Tinjauan yuridis terhadap jual beli tiket pesawat dan wanprestasi yang dilakukan pihak maskapai yang mengakibatkan kerugian kepada pihak penumpang (Studi Kasus Putusan No. 260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

_________. 2012, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta, Sinar Grafika.

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2002. Perikatan pada Umumnya. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Mahmud, Peter. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta, Prenada Media Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty.

Miru, Ahmad. 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta, PT Rajawali Press.

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung, Citra Aditya Bakti.

_________. 2008. Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Muljadi, Kartini&Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Nazil. 2007. Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, Wirjono. 2001. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung, Sumur Bandung.

Purba, Hasim.2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Medan, Pustaka Bangsa Press.

Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Yustisia.

Santoso, Lukman.2012. Hukum Perjanjian Kontrak, Yogyakarta, Cakrawala. Satrio, J. 2012. Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurispudensi. Bandung, Citra Aditya Bakti.


(2)

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, PT Raya Grafindo Persada.

_________. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, PT Raya Grafindo Persada.

Subekti. 2004. Hukum Perjanjian. Jakarta, PT. Intermasa.

Suharnoko, 2004. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta, Kencana. Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.

Tohir,Toto. 2006. Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional. Bandung, CV. MandarMaju.

Uli, Sinta. 2006. Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat dan Angkutan Udara. Medan, USU Press.

Widjaya, Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak. Jakarta, Kesaint Blanc.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Konvensi Warsawa 1929


(3)

C. Jurnal

Ejurnal.bunghatta.ac.id: Perjanjian Jual Beli Tiket Elektronik Maskapai Penerbangan Melalui Internet: Riery Adriati

D. Website

http://bisnis.com/kabar24/read/lion-air-dinyatakan-wanprestasi/ diakses pada tanggal 10 Januari 2016

http://hukumonline.com/berita/baca/penggabungan-gugatan-wanprestasi-dan pmh-tak-dapat-dibenarkan/ diakses pada tanggal 21 Januari 2016 http://hukumonline.com/klinik/detail/doktrin-gugatan-wanprestasi-dan-pmh/ diakses pada tanggal 21 Januari 2016

http://professionaladvocate.co.id/penggabungan-gugatan-wanprestasi/ diakses pada tanggal 22 Januari 2016

http://kompasiana.com/hak-konsumen-kewajiban-maskapai-dalam-keterlambatan penerbangan/ diakses pada tanggal 22 Januari 2016


(4)

BAB III

PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN DALAM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENUMPANG

A. Pengaturan Hukum bagi Penerbangan di Indonesia

Terdapat tiga jenis pengangkutan yaitu pengangkutan darat, pengangkutan perairan dan pengangkutan udara. Dalam dunia pengangkutan yang paling pertama berkembang sesuai dengan kemampuan manusia adalah pengangkutan darat. Selanjutnya pengangkutan laut. Dengan demikian tidak mengherankan kalau hukum pengangkutan yang berkembang lebih awal terletak pada dua moda yaitu hukum pengangkutan darat dan hukum pengangkutan laut.51 Sementara itu, hukum pengangkutan udara merupakan moda yang paling akhir berkembang di antara hukum pengangkutan lainnya.

Konvensi pertama yang mengatur pengangkutan udara internasional dimulai tahun 1919 yang disebut Konvensi Paris. Akan tetapi konvensi ini tidak dapat diterima oleh banyak negara menyebabkan tidak terpenuhinya jumlah peserta yang disyaratkan untuk berlakunya konvensi. Oleh karena itu konvensi ini tidak pernah berlaku.

Pada mulanya konvensi tentang kargo dan penumpang akan dibuat secara terpisah, tetapi karena mengingat pertimbangan ekonomis dan kesatuan (unform) maka akhirnya pengaturan keduanya, kargo dan penumpang, disatukan. Oleh

51 Toto Tohir, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, CV. MandarMaju, Bandung, 2006, hlm. 1


(5)

karena itu, dipandang perlu membuat suatu sistem hukum yang seimbang dan bebas. Atas dasar itulah yang menyebabkan Konvensi Warsawa berhasil disahkan pada tahun 1929.

Pengangkutan udara menurut konversi warsawa 1929 adalah meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam pesawat udara, atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Sumber hukum penerbangan Indonesia, terdapat diberbagai peraturan perundang-undangan Nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 antara lain:

1. Undang-undang

a) Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 2. Ordonansi

a) Luchtvaartordonantie (Stb. 1934:225), tentang Peraturan Pelaksanaan dari Luchtvaarbesluit (stb. 1933:118) yang mengatur Pokok-pokok penerbangan. Dengan keluarnya Undang-Undang


(6)

No. 83 Tahun 1958 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Stb ini tidak berlaku lagi.

b) Luchtverkeersverordening (Stb. 1936:425), tentang Lalu Lintas Udara. Stb ini mengatur penerangan-penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan.

c) Verordening Toezicht Luchtvaart (Stb. 1936:426) yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan.

d) Luchtvervoer ordonantie (Stb 1939:100) Tentang Pengangkutan Udara yang mengatur pengangkutan penumpang bagasi, dan kargo. Dari peraturan ini yang terpenting adalah tanggung jawab pengangkut.

e) Luchtvaarquarantaine ordonantie (1030:149 Jo Stb 1939:150) yang mengatur masalah karantina.

3. Peraturan Pemerintah

a) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan yang diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2001 Tentang Kebandarudaraan

Selain ordonansi, undang-undang, dan peraturan pemerintah masih terdapat Peraturan Menteri Perhubungan, antara lain:


(7)

a) Peraturan Menteri No. 31 Tahun 2013 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional.

b) Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan Indonesia Nomor KP 152 Tahun 2012 tentang pengamanan Kargo, dan Pos yang Diangkut dengan Pesawat Udara c) Peraturan Menteri Perhubungan No. 56 Tahun 2015 tentang Kegiatan

Pengusahaan di Bandar Udara.

d) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tentang Angkutan Udara Niaga dan Bukan Niaga

e) Prosedur Standar Kelaikan Udara, Bahan Bakar Terbuang, Gas Buang, Kebisingan dan Marka Pesawat Udara (Kepmenhub No. KM. 7 Tahun 1996 tentang penyempurnaan Kepmenhub No. KM.25 Tahun 2006); f) Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.44 Tahun 2008 tentang

perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 5 Tahun 2006 tentang Peremajaan Pesawat Udara Kategori Transport untuk Angkutan Udara Penumpang;

g) Peraturan Menteri Perhubungan No. 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan.

h) Peraturan Menteri Perhubungan No. 38 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan Udara Dalam Negeri.

i) Peraturan Menteri Perhubungan No. 126 Tahun 2015 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal DalamNegeri Kelas Ekonomi.


(8)

j) Peraturan Menteri Perhubungan No. 27 Tahun 2009 tentang Pengamanan Penerbangan Sipil.

4. Perjanjian-perjanjian Internasional dan perjanjian khusus

Mengenai bidang pengangkutan udara ada beberapa perjanjian internasional dan perjanjian khusus yang perlu mendapat perhatian, seperti:

a) Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933. Perjanjian ini sangat erat hubungannya dengan “Luchtvoerordonnantie” (S. 1939-100). Perjanjian ini mengatur dua hal pokok yaitu mengenai dokumen angkatan udara dan mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional. Pentingnya perjanjian ini adalah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai batas tanggung jawab ganti rugi.

b) Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara mengenai kerusakan/kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952.

c) Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Chicago) d) Konvensi The Haaque Tahun 1970. Konvensi ini tentang perlindungan


(9)

Surpression of Unlawfull Seizure of Aircraft). Konvensi ini mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, tujuannyaadalah untuk melindungi pesawat udara, orang, barang yang diangkut untuk menjamin keselamatan penerbangan.

B. Hak dan Kewajiban Maskapai Penerbangan

Pihak maskapai penerbangan memiliki hak atas pembayaran yang dilakukan oleh pihak penumpang. Pembayaran ini dibuktikan oleh tiket yang dimiliki oleh penumpang. Dalam rangka penyelenggaraan angkutan penumpang, pihak maskapai penerbangan juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan penumpang selama dalam kegiatan penerbangan. Pihak maskapai penerbangan memiliki hak untuk memberikan peringatan kepada penumpang yang melakukan hal berikut;

a) perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;

b) pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;

c) pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;

d) perbuatan asusila;

e) perbuatan yang mengganggu kententraman;

f) pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.


(10)

Selama kegiatan penerbangan, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai hak mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan hal ini terdapatdalam pasal 55 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Pasal 2 Undang-UndangNomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut asas perlindungan konsumen, salah satunya yaitu asas keamanan dan keselamatan konsumen. Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut memberikan kewajiban kepada maskapai penerbangan atas keselamatan, kenyamanan dan keamanan penumpang. Seperti yang terdapat pada pasal 140 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pihak maskapai penerbangan wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Pihak maskapai penerbangan wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati. Adapun perjanjian pengangkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Dalam pasal 151 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menegaskan bahwa pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Adapun tiket penumpang tersebut memuat;


(11)

2. nama penumpang dan nama pengangkut;

3. tempat, tanggal,waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan; 4. nomor penerbangan;

5. tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan apabila ada;

6. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan Undan-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Selanjutnya dalam pasal 152 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara kepada penumpang yang terdiri atas tiket penumpang pesawat udara, pas masuk pesawat udara (boarding pass), tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag) dan surat muatan udara (airway bill). Pas masuk pesawat

udara tersebut paling sedikit memuat; 1. nama penumpang;

2. rute penerbangan; 3. nomor penerbangan;

4. tanggal dan jam keberangkatan; 5. nomor tempat duduk;

6. pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate); 7. waktu masuk pesawat udara (boarding time).

Pihak maskapai penerbangan juga wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag) kepada penumpang yang memuat nomor tanda pengenal bagasi, kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan, dan berat bagasi.


(12)

Hal pelayanan dan fasilitas khusus, dalam pasal 239 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pihak maskapai penerbangan wajib memberikan pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus kepada penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak. Fasilitas khusus tersebut meliputi;

1. pemberian prioritas pelayanan di terminal;

2. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal; 3. sarana bantu bagi orang sakit;

4. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery);

5. Tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; 6. tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi

penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

C. Peranan dan Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan dalam Penyelenggaraan Angkutan Udara

Dalam rangka penyelenggaraan angkutan udara maskapai penerbangan memiliki tanggung jawab untuk mencapai tujuannya. Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan bahwa penerbangan diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut;

1. mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;

2. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;


(13)

3. membina jiwa kedirgantaraan; 4. menjunjung kedaulatan negara;

5. menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional;

6. menunjang, menggerakkan dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;

7. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara;

8. meningkatkan ketahanan nasional; 9. mempererat hubungan antar bangsa.

Agar dapat memahami mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan maka harus terlebih dahulu dipahami mengenai prinsip-prinsip tanggung jawab yang diangkut dalam pengangkutan. Pada dasarnya apabila dilihat dari tata cara pembuktian, prinsip tanggung jawab perdata dalam bidang hukum pengangkutan udara ada tiga macam yaitu, prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault, liability basedon fault principle); prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle); dan prinsip tanggung jawab mutlak (non fault liability, strict liability, absolute liability principle).52

E. Suherman membuat perbedaan dengan mencantumkan satu prinsip lain yaitu presumption of non liability atau praduga selalu tidak bertanggung jawab.53 Pembedaan prinsip tanggung jawab prinsip tersebut dapat dilakukan melalui pihak mana yang harus membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan ketika terjadi sengketa.54

52

Ibid., hlm. 26 53

E. Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung, 1961, hlm. 17


(14)

Konvensi Warsawa 1929 merupakan sumber hukum mengenai tanggung jawab yang dipergunakan bagi angkutan dalamnegeri seperti yang dimuat Ordonansi Pengangkutan Udara (Stb. 1939-100) sebelum adanya Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Dalam konvensi Warsawa dipergunakan kombinasi prinsip yaitu prinsip Limitation of Liability untuk penampungan bagasi yang tercatat dan barang

muatan. Sedangkan bagasi tangan dipergunakan kombinasi antara prinsip Presumption of Non Liability. Untuk kerugian karena keterlambatan dalam

pengangkutan dipergunakan juga kombinasi antara Prinsip Presumption of Liability dan Prinsip Limitation of Liability.

Baik dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (stb. 1939-100) dan Konversi Warsawa 1929 adapun prinsip-prinsip pengangkutan yang dipergunakan adalah

1. Prinsip “Liability Based on Fault Principle

Prinsip tanggung jawab atas dasar adanya kesalahan, adalah suatu prinsip yang mengandung dua aspek, pertama adalah adil bila seorang yang mengakibatkan kerugian atau kerusakan pada orang lain, karena kesalahannya diwajibkan untuk memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut kepada korban. Kedua adalah adil apabila seseorang yang menyebabkan kerugiab atau kerusakan pada orang lain tanpa kesalahannya tidak usah memberikan gantirugi kepada korban. Jadi apabila penyebab kerugian terbukti bersalah, pihak korban berhak memperoleh ganti rugi, apabila tidak terbukti bersalah maka ganti rugi tidak diberikan kepada pihak korban.


(15)

Di Indonesia prinsip ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 yang dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum(onrechtmatigedaad).55

“Setiap Perbuatan melawan hukum yang oleh karena menimbulkan

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang karena kesalahannya

menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian.”

Sementara itu, arti perbuatan dalam “perbuatan melawan hukum” itu

sendiri, tidak hanya perbuatan aktif tetapi juga perbuatan pasif yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu dalam hal yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat.56

Suatu hal penting dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan pada adanya unsur kesalahan adalah masalah beban pembuktian. Sebagai ketentuan umum penggugat yang berkewajiban membuktikan pihak tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melakukan kesalahan yang berakibat timbulnya kerugian pada pihak penggugat. Apabila penggugat gagal membuktikan salah satu saja dari unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka tuntutannya gagal. Maka dalam hal tanggung jawab pengangkut, berarti bahwa pengangkut tidak bertanggung jawabatas suatu kerugian atau kecelakaan tanpa adanya bukti yang diajukan korban atau penumpang bahwa pihak pengangkut bersalah.

