dengan aturan sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran SEMA No. 21964 tanggal 22 Januari 1964.
23
Isi surat edaran ini ditujukan kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Namu demikian, Pada
tanggal 30 Juni 2000 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa
badan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya. Mengenai gijzeling akan dijelaskan dalam penjelasan tersendiri.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan maka dapat dipahami bahwa Cara- cara menjalankan eksekusi diatur dalam HIR mulai Pasal 195 sampai Pasal 224.
Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1964 tidak semua pasal-pasal tersebut berlaku secara efektif. Ketentuan pasal 209 sampai dengan ketentuan Pasal 225 HIR yang
mengatur tentang sandera gijzeling tidak lagi diberlakukan. Namun SEMA No. 2 tahun 1964 yang bercorak generalis menghapuskan penerapan penyanderaan
debitur, telah direduksi oleh PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan dalam PERMA No. 1 Tahun 2000.
E. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada dasarnya eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah untuk
melaksanakan putusan pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh putusan pengadilan. Apabila pihak terhukum tidak mau
melaksanakan putusan berupa pembayaran sejumlah uang sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan berwenang untuk melaksanakan
eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak
yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.
Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat langsung dilakukan dan hasilnya langsung diperoleh oleh penerima hak dari pihak yang dihukum.
23
Lihat, Himpunan SEMA dan PERMA Tahun 1951 – 1999, hal. 93.
Terdapat tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan penyerahan hasil lelang kepada penerima hak atas pihak yang dihukum adalah
tahapan terakhir dalam eksekusi. Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut :
1. Peringatan aanmaning. Peringatan aanmaning merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses
peringatan merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Peringatan aanmaning baru dapat dilakukan setelah diterimanya pengajuan permohonan eksekusi dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk
pengajuan eksekusi dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Selama belum ada permohonan eksekusi, proses peringatan tidak dapat
dilakukan. Namun demikian, ketika sudah diajukan permohonan eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan aanmaning. Batas
waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua Pengadilan Negeri maksimal adalah 8 delapan hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 196 HIR.
Setelah dilakukan peringatan aanmaning, apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa
peringatan dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi executoriale beslag.
2. Sita Eksekusi executorial beslag Sita eksekusi atau executorial beslag merupakan tahap lanjutan dari
peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal
199 HIR. Mengenai sita eksekusi executorial beslag ada beberapa hal yang perlu
dijelaskan oleh penulis adalah sebagai berikut : a. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan
Negeri. Pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, surat perintah dilakukan setelah surat peringatan aanmaning. Penahapan proses sita
eksekusi harus disusul dengan penahapan surat perintah penjualan lelang. Setelah penahapan proses perintah penjualan lelang baru kemudian
dilakukan proses penahapan penjualan lelang oleh jawatan lelang.
24
Mengenai penahapan penjualan lelang akan dibahas lebih lanjut dalam pemabahasan tersendiri.
b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi, surat perintah eksekusi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita
sejumlah atau seluruh harta kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan batas yang ditentukan pasal 197 ayat 1 HIR.
c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi dibantu dan disaksikan oleh dua orang saksi. Ketentuan ini adalah syarat
formil yang ditentukan Pasal 197 ayat 6 HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan dua orang saksi menurut hukum dianggap tidak
memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. d. Tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang
keharusan pelaksanaan sita eksekusi dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita. Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal
197 ayat 5 dan ayat 9 HIR. Maksudnya adalah panitera atau juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak disita terletak untuk melihat
sendiri jenis barang maupun ukuran dan letak barang yang hendak disita eksekusi bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.
e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita eksekusi. Autentikasi sita eksekusi sebagai tindakan hukum dituangkan dalam berita acara.
Berita acara merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa berita acara sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi. Hal inilah yang
disinggung Pasal 197 ayat 5 dan 6 HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang dilakukan panitera atau juru sita mesti dilengkapi
dengan pembuatan berita acara. f. Pasal 197 ayat 5 HIR menentukan berita Acara eksekusi diberikan
kepada tersita eksekusi jika tersita hadir pada waktu pelaksanaan eksekusi.
24
Lihat M. Yahya Harahap, S.H., Loc.Cit. hal. 67.
Walaupun undang-undang menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap diberikan kepada tereksekusi walapun dia tidak hadir.
25
g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak tersita. Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak
tersita. Hadir atau tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.
26
h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan pihak tersita. Penjagaan dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan
kepada pemohon eksekusi. Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik tereksekusi atas barang yang disita. Selama barang yang disita
eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita masih tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini berdasarkan dengan hak penjagaan dan
penguasaan barang yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat 9 HIR.
3. Lelang Eksekusi executoriale verkoop.
Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang executorial verkoop. Hal ini ditegaskan Pasal 200 ayat 1 HIR yang berbunyi :
“penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang
melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang
ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.”
Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang.
Penjualannya disebut penjualan lelang executorial verkoop. Pelaksanaan Lelang berpedoman pada Kep. Menkeu No. 450KMK
012002 jo. Kep. Menkeu No. 450KMK 012002 jo. Kep. DJPLN No. 35PL2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Akan penulis jelaskan
mengenai tahapan-tahapan penjualan lelang sebagai berikut :
25
Lihat Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1987, hal. 84.
