TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI

BAB II TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI

TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI A. Perjanjian dalam Jual Beli dan Jual Beli Tiket Pesawat Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pasal 1313, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan. 12 Dengan demikian, tampak jelas bahwa dalam suatu perikatan verbintenis terkandung hal - hal sebagai berikut, yaitu: 1. Adanya hubungan hukum; 2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda; 3. Antara dua orangpihak atau lebih; 4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur; 5. Meletakkan kewajiban pada pihak lain, yaitu debitur; 6. Adanya prestasi Perjanjian yang dibuat harus memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian yang mengacu pada ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang 12 Ray Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hlm. 21 Universitas Sumatera Utara Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Dalam suatu perjanjian tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau a meeting of the minds agar bisa tercapai kesepakatan secara bebas 13 . Sebagai hal yang mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sahapabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi, kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat defective agreement. Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi, yaitu: 1. Kemungkinan pertama adalah pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakimmelaluipengadilan. Hal ini disebut dapat dibatalkan 13 Ibid., hlm. 46 Universitas Sumatera Utara 2. Kemungkinan kedua adalah perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya batal demi hukum. 14 Kesepakatan atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, misalnya si penjual mengingini sejumlah uang, dan si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual. 2. Kecakapan untuk Sahnya Perjanjian Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan dalam bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam hal membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya, seorang yang dianggap berwenang untuk 14 Ibid., hlm. 48 Universitas Sumatera Utara bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. 15 Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam: 1. Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum; 2. kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Bab XVI dibawah judul “Pemberian Kuasa”; 3. kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain. 16 Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang- undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang 15 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 127 16 Ibid., hlm. 130 Universitas Sumatera Utara Hukum Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa: Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1 Anak yang belum dewasa 2 Orang yang ditaruh dibawah pengampuan 3 Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang- undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. 17 3. Hal Tertentu dalam Perjanjian Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. 18 Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai: a jenis barang; b kualitas dan mutu barang; c buatan pabrik dan dari negara mana; d buatan tahun berapa; e warna barang; 17 Kansil, Op.Cit., hlm. 226 18 Subekti, Aneka Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2004, hlm. 20 Universitas Sumatera Utara f ciri khusus barang tersebut; g jumlah barang; h uraian lebih lanjut mengenai barang itu. 19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenismya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. 4. Tentang sebab yang halal Syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah adanya sebab causa yang halal. Dalam pengertian ini pada benda objek hukum yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat. 20 Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah me mpunyai kekuatan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab 19 Kansil, Op.Cit., hlm. 227 20 Ibid., hlm. 227 Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Hukum Perdata, hanya saja dalam pasal 1335 dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1. bukan tanpa sebab; 2. bukan sebab yang palsu; 3. bukan sebab yang terlarang; Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik a tau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensalia dalam perjanjian tersebut. 21 Sebab yang halal dalam pasal 1337 KitabUndang-Undang Hukum Perdata adalah prestasi dalam perikatan yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak. Jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya si pembeli 21 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 164 Universitas Sumatera Utara berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Pihak yang satu pihak penjual menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam salah satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga itu berupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter. 22 Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu”verkoopt” menjual sedang yang lainnya “koopt” membeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak- tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. 23 Unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensual darri jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi : “Jual-beli 22 Subekti, Op.Cit., hlm. 79 23 Subekti, Op.Cit., hlm. 2 Universitas Sumatera Utara dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga”. 24 Perjanjian jual-beli meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik antara kedua belah pihak, yaitu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, dan pada saat itu juga memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui kepada pembeli. Di pihak lainnya, meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan atas haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. 25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu hanya obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik. Sistem ini menimbulkan hak pada penjual serta kewajiban pada pembeli, dan secara bersamaan menimbulkan hak pada pembeli serta kewajiban pada penjual. Adapun yang menjadi kewajiban penjual adalah sebagai berikut 1. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli 2. Kewajiban penanggungan atau Vrijwaring yaitu keadaan dimana penjual menanggung penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram, serta menanggung cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya agar dapat dipergunakan untuk keperluan yang dimaksudkan tanpa mengurangi 24 Ibid., hlm. 3 25 Rai Widjaya, Op.Cit., hlm. 150 Universitas Sumatera Utara fungsi pemakaiannya 26 . Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi dari jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan hakim yaitu menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. 27 Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Pada pasal 1514 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan waktu dimana penyerahan barang levering. Berdasarkan asas yang dianut, yaitu hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap atau optional law, para pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk para pihak, penjual atau pembeli. Sesuai dengan pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa terjadinya jual beli ialah sebagai berikut: 1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang, walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum 26 Ibid., hlm. 160 27 Subekti, Op.Cit., hlm. 17 Universitas Sumatera Utara dibayar, perjanjian jual beli ini dianggap sudah terjadi. 2. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara. Sejak disetujuinya perjanjian jual beli secara demikian, penjual terus terikat, sedang pembeli baru terikat kalau jangka waktu percobaan itutelah lewat, dan telah dinyatakan setuju. 3. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang muka, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan perjanjian kedua belah pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli itu, meskipun pembeli membiarkan uang muka tersebut kepada penjual atau penjual membayar kembali uang muka itu kepada pembeli. Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. 28 Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal yang lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. 29 Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang- 28 Ahmad Miru, Op.Cit., hlm. 125 29 Ibid.,hlm.126 Universitas Sumatera Utara undangan atau biasa disebut unsur naturalia. Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak. 30 Kesepakatan dalam jual beli yang pada umumnya melahirkan perjanjian jual beli tersebut, juga dikecualikan apabila barang yang diperjualbelikan adalah barang yang biasanya dicoba dulu pada saat pembelian, karena apabila yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut adalah barang yang harus dicoba dulu untuk mengetahui apakah barang tersebut baik atau sesuai keinginan pembeli, perjanjian tersebut selalu dianggap dibuat dengan syarat tangguh, artinya perjanjian tersebut hanya mengikat apabila barang yang menjadi objek perjanjian adalah baik setelah dicoba. Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja. 31 Ini berarti, menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Apa yang dikemukakan di sini mengenai sifat jual beli ini tampak jelas dari pasal 1459, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah 30 Ibid., hlm. 127 31 Subekti, Op.Cit., hlm. 80 Universitas Sumatera Utara berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan. 32 Jual beli tiket pesawat adalah salah satu contoh dari jual beli antara pelaku usaha dan konsumen. Mengenai jual beli antara pelaku usaha dan konsumen tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi juga dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Walaupun sama- sama merupakan jual beli, namun jual beli antara pelaku usaha dan konsumen lebih memberikan kemudahan kepada konsumen lebih memberikan kemudahan kepada konsumen pembeli dibanding perlindungan pembeli pada umumnya karena dalam jual beli antara pelaku usaha dan konsumen banyak membatasi kebebasan pelaku usaha untuk mencantumkan klausul baku tertentu. 33 Kegiatan jual beli tiket pesawat pada awalnya dilakukan layaknya kegiatan jual beli biasa. Calon penumpang dapat membeli dari pihak maskapai langsung maupun melalui travel perjalanan. Namun seiring berkembangnya teknologi, perjanjian jual beli tiket pesawat dapat dilakukan melalui internet atau aplikasi resmi yang di install pada telepon genggam. Transaksi melalui internet atau yang sering disebut e-commerce electronic commerce, pada dasarnya sudah dikenal di Indonesia dalam waktu yang cukup lama, terutama sejak dikenalnya credit cards, automated teller machines, dan telephone banking. Hanya saja akhir-akhir ini istilah tersebut semakin banyak dikenal karena telah dipergunakan untuk keperluan yang luas, 32 Ibid., hlm. 81 33 Ahmad Miru, Op.Cit., hlm. 140 Universitas Sumatera Utara seperti dalam jual beli. Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang menggunakan fasilitas internet tersebut berdasarkan subjek hukum yang terlibat,dapat dikelompokkan dalam: 1. business to business; 2. business to customer; 3. customer to customer; 4. customer to bussiness; 5. customer to government. 34 Walaupun terdapat lima kelompok sebagaimana disebutkan di atas, namun pada dasarnya yang terkait dengan perjanjian jual beli hanya tiga kelompok yang pertama karena customer to business pada dasarnya melibatkan pihak yang sama dengan kelompok kedua di atas sedangkan customer to government jika terkait dengan jual beli, dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kedua juga sedangkan kalau menyangkut kepentingan lain seperti pembayaran pajak, hal itu tidak terkait dengan ketentuan hukum dalam jual beli. Mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang jual beli melalui internet ini, kita tidak dapat mengingkari bahwa hal ini pun tunduk pada ketentuan tentang jual beli pada umumnya karena yang membedakan antara keduanya hanyalah media yang digunakan sehingga ada pula dampak-dampak hukum tertentu yang perlu dicarikan ketentuan hukum yang mengatur tentang dampak- dampak tersebut. 35 34 Ibid., hlm. 143 35 Ibid., hlm. 143 Universitas Sumatera Utara Perjanjian jual beli tiket pesawat melalui internet dengan perjanjian jual beli tiket secara biasa tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya pada bentuk dan berlakunya. Dalam perjanjian jual beli tiket melalui internet hanya ada form atau blanko klausul perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dan ditampilkan dalam media elektronik tersebut, dan calon pembeli mengisi form tersebut apabila sesuai dengan keinginannya. Perjanjian yang ada dalam jual beli tiket elektronik e-ticket muncul pada saat pihak konsumen menentukan pada hari dan jam berapa akan melakukan penerbangan dan harga dari tiket elektronik e-ticket pun sudah tertera berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan. Jika konsumen sepakat dengan harga yang sudah tertera maka selanjutnya konsumen meng-klik tombol “nextberikutnya” untuk melakukan pembayaran atas tiket yang sudah di pesan. Pembayaran tiket dapat dilakukan dengan sistem ATM, pembayaran cash, atau dengan perantaraan pihak ketiga seperti kartu kredit online. Setelah konsumen melakukan pembayaran maka perjanjian sudah terjadi dan ketentuan mengenai perjanjian dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata telah berlaku bagi para pihak.