Hingga saat ini adanya unsur kesalahan sebagai dasar adanya suatu tanggung jawab keperdataan merupakan ketentuan yang berlaku umum dan mendominasi ganti rugi. Akan tetapi dalam hukum angkutan udara internasional

55 Ibid., hlm. 27

56 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1976, hlm. 12


(16)

yaitu Konvensi Warsawa 1929, maupun hukum angkutan udara nasional yaitu Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, prinsip ini pada dasarnya tidak digunakan. Hal ini dikarenakan dalam angkutan udara sebagai penumpang atau pengirim barang yang awam dalam soal angkutan udara adalah sulit untuk membuktikan bahwa suatu pengangkutan telah melakukan kesalahan dalam penerbangannya sehingga mengakibatkan kecelakaan.

Pelaksanaan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada dasarnya meletakkan kedudukan pengangkut atau tergugat dan konsumen atau penggugat pada posisi yang sama. Maka dalam hal ini sangat merugikan konsumen yang sangat awam dalam masalah penerbangan, sedangkan sebaliknya bagi pengangkut hal ini sangat menguntungkan karena dapat melepaskan diri dari tanggung jawab apabila penggugat tidak dapat membuktikan kesalahannya.

2. Prinsip “Presumption of Liability

Prinsip ini mengatakan bahwa pengangkut barang adalah pihak yang dianggap selalu bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang timbul terhadap barang selamadalam pengangkutan udara. Tetapi apabila pengangkut tidak melakukan kelalaian dan telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari terjadinya kerugian tersebut atau dapat membuktikan bahwa peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut tidak mungkin dapat dihindari maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti


(17)

kerugian.57 Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya beban pembuktian menjadi terbalik yaitu ada pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah.58

Prinsip ini dianut oleh Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 100 Tahun 1939 yaitu melalui penafsiran pasal 24 ayat (1), 25 ayat(1), 28, dan 29, dan juga diatur dalam Konvensi Warsawa 1929 pada pasal 17, 18 ayat (1), 19 dan 20. Pasal 25 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara menyatakan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sebagai akibat kemusnahan, kehilangan atau kerusakan kargo, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara. Dilanjutkan dengan pasal 28 yang menyatakan bahwa jika tidak ada persetujuan lain maka pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena keterlambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo.

Pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa ia tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut, atau pengangkut membuktikan bahwa kecelakaan disebabkan karena kesalahan pengemudian.59

3. Prinsip “Presumption of Non Liability”

Prinsip ini berlaku untuk bagasi tangan, pengangkut dianggap selalu tidak

57 E. Suherman, Op.Cit., hlm. 18 58 Toto Tohir, Op.Cit., hlm. 28 59


(18)

bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul pada bagasi tangan yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang bagasi tidak tercatat

unregistered baggage”, hand baggage dan cabin baggage. Pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab. Hal ini merupakan kebalikan dari prnsip untuk penumpang atau bagasi tercatat atau barang muatan.60

4. Prinsip “Absolute Liability atau Strict Liability

Prinsip ini mengatakan bahwa pengangkut atau operator pesawat udara tidak lagi dianggap selalu bertanggung jawab akan tetapi harus bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul pada pihak penumpang, pengirim atau penerima barang dan pada parapihak ketiga di permukaan bumi.61 Jadi dengan kata lain bahwa pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak lain yang disebabkan dari penyelenggaraan pengangkutan tanpa dalih apapun kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri. Dengan demikian kesalahan bukan merupakan unsur yang harus dibicarakan, dibuktikan menurut prinsip tanggung jawab mutlak ini.62 Dalam kenyataan atau kaidah yang tercantum dalam suatu aturan, prinsip ini pun masih mengenal adanya alasan-alasan yang dapat membebaskan pengangkut.

Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum pengangkutan udara dianut, misalnya, dalam Protokol Montreal 1975 Nomor 4 dan begitu juga dalam konvensi terakhir yaitu Konvensi Montreal 1999 yang bertujuan untuk

60 E. Suherman, Op.Cit., hlm. 18 61 Ibid., hlm. 20

62


(19)

menampung segala perkembangan yang ada mulai dari Konvensi Warsawa1929 berikut protocol dan konvensi perubahannya, telah menganut prinsip tanggung jawab mutlak.63

Tanggung jawab mutlak secara teoritis terbagi dalam dua macam yaitu absolute liability principle dan strict liability principle. Kedua-duanya diartikan

tanggung jawab mutlak. Namun demikian, untuk sekedar memberikan perbedaan digunakan padanan tanggung jawab mutlak terbatas untuk strict liability dan tanggung jawab mutlak tidak terbatas untuk absolute liability. Pembedaan ini dilakukan melalui pendekatan ada atau tidak adanya batas ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat (pihak yang bersalah) kepada pihak penggugat (pihak yang mendapat kerugian).64

Perbedaan antara absolute dan strict liability adalah:

1. Keduanya mengakui bahwa unsur kesalahan tidak perlu dipermasalahkan, tetapi dalam strict liability harus ada hubungan kausalitas antara kerugian dengan perbuatan tergugat; dalam absolute liability tidak memerlukan hubungan kausalitas.

2. Keduanya mengakui harus membayar ganti kerugian, tetapi dalam strict liability ada batas ganti rugi (ceiling) pada jumlah tertentu;

sedangkan pada absolute liability tidak dikenal pembatasan ganti rugi.

63 Ibid., hlm. 29

64


(20)

3. Dalam strict liability diakui semua alasan yang membebaskan kecuali yang mengarah pada pembebasan tanggung jawab, sedangkan dalam absolute liability hanya meakui alasan pembebas yang diatur secara tegas dalam perundang-undangan.65

5. Prinsip “Limitation of Liability”

Prinsip ini mengatur soal tanggung jawab pengangkut yang dibatasi sampai jumlah tertentu. Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara

Tanggung jawab pengangkut maskapai penerbangan diatur juga dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu sebagai berikut:

1. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yangdiakibatkan kejadian angkutan

65


(21)

udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Apabila kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan daripengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan untuk membatasi tanggung jawabnya.

2. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

3. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

4. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

5. Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Tanggung jawab tersebut dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:


(22)

1. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau

2. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Hal tanggung jawab pengangkutan udara ini diatur lebih rinci lagi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yaitu pengangkut yang mengoperasikan. pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:

a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka; b. hilang atau rusaknya bagasi kabin;

c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; d. hilang, musnah atau rusaknya kargo;

e. keterlambatan angkutan udara; dan f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Untuk jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka ditetapkan sebagai berikut: Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang. Penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di


(23)

bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang.

Penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian ini.

Penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal bagasi dan kargo diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yaitu sebagai berikut:

a. kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan


(24)

dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.

b. Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.

c. Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg.

d. Terhadap rusak sebagian atau seluruh sisi kargo atau kargo, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg. apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan udara. Kargo dianggap hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan.

Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan ditetapkan sebagai berikut:

a) keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;

b) diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat


(25)

dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;

c) dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Ordonansi merupakan jiplakan dari Konvensi Warsawa 1929 dengan beberapa perbedaan yaitu tentang perjanjian kelambatan dan pasal 24 dan pasal 25 tentang persyaratan untuk adanya tanggung jawab pengangkut. Dalam kelambatan menurut Ordonansi, pengangkut baru bertanggung jawab jika tidak ada persetujuan lain. Ketentuan ini sering digunakan oleh pengangkut untuk menghindari tanggung jawab dalam keterlambatan dengan cara membuat suatu klausul dalam dokumen pengangkutan yang berbentuk perjanjian baku yang menyatakan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk keterlambatan.66 Padahal dalam pengangkutan kargoo yang membuat surat kargo udara bukan pengangut, tapi pengirim, sehingga yang menghendaki klausul pembebasan tanggung jawab seolah-olah pengirim.67

66 Ibid., hlm.23

67


(26)

Perbedaan lainnya adalah ketentuan dalampasal 24 Ordonansi untuk pengangkutan penumpang yang mensyaratkan adanya hubungan dengan pengangkutan udara. Adanya syarat ini lebih mempersempit tanggung jawab Ordonansi daripada menurut Konvensi sehingga lebih menguntungkan bagi pengangkut. Keuntungan bagi pengangkut tersebut terjadi karena walaupun terjadi kecelakaan yang menimpa pengguna tetapi apabila kecelakaan tersebut tidak ada hubungan dengan pengangkutan udara maka pengangkut tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Pasal 24 Ordonansi lengkapnya berbunyi :

“Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagaiakibat dari luka

atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.

Dari Ordonansi dan Konvensi tersebut syarat yang sama adalah kerugian harus disebabkan suatu kecelakaan dan kecelakaan tersebut terjadi dalam pesawat udara; atau selamapenumpang melakukan embarkasi atau disembarkasi. Sedangkan satu syarat dalam Pasal 24 Ordonansi yang tidak terdapat dalam pasal 17 Konvensi yaitu kecelakaan tersebut harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara. Dengan demikian ada penyempitan atau pembatasan yang mempersyaratkan keharusan pengangkut udara harus bertanggung jawab apabila terjadi kerugian yang menimpa pengguna. Dalam konvensi tidak disyaratkan adanya hubungan dengan pengangkutan udara; dalam ordonansi disyaratkan adanya hubungan dengan pengangkutan udara.


(27)

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN PIHAK MASKAPAI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KEPADA

PIHAK PENUMPANG

A. Proses pembelian tiket pada maskapai penerbangan Lion Air

Pembelian tiket pada awalnya dilakukan secara manual yaitu penumpang mendatangi agen perjalanan (travel agent) untuk membeli tiket pesawat maskapai penerbangan Lion Air. Biro jasa perjalanan disebut juga sebagai distributor atau penjual produk, yaitu menjual tiket pesawat udara dari maskapai penerbangan dan maskapai penerbangan yaitu pihak yang disebut sebagai produsen sebenarnya karena disini merekalah yang membuat produk untuk dipasarkan kepada konsumen, pihak maskapai penerbangan ini memerlukan bantuan biro jasa perjalanan untuk memasarkan tiket pesawat kepada konsumen.

Calon penumpang memberikan keterangan tentang tanggal/waktu keberangkatan, jumlah calon penumpang, tujuan penumpang, lalu pihak agen perjalanan akan mencarikan tiket yang tersedia. Apabila calon penumpang setuju dengan harga yang diberikan maka harus dibayarkan harga sejumlah tiket kepada agen perjalanan dan jual beli telah dilakukan. Dalam hal ini, hubungan hukum antara agen perjalanan dengan penumpang telah selesai dan selanjutnya penumpang hanya memiliki hubungan hukum dengan maskapai penerbangan.

Namun, seiring perkembangan teknologi tiket maskapai penerbangan Lion Air kini dapat dibeli melalui internet maupun aplikasi yang dapat di install di


(28)

telepon genggam. Calon penumpang dapat membuka aplikasi penjualan tiket pesawat lalu mengisikan data pada kolom yang terdapat di aplikasi tersebut. Apabila calon penumpang setuju dengan harga dan persyaratannya, maka calon penumpang kemudian melakukan pembayaran yang dilakukan dengan cara transfer melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Dengan demikian jual beli telah terjadi setelah penumpang melakukan pembayaran.

B. Uraian tentang kasus wanprestasi yang dilakukan pihak maskapai Lion Air

Perkara bermula pada tanggal 03 Juni 2014 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 04 Juni 2014, dibawah Register Nomor : 260 / Pdt. G / 2014 / PN. Penggugat yang bernama Hari Sunaryadi yang beralamat Jalan Jati Bunder dalam No. 2, RT. 013 / RW. 014, Kebun Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Pemegang KTP No. 3171071011730008, dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya : Rolas Budiman Sitinjak, SH., MH, Sri Sugiati, SH., MH, Purgatorio Siahaan, SH, Arifin Rudi Nababan, SH, Agus Riyanto, SH, Rihard Burton SH, Priber Sitinjak, SH ANTONI, SH, masing-masing sebagai Advokat-Penasihat Hukum yang berkantor di LAW FIRM RBS & PARTNERS, Advocat & IP Consultan, beralamat di Jalan Jatinegara Barat Nomor : 181-A, Jakarta 13310, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2014 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 04 Juni 2014, dibawah nomor 1269/Leg.Srt.Kuasa/PN.JKT.PST dan tergugat yaitu Direktur PT. LION AIR yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 7, Jakarta Pusat 10130.


(29)

Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 03 Juni 2014 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 04 Juni 2014, dibawah Register Nomor : 260/Pdt. G/ 2014/ PN.JKT.PST, telah mengemukakan pada pokoknya sebagai berikut.

Tanggal 17 Oktober 2011, Penggugat telah membeli tiket Elektronik dengan Nomor Tiket TE. 9902170216630, untuk Penerbangan Manado-Jakarta dengan Nomor Penerbangan JT. 743L, 19 Oktober 2011, Lion Air, atas nama Penggugat sendiri atas nama Hari Mr. Penggugat harus kembali dari Manado pada tanggal 19 Oktober 2011 ke Jakarta, untuk mempersiapkan Meeting dengan beberapa kolega Penggugat pada tanggal 20 Oktober 2011 pukul 08.30 WIB. Pada tanggal 19 Oktober 2011, pukul 17.45 WITA Penggugat tiba di bandara Samratulangi Manado untuk melakukan Check in atas Tiket miliknya setelah beberapa lama mengantri, tiba giliran Penggugat untuk check in, namun saat itu Penggugat mendapat pemberitahuan dari Petugas yang melayaninya bahwa Pesawat telah Overseat atau melebihi kapasitas dan kemudian diminta untuk kembali esok paginya selanjutnya Penggugat diminta oleh Petugas untuk mengumpulkan E-Tiket bersama-sama dengan beberapa penumpang lain yang gagal terbang, namun Penggugat menolak untuk mengumpulkan tiketnya.

