2. Sifat Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara Perdata, putusan pengadilan menurut sifatnya
dibagi ke dalam tiga jenis :
15
a. Putusan Kondemnator condemnatoir vonnis, condemnatory verdict Putusan Kondemnator adalah putusan yang bersifat menghukum.
Hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, hukuman artinya kewajiban untuk memenuhi
prestasi yang dibebankan oleh hakim. Menghukum artinya membebani kewajiban untuk berprestasi terhadap lawannya. Prestasi itu dapat berwujud
memberi sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam putusan ini ada pengakuan atau pembenaran hak penggugat atas suatu prestasi yang
dituntutnya, atau sebaliknya tidak ada pengakuan atau tidak ada pembenaran atas sutu prestasi yang dituntutnya. Hak atas sutu prestasi yang telah
ditetapkan oleh hakim dalam putusan ini dapat dilaksanakan dengan paksaan . b. Putusan Deklarator declaratoir vonnis, declaratory verdict
Putusan deklarator adalah putusan yang bersifat menyatakan hukum atau menegaskan suatu keadan hukum semata-mata. Dalam putusan ini
dinyatakan bahwa keadaan hukum tertentu yang dimohonkan itu ada atau tidak ada. Putusan ini tidak ada pengakuan sesuatu hak atas prestasi tertentu.
Umumnya putusan ini terjadi dalam lapangan hukum badan pribadi, misalnya mengenai pengangkatan anak, kelahiran, penegasan hak atas suatu benda.
Putusan ini bersifat penetapan saja tentang keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak ada sengketa.
c. Putusan konstitutif consitutief vonnis, constitutive verdict Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan
keadaan hukum lama menjadi keadaan hukum yang baru. Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu dihentikan, atau ditimbulkan suatu keadaan
hukum baru, misalnya putusan pembatalan perkawinan, pembatalan perjanjian. Putusan ini tidak diperlukan pelaksanaan dengan paksaan karena
dengan dijatuhkannya putusan tersebut sekaligus keadaan hukum lama berhenti dan timbul keadaan hukum baru.
B. Pengertian Eksekusi dan asas eksekusi
15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 149.
HIR tidak secara tegas memberikan pengertian mengenai eksekusi. Bertitik tolak dari ketentuan Bab kesepuluh bagian kelima HIR, eksekusi
diistilahkan sama dengan tindakan “menjalankan putusan”. Retno Wulan Sutantio
16
menggunakan istilah “pelaksanaan putusan”. Begitu pula dengan Prof. Subekti
17
menggunakan istilah “pelaksanaan putusan”. M. Yahya Harahap, S.H. memberikan definisi mengenai eksekusi adalah:
“Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah perdata.”
18
Eksekusi terhadap putusan perdata menjadi penting dan merupakan akhir dari perkara perdata. Dalam praktik tidak sedikit dijumpai bagi pihak yang harus
menjalankan putusan hakim tersebut tidak mau menjalankan putusan hakim tersebut secara sukarela. Pada asasnya terdapat empat asas dalam melaksanakan
eksekusi yakni sebagai berikut:
19
1. Eksekusi pelaksanaan putusan dijalankan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Asas ini harus diperhatikan pada saat hendak melaksanakan eksekusi. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
inkrackht van gewijsde yang dapat dijalankan. Apabila terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan
yang bersangkutan belum bisa dikatakan berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata. Maka ditinjau dari segi yuridis, asas ini mengandung
makna bahwa eksekusi menurut hukum acara perdata adalah menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Eksekusi dijalankan terhadap putusan yang tidak dijalankan secara sukarela. Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan
secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus
16
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Alumni, bandung, 1977, hal. 111.
17
Subekti, Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 1977, hlm. 128.
18
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, cet. Kedua, hal. 6.
19
Lihat Ibid., hal. 6-22.
dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan putusan secara eksekusi.
3. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putsan yang bersifat Condemnatoir.
Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang bersifat menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau
konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan oleh hakim, maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan
dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan kondemnator bisa berupa putusan untuk:
a. Menyerahkan suatu barang. b. Mengosongkan sebidang tanah.
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu. d. Menghentikan suatu perbuatankeadaan.
e. Membayar sejumlah uang.
Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari a sampai dengan e adalah penghukuman untuk bentuk eksekusi riil, sedangkan pada point e adalah
eksekusi pembayaran uang. 4. Eksekusi atas Perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat 1 HIR. Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka
eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
C. Perbedaan Eksekusi riil dengan Eksekusi Pembayaran