Pembahasan 1. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya

Manula 65 tahun 93 8,4 72 14 26 8,1 191 9,8 Total 1.104 100 516 100 322 100 1.942 100 Distribusi berdasarkan karakteristik kelompok usia dan jenis kelainan refraksi menunjukkan bahwa miopia memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia remaja akhir sebanyak 282 kasus 25,5 sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 76 kasus 6,9. Astigmatisme memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia awal sebanyak 124 kasus 24 sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 8 kasus 1,6. Kemudian, hiperopia memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia awal sebanyak 140 kasus 43,5 sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 2 kasus 0,6. 5.4. Pembahasan 5.4.1. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelamin Distribusi berdasarkan karakteristik jenis kelamin selama periode tahun 2011- 2014 menunjukkan bahwa kelainan refraksi paling banyak diderita jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 1.234 kasus 63,42 sedangkan laki-laki hanya sebanyak 708 kasus 36,58. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bastanta 2010 di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik dari 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 yang menunjukkan bahwa secara umum kasus kelainan refraksi lebih banyak diderita oleh perempuan daripada laki-laki. Pada penelitiannya juga didapatkan dari 283 kasus kelainan refraksi, terdapat kasus pada perempuan sebanyak 165 orang sedangkan pada laki- laki terdapat 118 orang. Berdasarkan penelitian di daerah Qazvin, Iran pada Oktober 2002 sampai dengan September 2008 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 7-12 tahun yang mengalami kelainan refraksi yang paling tinggi adalah jenis kelamin perempuan Khalaj et al, 2009. Universitas Sumatera Utara Penelitian Launardo 2010 yang dilakukan di Kec Talo, Makassar pada kelompok usia 10-20 tahun menunjukkan bahwa yang lebih tinggi menggunakan kacamata adalah jenis kelamin perempuan. Menurut penelitian Supartoto 2007, jumlah penderita kelainan refraksi juga lebih banyak diderita oleh perempuan. Perbandingan jumlah perempuan yang menderita kelainan refraksi terhadap laki-laki sebesar 1,4:1. Penelitian ini diperoleh dari 2.268 anak-anak yang berusia 7-13 tahun yang diperiksa dari 23 Sekolah Dasar di Yogyakarta. 5.4.2. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Kelompok Usia Pada penelitian yang juga ditemukan di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik periode 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 menyatakan bahwa distribusi kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 45-64 tahun. Penelitiannya menunjukkan dari 283 kasus kelainan refraksi, terdapat 34,28 yang termasuk kategori lansia diikuti kelompok usia 15-24 tahun dengan persentase sebesar 16,6 Bastanta, 2010. Penelitian ini hampir serupa dengan isi tabel 5.2, tetapi berbeda untuk kelompok usia remaja. Isi tabel 5.2 menunjukkan kelompok usia remaja akhir sedangkan penelitian Bastanta menunjukkan kelompok usia remaja awal. Berdasarkan tabel 5.2, terdapat 86 kasus atau 4,43 yang menderita kelainan refraksi pada kelompok usia anak-anak. Menurut AA0 American Academy of Ophthalmology 2007, keadaan visual anak dapat mempengaruhi perkembangan psikologis, fisik, dan intelektual. Gangguan penglihatan yang diakibatkan kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab morbiditas yang signifikan pada anak-anak di seluruh dunia. Jadi, persentase yang kecil pada penderita kelainan refraksi anak- anak sudah dapat menjadi masalah program kesehatan mata di dunia. Prevalensi miopia cenderung meningkat pada kelompok usia anak-anak. Angka prevalensi miopia di Amerika pada anak-anak usia 5-7 tahun kurang lebih 3. Pada kelompok usia 8-10 tahun sekitar 8, pada kelompok usia 11-12 tahun sekitar 14 sedangkan kelompok usia 12-17 tahun sekitar 25 AA0, 2012. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tabel 5.2, usia 5-7 tahun dan 8-10 tahun masih dikategorikan anak- anak, 11-12 tahun dan 12-17 tahun dapat dikategorikan remaja awal Depkes RI, 2009. Jadi, dari tabel 5.2 terdapat prevalensi kelompok usia anak-anak sebesar 4.43 dan remaja awal sebesar 12,4. Sementara menurut AAO 2012, kelompok usia anak-anak 8-10 tahun sekitar 8 dan anak-anak usia 5-7 tahun sekitar 3 sehingga didapatkan hasil 11 yang menderita kelainan refraksi yang termasuk kategori anak-anak, hal ini berbeda dengan penelitian ini yaitu sekitar 4.43. Berdasarkan penelitian AAO 2012, untuk kelompok usia remaja awal, 11-12 tahun sekitar 14 ditambah 12-17 tahun sekitar 25 sehingga total untuk remaja awal sekitar 39. Sementara berdasarkan tabel 5.2, prevalensi kelainan refraksi kelompok usia remaja awal sebesar 12,4. Hal ini berbeda dari isi tabel 5.2. Hasil penelitian AAO yang berbeda bisa disebabkan karena kurangnya diagnosa penyakit yang lebih dini pada masyarakat di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, kelompok usia yang paling banyak didiagnosa adalah kelompok usia lansia awal 46-55 tahun. 5.4.3. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi Berdasarkan tabel 5.3, terdapat kasus miopia yang paling banyak dengan jumlah 1.104 atau 56,84, diikuti kasus astigmatisme sejumlah 516 atau 26,56, dan kasus yang paling sedikit terdapat pada hiperopia sejumlah 322 atau 16,6. Hal ini serupa menurut Perdami 2006 yang menunjukkan bahwa miopia dengan jumlah kasus terbanyak selalu menduduki urutan teratas dibandingkan kelainan refraksi lainnya. Kelainan refraksi yang paling sering ditemukan adalah miopia. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian Wahyuni 2012. Penelitian ini dilakukan di RSUD dr Zainul Abidin dengan sampel pada anak usia sekolah dengan rentang usia 6-17 tahun sebanyak 70 orang. Hasilnya diperoleh bahwa miopia memiliki persentase 65,7. Berdasarkan penelitian pada 46.260 anak-anak yang berusia 5-15 tahun yang dilakukan pada multietnis, yaitu pada suku China, Amerika Latin, India, Melayu, Universitas Sumatera Utara Nepal, dan Afrika menunjukkan bahwa prevalensi astigmatisme sebesar 13,3. Persentase ini setengah dari tabel hasil yaitu 26,56. Menurut penelitian Bastanta 2010, dari 283 kasus yang ditelitinya tahun 2008-2010 terdapat 199 orang atau 70,31 yang menderita miopia, diikuti 62 orang atau 21,91 yang menderita hiperopia, dan jumlah yang paling terendah terdapat pada kasus astigmatisme sebanyak 22 orang atau 7,77. Hasil penelitiannya berbeda dari tabel 5.3. Kemungkinan disebabkan besar sampel yang berbeda. Menurut Madiyono et al 2013, perbedaan hasil klinis yang kecil dapat bermakna secara statistika apabila jumlah subyeknya sangat banyak. Sebaliknya, perbedaan klinis yang sangat mencolok dapat tidak bermakna secara statistika apabila subyeknya terlalu sedikit. Oleh karena itu sebagian penelitian dengan hasil secara statistika tidak bermakna, sebenarnya semata-mata disebabkan oleh kurangnya subyek yang disertakan dalam penelitian. 5.4.4. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Jenis Kelamin Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ihsanti et al 2014 yang dilakukan di RS Poliklinik Mata Anak Cicendo Bandung bahwa miopia lebih banyak diderita pada anak perempuan sebesar 64,8, diikuti astigmatisme yang juga lebih banyak diderita pada anak perempuan sebesar 63,6, tetapi pada jenis kelainan refraksi hiperopia lebih banyak diderita pada anak laki- laki sebesar 66,7. Menurut Siregar 2014, jumlah kasus miopia dan hiperopia lebih banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. 5.4.5. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Kelompok Usia Menurut Bastanta 2010, miopia paling banyak terdapat pada kelompok usia 11-20 tahun sebesar 10,84. Astigmatisme paling banyak terdapat pada kelompok usia 31-40 tahun sebesar 9,12. Kemudian, hiperopia paling sering terdapat pada kelompok usia 41-50 tahun sebesar 13,37. Penelitian Bastanta sebenarnya sesuai Universitas Sumatera Utara dengan tabel 5.5, tetapi tidak sesuai untuk jenis kelainan refraksi miopia dan astigmatisme. Menurut data Infocus Center for Primary Eye Care Development 2008, prevalensi hipermetropia di Amerika, Eropa Barat, dan Australia untuk kelompok umur 40 tahun ke atas adalah 9.9, 11.6, dan 5.5. Data ini tidak sesuai dengan isi tabel 5.5. Prevalensi hiperopia pada tabel 5.5 cukup tinggi perbedaannya dengan data Infocus Center for Primary Eye Care Development. Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan adanya perbedaan negara. Menurut penelitian Dunaway 2009, prevalensi miopia setidaknya terus meningkat sampai kelompok usia remaja. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian bahwa prevalensi miopia sebesar 1 pada umur 5 tahun, 8 pada umur 10 tahun, 15 pada umur 15 tahun. Menurut hasil penelitiannya juga, kelainan refraksi hiperopia normal jika terjadi pada bayi. Gejala hiperopia berkurang hingga usia 4 tahun. Kemudian, prevalensi hiperopia sebesar 4-7 terjadi pada kelompok usia 5- 20 tahun, kemudian menetap pada dewasa muda, selanjutnya akan bertambah pada kelompok usia 45 tahun lebih. Menurut penelitian Mecias et al 2009, jenis kelainan refraksi astigmatisme memiliki derajat yang semakin berat seiring dengan peningkatan usia. Penelitian Dunaway pada miopia dan hiperopia sesuai dengan isi tabel 5.5, yang menunjukkan miopia memiliki prevalensi yang terus meningkat sampai kelompok usia remaja. Kemudian, hiperopia meningkat pada kelompok usia lansia. Penelitian Mecias et al juga sesuai dengan isi tabel 5.5 yang menunjukkan kelainan refraksi astigmatisme memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia. Penelitian Saw et al 2005 meneliti di Sumatera yang menyatakan prevalensi miopia di Sumatera mencapai 26,1 dan juga menyatakan bahwa prevalensi miopia yang paling tinggi dijumpai pada kelompok usia 21-29 tahun. Penelitian ini hampir serupa dengan isi tabel 5.5 yang menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi miopia dijumpai pada remaja akhir 26-35 tahun sebesar 25,5 dan prevalensi yang juga cukup tinggi dijumpai pada remaja awal 17-21 tahun sebesar 16,9. Menurut American Optometric Association AOA, 2008, rata-rata bayi sudah lazimnya untuk menderita hiperopia atau disebut fisiologis. Prevalensi dan derajat Universitas Sumatera Utara hiperopia paling banyak diderita anak-anak usia 5 tahun ke bawah, kemudian semakin berkurang seiring mereka memasuki usia 10 tahun disebabkan adanya proses emetropisasi pada mata mereka. Hiperopia yang di atas usia tersebut terlihat pada penderita presbiopia yang terjadi pada kelompok lansia. Diabetes Melitus, riwayat pemakaian kontak lensa yang sudah terlalu lama, riwayat penyakit tumor mata merupakan faktor resiko terjadinya hiperopia pada kelompok lansia. Oleh karena itu, hiperopia mendominasi pada kelompok usia lansia. 5.4.6. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Prevalensinya Berdasarkan Jumlah Seluruh Kasus Penyakit Mata di Poliklinik Mata Prevalensi adalah jumlah total kasus penyakit tertentu yang terjadi pada waktu tertentu di wilayah tertentu Dorland, 2010. Prevalensi merupakan hasil perhitungan berbentuk angka dari hasil pembagian antara pembilang dan penyebut yang biasanya dikalikan dengan 100 Nasution, 2012. Pembilang dari perhitungan hasil penelitian ini adalah jumlah seluruh kasus kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014 sedangkan penyebutnya adalah jumlah seluruh kasus jenis penyakit mata di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014, termasuk kasus kelainan refraksi. Jumlah seluruh kasus kelainan refraksi pada penelitian ini adalah 1.942 sedangkan jumlah seluruh kasus jenis penyakit mata pada penelitian ini adalah 7.193. Maka, prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014 sebesar 26.99 atau 27. Menurut penelitian Bastanta 2010, prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik periode 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 sebesar 6,19 dengan 283 kasus kelainan refraksi dan 4.571 kasus seluruh jenis penyakit mata di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014. Peneliti berasumsi perbedaan prevalensi kelainan refraksi di tempat yang sama dengan periode yang berbeda disebabkan jumlah sampel dan populasi yang sangat berbeda. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN