam setelah cedera, nukleus bermigrasi ke tepi dari sel dan granula-granula Nissle, endoplasmic reticulum kasar, pecah dan berpencar. Proses ini disebut sebagai kromatolisis. Secara simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial granul-granul Nissl, endoplasmic reticulum kasar, pecah dan berpencar. Proses ini disebut sebagai kromatolisis. Secara simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial perineuronal, sebagian besar kemungkinan mendapatkan tanda pada beberapa keadaan oleh proses kromatolisis. Proses sel glial meluas ke neuron yang terkena dan mengalami interupsi koneksi sinaptik, yang memungkinkan ter- jadinya isolasi saraf pada fase penyembuhan. Kemampun hidup sel ti dak dapat dipastikan setelah cedera saraf. Insiden apoptosis yang berhubungan dengan kematian sel pada radiks dorsalis saraf ganglion LO saraf Perifer-Juli.indd 32-33 432013 12:09:52 AM 34 Saraf Perifer 35 Patofisiologi Cedera Saraf Tepi pada aksonotmesis sebesar 20-50. Kematian terjadi lebih sering jika aksonotmesis terjadi secara prksimal dan pada cedera yang meliputi saraf cranial dan sensori. Saraf sentral memiliki kapasitas untuk ber- generasi kembali dalam lingkungan tepi, dan saraf tepi kehilangan ke mampuannya saat berada dalam lingkungan sentral Burnet dan Zager, 2004. Regenerasi Saraf Pada kasus yang berat regenerasi saraf dimulai hanya setelah de- generasi Wallerian, namun pada cedera ringan proses regenerasi dan perbaikan dimulai secara dini. Untuk cedera tingkat pertama dan ke- dua neurapraksia dan aksonotmesis, biasanya dilakukan pemulihan fungsi. Ini terjadi secara awal melalui pembalikan blokade konduksi atau se cara lambat melalui regenerasi aksonal. Penyembuhan fungsi- onal ter jadi secara komplet pada tipe cedera tingkat lebih ringan. Per- ubah an morfologikal dan fi siologikal secara penuh reversibel. Pada ka sus ce dera yang lebih berat, dimana tubulus endoneurial disrupsi, re gene rasi akson tidak dalam waktu lama terjadi, dapat membelok menuju ja ringan sekitar atau menuju tubulus andoneurial yang kurang tepat, jadi ga gal untuk menginervasi kembali organ akhirnya yang sesuai Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Penyembuhan fungsional setelah cedera saraf meliputi beberapa step, tiap step dapat melambat atau mengganggu proses regeneratif. Pada kasus yang termasuk salah satu tingkat cedera, ini digunakan secara awal untuk mengkategorikan step-step regeneratif ini secara anatomik pada tingkat secara kasar. Rangkaian regenerasi dapat dibagi menjadi zona-zona anatomik: 1. Tubuh sel saraf 2. Segmen antara tubuh sel dan tempat cedera 3. Tempat cedera sendiri 4. Segmen distal antara tempat cedera dan organ akhir 5. Akhir organ sendiri. Regenerasi yang terlambat atau regenerasi yang tidak berhasil kemungkinan sebagai akibat perubahan patologikal yang mengganggu proses perbaikan pada satu atau lebih zona ini Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Fase regenerasi dan perbaikan setelah cedera saraf dapat ber- akhir sampai beberapa bulan. Tanda yang paling awal dari fase ini adalah perubahan yang terlihat pada tubuh sel yang merupakan tan- da pembalikan kromatolisis. Nukleus kembali ke pusat sel dan nuk- leoprotein mengalami organisir kembali menjadi granul-granul Nissl yang kompak. Setelah cedera, beberapa fungsi metabolik subselular mengalami perubahan selama kromatolisis. Demikian juga sintesis Ribo nucleic acid RNA mengalami peningkatan dan sintesis neurotransmit- ter menurun. Kromatolisis menunjukkan pergeseran pada fungsi sel dari transmisi sinaptik menuju perbaikan selular. Metabolisme tubuh telah deprogram sehingga sel mampu menghasilkan sejumlah besar protein dan lipid yang diperlukan untuk pertumbuhan kembali akso- nal selama fase regenerasi. Aksoplasma digunakan untuk regenerasi ujung akson, yang diperoleh dari segmen proksimal akson dan tubuh sel. Komponen cepat dan lambat dari aksoplasma mengangkut suplai material dari tubuh sel menuju tempat regenerasi aksonal. Tingkat pe ningkatan sintesis protein dan lipid pada tubuh sel memengaruhi per cepatan dan diameter akhir dari akson yang beregenerasi. Kapasi- tas saraf te pi manusia untuk mengawali respons regeneratif