Komponen terbesar adalah monoterpene hydrocarbon sebesar 72.82 11 komponen, komponen monoterpene alcohol 13.91 6 komponen aromatic
ether 11.31 7 komponen dan aromatic monoterpene 1.96 1 komponen.
Persentase tertinggi adalah golongan terpinene beta pinene dan sabinene, alpha thujene, alpha terpinene, gama terpinene, beta myrcene, limonene,
terpinen-4-ol, dan myristicin. Persentase lebih kecil antara lain p-cymene, alfa terpinolen, sabinene hydrate, methyleugenol serta elemicin dan sisanya dalam
jumlah sedikit. Fraksi ringan seperti golongan sabinene 36,33, -thujene 7,18, -
terpinene 6,17, -pinene 3.46, limonene 3.92 dan -mircene 3.40 menempati porsi sangat tinggi. Golongan fraksi berat Myristicin 6,15 dan
elemicin 1.57 memperlihatkan nilai yang rendah. Kedua golongan fraksi menunjukkan bahwa minyak pala Myristica sp. aksesi Tidore Buah Besar PHG1
memiliki senyawa kimia fraksi berat yang tinggi tetapi fraksi ringan agak rendah, namun komponen safrole 0.78 yang dibawah 2,5 merupakan syarat yang
baik untuk penjualan minyak pala ke Eropa Tabel 22.
B. Komponen Minyak Atsiri Fuli Pala
1. M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah tebal FMTB
Kromatogram hasil analisis GC-MS minyak fuli pala berwarna merah tebal spesies M. fragrans Houtt. menghasilkan 25 puncak. Setiap puncak
kromatogram mewakili masing-masing senyawa fuli pala merah tebal. Komponen atsiri ter-besar yang berhasil teridentifikasi dalam minyak fuli merah tebal adalah
mono-terpene hydrocarbon sebesar 62.79 10 komponen, monoterpene
alcohol 11.54 7 komponen, aromatic ether 23.30 7 komponen dan
aromatic mono-terpene 2.37 1 komponen Tabel 23. Persentase terbesar
komponen kimia fuli pala tebal merah adalah sabinene 16.22, pinene 14.47, pinene 8.35, terpinene 6.64, terpinen-4-ol 8.90 dan myristicin 13.41
Tabel 23. Persentase terbesar komponen eter aromatis sebagai penyusun utama
aroma mutu minyak fuli pala terdiri atas myristicin 13.41, elemicin 1.51, safrol 1.31, serta golongan eugenol 7.00. Kadar myristicin fuli lebih tinggi di-
bandingkan dengan kadar myristicin biji yaitu diatas 10 10 – 17. Minyak fuli
mempunyai sifat tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi, tetapi bila
digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan pingsan, hal ini karena kandungan myristicin, elemicin dan safrol tergolong sebagai aromatic ether yang
mempunyai sifat psikotropik yang bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan halusinasi dan perasaan mengantuk terutama jika dikonsumsi dalam jumlah
banyak Purseglove et al. 1981; Muchtaridi, 2007. Tabel 23. Komponen minyak atsiri M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah
tebal FMTB
No Peak
Nilai Retensi menit
Nama Komponen Volatil Kons.