Penggugat bersama dengan Penumpang-Penumpang lain sangatlah berkeberatan dan kecewa atas kejadian ini, oleh karenanya Penggugat tidak menerima kompensasi apapun dari Tergugat, walaupun Penggugat dialihkan ke penerbangan pada keesokan harinya. Karena gagal diberangkatkannya Penggugat ke Jakarta dari Manado dengan JT 743 Lion Air, tanggal 19 Oktober 2011,


(30)

Penggugat meminta keterangan secara tertulis dari Perwakilan Tergugat yang bertugas disana, dan dikeluarkanlah Surat Keterangan kepada Penggugat mengenai bahwasannya Penggugat tidak dapat diberangkatkan karena alasan Operasional.

Penggugat beserta para Penumpang lainnya meminta Tergugat untuk memberikan kompensasi yang sangat manusiawi sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen, namun Tergugat tidak memahami hal-hal tersebut. Penggugat kembali ke Jakarta pada ke esokan harinya dengan menggunakan Maskapai Sriwijaya yang dibeli sendiri, dengan Penerbangan No. SJ0269, tertanggal 20 Oktober 2011. Tergugat juga terlebih dahulu sudah diperingatkan oleh Penggugat, yakni Penggugat menegur secara lisan kepada Tergugat untuk memenuhi kewajibannya namun atas teguran Penggugat tersebut, Tergugat tidak merespon.

Tanggal 28 Desember 2011 Penggugat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Propinsi DKI Jakarta, untuk menyelesaikan persoalan tidak diberangkatkannya Penggugat oleh Tergugat. dari hasil sidang di BPSK pada tanggal 20 Maret 2012, tidak tercapai kata sepakat antara para pihak yang bersengketa atas kejadian ini, Penggugat merasa disepelekan oleh Tergugat, karena hak-hak Penggugat selaku Konsumen tidak dihormati oleh Tergugat, dan, atas dasar inilah Penggugat melakukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum pasal 1365 KUH Perdata kepada Tergugat.


(31)

Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penggugat uraikan tersebut, Penggugat memohon dengan hormat kepada Pengadilan Jakarta Pusat agar berkenan memeriksa dan mengadili, serta memutuskan sebagai berikut;

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Seluruhnya

2. Menyatakan secara hukum Tergugat bersalah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad)

3. Menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan dari Tergugat.

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 5.107.700,- (lima juta seratus tujuh ribu tujuh ratus rupiah)

5. Menghukum Tergugat membayar kerugian immateriil yang dialami Penggugat akibat, tersitanya waktu dan tenaga untuk mengurus perkar ini yang tidak dapat dinilai, dan apabila dinilai tidak kurang dari Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Berdasarkan gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah mengajukan jawabannya tertanggal 13 Agustus 2014 yakni sebagai berikut

1. Tergugat menolak secara tegas seluruh dalil Penggugat kecuali apa yang secara tegas diakui oleh Tergugat

2. Gugatan Daluwarsa. Bahwa sesuai degan nomor perkara gugatan ini Penggugat mengajukan dan mendaftarkan Gugatan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3 Juni 2014. Sedangkan dalil Gugatan Penggugat menyatakan bahwa yang menjadi pokok masalah adalah apa yang dialami Penggugat-sehubungan dengan penerbangan Tergugat-terjadi pada tanggal 17 dan 19 Oktober 2011. Jadi terdapat selisih waktu 2 tahun 8 bulan antara kejadian yang dialami Penggugat dan saat diajukan Gugatan ini

3. Subjek Hukum yang digugat oleh Penggugat salah / keliru, karena Tergugat bernama PT. Lion Mentari bukan Lion Air. Dengan demikian terbukti Gugatan Penggugat Kabur


(32)

4. Gugatan Penggugat seharusnya mengenai Wanprestasi, karena Penggugat mendalilkan bahwa Penggugat telah membeli tiket untuk penerbangan dengan pesawat Tergugat dengan Nomor Tiket TE. 9902170216630 untuk penerbangan tanggal 19 Oktober 2011. Sedangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 1 angka 27 menyatakan bahwa

” tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau

bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara. Tergugat tanggal 19 Oktober 2011 gagal atau tidak memberangkatkan Penggugat ke Jakarta dengan JT 743 . Dengan demikian peristiwa hukum yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat adalah ingkar janji atau wanprestasi bukan Perbuatan Melawan Hukum, namun terbukti Penggugat telah mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Tergugat, dengan demikian terbukti gugatan Penggugat kabur (obscuur libel). C. Akibat Hukum yang Timbul Dalam Kasus Wanprestasi Pihak Maskapai

Lion Air

Wanprestasi yang dilakukan pihak dalam perjanjian akan menimbulkan akibat hukum. Terhadap pihak yang melakukan wanprestasi diancamkan beberapa sanksi atau hukuman68. Hukuman atau akibat hukum tersebut ada empat macam, yaitu:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi. Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah kerugian karena

68


(33)

kerusakan-kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian.

3. Peralihan risiko. Sebagai akibat hukum yang ketiga atas wanprestasi disebutkan dalam pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksudkan dalam resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai akibat hukum wanprestasi adalah tersimpul dalam peraturan Hukum Acara bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.

Kasus lion air yang telah dipaparkan di atas, terhadap pihak tergugat akibat hukum yang timbul dari wanprestasi adalah bahwa penggugat harus membayar kerugian Materiil sebesar Rp. 5.107.000,-(lima juta seratus tujuh ribu


(34)

rupiah) dan membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp .316.000.-.( tiga ratus enam belas ribu rupiah).

D. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Kasus Wanprestasi Lion Air

Pertimbangan hukum hakim dalam kasus wanprestasi lion air adalah sebagai berikut:

Pada tanggal 28 Desember 2011 Penggugat melalui kuasanya telah melakukan Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta, akan tetapi didalam Penyelesaian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta tidak tercapai kesepakatan antara Penggugat dengan Tergugat tentang besarnya penggantian. Dengan demikian eksepsi tergugat mengenai hal daluwarsa ini haruslah ditolak.

Penentuan siapakah yang akan digugat oleh Penggugat adalah sepenuhnya menjadi hak Penggugat, lagi pula menurut hemat Majelis Hakim yang dimaksud dengan Tergugat oleh Penggugat apakah PT Lion Air atau Lion Mentari Airlines adalah Tergugat PT Lion Mentari Airlines yang telah memberikan kuasa kepada Para kuasa Tergugat sebagaimana Surat Kuasa tertanggal 12 Juni 2014, hal tersebut sesuai dengan gugatan Penggugat yang tercantum dalam gugatan Penggugat dimana gugatan ditujukan kepada Direktur Utama PT Lion Air/PT Lion Mentari Air.

Mengenai gugatan Penggugat seharusnya Wanprestasi bukan perbuatan melawan hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila gugatan Penggugat adalah perbuatan melawan hukum tetapi maksud yang terkandung didalamnya


(35)

serta diuraikan berkaitan dengan perbuatan Wanprestasi, hal tersebut bisa dipandang sebagai perbuatan wanprestasi.

Setelah mencermati dan meneliti gugatan Penggugat, ternyata dasar terjadinya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat adalah karena adanya perjanjian pembelian tiket elektronik dengan Nomor Tiket 9902170216630 untuk penerbangan tujuan Manado – Jakarta (pada tanggal 19 Oktober 2011) dengan Nomor Penerbangan, JT. 743, atas Sunaryadi/Hari Mr, yakni atas nama Penggugat sendiri, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat yang menguraikan mengenai perbuatan melawan hukum tetapi maksud yang terkandung didalamnya serta diuraikan berkaitan dengan perbuatan Wanprestasi, hal tersebut demi untuk pelaksanaan azas sederhana, cepat dan biaya ringan bisa dipandang sebagai perbuatan wanprestasi.

Akibat perjanjian tersebut timbullah hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yaitu pihak Penggugat yang sudah melasanakan kewajibannya membayar uang tiket berhak untuk diterbangkan dari Menado ke Jakarta sesuai dengan waktu keberangkatan yang tercantum dalam tiket dimaksud sedangkan Tergugat yang telah menerima haknya yaitu menerima pembayaran tiket untuk penerbangan tujuan Manado - Jakarta (pada tanggal 19 Oktober 2011) senilai Rp. 2.237.700,-dan berkewajiban untuk menerbangkan Penggugat sesuai dengan yang tercantum dalam tiket yaitu tujuan Manado-Jakarta.

Majelis hakim berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan tindakan Wanprestasi atau Cidera janji sehingga petitum angka 2 yang memohon supaya menyatakan secara hukum Tergugat bersalah melakukan perbuatan melawan


(36)

hukum (Onrechmatige daad) haruslah dikabulkan dengan perubahan redaksi sebagai berikut menyatakan secara hukum Tergugat bersalah melakukan tindakan wanprestasi/Cidera janji

Petitum ke 3 yang memohon supaya menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan dari Tergugat, karena Tergugat telah dinyatakan bersalah melakukan tindakan Wanprestasi atau Cidera janji, maka haruslah dikabulkan.

Petitum yang memohon memohon menghukum Tergugat membayar kerugian Immateriil yang dialami Penggugat akibat hilangnya waktu dan tersitanya tenaga dan pikiran Penggugat, hilangnya kebersamaan dan nilai-nilai spiritual dengan keluarga serta menyebabkan berubahnya jadwal untuk bertemu dengan rekan bisnis terhadap Penggugat juga terbengkelainya pekerjaan Penggugat, yang mana keseluruhan hal-hal tersebut tidak dapat dinilai dengan apapun juga. Namun dalam perkara ini Penggugat menentukan suatu nilai atas kerugiannya yang dikonversi dalam rupiah sebesar Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), oleh karena tidak ada bukti-bukti kongkrit yang diajukan oleh Pengugat sehingga petitum mengenai hal ini haruslah ditolak.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis hakim berpendapat bahwa Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya untuk sebagian dan oleh karenanya petitum ke 1 haruslah dikabulkan untuk sebagian dan menolak gugatan selain dan selebihnya


(37)

Terhadap petitum yang memohon supaya menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara, oleh karena gugatan Penggugat telah dikabulkan, maka terhadap petitum ini haruslah dikabulkan.

Selanjutnya hakim memberikan amar putusan yaitu sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian

2. Menyatakan secara hukum Tergugat bersalah melakukan tindakan wanprestasi/cidera janji

3. Menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan dari tergugat

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian Materiil sebesar Rp. 5.107.000,-(lima juta seratus tujuh ribu

5. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp .316.000.-.( tiga ratus enam belas ribu rupiah)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.69

Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara para pihak

69 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 117


(38)

yang menimbulkan kerugian dan para pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.70

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang bisa saja tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.

Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena adanya hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka dapar diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang tersebut mengganti kerugian. Dari ketentuan pasal tersebut

70


(39)

dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur:

1. Perbuatan yang melawan hukum (onrechmatigedaad) 2. Harus ada kesalahan

3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan

4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.71

Yahya Harahap berpendapat bahwa tidak dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam gugatan, dan/atau mendalilkan wanprestasi padahal fakta hukum adalah peristiwa perbuatan melawan hukum begitu juga mendalilkan perbuatan melawan hukum padahal fakta hukumnya yakni wanprestasi. 72 Namun beliau berpendapat bahwa penggabungan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dimungkinkan dalam suatu gugatan asalkan diuraikan dengan tegas pemisahan keduanya.73

Dalam kasus Putusan No. 260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST antara Hari Sunaryadi melawan Lion Air, gugatan yang diajukan oleh penggugat (Hari Sunaryadi) adalah perbuatan melawan hukum dengan alasan pihak maskapai penerbangan Lion Air tidak dapat memberangkatkan penggugat (Hari Sunaryadi) pada hari yang telah diperjanjikan sesuai dengan tiket pesawat. Namun dalam putusannya, hakim menyatakan perbuatan tersebut adalah perbuatan wanprestasi karena Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila gugatan penggugat adalah perbuatan melawan hukum tetapi maksud yang terkandung didalamnya serta

71

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, 2012, hlm. 15

72 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,

dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 455

73


(40)

diuraikan berkaitan dengan perbuatan wanprestasi, hal tersebut bisa dipandang sebagai perbuatan wanprestasi.

Ada beberapa yurispudensi yang membenarkan penggabungan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum seperti Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 yang mana dalam putusan tersebut dikatakan bahwa meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah perbuatan melawan hukum sedangkan peristiwa yang sebenarnya adalah wanprestasi, namun gugatan tidak dianggap kabur (obscuur libel). Apabila hakim menemukan kasus seperti ini, dia dapat mempertimbangkan, bahwa dalil gugatan itu dianggap wanprestasi.74

Ada juga putusan MA No. 2157 K/Pdt/2012 yang dalam pokok perkara ini, penggugat menyebutkan gugatannya sebagai gugatan perbuatan melawan hukum, namun dalam dalilnya menjelaskan tentang wanprestasi dan pembuktiannya membuktikan tentang wanprestasi. Terhadap perkara ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan: Bahwa walaupun dalam surat gugatan menggunakan istilah perbuatan melawan hukum (PMH), tidak berarti gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena posita gugatan telah secara jelas menguraikan hubungan hukum para pihak, yaitu adanya hutang piutang dan penggugat telah mendalilkan para tergugat telah wanprestasi;

Mengingat asas peradilan cepat, sederhana dan murah, penyebutan istilah perbuatan melawan hukum dalam surat gugatan padahal fakt-fakta persidangan menggambarkan hubungan perjanjian para pihak tidak mengakibatkansurat gugatan cacat atau tidak dapat diterima.

74 Ibid., hlm. 456


(41)

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalilnya dimana terbukti tergugat wanprestasi.

Dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, petitum primer dirinci, diikuti dengan petitum subsider berbentuk compositur atau ex aequo et bono (mohon keadilan). Dalam hal ini Yahya Harahap berpendapat bahwa hakim bebas mengambil seluruh dan sebagian petitum primer dan mengesampingkan petitum ex aequo et bono (petitum subsidair), bahkan hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum ex-aequo et bono dengan syarat harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan (approriateness), dan berada dalam kerangka jiwa petitum prmer dan dalil gugatan.75

Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.76 Peraturan hukumnya adalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduknya perkara sebenar-benarnya sebagai dasar pertimbangannya.77

Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa yang berarti bahwa hakim telah dapat mengconstatitir peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengeketa antara kedua belah pihak. Ia harus mengkualifisir peristiwa yang dianggapnya terbukti.

75 Ibid., hlm. 4

76 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 198 77


(42)

Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya merupakan urusan hakim dan bukan kedua belah pihak. Maka oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.

Hakim menyatakan bahwa maskapai telah melakukan wanprestasi kepada pihak penumpang, oleh karena sesuai dengan amar putusan yang telah diuraikan di atas, maskapai Lion air bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami oleh penumpang akibat tidak diberangkatkan oleh maskapai.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pembelian tiket pesawat maskapai penerbangan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, calon penumpang dapat mendatangi agen perjalanan (travel agent). Setelah calon penumpang setuju dengan harga yang diberikan oleh agen perjalanan, calon penumpang melakukan pembayaran kepada agen perjalanan dan mendapatkan tiket untuk melakukan perjalanan menggunakan maskapai penerbangan. Kedua, calon penumpang dapat membeli tiket pesawat melalui internet atau aplikasi yang terdapat di telepon genggam. Calon penumpang dapat mencari tiket pesawat sesuai dengan kebutuhannya dan apabila telah menyetujui harga dan persyaratannya, calon penumpang dapat membayar melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri).

2. Pada kasus wanprestasi Nomor : 260 / Pdt. G / 2014 / PN Penumpang yang bernama Hari Sunaryadi telah membeli tiket pesawat maskapai penerbangan Lion Air. Namun pada hari keberangkatan, pihak maskapai penerbangan Lion Air tidak dapat mengangkut penumpang tersebut dengan alasan operasional. Penumpang telah meminta kompensasi kepada pihak maskapai penerbangan namun tidak diberikan. Akibat tidak diangkutnya penumpang oleh maskapai penerbangan dan tidak diberikan kompensasi, penumpang


(44)

mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Propinsi DKI Jakarta, untuk menyelesaikan persoalan tidak diberangkatkannya penumpang oleh maskapai penerbangan Lion Air. Namun tidak tercapai kata sepakat antara para pihak yang bersengketa atas kejadian ini. Akhirnya penumpang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akibat hukum yang timbul dalam kasus wanprestasi ini adalah timbulnya kerugian yang dialami oleh pihak penumpang dan pihak maskapai penerbangan harus memberikan ganti kerugian kepada pihak penumpang.

3. Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan oleh karena terjadinya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat adalah dengan adanya perjanjian pembelian tiket elektronik dengan Nomor Tiket 9902170216630 untuk penerbangan tujuan Manado – Jakarta (pada tanggal 19 Oktober 2011) dengan Nomor Penerbangan, JT. 743, atas Sunaryadi/Hari Mr, dan pengangkut yaitu pihak maskapai penerbangan Lion Air tidak mengangkut penumpang, perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi karena telah memenuhi unsur wanprestasi. Dalam amar putusan hakim menyatakan agar kerugian yang dialami oleh penggugat adalah diakibatkan oleh pihak maskapai penerbangan LionAir, oleh sebab itu pihak maskapai penerbangan harus mengganti kerugian imateriil yaitu sebesar Rp. 5.107.000 (lima juta seratus tujuh ribu rupiah) dan membayar seluruh


(45)

biaya perkara sebesar Rp. 316.000 (tiga ratus enam belas ribu rupiah). Oleh sebab itu majelis hakim yang mengadili Putusan Perkara Perdata No. 260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST sudah tepat memutuskan bahwa perbuatan tergugat dikatakan sebagai wanprestasi dan segala ganti kerugian yang harus diberikan oleh pihak maskapai penerbangan dilaksanakan.

B. Saran

1. Para pihak yang melakukan perjanjian pengangkutan harus melaksanakan apa yang menjadi kewajiban bagi para pihak untuk menghindari terjadinya sengketa. Penumpang wajib membayar biaya angkutan dan pihak pengangkut harus mengangkut penumpang tersebut.

2. Sebaiknya apabila para pihak yang bersengketa sebisa mungkin menyelesaikan perkara secara damai agar masalah tersebut tidak sampai ke pengadilan.


(46)

BAB II

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI

A. Perjanjian dalam Jual Beli dan Jual Beli Tiket Pesawat

Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pasal 1313, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan.12 Dengan demikian, tampak jelas bahwa dalam suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal - hal sebagai berikut, yaitu:

1. Adanya hubungan hukum;

2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda; 3. Antara dua orang/pihak atau lebih;

4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur; 5. Meletakkan kewajiban pada pihak lain, yaitu debitur; 6. Adanya prestasi

Perjanjian yang dibuat harus memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian yang mengacu pada ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang

12


(47)

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Dalam suatu perjanjian tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau a meeting of the minds agar bisa tercapai kesepakatan secara bebas13.

Sebagai hal yang mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sahapabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi, kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat (defective agreement).

Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi, yaitu:

1. Kemungkinan pertama adalah pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakim/melaluipengadilan. Hal ini disebut dapat dibatalkan

13


(48)

2. Kemungkinan kedua adalah perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya batal demi hukum.14

Kesepakatan atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, misalnya si penjual mengingini sejumlah uang, dan si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual.

2. Kecakapan untuk Sahnya Perjanjian

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan dalam bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam hal membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya, seorang yang dianggap berwenang untuk

14


(49)

bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.15

Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:

1. Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum;

2. kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XVI dibawah judul “Pemberian Kuasa”;

3. kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.16

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang

15 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 127

16


(50)

Hukum Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1) Anak yang belum dewasa

2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.17

3. Hal Tertentu dalam Perjanjian

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.18

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai:

a) jenis barang;

b) kualitas dan mutu barang;

c) buatan pabrik dan dari negara mana; d) buatan tahun berapa;

e) warna barang; 17 Kansil, Op.Cit., hlm. 226

18


(51)

f) ciri khusus barang tersebut; g) jumlah barang;

h) uraian lebih lanjut mengenai barang itu.19

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenismya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Tentang sebab yang halal

Syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah adanya sebab (causa) yang halal. Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.20

Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab

19 Kansil, Op.Cit., hlm. 227 20


(52)

Undang-Undang Hukum Perdata, hanya saja dalam pasal 1335 dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1. bukan tanpa sebab; 2. bukan sebab yang palsu; 3. bukan sebab yang terlarang;

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensalia dalam perjanjian tersebut.21

Sebab yang halal dalam pasal 1337 KitabUndang-Undang Hukum Perdata adalah prestasi dalam perikatan yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.

Jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli)

21


(53)

berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Pihak yang satu (pihak penjual) menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam salah satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga itu berupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter.22

Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu”verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Barang yang menjadi objek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.23

Unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensual darri jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi : “Jual-beli

22 Subekti, Op.Cit., hlm. 79 23


(54)

dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga”.24

Perjanjian jual-beli meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik antara kedua belah pihak, yaitu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, dan pada saat itu juga memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui kepada pembeli. Di pihak lainnya, meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan atas haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu hanya obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik. Sistem ini menimbulkan hak pada penjual serta kewajiban pada pembeli, dan secara bersamaan menimbulkan hak pada pembeli serta kewajiban pada penjual. Adapun yang menjadi kewajiban penjual adalah sebagai berikut

1. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli

2. Kewajiban penanggungan atau Vrijwaring yaitu keadaan dimana penjual menanggung penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram, serta menanggung cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya agar dapat dipergunakan untuk keperluan yang dimaksudkan tanpa mengurangi

24 Ibid., hlm. 3 25


(55)

fungsi pemakaiannya 26 . Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi dari jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan hakim yaitu menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut.27 Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Pada pasal 1514 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan waktu dimana penyerahan barang (levering). Berdasarkan asas yang dianut, yaitu hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap atau optional law, para pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk para pihak, penjual atau pembeli.

Sesuai dengan pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa terjadinya jual beli ialah sebagai berikut:

1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang, walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum

26 Ibid., hlm. 160 27


(1)

4. Bapak Dr. O.K. Saidin S.H., ,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Sinta Uli Pulungan, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Perdata Dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang dalam penulisan skripsi ini penuh kesabaran memberi arahan dan membimbing penulis.

7. Aflah, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberi dorongan dan arahan serta membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Kepada adinda Iman Sagala yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada Yosef Situmorang yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta doa kepada penulis.

10.Nova Atri Sagala, S.H., dan Kristina Simbolon, S.H., yang selalu memberi masukan dan dukungan kepada penulis selama menjalankan studi.

11.Elgina Tarigan, Felicia, Eka Sariati Siburian, Sylvia Sinuhaji, teman AJD dan seluruh teman Grup A yang telah membantu dan selalu memberikan semangat, juga kepada sahabat penulis Ella Simamora, Inez Sihombing, Grace Tambunan dan Deasy Tambunan yang telah memberikan masukan dan doa kepada penulis. Seluruh teman-teman Fidelis yang selalu memberikan doa dan dukungan selama studi dan penyelesaian skripsi ini.


(2)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima segla bentuk kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk semakin menambah wawasan dan ilmu penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna serta dapat menambah wawasan bagi semua pembaca.

Medan, April 2016 Hormat Saya

Bernadette Sagala 120200368


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 10

G. Keaslian Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI A. Perjanjian dalam jual beli dan jual beli tiket pesawat ... 13

B. Prestasi dan wanprestasi serta bentuk bentuk prestasi dan wanprestasi ... 27

C. Faktor penyebab timbulnya wanprestasi dan akibat hukum timbulnya wanprestasi ... 34


(4)

BAB III PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB MASKAPAI

DALAM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENUMPANG A. Pengaturan hukum bagi penerbangan di Indonesia ... 38 B. Hak dan kewajiban maskapai penerbangan ... 43 C. Peranan dan tanggung jawab maskapai penerbangan dalam

penyelenggaraan angkutan udara ... 46 BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN PIHAK MASKAPAI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KEPADA PIHAK PENUMPANG

A. Proses pembelian tiket pada maskapai

penerbangan Lion Air ... 61 B. Uraian tentang kasus wanprestasi yang dilakukan

pihak maskapai Lion Air ... 62 C. Akibat hukum yang timbul dalam kasus wanprestasi

pihak maskapai Lion Air ... 66 D. Pertimbangan hukum hakim dalam kasus

Lion Air ... 68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

ABSTRAK

Bernadette Sagala*

Sinta Uli** Aflah***

Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan banrang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Pengangkutan udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Menurut pasal 1 angka (1) pengertian penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Sebagai pihak yang melakukan perjanjian pengangkutan, baik pihak penumpang maupun pihak penyelenggara angkutan harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian pengangkutan tersebut. Apabila pihak penyelenggara angkutan yang dalam hal ini merupakan maskapai penerbangan, tidak melaksanakan kewajibannya maka ia dinyatakan wanprestasi terhadap penumpangnya. Maka oleh karena itu penulis melakukan penelitian tentang tinjauan yuridis terhadap pihak maskapai penerbangan yang mengakibatkan kerugian.

Skripsi ini berjudul Tinjauan yuridis terhadap jual beli tiket pesawat dan wanprestasi yang dilakukan pihak maskapai penerbangan yang mengakibatkan kerugian kepada pihak penumpang (Studi Kasus Putusan No. 260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST). Poin penting yang menjadi rumusan masalah yakni tinjauan yuiridis tentang pertanggungjawaban pihak maskapai penerbangan sebagai sarana angkutan udara dalam penyelenggaraan angkutan yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) dalam menganalisa putusan No. 260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST dan menggunakan pendekatan peraturan

perundang-undangan (statue approach).

Hasil penelitian ini menunjukkan kedudukan jual-beli tiket pesawat baik secara biasa maupun online yang merupakan awal perjanjian pengangkutan. Bahwa setelah tiket tersebut dibayarkan oleh penumpang sesungguhnya perjanjian telah terjadi antara pihak pengangkut dan penumpang. Apabila pihak maskapai tidak mengangkut penumpang maka pihak maskapai penerbangan harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang tersebut. Hal ini juga sesuai dengan asas tanggung jawab maskapai penerbangan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan. Kata Kunci: Tiket, Wanprestasi, Maskapai Penerbangan

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I ***


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Bernadette Sagala

NIM : 120200368

Judul Skripsi : Tinjauan yuridis terhadap jual beli tiket pesawat dan wanprestasi yang dilakukan pihak maskapai yang mengakibatkan kerugian

kepada pihak penumpang” (Studi Kasus Putusan No.

260/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST).

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya buat ini benar tidak merupakan jiplakan skripsi atau karya ilmiah orang lain

2. Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini merupakan jiplakan, maka segala akibat hukum menjadi tanggungjawab saya

3. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 15 April 2016


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Pensertifikatan Tanah yang Berasal dari Hak Ulayat (Studi Kasus Putusan MA No. 274/K/PDT/2005)

3 52 113

Akibat hukum jual beli tanah agunan oleh Bank tanpa ijin pihak debitur ( studi putusan Mahkamah Agung nomo 1726/pdt/1986

0 25 53

Pidana ganti kerugian pada kecelakaan kendraan bermotor yang mengakibatkan tewasnya korban (suatu tinjauan hukum positif dan hukum pidana Islam

1 8 89

Analisis pengaruh asset, dana pihak ketiga dan kredit yang diberikan terhadap kinerja efisiensi Bank Persero di Indonesia

0 6 139

Hadis-hadis tentang praktek-praktek yang terlarang dalam jual beli

2 13 74

Tinjauan hukum terhadap penerapan harga tiket pesawat udara pada maskapai Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik (analisis peraturan Mentri Perhubungan No. 26 Tahun 2010)

21 123 120

Pengaruh dana pihak ketiga dan tingkat suku bunga terhadap kredit yang diberikan : (studi kasus pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

8 49 75

Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara pemisahan wewenang antara pihak yang memberi dana dan yang melaksanakan tugas;

0 1 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. a. Dyer dan McHugh (1975) Meneliti profil ketepat

0 0 22

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jasa Jasa didefinisikan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat Intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan se

0 1 15