menetap se lama se kurang-kurangnya 12 bulan setelah cedera, dan respons kuat dapat di timbulkan bahkan setelah cedera berulang Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Panjang segmen antara ujung akson yang beregenerasi dan tem- pat cedera tergantung pada beratnya cedera dan akibat degradasi re- trograd. Tanda pertama dari pertumbuhan kembali akson pada seg- men ini kemungkinan terlihat dalam 24 jam setelah cedera, atau dapat mengalami perlambatan selama beberapa minggu pada cedera berat. Tingkat pertumbuhan kembali aksonal ditentukan oleh perubahan da- lam tubuh sel, aktivitas dari pertumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson, dan resistensi dari jaringan yang cedera antara tubuh sel dan organ akhir. Kemungkinan multiplikasi tunas akson dalam tiap lapisan endoneurial, meskipun pada cedera yang lebih ringan, yang tidak meliputi destruksi lapisan itu sendiri. Waktu proses degeratif dan regeneratif harus tumpang tindih antara beberapa segmen. Sebagai con toh, pada cedera yang lebih ringan dimana tidak ada perlambatan yang bermakna pada regenerasi di daerah tempat cedera, pertumbuhan kerucut pada ujung akson harus bertemu dengan debris degenerasi Wallerian pada segmen distal. Debris ini tidak menggang regerasi, kemungkinan karena pertumbuhan kerucut mensekresi protease yang dapat membantu material yang terlarut memblok jalurnya Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Pada cedera sangat proksimal dimana dipertimbangkan terjadi perlambatan sebelum ujung akson mencapai segmen distal, tubulus LO saraf Perifer-Juli.indd 34-35 432013 12:09:52 AM 36 Saraf Perifer 37 Patofisiologi Cedera Saraf Tepi endoneurial yang kosong di bagian distal diameternya mengecil. Faktor ini kemungkinan bertanggung jawab sebagai bagian dari perlambatan pengakhiran pertumbuhan kembali akson. Intervensi operasi yang menghentikan masuknya nutrisi arteri tidak terlihat menunjukkan gang guan pada regenerasi aksonal, hal ini menunjukkan bahwa ar- teri longitudinal dalam saraf itu sendiri tidak mengalami interupsi. Pada cedera yang lebih berat yang mengganggu tubulus endoneurial, fascikel saraf, atau tulang belakang, menjadi rintangan yang berat untuk regenerasi akson mencapai tempat cedera. Kemungkinan di si- ni terjadi gap antara ujung saraf yang yang terganggu, mengizinkan tu nas akson yang mengalami regenerasi sampai berjalan menuju ja- ringan sekitar. Pembentukan jaringan parut pada tempat cedera yang berat, perluasannya tergantung pada multipel faktor meliputi waktu terjadinya regenerasi tunas setelah cedera Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Sebelumnya akson yang tak bermyelin dapat mengalami re ge- nerasi menuju lapisan endoneurial yang mengandung akson yang ber myelin dan vice versa. Resistensi bahwa akson ditemukan pada tempat cedera menyebabkan pembentukan tunas-tunas akson kecil. Anak-anak akson ini tidak semua membuat jalurnya menuju segmen distal. Tidak ada neurotropisme spesifi k yang diketahui dapat memacu pertumbuhan akson yang berregenerasi menuju tubulus endoneurial, namun beberapa bentuk pengaruh neurotropik masih diperlihatkan pada paradigma eksperimental. Pembentukan jaringan parut pada ja- ringan mengganggu regenerasi dan tunas akson yang misindirek me- nuju tubulus endoneurial yang tidak berhubungan secara fungsional. Sisa jaringan parut juga mengganggu proses maturasi akson. Akson yang berhasil memasuki tubulus endoneurial pada segmen distal me- nuju tempat cedera memberikan pencapaian yang bagus pada or gan akhir, memberikan kondisi pertumbuhan. Tingkat regenerasi distal me lambat jika tubulus endoneurial terganggu karena tunas akson per- tama kali menemukan jalurnya menuju tubulus sebelum tumbuh. Per- tumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson mengandung fi lopodia multipel yang melekat ke lamina basalis sel Schwann dan menggunakannya sebagai panduan. Panduan kontak dan kemotaksis penting pada pertumbuhan kerucut. Karena beberapa tunas akson kecil dapat masuk pada tubulus endoneurial yang sama, serabut saraf yang berregenerasi dapat mengandung lebih dari satu akson daripada saraf asli Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Jika