Kode 1
4.211 -pinene
15.47 MH
2 5.753
-pinene 8.35
MH 3
6.011 sabinene
17.22 MH
4 6.763
3 –caren
1.44 MH
5 7.034
-mircene 2.90
MH 6
7.611 -terpine
4.35 MH
7 8.215
limonene 3.76
MH 8
8.492 -Phellandrene
3.66 MH
9 9.815
-terpinene 6.64
MH 10
10.587 p-cymene
2.37 AM
11 11.239
-Terpinolen 2.00
MH 12
19.239 -Terpineol
0.33 MA
13 23.544
4-thujana 0.24
MA 14
24.378 2-sikloheksen-1-ol
0.60 MA
15 26.578
Terpinen-4-ol 9.90
MA 16
27.844 2-sikoloheksen-1-ol
0.34 MA
17 31.606
-Terpinoel 0.93
MA 18
34.082 Trans-piperitol
0.20 MA
19 40.478
Safrol 1.31
AE 20
47.283 Methyleugenol
5.93 AE
21 49.711
Eugenol 0.07
AE 22
50.021 Methyl isoeugenol
0.91 AE
23 50.645
Elemicin 1.51
AE 24
51.164 Myristicin
13.41 AE
25 52.416
Cis-isoeugenol 0.17
AE Keterangan : MH = Monoterpene Hydrocarbon, MA = Monoterpene Alcohols
AM = Aromatic Monoterpene, AE = Aromatic Ether
2. M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah tipis FMTP
Kromatogram analisis GC-MS M. fragrans Houtt. fuli pala merah tipis memperlihatkan 24 puncak, dan setiap puncak mewakili satu komponen atsiri.
Tabel 24. Komponen minyak atsiri M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah tipis FMTP
No Peak
Nilai Retensi
menit
Nama Komponen Volatil Kons.
Kode 1
4.211 -pinene
13.26 MH
2 5.754
-pinene 7.80
MH 3
5.997 sabinene
14.21 MH
4 6.754
3 –caren
1.30 MH
5 7.039
-mircene 2.41
MH 6
7.601 -terpine
4.03 MH
7 8.211
limonene 2.99
MH 8
8.487 2-thujana
3.18 MH
9 9.811
-terpinene 6.26
MH 10
10.587 p-cymene
2.08 AM
11 11.239
-Terpinolen 1.78
MH 12
19.244 Cis-4-thujana
0.53 MA
13 23.544
Sabinene-hydrate 0.40
MA 14
24.373 4-thujana
0.56 MA
15 25.573
terpinen-4-ol 7.91
MA 16
27.835 2-sikloheksen-1-ol
0.33 MA
17 31.602
-Terpineol 0.78
MA 18
40.473 Safrol
1.32 AE
19 47.283
methyleugenol 9.71
AE 20
49.711 Eugenol
0.07 AE
21 50.021
Methyl isoeugenol 2.24
AE 22
50.645 Elemicin
3.24 AE
23 51.159
Myristicin 14.24
AE 24
52.411 Cis-isoeugenol
0.37 AE
Keterangan : MH = Monoterpene Hydrocarbon, MA = Monoterpene Alcohols AM = Aromatic Monoterpene, AE = Aromatic Ether
Komponen aroma yang berhasil diidentifikasi menunjukkan bahwa minyak pala fuli merah tipis tersusun dari 24 komponen atsiri. Komponen-
komponen tersebut adalah monoterpene hydrocarbon sebesar 57.22 10 komponen, monoterpene alcohols 10.5 6 komponen, aromatic ether 30.19
7 kompo-nen dan aromatic monoterpene 2.08 1 komponen Tabel 24. Komponen utama monoterpen hidrokarbon yaitu sabinene 14.21,
- pinene13.26, -pinene 7.8, -terpinene6.26 dan -terpine 4.03. Untuk
komponen utama monoterpen alkohol yaitu terpinen-4-ol 7.91 dan terpineol 0.78, sedangkan monoterpen aromatis adalah cymene 2.08.
Komponen utama kualitas minyak fuli yaitu eter aromatis, terdiri atas myristicin
15.24, elemicin 3.24, safrol 1.32 dan golongan eugenol 10.39. Minyak pala dari fuli memiliki kadar myristicin lebih tinggi dibanding minyak pala
dari biji. Bila minyak pala diproses lebih lanjut akan menghasilkan 84 tri- myristicin
, suatu kristal beracun turunan dari safrol yang merupakan senyawa dari methylene dioxyphenyl Erowid, 2001, senyawa tersebut biasanya diguna-
kan untuk sabun, detergen, parfum pengharum ruangan dan aroma terapi. 3. M. fragrans
Houtt. fuli pala berwarna putih tebal FPTB Hasil analisis GC-MS M. fragrans Houtt. dari fuli pala bewarna putih tebal
yang menunjukkan 23 puncak, dan setiap puncak mewakili masing-masing komponen atsiri fuli pala. Hasil analisis GC-MS minyak atsiri fuli pala berwarna
putih tebal teridentifikasi mengandung monoterpene hydrocarbon 62.19, mono- terpene alcohols
11.96, ether aromatic 24.25 serta aromatic monoterpene 1.60 Tabel 25.