26
Lihat M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 88.
a. Penjual mengajukan permohonan lelang. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Kep. Menkeu No. 304KMK 012002 jo. No. 450KMK 012002.
Apabila Ketua Pengadilan Negeri hendak melaksankan lelang eksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
inkracht van gewijsde atau berdsarkan dokumen atau produk yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, berarti Pengadilan
Negeri berkedudukan sebagai penjual. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan penjualan lelang itu, Ketua Pengadilan Negeri mengajukan permohonan
kepada Kantor Lelang. b. Dokumen persyaratan lelang harus dipenuhi oleh Ketua Pengadilan Negeri
dalam mengajukan permohonan lelang. Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi tersebut diatur pada Pasal 2 dan pasal 3 angka 4 Kep. DJPLN No.
35PL2002. Dokumen yang harus diserahkan tersebut adalah : 1 Salinanfotokopi Surat Keputusan penunjukan penjual.
2 Syarat lelang dari penjual apabila ada. 3 Daftar barang yang akan dijual.
4 Salinanfotokopi putusan atau penetapan pengadilan. 5 Salinanfotokopi pentapan peringatan aanmaning atau teguran
dari Pengadilan Negeri. 6 Salinanfotokopi penetapan sita oleh Ketua Pengadilan Negeri.
7 Salinanfotokopi Berita Acara Sita. 8 Salinanfotokopi perincian utangjumlah yang harus dipenuhi.
9 Salinanfotokopi pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi. 10 Bukti kepemilikan atas barang yang akan dilelang. Dalam hal bukti
kepemilikan tidak dikuasai, harus ada pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai bukti
kepemilikan dengan disertai alasannya. c. Sesuai dengan ketentuan Psal 4 Kep. Menkeu No. 304KMK 012002,
sebagaimana diubah dengan Kep. Menkeu No. 450KMK 012002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Pasal 4 Kep. DJPLN No. 35PL2002, pada
prinsipnya lelang dilaksanakan dalam wilayah kerja Kantor Lelang tempat berada. Dengan demikian, patokan menentukan kompetensi relative
pelaksanaan lelang, didasarkan tempat barang berada atau terletak. Dengan demikian, permohonan lelang diajukan kepada Kepala Kantor Lelang
tempat di mana barang yang hendak dilelang berada. Akan tetapi, berdasarkan perubahan atas Pasal 5 Kep. Menkeu, dihubungkan dengan
Pasal 4 ayat 2 Kep. DJPLN No. 35PL2002, lelang dapat juga dilaksanakan di luar wilayah kerja Kantor Lelang tempat di mana barang
berada, dengan syarat mendapat persetujuan dari DJPLN untuk barang- barang yang berada dalam wilayah antar Kanwil DJPLN ; Kepala Kanwil
DJPLN setempat untuk barang-barang yang berada di wilayah Kantor Wilayah DJPLN setempat.
d. Pengumuman lelang adalah tahapan berikutnya yang wajib dilaksanakan. Hal ini diatur Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 Kep. Menkeu No.
304KMK 012002 jo. No. 450KMK 012002. Pengumuman Lelang dilakukan oleh penjual, dalam hal Penjualan lelang eksekusi perdata hal ini
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pengumuman lelang bukan dilakukan oleh Kantor Lelang.
e. Setelah pengumuman lelang dilaksanakan maka barulah dapat dikerjakan pelaksanaan lelang. mengenai Pelaksanaan Lelang ini diatur pada BAb III
Kep. Menkeu No. 304KMK 012002 jo. No. 450KMK 012002 Pasal 23 sampai dengan pasal 42, dan BAB II Kep. DJPLN No. 35PL2002 pasal
15-28. f. Risalah Lelang wajib dibuat setelah pelaksanaan lelang. Pengaturan risalah
lelang ini terdapat dalam BAB IV Pasal 43-51 Kep. Menkeu No. 304KMK 012002 jo. No. 450KMK 01 2002 dan BAB III Pasal 29-36
Kep. DJPLN No. 35PL2002. g. BAB V Pasal 52-53 Kep. Menkeu No. 304KMK 012002 jo. No.
450KMK 01 2002 jo. BAB IV Pasal 37-38 Kep. DJPLN No. 35PL2002 menegaskan Kantor Lelang menyelenggarakan Pembukuan dan Laporan
yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang. h. Hasil dari penjualan lelang tersebut akan digunakan untuk memenuhi
kewajiban tereksekusi dalam memenuhi putusan pengadilan dan memenuhi biaya eksekusi. Jika hasil penjualan tersebut sudah sama
dengan jumlah yang harus dipenuhi oleh tereksekusi ditambah dengan biaya eksekusi maka kelebihan barang harus dikembalikan kepada
tereksekusi. Hal ini diatur dalan HIR Pasal 198 ayat 5.
F. Eksekusi Yang Tidak Dapat Dijalankan Noneksekutabel