organ akhir yang tidak berhubungan secara funsional di capai, perkembangan selanjutnya dari akson dan myelinisasi kembali ti dak terjadi. Perkembangan dan maturasi akson gagal jika organ akhir, ka- rena tidak mendapat inervasi, mengalami perubahan yang tidak meng- izinkan terjadinya koneksi secara fungsional. Jika masuknya akson yang berregenerasi menuju segmen distal terlambat lebih dari kira-kira 4 bulan, akson akan memasuki tubulus endonerial dengan dia meter kecil, umumnya 3µm atau kurang. Pengerutan ini dapat membuat lebih sulit untuk tunas akson untuk menempati dan memasuki tubulus neu- ronal, namun ini tidak menunjukkan gangguan pada pertumbuhan kembali akson segera setelah tunas-tunas memasuki tubulus. Ini di- sebabkan oleh endoneurium yang elastis. Kembalinya fungsi tidaklah membutuhkan penyembuhan yang absolute dari arsitektur saraf. Efek dari tidak mendapatkan inervasi dalam jangka panjang, dimana akan mengganggu penyembuhan fungsional, pada tempat cedera men- cegah regenerasi akson dari masuknya pada tubulus endoneurial yang sesuai atau pada organ akhir. Akhir organ mengalami perubahan ka- rakteristik histologikal dengan degenerasi saraf dan inervasi kembali. Atrofi serabut-serabut otot sangat cepat dan nukleus sel cenderung pada daerah sentral daripada posisi normalnya di tepi Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Proliferasi hebat fi broblas juga menjadi karakteristik gambaran histologikal dari saraf yang tidak mendapatkan inervasi. Kolagen baru menumpuk pada endomysium dan perimysium. Umumnya, serabut otot tidak diganti oleh jaringan ikat namun serabut-serabut mengalami atrofi yang dipisahkan oleh jaringan ikat tebal, sehingga semua pola internal dari serabut-serabut otot masih ada. Terkadang pengeluaran serabut otot terjadi. Ini merupkn fenomena yang lambat, umumnya terjadi pada 6 dan 12 bulan setelah tidak mendapatkan inervasi. Regenerasi tunas- tunas akson mengikuti sel-sel Schwann asli untuk tidak menginervasi motor endplate untuk pembentukan kembali neuromuscular junction . Per- tunasan kolateral juga terjadi, menghasilkan kelompok serabut saraf yang mendapat inervasi kembali. Ini merupakan karkteristik penemu- an otot yang mengalami inervasi kembali, bertolak belakang dengan pola acak yang ditemukan pada otot normal. Penyembuhan motorik yang terjadi tidak komplet setelah cedera sedang sampai berat. Ini di- sebabkan oleh beberapa faktor dalam otot itu sendiri dan dalam saraf yang berregenerasi. Fibrosis intramuskular dapat membatasi keguna an kontrksi yang dihasilkan oleh rangsangan saraf. Terapi fi sik yang te pat dapat membantu menjaga otot yang tidak mendapatkan inervasi da- lam kondisi optimal untuk menerima akhiran akson yang beregenerasi. Penyembuhan motorik fungsional secara nyata terganggu jika beberapa akson tidak dapat membentuk koneksi fungsional kembali dengan LO saraf Perifer-Juli.indd 36-37 432013 12:09:52 AM 38 Saraf Perifer 39 Patofisiologi Cedera Saraf Tepi otot. Meskipun dengan jumlah yang cukup, kesalahan inervasi kembali yang menyilang dapat mnghasilkan fungsi suboptimal: otot “cepat” yang asli kemungkinan mendapatkan inervasi kembali dari akson yang sebelumnya menginervasi otot “lambat”, dan akibatnya kemungkinan bentuk campuran dengan kontraksi yang tidak efi sien Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004. Pada kasus-kasus dimana penyembuhan motorik bermakna ter- jadi, hasil fungsional kemungkinan diganggu oleh defi cit sensori yang mengikuti, khususnya proprioseptif. Reseptor sensori yang tidak men- dapatkan inervasi tetap hidup dan dapat membuat penyembuhan fungsional setelah satu tahun dan kemungkinan setelah beberapa ta- hun. Pada cedera tingkat pertama dan kedua dan kedua, kembalinya sen sasi terjadi secara komplet, meskipun setelah 6 sampai 12 bulan tidak mendapatkan inervasi. Ini disebabkan oleh inervasi yang baik oleh akson aslinya terhadap reseptor sensori Burnet dan Zager, 2004. Setelah cedera berat dan perbaikan saraf, penyembuhan sensori tidak terjadi secara komplet. Hal ini dihubungkan dengan kombinasi faktor, meliputi kegagalan akson sensori untuk mencapai kulit, pe- nyilangan inervasi kembali akson biasanya dari satu tipe