Menurut Marlatt et al. 1992, selain komponen aromatik, monoterpen yang terdapat terbanyak dalam minyak atsiri adalah monoterpen hidrokarbon dan
monoterpen alkohol. Monoterpen teroksigenasi merupakan penyusun komponen volatile minyak atsiri yang sangat berkontribusi terhadap kandungan aroma
minyak atsiri. Aroma minyak pala yang khas merupakan akibat dari kandungan be-
berapa komponen kimia, seperti monoterpen hidrokarbon 62.19, dengan kom- ponen utama sabinene 21.76, - -pinene 19.19, limonene 4.04 dan terpine
3.85, sedangkan komponen fenolik eter terutama myristicin 14.37, safrol 1.41 dan methyl eugenol 4.60. Komponen lain yang ikut berperan yaitu
monoterpen alkohol yaitu terpinen-4-ol 9.95.
Tabel 25. Komponen minyak atsiri M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna putih tebal FPTB
No Peak
Nilai Retensi
menit
Nama Komponen Volatil Kons.
Kode 1
4.211 -Pinene
12.89 MH
2 5.754
-pinene 6.50
MH 3
6.015 Sabinene
20.76 MH
4 6.763
3 –caren
1.36 MH
5 7.044
-mircene 2.69
MH 6
7.611 -terpine
3.85 MH
7 8.220
limonene 4.04
MH 8
8.496 2-thujana
1.27 MH
9 9.820
-terpinene 5.99
MH 10
10.592 p-cymene
1.60 AM
11 11.244
-Terpinolen 1.84
MH 12
24.373 Cis-4-thujana
0.57 MA
13 26.582
terpinen-4-ol 9.95
MA 14
27.844 2-sikloheksen-1-ol
0.35 MA
15 31.606
-Terpineol 0.89
MA 16
34.087 Trans-p-men-en3-ol
0.20 MA
17 40.483
Safrol 1.51
AE 18
47.278 Methyleugenol
4.60 AE
19 49.716
Eugenol 0.09
AE 20
50.021 Methyl isoeugenol
0.48 AE
21 50.645
Elemicin 2.87
AE 22
51.164 Myristicin
15.37 AE
23 52.416
Isoeugenol 0.43
AE
Keterangan : MH = Monoterpene Hydrocarbon, MA = Monoterpene Alcohols AM = Aromatic Monoterpene, AE = Aromatic Ether
4. M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna putih tipis FPTP
Analisis GC-MS fuli pala M. fragrans Houtt. berwarna putih tipis FPTP teridentifikasi sebanyak 24 puncak, dengan masing-masing puncak mewakili
komponen atsiri fuli pala. Komponen terbesar yang teridentifikasi adalah mono- terpene hydrocarbon
sebesar 62.74 10 komponen, komponen monoterpene
alcohols yaitu 12.11 6 komponen aromatic ether 23.17 7 komponen dan
aromatic monoterpene 1.98 1 komponen Tabel 26.
Tabel 26. Komponen minyak atsiri Myristica fragrans Houtt. fuli pala berwarna putih tipis FPTP
No Peak
Nilai Retensi
menit
Nama Komponen Volatil Kons.
Kode 1
4.215 -pinene
13.92 MH
2 5.763
-pinene 7.09
MH 3
6.015 sabinene
20.15 MH
4 6.758
3 –caren
1.51 MH
5 7.039
-mircene 2.54
MH 6
7.611 -terpine
3.91 MH
7 8.206
-limonene 3.68
MH 8
8.501 -Phellandrene
2.11 MH
9 9.816
-terpinene 6.08
MH 10
10.582 p-cymene
1.98 AM
11 11.254
-Terpinolen 1.75
MH 12
19.244 4-thujanol
0.93 MA
13 23.544
Sabinene-hydrate 0.92
MA 14
24.378 2-sikloheksen-1-ol
0.58 MA
15 26.573
terpinen-4-ol 8.62
MA 16
27.840 2-sikloheksan-1-ol
0.32 MA
17 31.602
-terpineol 0.74
MA 18
40.483 Safrol
1.29 AE
19 47.273
Methyleugenol 5.24
AE 20
49.716 Eugenol
0.10 AE
21 50.026
Methyl isoeugenol 0.59
AE 22
50.645 Elemicin
2.30 AE
23 51.164
Myristicin 13.41
AE 24
52.421 Isoeugenol
0.24 AE
Keterangan : MH = Monoterpene Hydrocarbon, MA = Monoterpene Alcohols AM = Aromatic Monoterpene, AE = Aromatic Ether
Komponen-komponen kimia minyak atsiri M. fragrans Houtt. fuli pala ber- warna putih tipis tidak berbeda dengan komponen atsiri M. fragrans Houtt. fuli
pala berwarna merah tipis, yang berbeda hanya dalam persentase kuantitasnya. Persentase komponen monoterpen hidrokarbon fuli merah tipis 57.22 lebih
sedikit rendah dengan kadar fraksi sabinene 14.21 juga lebih rendah dibandingkan dengan fuli putih tipis 62.74, dan sabinene 20.15. Hal yang
sama untuk komponen eter aromatik, fraksi myristicin fuli merah merah tipis sebesar 15.24 lebih tinggi dibanding myristicin fuli putih tipis yaitu 13.41.
Persentase komponen monoterpen hidrokarbon, monoterpen alkohol dan kom- ponen aromatik tidak berbeda pada fuli pala warna putih tebal dan fuli pala
merah tebal.
Komponen Minyak Atsiri Pala
Berdasarkan hasil analisis GC-MS pada 9 spesies pala dan fuli pala, maka komponen terbesar yang teridentifikasi adalah monoterpene hydrocarbon,
monoterpene alcohols, aromatic ether dan aromatic monoterpene. Keempat
kom-ponen tersebut, yaitu komponen monoterpen hidrokarbon merupakan komponen terbesar komposisinya dalam minyak pala yaitu 56.04
–78.93 dan fuli 57.22
–62.79. Komponen utama yang juga berpengaruh terhadap kualitas minyak pala adalah golongan eter aromatik. Komposisi komponen dalam biji
7.19 –26.63 dan fuli pala 23.17–30.19. Komposisi komponen monoterpen
alkohol pada biji 11.56 –16.32 dan fuli 10.51–12.11 dan komponen
monoterpen aromatik ter-dapat dalam jumlah yang kecil dalam biji dan fuli yaitu berkisar 1.60
–2.37. Purseglove et al. 1981 melaporkan bahwa komposisi kimia minyak pala
terdiri atas hidrokarbon monoterpen yang jumlahnya antara 61 –88, hidrokarbon
teroksigenasi 5 –15 dan eter aromatis 2–18, sedangkan senyawa lainnya ter-
dapat dalam jumlah yang sangat kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 9 spesies yang dianalisis memperlihatkan perbedaan terhadap komponen
monoterpen hidrokarbon serta eter aromatik. Spesies M. speciosa Warb. Me- ngandung persentase komponen monoterpen hidrokarbon lebih tinggi dengan
kandungan eter aromatik paling rendah diantara 9 spesies pala. Spesies M. fragrans
Houtt. dan M. succedanea Reinw. mempunyai persentase komponen monoterpen hidrokarbon dan eter aromatik yang tidak berbeda. Demikian pula
pada Myristica sp. PKBM, PTLK dan PHG1 memperlihatkan komponen mono- terpen hidrokarbon dan monoterpen teroksigenasi dengan persentase komposisi
tidak berbeda dengan M. fragrans Houtt. Fuli pala warna merah tipis me-
nunjukkan perbedaan persentase lebih rendah untuk komponen monoterpen hidrokarbon dan monoterpen alkohol, tetapi untuk komponen eter aromatik mem-
perlihatkan hasil yang tidak berbeda diantara fuli pala. Proporsi eter aromatik selalu lebih tinggi pada fuli dibanding dalam minyak pala.
