1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang
dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja
berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan
generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk
meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma- norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat. Seorang pakar antropologi Eropa, Gough 1959 melihat perkawinan, di
sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat- istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas
wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial. Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak,
yaitu seorang laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk
menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau
kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan
Universitas Sumatera Utara
2
dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak Goodenough, 1970:12-13.
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan
monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas
yaitu perkawinan poliandri satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami. Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama
menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki poliandri fraternal. Poliandri sering dihubungkan dengan
ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya
mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang.
Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada
alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya. Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.
Agama Kristen Protestan dan Katholik secara umum hanya membenarkan seorang laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama
Kristen misalnya Mormon di Amerika Serikat membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin
dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil
kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan
Universitas Sumatera Utara
3
dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk
melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara
monogami. Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara
siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki
anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya. Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk
melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu
biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini,
agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia.
Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Minangkabau.
Minangkabau merupakan salah satu suku etnik yang wilayah budayanya yang lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu
bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.
Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan
kedua, menurut agama syarak. Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka
Universitas Sumatera Utara
4
akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut
sistem matrilineal garis keturunan dari pihak ibu.
1
Partisipan baralek melibatkan ninik mamak paman, sanak saudara, termasuk pemimpin nagari wilayah adat Minangkabau A.A. Navis, 1986:197-198. Dalam
mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro pengantin
perempuan akan kedatangan marapulai pengantin laki-laki dan keluarganya. Selanjutnya, perkawinan baru
dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan
upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan.
2
Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa
kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa
1
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya
berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater bahasa Latin yang berarti ibu, dan linea bahasa Latin yang berarti garis. Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari
pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein bahasa Yunani yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan
ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku
Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan,
Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini, dan lain-lain. Dalam kajian
antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing- Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya,
adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya sumber: id.wikipedia.orgWikiMatrilineal. Selain itu ada pula adat
yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.
2
Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
5
bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini
penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung
halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota tujuan merantau
3
Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada
penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang
ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang, dan gambir, yang disajikan di dalam carano
masyarakat Minangkabau di Indonesia.
4
Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus,
karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga
diberikan kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi
dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima,
sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi.
3
Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta
benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan
ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: a darek darat; b pasisie pesisir, dan c
rantau.
4
Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya terdapat ukiran itiak pulang patang itik pulang petang, menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang,
dan gambir yang digunakan dalam berbagai upacara adat.
Universitas Sumatera Utara
6
campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari
diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya marapulai dan para tamu.
Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,
5
Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek.
Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera
masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari
Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan ada beberapa catatan
penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu mengenakan baju kuruang baju kurung, selayaknya busana adat Minangkabau,
sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk hiasan kepala perempuan
yang berbentuk runcing dan bercabang, magek hiasan kepala dari kain sejenis sarung yang dibentuk seperti bunga, ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu
mengenakan guntiang Cino baju longgar, sarawa galembong celana longgar, dan deta ikat kepala. Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna
merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan
variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya bersifat cekatan dan tegas.
5
Pengamatan langsung ini penulis lakukan pada tanggal 5 Februari 2012, di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
7
tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju,
langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan penyilangan kedua kaki langkah simpie. Sedangkan gerakan tangan dilakukan
dengan gerakan-gerakan “kasar”
yang identik dengan kekhasan masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan,
gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih.
Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam
gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik
pengiringnya. Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang
berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya. Untuk mengiringi tari
Galombang, masyarakat Minangkabau menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.
Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa gendang satu
sisi berbentuk mangkuk dan gandang tambua gendang berbentuk barel dua sisi. Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan litany. Struktur musik kedua adalah
musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk
Universitas Sumatera Utara
8
tarian, talempong pacik dipegang tangan pemainnya sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan
improvisasi. Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat
musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.
Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya
upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan. Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari
Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian
tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga image antar anggota masyarakat mereka.
Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di
antaranya di Medan Denai dan Sukaramai Flora Hutagalung, 2009:5. Walaupun jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak
di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran
seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar
Universitas Sumatera Utara
9
Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari Minangkabau.
Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam
skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk
mengadakan pertunjukan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari
Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua
aspek, yaitu tari dan musik. Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini.
Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan
pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang
dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara
adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?
Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan
pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.
Universitas Sumatera Utara
10
Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut.
Ethnochoreology also dance ethnology, dance anthropology is the study of dance through the application of a number of disciplines such as
anthropology, musicology ethnomusicology, ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk
dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to
apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of
dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the
social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not
just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of
culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making
sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic
group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals ethnic dances are designed as hymns
of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war Blacking, 1984.
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari adalah studi tari melalui penerapan
sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi etnomusikologi, etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi
tentang tarian rakyat sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik. Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif
baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian
yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu
masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya
Universitas Sumatera Utara
11
representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya,
tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses
pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa
keberuntungan dalam damai atau perang. Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan
disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological
and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into
account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound
as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At
approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of
intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed
not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and
cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl 1956:26-39 that it is possible to characterize German and American
schools of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is
one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all
concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound Merriam 1964:3-4.
6
6
Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia,
dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku
Universitas Sumatera Utara
12
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu
dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua
disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-
bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri.
Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari
keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjan dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk
mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori- teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks
etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik
sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik aliran-aliran etnomusikologi di Jerman dan Amerika,
yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau
yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
Universitas Sumatera Utara
13
penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal
yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat
variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks
kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan
dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara USU Medan, dan
Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia STSI Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku
yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.
Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemuakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai
Elizabeth Hesler tahun 1976.
7
7
Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi Barat seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa
dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: a “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-
Teoretis,” b “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” c “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.”
Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di
dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog Barat. Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi
terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis
Universitas Sumatera Utara
14
Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban perkotaan dan
heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.
Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan,
dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”
1.2 Pokok Permasalahan