B. Prestasi dan Wanprestasi serta Bentuk Prestasi dan Wanprestasi

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Pensertifikatan Tanah yang Berasal dari Hak Ulayat (Studi Kasus Putusan MA No. 274/K/PDT/2005)

3 52 113

Akibat hukum jual beli tanah agunan oleh Bank tanpa ijin pihak debitur ( studi putusan Mahkamah Agung nomo 1726/pdt/1986

0 25 53

Pidana ganti kerugian pada kecelakaan kendraan bermotor yang mengakibatkan tewasnya korban (suatu tinjauan hukum positif dan hukum pidana Islam

1 8 89

Analisis pengaruh asset, dana pihak ketiga dan kredit yang diberikan terhadap kinerja efisiensi Bank Persero di Indonesia

0 6 139

Hadis-hadis tentang praktek-praktek yang terlarang dalam jual beli

2 13 74

Tinjauan hukum terhadap penerapan harga tiket pesawat udara pada maskapai Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik (analisis peraturan Mentri Perhubungan No. 26 Tahun 2010)

21 123 120

Pengaruh dana pihak ketiga dan tingkat suku bunga terhadap kredit yang diberikan : (studi kasus pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

8 49 75

Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara pemisahan wewenang antara pihak yang memberi dana dan yang melaksanakan tugas;

0 1 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. a. Dyer dan McHugh (1975) Meneliti profil ketepat

0 0 22

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jasa Jasa didefinisikan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat Intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan se

0 1 15