reseptor membuat hubungan dengan tipe reseptor lain, dan kemungkinan de- generasi reseptor sensori. Inervasi kembali sensori menunjukkan se- bagai modal spesifi k, namun ini lebih jarang daripada inervasi kembali motorik, dimana ini berarti penyilangan inervasi kembali sensori lebih sering terjadi. Terjadi kematian reseptor-reseptor sensori berkapsul yang tidak mendapatkan inervasi, seperti korpuskel Pacini, korpuskel Meissnerr, dimana secara cepat mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuhan cahaya dan vibrasi, dan juga sel-sel Merkel, dimana secara lambat mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuh- an konstan dan tekanan. Dipercaya bahwa pengkhususan reseptor- reseptor tetap ada pada keadaan atrofi selama periode yang panjang, menunggu kedatangan akhiran saraf yang sesuai. Sensasi proteksi, dimana penyembuhan beberapa tahun setelah tidak mendapatkan inervasi, dimediai oleh reseptor-reseptor sensori. Tingkat regenerasi aksonal cenderung konstan. Laporan tingkat regenerasi bervariasi dari 0,5 sampai 9 mm per hari. Keragaman ini disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Tingkat pertumbuhan akson menurun dengan peningkatan jerak dari tubuh sel menuju ujung akson. 2. Pengukuran regenerasi akson dibuat dalam jenis yang ber - beda setelah metode-metode yang berbeda dari cedera saraf. 3. Teknik-teknik untuk pengukuran regenerasi berbede-beda se- bagai contoh, tanda Tinel dibandingkan dengan pe nyem buhan fungsional. Tingkat regenerasi dapat tergantung pada beratnya cedera saraf, durasi tidak mendapatkan inervasi, dan kondisi dari jaringan tepi. Re- generasi setelah perbaikan operasi saraf lebih lambat daripada re ge- nerasi yang tidak terkomplikasi, sebagian besar kemungkinan se ba gai akibat dari beratnya cedera yang terjadi. Penuaan juga me nyebab- kan perlambatan tingkat pertumbuhan kembali aksonal Burnet dan Zager, 2004. Regenerasi aksonal tidak sama dengan pengembalian fungsi. Pro- ses maturasi mendahului pengembalian fungsi. Perubahan morfologi dari maturasi yang mengawali sepanjang akson yang berregenerasi terjadi secara lambat daripada pertumbuhan akson dan berlanjut selama periode proteksi. Myelinisasi kembali berkembang pada keadaan yang sama dengn perkembangan serabut-serabut saraf, meliputi pelurusan sel-sel Schwann dan pelingkaran akson untuk membentuk lapisan multilamela. Proses ini dimulai dalam 2 minggu dari onset regenerasi aksonal dan menyebabkan akson yang bermyelin sangat mirip dengan aslinya kecuali terjadinya pemendekan antarnodus. Diameter akson meningkat secara progresif sampai dimensi normal dicapai, namun pelebarannya tergantung pada terjadinya koneksi fungsional antara ujung akson dan organ akhir yang sesuai Burnet dan Zager, 2004. Faktor Faktor Neurotropik Tedapat kaskade cell-signaling molecule dan faktor tropik yang mirip dengan respons peradangan. Faktor-faktor neurotropik seperti Neural Growth Factor NGF, brain-derived neurotrophic factor , faktor siliari neu- rotropik, dan lainnya yang penting dalam proses perbaikan saraf. Fak- tor pertumbuhan saraf merupakan molekul neurotropik pertama yang teridentifi kasi dan tetap sebagai karakteristik terbaik. Ini meliputi ke- mampuan hidup dan pemeliharaan sel saraf dalam keadaan normal dan menjadi komponen penting dari proses perbaikan saraf. Faktor- faktor seperti NGF secara kuat dilepaskan dari target organ saraf tepi dan diangkut menuju tubuh sel saraf melalui pengankutan aksonal retrograd. Ini kemungkinan bahwa penurunan NGF dan faktor topik lainnya mencapai tubuh sel disebabkan oleh disrupsi aksonal yang terjadi secara dini setelah cedera saraf memerlukan signal molecular LO saraf Perifer-Juli.indd 38-39 432013 12:09:52 AM 40 Saraf Perifer 41 untuk memacu proses perbaikan. Segera setelah cedera, jumlah NGF dan NGF messenger RNA sangat meningkat, sejalan dengan perannya sebagai faktor neurotropik. Meskipun invasi makrofag merangsang produksi NGF malalui pelepasan interleukin-1β, dimana mengesankan bahwa makrofag berperan pada pagositosis dan regenerasi. Sel-sel Schwann menghasilkan faktor-faktor neurotropik meliputi NGF pada tempat cedera Burnet dan Zager, 2004. Faktor-faktor neurotropik, seperti molekul signaling lainnya, ber- ikatan dengan reseptor-reseptor inase tirosin spesifi k dan mentransmi- si signal yang mengatur aktivitas gen. konsentrasi reseptor faktor per- tumbuhan saraf pada sel-sel Schwann membentuk band of Bungner yang meningkat setelah cedera. NGF yang berikatan dengan reseptor- resep tor ini pada sel-sel Schwann terjadi untuk pertumbuhan kembali tunas akson. NGF ini diambil oleh akson kemudian diangkut secara re tro grad dari kerucut yang tumbuh menuju tubuh sel, menyediakan rangsang an berkelanjutan untuk pertumbuhan dan juga panduan untuk akson yang tumbuh Burnet dan Zager, 2004. ��� Gambar 4.6. Skema faktor neurotropik Sumber dari Burnett dan Zager, 2004. Cedera Peningkatan NGF dan NGF messenger RNA Sel Schwann Reseptor NGF band of bungner Badan sel saraf Rangsangan pertumbuhan Bab 5 DIAGNOSIS CEDERA SARAF TEPI AA Raka Sudewi P enyembuhan sering terhambat oleh hilangnya kemampuan fung- sional secara menetap dan oleh nyeri neurotropik. Nyeri neuro tro- pik biasanya terjadi hanya setelah cedera dan menetap selama bebe- rapa minggu atau bahkan tahun, dan sangat tidak menyenangkan dan resis ten terhadap sebagian besar strategi terapiutik, sehingga menu- run kan kualitas hidup. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik kurang dimengerti namun kemungkinan oleh mekanisme sentral dan tepi. Gejala-gejala pertama dapat disebabkan oleh reaksi peradangan lokal yang dapat mengiritasi saraf. Transeksi saraf memacu kaskade beberapa selular dan humoral. Makrofag dan sel-sel mast menginvasi tempat cedera dan menghasilkan sitokin dan faktor-faktor yang memacu pembentukan jaringan ikat parut. Beberapa dari sitokin ini dan faktor lainnya seperti histamine atau serotonin bertanggung jawab terhadap produksi nyeri. Bagaimanapun reaksi peradangan ha- nya berakhir dalam beberapa minggu, namun nyeri neurotropik ber- sifat kronis, kemungkinan disebabkan oleh aktivitas ektopik serabut- serabut C yang tersensititasi, permintaan ektra nosiseptor, dan aktivitas abnormal spontan pada tunas-tunas saraf yang beregenerasi. Baru-baru ini difokuskan perhatian tarhadap neuroma dan mikroneuroma yang berkembang pada tempat cedera yang kemungkinan sebagai penye- bab nyeri neuropatik Robinson, 2005. Nyeri neuroma merupakan gejala sisa yang paling sering pada cedera saraf, dimana biasanya tidak mempan terhadap pengobatan farmakologikal dan membutuhkan indikasi operasi. Neuroma dapat terjadi setelah biopsi diagnostik saraf oleh karena itu neuroma harus dipertimbangkan sebagai masalah klinis serius karena tidak dapat LO saraf Perifer-Juli.indd 40-41 432013 12:09:54 AM 42 Saraf Perifer 43 Diagnosis Cedera Saraf Tepi sembuh meski dengan operasi mikro. Neuroma merupakan penebalan berbentuk pentolan yang terbentuk oleh tidak tepatnya dan tidak rata- nya serabut-serabut saraf yang beregenerasi. Diagnosis cedera saraf tepi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fi sik serta pemeriksa- an penunjang Kowalik dkk, 2006 Anamnesis Pada anamnesis dapat diketahui dengan pasti lokasi dan saraf yang terkena cedera, bisa didapatkan macam dan jenis kelainan patologik, sedangkan dengan pemeriksaan neurologik akan menentukan lokasi kerusakanya. Riwayat trauma baik yang lama ataupun baru harus di- telusuri dengan teliti karena penting sekali mengetahui dengan pasti penyebab kerusakan. Dari pemeriksaan neurologik lengkap, ganggu an motorik, sensorik, dan refl eks harus dianalisis dan dikaitkan sehing- ga dapat ditentukan berat dan luasnya kerusakan. Gejala klinis dari cedera pada saraf tepi tergantung dari saraf yang terkena. Cedera pada saraf motorik menyebabkan hilangnya fungsi otot, sedangkan cedera pada saraf sensoris menyebabkan hilangnya sensasi dari distribusi sensori saraf yang terkena dan atau neuromatous atau nyeri kausalgia Sjamsuhidajat dan Dong, 2004. Pemeriksaan fisik Permeriksaan fi sik untuk cedera saraf tepi meliputi pemeriksaan pada semua otot yang dipersarafi oleh saraf tepi. 1. Pemeriksaan motor Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera sa- raf spesifi k adalah tahap terpenting dalam mengelola semua ce- dera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian be sar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus me nentukan apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau ti- dak. Pemeriksaan motor cukup sebagai bukti regenerasi bila pe- mu lihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Sti mulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial anterior eversi dan dorsofl eksi kaki. Ini berlangsung beberapa minggu setelah per baikan elektrofi siologis yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf pe roneal: 1 tepat di belakang kepala fi bula, atau 2 tepat di dalam hamstring lateral, di mana batang saraf mudah dipalpasi. 