Pengaturan Hukum Eksekusi PEMBAHASAN TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSEKUSI

atas putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang terdiri dari grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek, crediet verband, hak tanggungan, jaminan fidusia. Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse akta. Sebab grosse akta pengakuan utang, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan hukum utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran sejumlah uang. Jadi, bentuk kelahiran terjadinya grosse akta itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi pembayaran sejumlah uang. 3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan. Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembyaran sejumlah uang, dasar hubungan hukumnya hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan pada waktu tertentu.

D. Pengaturan Hukum Eksekusi

Eksekusi sebagai tindak lanjut putusan oleh pengadilan kepada pihak yang dihukum merupakan tindakan berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR. Cara-cara menjalankan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR. Saat ini tidak semua ketentuan pasal-pasal tersebut berlaku efektif. Yang masih betul-betul efektif berlaku adalah Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR yang mengatur tentang sandera gijzeling, tidak lagi berlaku efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar hutangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak lagi dapat disandera gijzeling sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan. Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran SEMA No. 21964 tanggal 22 Januari 1964. 23 Isi surat edaran ini ditujukan kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Namu demikian, Pada tanggal 30 Juni 2000 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya. Mengenai gijzeling akan dijelaskan dalam penjelasan tersendiri. Berdasarkan hal yang telah dijelaskan maka dapat dipahami bahwa Cara- cara menjalankan eksekusi diatur dalam HIR mulai Pasal 195 sampai Pasal 224. Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1964 tidak semua pasal-pasal tersebut berlaku secara efektif. Ketentuan pasal 209 sampai dengan ketentuan Pasal 225 HIR yang mengatur tentang sandera gijzeling tidak lagi diberlakukan. Namun SEMA No. 2 tahun 1964 yang bercorak generalis menghapuskan penerapan penyanderaan debitur, telah direduksi oleh PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan dalam PERMA No. 1 Tahun 2000.

E. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang