4.1.2 Analisis SWOT penanggulangan IUU-Fishing di Laut Arafura
Penentuan upaya penanggulangan IUU-Fishing di Laut Arafura didasarkan pada analisis SWOT yang bersumber dari analisis faktor internal dan eksternal
yang diperkirakan mempengaruhi upaya penanggulangan IUU-Fishing di masa yang akan datang.
1 Faktor internal Faktor internal yang diperoleh bersumber dari identifikasi kekuatan dan
kelemahan yang diperoleh selama penelitian yang selanjutnya dituangkan dalam matriks Internal Factor Analysis Strategic IFAS. Kisaran bobot yang digunakan
berkisar antara 0,0 -1,0 Tripomo dan Udan, 2005. Nilai bobot semakin tinggi mengindikasikan faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang tinggi.
Rating yang diberikan dalam matriks IFAS dengan skala mulai 4 out standing sampai dengan 1 poor untuk kekuatan, sebaliknya untuk kelemahan rating yang
diberikan merupakan invers dari nilai-nilai tersebut . Pemberian nilai rating untuk faktor kekuatan bersifat positif yang artinya bila kekuatan semakin besar diberi
rating 4 tetapi bila kekuatannya kecil diberi rating 1, sedangkan bila nilai kelemahan besar nilai ratingnya 1 dan bila kelemahannya kecil ratingnya 4.
Faktor-faktor yang menjadi kekuatan pada organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua dalam upaya penanggulangan IUU-Fishing di Laut
Arafura yaitu : 1 Sumberdaya manusia SDM Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS
Sumberdaya manusia SDM yang berhubungan langsung dengan penanganan pelanggaran sumberdaya perikanan adalah Penyidik Pegawai
Negeri Sipil PPNS perikanan. Menurut Plt. Kepala Subdin pengawasan Dinas Perikanan jumlah PPNS bidang perikanan yang saat ini berada di
Provinsi Papua sebanyak 15 orang dan semuanya telah memiliki sertifikasi sebagai PPNS bidang perikanan. Sertifikasi PPNS bidang perikanan
diperoleh dengan mengikuti pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil reguler bidang perikanan yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Papua bekerjasama dengan Polisi Daerah POLDA Papua maupun pelatihan yang diselenggarakan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan. Pengalaman atau kursus-kursus yang pernah diikuti yaitu; Pelatihan Penyidik Pelatihan Pegawai Negeri Sipil bidang perikanan reguler
dilaksanakan untuk pegawai Golongan I dan II pegawai non struktural. Selain pelatihan PPNS reguler bidang perikanan dilaksanakan juga Crash
Program PPNS oleh Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Crash program ini dilaksanakan
bagi pejabat eselon III dan II. Pelaksanaan crash program dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Berdasarkan kompetensi yang dimiliki
sebagai PPNS maupun penyidik memungkinkan PPNS perikanan melakukan kegiatan-kegiatan penyidikan.
Tingkat pendidikan PPNS yang ada pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua yaitu magister 1 orang, sarjana 9 orang dan SLTA
sebanyak 4 orang. Pelatihan yang diikuti dan tingkat pendidikan PPNS perikanan seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tingkat pendidikan PPNS perikanan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua sampai Desember 2006
Nama NIP Pelatihan PPNS yang diikuti Tingkat Pendidikan Nixon Laempasa, SH.M.MT SPN POLDA Irian Jaya Magister
NIP. 640 019 822 Tahun 1992 Amari Soegianto, SE Crash Program PPNS di Sarjana
NIP. 640 008 818 Jakarta Tahun 2003 Ir. Yosefo R. Lasse Crash Program PPNS di Sarjana
NIP.080 079 2590 Jakarta Tahun 2003 Drs. Daniel Bonsapia Crash Program PPNS di Sarjana
NIP. 080 067 115 Jakarta Tahun 2003 Ir. Max Apituley Crash Program PPNS di Sarjana
NIP. 640 019 858 Jakarta Tahun 2003 Inonseus Yoga Pribadi PPNS Reguler Sarjana
NIP. 640 067 115 Tahun 2006 Burhan silaen PPNS Reguler Sarjana
NIP. 640 025 681 Tahun 1992 Achmat Matdoan PPNS Reguler Sarjana
Melianus Djitmau, SH Crash Program PPNS di Sarjana NIP. 080 067 115 Jakarta Tahun 2003
Trisabdo Wibowo PPNS Reguler Sarjana Muda NIP. 080 117 861 Tahun 2005
Fredrik Koibur SPN POLDA Irian Jaya SLTA NIP. 640 025 681 Tahun 1992
Fileb Marbo Pusdik Serse POLRI Mega SLTA NIP. 640 015 740 Mendung-Jabar tahun 1991
Florentinus Suhono S Pusdik Serse POLRI Mega SLTA NIP. 080 106 618 Mendung-Jabar tahun 1991
Abraham L Duwiri SPN POLDA Irian Jaya SLTA NIP. 640 026 115 Tahun 1999
Yones N. Arobaya SPN POLDA Irian Jaya SLTA NIP. 640 018 956 Tahun 1999
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, 2006 Jumlah PPNS perikanan yang berada di Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi Papua jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan luasnya perairan yang ada di Papua. Khusus bagi beberapa kabupaten yang
berhubungan langsung dan memanfaatkan sumberdaya perikanan dari Laut Arafura seperti Kabupaten Merauke, Mimika, Timika, Mappi dan Asmat
jumlah PPNS perikanannya juga masih sangat terbatas. Sobari et al. 2003 menyatakan bahwa adanya rezim sentralistik menyebabkan rendahnya
pengawasan sumberdaya perikanan karena terlalu sedikitnya aparat dan sangat luasnya daerah yang harus diawasi
2 Sarana dan prasarana pengawasan Sarana dan prasarana pengawasan merupakan faktor terpenting dalam
melakukan kegiatan pengawasan. Sarana yang digunakan dalam mendukung kegiatan pengawasan sumberdaya perikanan dan kelautan di Perairan Papua
termasuk Laut Arafura yang dimiliki oleh Dinas Perikanan dan Kelautan yaitu 2 dua buah speed boat fibreglass masing-masing berukuran 8 meter yang
berada di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor Utara Papua. Selain memiliki speed boat untuk kegiatan pengawasan PPNS Perikanan juga
dilengkapi dengan sarana komunikasi berupa HT dan SSB yang tersebar di setiap kabupaten Provinsi Papua. Sarana komukasi ini digunakan untuk
memudahkan komunikasi antara PPNS dan untuk memonitor kegiatan pengawasan perikanan yang terjadi di Perairan Papua. Pengadaan sarana dan
prasarana untuk menunjang kegiatan pengawasan.
Sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegitan pengawasan ini masih sangat terbatas sekali jumlah dan kemampuannya. Saat ini untuk wilayah
perairan selatan Papua atau beberapa Dinas Perikanan kabupaten yang mempunyai kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
ikan dari Laut Arafura seperti Merauke, Asmat, Mimika, Kaimana, belum memiliki sarana yang memadai untuk menunjang kegiatan pengawasan.
Keberadaan speedboat yang selama ini digunakan untuk kegiatan pengawasan disekitar perairan pesisir karena kemampuannya yang sangat
terbatas. Pelaksanaan pengawasan untuk perairan yang lebih jauh selama ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi
Papua karena belum memiliki kapal pengawas perikanan. Kegiatan pengawasan dengan menggunakan kapal-kapal pengawas selama ini
menggunakan kapal pengawas yang dimiliki Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu Km. Macan 002 dan Km.Hiu 005 yang beroperasi di selatan
dan utara Papua. Kapal pengawas yang beroperasi di selatan Papua yaitu Km.Hiu 005 yang berkedudukan di Merauke, namun sejak tahun 2005 kapal
tersebut telah ditarik ke Jakarta oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Gambar 6 Kapal patroli Hiu 005 Kegiatan patroli dalam rangka kegiatan pengawasan sumberdaya perikanan
di Laut Arafura biasanya dilakukan sendiri oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provnsi Papua maupun bersama tim gabungan dari Dinas Perikanan dan
Kelautan, SATPOLAIR Papua, TNI AL dan Bea Cukai yang tergabung dalam Badan Koordinasi Keamanan Laut Bakorkamla dengan frekuensi 2
kali dalam setahun. Kegiatan patroli laut dalam rangka pengawasan di Laut Arafura selama ini lebih banyak diperankan oleh TNI AL, karena memiliki
kemampuan armada pengawas yang lebih baik di banding lembaga-lembaga yang lain. Pengawasan yang dilakukan oleh TNI AL dilakukan secara rutin
setiap dua minggu sekali untuk perairan teritorial. Pengawasan yang dilakukan oleh SATPOLAIR Papua menurut Kepala seksi hukum dan
pelanggaran SATPOLAIR dilakukan biasanya secara terpadu maupun sendiri oleh phak SATPOLAIR dengan menggunakan kapal patroli yang
dimiliki oleh SATPOLAIR Papua yaitu KM.Teluk Youtefa dengan ukuran 52 GT dan beberapa speat boat untuk penyisiran di daerah pesisir. Kegiatan
operasi pengawasan yang dilakukan terkadang juga menghadapi kendala karena cuaca dan tingginya gelombang di sekitar perairan Papua.
Gambar 7 Kapal patroli Tanjung You Tifa milik SATPOLAIR Papua 3 Pelaksanaan koordinasi
Sistim koordinasi yang dilakukan untuk memonitor dan mengevaluasi kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan sumberdaya perikanan dan
kelautan di Laut Arafura. Sistim koordinasi yang dilakukan selama ini yaitu
secara internal dalam Dinas Perikanan dan Kelautan baik yang dilakukan sendiri oleh Subdin Pengawasan maupun secara keseluruhan oleh semua
subdin dan seksi yang ada pada Dinas Perikanan dan Kelautan. Kegiatan pertemuan atau koordinasi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengevaluasi
program kerja yang telah dilakukan oleh Subdin pengawasan dan hal-hal yang akan dilakukan kedepan. Selain koordinasi secara internal, juga dilakukan
koordinasi dengan melibatkan beberapa instansi yang berhubungan dengan kegiatan pengawasan di laut yang dilaksanakan secara insidentil atau
sewaktu-waktu bila terjadi sesuatu masalah. Beberapa instansi yang sering melakukan koordinasi yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, TNI AL, Pihak
Imigrasi dan Satuan Polisis Perairan SATPOLAIR. Pertemuan ini biasanya dilakukan oleh Tim Badan koordinasi Keamanan Laut Bakorkamla untuk
mengevaluasi kegiatan Pengawasan yang dilakukan selama ini. Guna lebih meningkatkan koordinasi antara penegak hukum di Laut dan
dengan masyarakat maka telah dibentuk Sistim pengawasan berbasis masyarakat SISWASMAS yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam
mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara bertanggung jawab. Hal ini juga dilakukan
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumberdaya kelautan perikanan. Daerah yang selama ini masyarakatnya mempunyai
kearifan lokal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan dapat memberikan
kehidupan yang lebih baik bagi anggota masyarakatnya Sobari et al. 2003 Beberapa kabupaten yang memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan
di Laut Arafura telah dibentuk Kelompok Masyarakat pengawas POKMASWAS yang merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan
yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, nelayan dan petani ikan. Pembentukan SISWASMAS
mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.58MEN2001 tentang Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan
Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
4 Penelitian dan pengembangan Berbagai penelitian dalam rangka pengembangan sumberdaya ikan di Laut
Arafura telah dilaksanakan. Beberapa penelitian telah di lakukan untuk melihat potensi sumberdaya udang dan ikan demersal yang ada di Laut
Arafura. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai langkah kebijakan pengelolaan sumber daya ikan oleh pengambil kebijakan. Hasil
penelitian pengelolaan sumberdaya ikan di Laut Arafura yang dilakukan baik baik oleh lembaga pendidikan tinggi maupun Badan Riset Kelautan dan
Perikanan pada umumnya berhubungan dengan sumberdaya udang dan ikan yang ada di Laut Arafura dan keberadaan kapal-kapal penangkap ikan yang
beroperasi di Laut Arafura. Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya udang dan ikan yang ada di Laut Arafura cenderung
mencapai tingkatan maksimum. Hasil penelitian Sularso 2005 menunjukan bahwa jumlah kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura berukuran
diatas 30 GT dengan yang izin dari Departemen Kelautan dan Perikanan, seharusnya hanya 250 kapal. Namun sampai saat ini terdapat 335 kapal yang
berarti kelebihan 105 kapal. Disamping kapal-kapal yang memiliki izin resmi tersebut juga terdapat kapal-kapal yang tidak memiliki izin resmi illegal
fishing. Badan Riset Kelautan dan Perikanan 2003 juga melaporkan bahwa
pemanfatan sumberdaya ikan demersal di Laut Arafura cenderung penuh fully exploited dan pemanfaatan udang cenderung berlebih over-exploited.
Dilaporkan pula bahwa hal tersebut diduga karena selain kapal-kapal yang berizin terdapat juga sejumlah kapal yang melakukan penangkapan ikan tanpa
izin atau melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal. Hasil kajian penelitian yang telah dilakukan selama ini belum secara spesifik pada kajian-
kajian yang berhubungan dengan upaya penanggulangan IUU-Fishing di Laut Arafura. Menurut Purbayanto dan Sondita dalam Monintja, et al. 2006
salah satu permasalahan yag merupakan issu hangat Laut Arafura dan sampai sekarang belum ditemukan solusi terbaiknya adalah kegiatan IUU-Fishing.
5 Keuangan Keuangan sangat diperlukan untuk menunjang program yang akan
dilaksanakan karena tanpa adanya dana tidak mungkin program akan berjalan
secara efektif. Biaya untuk kegiatan monitoring dan pengawasan yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Papua adalah menggunakan dana dekonsentrasi baik APBD maupun APBN. Tahun Anggaran 2006 dana yang disediakan untuk
kepentingan pengawasan dan pembinaan teknis sebesar Rp. 151.130.000,- untuk kegiatan pembinaan teknis tenaga pengawas perikanan sebesar
Rp.128.530.000,- dan pelatihan petugas cek fisik kapal sebesar Rp. 22.500.000,-. Adanya dukungan dana ini merupakan kekuatan yang dapat
digunakan untuk menunjang kegiatan pengawasan walaupun jumlahnya sangat minim. Menurut Darmawan 2006 pendanaan menempati urutan
terpenting karena semua responden yang diamati dalam hubungannya dengan kebijakan penanggulangan IUU-Fishing di Indonesia sepakat bahwa tanpa
dana, maka tidak ada program yang dapat dilaksanakan. Peran pendanaan atau keuangan pada kondisi tertentu sulit untuk digantikan.
Faktor yang menjadi kelemahan dalam upaya penanganan kegiatan IUU- Fishing
di Laut Arafura antara lain : 1 Jumlah PPNS perikanan yang terbatas.
PPNS Perikanan yang berada pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua jumlahnya masih sangat minim. Jumlah PPNS perikanan yang berada
pada Dinas Perikanan dan Kelautan jumlahnya hanya 15 orang. Menurut Plt. Subdin Pengawasan Dinas Perikanan dan Kelautan, jumlah tersebut sangat
sedikit dibanding dengan luasnya wilayah perairan di Papua. Luasnya wilayah perairan Papua baik bagian utara maupun selatan tidak sebanding
dengan jumlah aparat pengawas yang ada menyebabkan kegiatan pengawasan tidak berjalan secara optimal. Beberapa kabupaten yang ada di Provinsi
Papua sampai saat ini belum memiliki PPNS Perikanan; 2 Belum tersedianya kapal perikanan.
Kapal pengawas perikanan sangat diperlukan dalam menunjang dan meningkatkan kegiatan pengawasan sumberdaya ikan dan adanya tindak
kejahatan bidang perikanan yang sering terjadi di Laut Arafura. Speedboat yang dimiliki oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Papua hanya untuk
memantau perairan sekitar pesisir dan tidak dapat menjelajah pada perairan yang lebih jauh. Kapal pengawas yang selama ini digunakan untuk
melakukan kegiatan pengawasan adalah milik Departemen Kelautan dan Perikanan. Pelaksanaan pengawasan yang lebih jauh hanya dapat
dilaksanakan oleh kapal-kapal patroli TNI AL karena mempunyai kapasitas kapal yang lebih besar.
3 Sistim koordinasi yang masih dilakukan secara insidentil. Koordinasi yang selama ini untuk mengevaluasi kegiatan program
pembangunan perikanan termasuk perkembangan kegiatan pengawasan di bidang perikanan. Beberapa instansi yang sering melakukan koordinasi yaitu
Dinas Perikanan dan Kelautan, TNI AL, pihak Imigrasi dan Satuan Polisis Perairan SATPOLAIR. Pertemuan ini biasanya dilakukan oleh Tim Badan
koordinasi Keamanan Laut Bakorkamla untuk mengevaluasi kegiatan Pengawasan yang dilakukan selama ini. Kegiatan ini dilaksanakan bersifat
insidentil atau sewaktu-waktu bila terjadi sesuatu permasalahan. Abdurachman 1973 menyatakan koordinasi merupakan kegiatan untuk
menertibkan, sehingga segenap kegiatan manajemen maupun pelaksanaan satu sama lain tidak simpang siur, tidak berlawanan arah dan dapat ditujukan
pada titik pencapaian tujuan dengan efisien. Selanjutnya Clark 1995 mengemukakan pentingnya melakukan koordinasi dan pengawasan dalam
pengelolaan perikanan dengan alasan antara lain kompleksitas kepentingan publik di wilayah pesisir dan laut, serta dampak satu sektor terhadap sektor
lainya. 4 Alokasi dana pengawasan yang minim
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pengawasan Budidaya dan penangkapan Ikan dana yang tersedia ini sangat terbatas sehingga
pelaksanaan pengawasan tidak dapat dilakukan secara rutin oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua. Tahun 2006 dana yang dialokasikan
untuk kegiatan pengawasan hanya sebesar Rp. 151.130.000,- dari total dana pembangunan perikanan dan kelautan Rp.27.437.547.000,- Dua puluh tujuh
milyard empat ratus tiga puluh tujuh lima ratus empat puluh tujuh ribu rupiah. Keterbatasan dana yang dialami selama ini merupakan salah satu
faktor yang menghambat pelaksanaan program pengawasan yang dilakukan selama ini. Keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan yang dimiliki oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Papua merupakan indikator pentingnya pendanaan dalam menunjang program pengawasan.
Tabel 3 Matrix Internal Factor Analisis Strategic IFAS
Faktor Internal Bobot
Rating Skor B X R
Kekutan S 1. SDM PPNS Perikanan
2. Sarana dan prasarana pengawasan 3. Penelitian dan Pengembangan
4. Sistim koordinasi yang selama ini
dilakukan 5. Dukungan Dana untuk kegiatan
pengawasan 0.15
0.14 0.05
0.05 0.11
4 3
3
3 3
0.60 0.42
0.15
0.15 0.22
1,54
Kelemahan W 1. Jumlah PPNS Pengawasan yang
terbatas 2. Belum tersedianya kapal pengawas
3. Koordinasi yang dilaksanakan secara insidentil
4. Alokasi dana pengawasan yang minim
0.13 0.10
0.15 0.12
1 2
1 2
0.15 0.10
0.15 0.24
0,64 S - W
1.00 2.18
Sumber : Hasil analisis
Berdasarkan nilai internal faktor analisis strategic IFAS di atas diperoleh hasil sebesar 2.18
≤ 2,5 hal ini berarti bahwa faktor faktor internal dalam sistim penanggulangan IUU-Fishing di Laut Arafura berada pada posisi
yang lemah atau belum mampu mengatasi situasi yang ada.
2 Faktor eksternal
Faktor eksternal yang diperoleh bersumber dari identifikasi peluang dan ancaman selama penelitian yang selanjutnya dituangkan dalam matriks Eksternal
Factor Analysis Strategic EFAS. Kisaran bobot yang digunakan berkisar antara
0,0 -1,0 Tripomo dan Udan, 2005. Nilai bobot semakin tinggi mengindikasikan faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang tinggi. Rating yang diberikan
dalam matriks EFAS dengan skala mulai 4 out standing sampai dengan 1 poor untuk peluang, sebaliknya untuk ancaman rating yang diberikan merupakan invers
dari nilai-nilai tersebut. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif yang artinya bila peluang semakin besar diberi rating 4 tetapi bila
peluangnya kecil diberi rating 1, sedangkan bila nilai ancaman besar nilai ratingnya 1 dan bila ancamannya kecil ratingnya 4.
Faktor yang menjadi peluang bagi Dinas Perikanan dan Provinsi Papua dari adanya upaya penanggulangan kegiatan IUU-Fishing di Laut Arafura yaitu :
1 Peningkatan produksi dan Pendapatan Asli Daerah. Secara faktual Laut Arafura merupakan salah satu wilayah perairan yang
potensial untuk kegiatan penangkapan ikan. Luas laut Afarura yang mencapai 150.000 km
2
memliki total potensi sumberdaya ikan 725.250 tontahun. Usaha eksploitasi sumberdaya ikan di Laut Arafura dimulai dari kegiatan eksplorasi
bersama antara Indonesia – Jepang. Kegiatan eksploitasi ini telah mendorong tumbuhnya kegiatan eksploitasi secara komersil pada awal dekade 70-an. Pada
perkembangannya wilayah perairan Laut Arafura menjadi salah satu primadona wilayah penangkapan ikan di Indonesia. Banyaknya sungai-sungai yang
bermuara di Laut Arafura serta keberadaan hutan mangrove di sepanjang pantai yang masih terjaga dengan baik telah menjadi penopang utama kesuburan perairan
ini. Hasil pengumpulan data pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, produksi perikanan Provinsi Papua dari tahun ke tahun terjadi peningkatan.
Perkembangan produksi perikanan propinsi Papua dari tahun 2002 sampai 2006 seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Perkembangan produksi perikanan produksi Provinsi Papua tahun 2002- 2006.
Jenis komoditi T a h u n perikanan 2002 2003 2004 2005 2006
Perikanan
Budidaya - tambak 127.5 130.2 257.1 383.7 413.5
- kolam 824.4 867.1 905.8 1.231.7 1.302.1 - keramba 121.3 201.7 281.5 362.8 413.5
- laut 21.8 24.3 25.8 27.4 31.2
Perikanan Tangkap
- perikanan laut 121.008.0 146.432.2 191.631.0 214.862.4 253.417.2
- perairan umum 3.541.0 4.216.8 6.031.9 6.725.4 7.241.7
Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Papua, 2006 Khusus bagi sumberdaya perikanan yang belum mencapai jumlah
tangkapan yang diperbolehkan JTB di Laut Arafura masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan produksinya. Beberapa sumberdaya perikanan
Laut Arafura yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan produksinya yaitu cumi-cumi dan beberapa komoditi perikanan lainnya. Potensi sumberdaya
cumi-cumi di Laut Arafura sebesar 3.400 ton per tahun dan tingkat pemanfaatannya baru mencapai 300 ton per tahun. Sumberdaya ikan
demersal dengan potensi sebesar 202.300 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB dan tingkat produksi sebesar 161.900
ton per tahun dan 156.600 ton per tahun BRKP, 2003. Besarnya potensi sumberdaya perikanan yang terdapat di Laut Arafura
tentunya merupakan peluang untuk dapat memberikan kontribusi Penerimaan Asli Daerah PAD dan peningkatan pendapatan bagi nelayan yang
memanfaatkan sumberdaya ikan dari Laut Arafura. Sumber penerimaan dari sektor perikanan dan kelautan di Provinsi Papua diperoleh dari Pajak
Penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan SIUP, Surat Izin Penangkapan Ikan SIPI, Pemeriksaan cek fisik kapal, dan pungutan pengujian mutu hasil
perikanan. Penerimaan Asli Daerah PAD Provinsi Papua pada tahun 2006 dari bidang perikanan mencapai 2.822.000.000,- Dua milyar delapan ratus
dua puluh dua juta rupiah dari sumber penerimaan; Penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan dan Surat Izin Penangkapan Ikan sebesar Rp.20.500.000,-;
pemeriksaan cek fisik kapal sebesar Rp.62.000.000,-; dan pungutan pengujian mutu hasil perikanan sebesar Rp.2.739.500.000,-. Sumber penerimaan diatas
sudah termasuk kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura. 2 Peningkatan permintaan pasar.
Kebutuhan akan produk perikanan saat ini telah meningkat sejalan dengan pentingnya konsumsi ikan. Pertumbuhan perkapita nasional pada tahun 2003
sampai 2005 mengalami peningkatan sebesar 4,61, yakni dari 24,67 kgkapitatahun pada tahun 2003 menjadi 28,57 kgkapitatahun pada tahun
2006 Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006. 3 Penegakan hukum di bidang Perikanan.
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Laut Arafura telah dimulai sejak tahun 1975 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
02kptsUmI1975 tentang pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat di Perikanan Laut Irian Jaya Papua. Keputusan tersebut antara lain mengatur
daerah perairan lajur pantai di hadapan daratan Papua, yang dibatasi oleh isobath 10 meter dinyatakan tertutup bagi semua penangkapan dengan jaring
trawl dan juga penggunaan unit penangkapan pair trawl dan ukuran mata jaring 3 cm dilarang. Berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
memberikan suatu panduan yang jelas tentang pengelolaan perikanan di Indonesia. Sebelumnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan dianggap sudah tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang.
Beberapah peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Laut Arafura oleh pemerintah Povinsi Papua seperti terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Beberapa peraturan pengelolaan sumberdaya ikan yang digunakan di Provinsi Papua
Hukum Tentang PP.No. 64 tahun 1957
Penyerahan sebagian laut, hutan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swantara Tingkat I
SK. Menteri Pertanian Pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat No.02KptsUmI1975 dalam sumber perikanan Laut Irian Jaya
UU No.51983 ZEE Indonesia PP No. 81995 Penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada
26 Dati II percontohan Perda Provinsi Papua Usaha Perikanan di Provinsi Irian Jaya
No.5 tahun 1999 SK.Menteri Pertanian Penetapan jalur penangkapan ikan
No.3921999 SK. Menteri Pertanian Potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan
No.995KptsIK.210999 yang diperbolehkan JTB di wilayah perikanan RI UU No.212001 Otonomi khusus bagi Provinsi Papua
KepMen Kelautan dan Pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan Perikanan No.Kep.
02MEN2002 KepMen Kelautan dan Loog book penangkapan dan pengangkutan ikan
Perikanan No.032002
PP 542002 Usaha Perikanan UU No.312004 Perikanan
UU No. 322004 Pemerintahan Daerah PP No.PER.03MEN2007 Surat laik operasi kapal perikanan
PP No.PER.05MEN2007 Penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan PP No.03MEN2008 Usaha Perikanan Tangkap
iv. Kerjasama berbagai pihak dalam penanggulangan IUU-Fishing.
Adanya komitmen dari berbagai pihak baik di daerah, pusat maupun regional untuk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing merupakan peluang bagi
upaya pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab. Pembentukan Tim Badan koordinasi keamanan laut Bakorkamla yang
melibatkan beberapa instansi yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, TNI AL, Pihak Imigrasi dan Satuan Polisis Perairan SATPOLAIR bertujuan untuk
melakukan kegiatan pengawasan secara terpada di daerah. Tim ini selain melakukan kegiatan pengawasan secara terpadu juga melaksanakan koordinasi
untuk mengevaluasi kegiatan pengawasan yang dilakukan selama ini. Peran
aktif masyarakat juga dilibatkan dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pembentukan Kelompok Masyarakat
Pengawas POKMASWAS merupakan kelompok yang dibentuk yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat,
nelayan dan petani ikan. Pada tingkat regional telah dilakukan pertemuan tingkat menteri yang berlangsung di Bali tanggal 2 – 4 Mei 2007 untuk
membahas kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk upaya penanggulangan kegiatan IUU-Fishing di tingkat regional.
Faktor yang menjadi ancaman bagi pengelolaan sumberdaya ikan sehubungan dengan adanya kegiatan IUU-Fishing di Laut Arafura yaitu :
1 Penurunan stok sumberdaya ikan.
Besarnya potensi sumberdaya perikanan yang ada di Laut Arafura tidak terlepas dari adanya berbagai ancaman yang mungkin timbul dari segi ekonomi
seperti menurunnya sumberdaya ikan di Laut Arafura dan terjadinya kerusakan lingkungan. Sumberdaya udang di Laut Arafura pada tahun 2001 berdasarkan
beberapa kajian telah mengalami overfishing yang ditunjukkan dengan adanya indikasi makin lamanya rata-rata hari operasi melaut, menurunnya jumlah hasil
tangkapan, dan makin kecilnya ukuran udang yang ditangkap. Kajian potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di beberapa wilayah Indonesia tahun 2001,
menunjukan bahwa potensi sumberdaya ikan demersal di Laut Arafura sebesar 2002.300 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB
sebesar 161.900 ton per tahun saat ini produksinya telah mencapai 156.600 per tahun. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pemanfaatannya sudah optimal dan
perlu dikurangi upaya penangkapannya dan memulihkan kembali sumberdaya perikanan yang ada di Laut Arafura. Terjadinya overfishing diduga disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain 1 kurang efektifnya manajemen pengelolaan yang tertuang dalam peraturan dan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya berdasarkan
pada input control; 2 lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum di laut terhadap kegiatan penangkapan, sehingga peraturan dan regulasi kurang ditaati
pelaku; 3 kurangnya kesadaran para pelaku pada prinsip-prinsip pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari dan bertanggung jawab Monintja, 2006. Sadhotomo et
al. 2003 menyatakan bahwa kegiatan perikanan di Laut Arafura menunjukkan
adanya kegiatan penangkapan ikan skala industri mengalami peningkatan secara tajam, peningkatan ukuran kapal dan terjadinya perubahan pola penangkapan,
terjadinya interaksi dan kompetisi dalam perikanan antara kegiatan penangkapan ikan dan penangkapan udang dalam mengeksploitasi stok sumberdaya ikan,
adanya kegiatan penangkapan yang sering dilakukan pada jalur penangkapan yang tidak sesuai izin, dan perikanan skala kecil belum berperan banyak dari sisi
aktivitas maupun produksi. Beberapa komoditi perikanan dari Laut Arafura yang saat ini belum mencapai jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB seperti
cumi-cumi dan beberapa sumberdaya perikanan lainnya perlu dijaga kelestariannya.
2 Terjadinya pencurian ikan di Laut Arafura oleh negara lain
Bagi nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan di Laut Arafura tanpa izin, kekayaan laut Arafura cukup besar merupakan daya tarik utama. Hasil
pengumpulan data yang dilakukan menunjukan bahwa kegiatan pencurian ikan di Laut Arafura dilakukan oleh beberapa negara seperti China, Thailand, Philipina
maupun beberapa negara lainnya. Terjadinya pencurian ikan kemungkinan disebabkan oleh menurunnya sumberdaya ikan di negara-negara tersebut
ataupun adanya kalangan pengusaha luar bermental pemburu rente ekonomi atau broker. Haluan et al. 2002 menyatakan bahwa adanya kebijakan pembukaan
kembali Zona Ekonomi Eksklusive ZEE Indonesia oleh pemerintah dapat menyebabkan beberapa hal negatif yaitu; 1 terjadinya penurunan produktivitas
nelayan perikanan pantai yang dapat berakhir dengan degradasiusaha perikanan skala kecil, 2 pengawasan sumberdaya ikan kapal asing sulit terkendali,
3 terbukanya kesempatan tau akses kapal asing untuk melakukan illegal fishing di perairan teritorial, dan 4 terhambatnya kesempatan pemberdayaan perikanan
rakyat untuk beroperasi di perairan ZEE Indonesia. 3
Adanya embargo produk perikanan Ancaman lain dari bidang ekonomi adalah kemungkinan embargonya
produk perikanan karena adanya kegiatan IUU-Fishing di Perairan Indonesia termasuk Laut Arafura. Indonesia sebagai salah satu eksportir perikanan perlu
mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan oleh World Trade Organisation dimana produk-produk perikanan yang dijual dari Indonesia termasuk yang ditangkap dari
Laut Arafura ke pasar dunia harus ditangkap dengan cara yang legal. Adanya kegiatan IUU-Fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia akan
mengakibatkan produk-produk perikanan yang diekspor akan diembargo dan nelayan maupun para pengusaha bidang perikanan tidak dapat mengembangkan
usahanya karena terbatasnya pasar. Tabel 6 Matrix External Factor Analisis Strategic EFAS
Faktor Eksternal Bobot
Rating Skor B X R
Peluang O
1. Peningkatan produksi dan PAD 2. Meningkatnya permintaan produk perikanan
khususnya udang dan ikan demersal 3. Penegakan hukum
4. Adanya kerjasama tingkat regional dalam rangka penanggulangan IUU-Fishing
0.15 0.10
0.15 0.10
4 2
4 3
0.60 0.20
0.08 0.39
1.17
Ancaman T
1. Pencurian ikan di Laut Arafura oleh negara lain Cina, Thailand
2. Penurunan stok sumberdaya udang dan ikan 3. Embargo produk perikanan
0.20 0.15
0.15 1
1 1
0.20 0.15
0.15 1.00
0.68
O - T 1.85
Sumber : Hasil analisis Berdasarkan nilai eksternal faktor analisis summary EFAS di atas
diperoleh hasil sebesar 1.85 ≤ 2,50 yang berarti fakktor-faktor eksternal belum
secara optimal merespon kondisi lingkungan yang ada.
Tabel 7 Matriks alternatif strategi SWOT penanggulangan IUU-Fishing di Laut Arafura
INTERNAL Strategi yang fokus pada kondisi internal
EKSTERNAL Strategi yang fokus pada kondisi eksternal
Kekuatan S
1. SDM PPNS Perikanan 2. Sarana dan prasarana
pengawasan 3. Penelitian dan
Pengembangan 4. Sistim koordinasi yang
selama ini dilakukan 5. Dukungan Dana untuk
kegiatan pengawasan
Kelemahan W
1. Jumlah PPNS Pengawasan
2. Sarana Pengawasan 3. Koordinasi yang
dilaksanakan secara insidentil
4. Alokasi dana
pengawasan yang minim
Peluang O
1. Peningkatan produksi dan PAD
2. Penegakan hukum 3. Permintaan produk
perikanan 4. Kerjasama dalam upaya
penanggulangan IUU-Fishing
Ancaman T
1. Penurunan stok
sumberdaya ikan dan kerusakan lingkungan
2. Pencurian ikan di Laut
Arafura oleh negara lain China, Thailand
3.Penolakan produk dari perairan terkena IUU-
Fishing 1. SDM PPNS Perikanan
2. Sarana dan prasarana pengawasan
1. Jumlah PPNS 2. Sarana dan prasarana
yang masih kurang 3. Pertemuan secara
insidentil 1.
Penegakan hukum 2.
Peningkatan produksi dan PAD
3. Kerjasama berbagai pihak dalam upaya
penanggulangan IUU- Fishing.
1. Pencurian ikan di Laut Arafura oleh negara lain
Strategi SO
1.Meningkatkan Peran PPNS dan Pembentukan
pengadilan khusus perikanan di sekitar
Laut Arafura
Strategi ST
1.Pengadaan kapal pengawas perikanan untuk
kegiatan pengawasan di Perairan Selatan Papua
Strategi WO
1. Membangun sarana
penunjang berupa pelabuhan perikanan
di sekitar L.Arafura. 2. penataan koordinasi
antara institusi terkait dan melibatkan
masyarakat. Strategi WT
1. Menambah jumlah PPNS Perikanan
2. Menambah jumlah alokasi dana untuk
kegiatan pengawasan
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengertian dan kegiatan IUU-Fishing