2. Tanda Tinel Bila parestesi dihasilkan oleh perkusi saraf distal dari cedera, ini menunjukkan beberapa akson sensori utuh dari titik perkusi me- lalui cedera ke egati saraf pusat. Bila respons selanjutnya ber ge- rak ke distal dengan berjalannya waktu, terutama bila berkaitan dengan berkurangnya parestesi sebagai respons atau ketukan pa- da daerah cedera, membuktikan regenerasi serabut saraf terus ber- langsung melewati egativ distal terjadi tanda Tinel positif. Tan- da Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut ha lus dan tidak menunjukkan apa pun tentang kuantitas dan kuali tas yang sebenarnya dari serabut yang baru. Di sisi lain, interup si saraf to- tal ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori distal tan da Tinel egative setelah waktu yang memadai telah berlalu un tuk terjadinya regenerasi serabut halus 4-6 minggu. Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Ti nel positif. 3. Berkeringat Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pe- mulihan motori atau sensoris dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan ber keringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motorik atau sen soris. 4. Pemulihan sensoris Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah otonom di mana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial ti- dak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sen soris pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan pal mar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial ada- lah tumit dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensoris, bahkan pada daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motorik. Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000 LO saraf Perifer-Juli.indd 42-43 432013 12:09:54 AM 44 Saraf Perifer 45 Diagnosis Cedera Saraf Tepi Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologis, meliputi: 1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dan lainnya Fraktur tulang belakang servikal sering berhubungan dengan ce- dera regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, pa ling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Frak tur tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula danatau di- amati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang meng hantam ba hu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentu kan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih prok- simal dibanding sisi fraktur yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktur humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera sa raf radial. Fraktur kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan ba- wah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan ulnar, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktur femur bawah dan fraktur tibial dan fi buler bisa mengenai saraf peroneal dan atau tibial. Sekali lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari da erah fraktur yang diperkirakan. Fraktur femur tengah bisa ber- kait an de ngan cedera regang siatik lebih ke proksimal pada ting- kat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma yang ti dak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher Solomon dkk, 2003. 2. Mielografi Menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang Pleksus Brakhialis berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk cedera pleksus di tingkat infraklavikuler atau aksiler kebanyakan luka tembak pada pleksus, kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Mielografi modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar- akar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus Edward, 2000. 3. Tomografi Terkomputer CT dan Pencitraan Resonansi Magnetik MRI Pencitraan tomografi terkomputer dengan kontras intratekal di- man faatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas te- tap tidak dij umpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah radik pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai. Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. Cairan Serebrospinal CSS di dalam me- ningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi . Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000 Gambar 5.1. CT Scan servikal irisan sagital Gambar 5.2. MR Myelogram LO saraf Perifer-Juli.indd 44-45 432013 12:09:54 AM 46 Saraf Perifer 47 Diagnosis Cedera Saraf Tepi Sedangkan pemeriksaan elektrofi siologik, meliputi: 1. Elektromiografi Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera menunjukkan perluasan denervasi dan menegaskan pola atau distribusi cedera. Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari tanda-tan - da reinervasi atau denervasi yang persisten. Pada regenerasi, akti- vitas insersional mulai pulih dan fi brilasi serta potensial de ner vasi berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi mo tor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjuk kan bahwa be- berapa serabut yang mengalami regenerasi mencapai otot dan ter- jadi beberapa rekonstruksi hubungan akson-motor end plate. EMG menjadi penting karena dapat membuktikan regenerasi be berapa minggu atau bulan sebelum fungsi motor volunter tam pak. Juga melacak adanya sisa unit motor yang berarti cedera parsial segera setelah cedera Edward, 2000. EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera cedera Pleksus Brakhialis hingga bisa menyeleksi pasien untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi otot paraspinal mengarahkan pada cedera proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya merupakan temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga akar terbawah dapat berakibat denervasi paraspinal ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih ke lateral dan karenanya dapat diperbaiki. Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat spinal di dalam otot paraspinal karena sangat tumpang tindih. Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000 2. Potensial Aksi Saraf Sensori SNAP Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada ce- dera Pleksus Brakhialis. Cedera tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas ke daerah post ganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan kon- duksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan se- rabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Stimu- lasi telunjuk bahkan jempol yang anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifi k atau daerah pencatatan un- tuk hantaran ini Edward, 2000. 3. Somatosensory-Evoked Potential SSEP Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera apakah pre- ganglionik atau post ganglionik, pada cedera Pleksus Brakhialis. Ia ber nilai terbatas pada bulan-bulan pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial ka - rena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, sti mu - lasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan po tensial somatosensori di atas tulang belakang servikal SSP dan mem- bangkitkan evoked cotical responECR respons kortikal di atas kra- Gambar 5.4. Ilustrasi SSEP Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000. Gambar 5.3. Ilustrasi EMG dan SNAP Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000. Stimulus or voluntary eff ect Stimulus SNAP from Median nerve Muscle potential A Electromyography EMG B Sensory Nerve Action Potential SNAP SSP ECR DRG Stimulating electrode C Somatosensory Evoked Potentials SSEP LO saraf Perifer-Juli.indd 46-47 432013 12:09:55 AM 48 Saraf Perifer 49 Diagnosis Cedera Saraf Tepi nium kontralateral. Bila cedera preganglionik, stimulasi terha dap akar, bahkan di dalam atau dekat foramen intervertebral, tidak mem- bangkitkan respons apa pun, maka reparasi jarang berhasil Edward, 2000.

4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah NAP