Tabel 27. Komposisi minyak atsiri biji dan fuli pala dari 9 spesies di Maluku Utara
Spesies Golongan komponen
Monoterpen hidrokarbon
Monoterpen aromatik
Monoterpen alkohol
Eter aromatik
M. fragrans Houtt. MFK
61.61 2.20
12.10 24.05
M. fragrans Houtt. FPBB
60.31 2.20
14.63 24.55
M. succedanea Reinw. MSC
56.04 1.97
14.06 26.63
M. fatua Houtt. MFT
65.26 2.09
15.87 15.10
M. argentea Warb. MARG
69.76 1.97
13.14 15.13
M. speciosa Warb. MSPC
78.93 1.28
12.59 7.19
Myristica sp.aksesi Kecil Kulit Merah PKBM
69.65 1.67
16.32 12.36
Myristica sp. aksesiTelur Kambing Kecil PTLK
67.44 1.59
11.56 19.40
Myristica sp. aksesi Tidore Buah Besar PHG1
72.82 1.96
13.91 11.31
M. fragrans Houtt.
–fuli merah tebal FMTB 62.79
2.37 11.54
23.30 M. fragrans
Houtt. – fuli merah tipis FMTP
57.22 2.08
10.51 30.19
M. fragrans Houtt.
– fuli putih tebal FPTB 62.19
1.60 11.96
24.25 M. fragrans
Houtt. – fuli putih tipis FPTP
62.74 1.98
12.11 23.17
Senyawa monoterpen yang terkandung dalam minyak pala merupakan komponen atsiri dominan. Forrest dan Heacock 1972 melaporkan bahwa mi-
nyak pala dapat mengandung komponen monoterpen hingga 80. Belitz dan Grosh 1987 mengemukakan bahwa minyak biji pala mengandung 80 mono-
terpen hidrokarbon, 4 monoterpen alkohol dan 11 senyawa aromatik. Kompo-nen minyak fuli terdiri atas 87.5 monoterpen hidrokarbon, 5.5
monoterpen alkohol dan 7 senyawa aromatik. Purseglove et al. 1981 mengatakan kons-tituen utama minyak atsiri pala dan fuli adalah monoterpen
hidrokarbon, dan bersama sejumlah kecil komponen monoterpen oksigenasi dan eter aromatik. Penelitian juga mendapatkan bahwa beberapa spesies yang diuji
memperlihat-kan komponen eter aromatik yang tinggi. Komponen aromatik adalah komponen yang paling penting baik dari segi ekonomi maupun nilai
industri. Perbedaan intensitas dan beberapa komponen aroma pada seluruh
sampel minyak pala yang dianalisis tersebut karena faktor perbedaan spesies
dan faktor tempat tumbuh. Reineceius 1994 mengatakan bahwa minyak atsiri yang memberikan aroma spesifik pada tanaman terdiri atas campuran komponen
organik yang terbentuk secara alami dengan jumlah yang relatif dan juga ter- gantung dari spesies dan faktor agrikultural seperti lingkungan, iklim, kondisi
tanah, waktu pemanenan dan penanganan pasca panen. Hasil analisis GC-MS pada 9 spesies pala dan fuli pala memperlihatkan
komponen aromatik dari spesies M. fragrans Houtt., M. succedanea Reinw. dan Myristica
sp. aksesi Telur kambing Kecil PTLK mengandung persentase komponen myristicin dan elemicin yang sama, tetapi persentase komponen
safrol dan methyleugenol untuk M. fragrans Houtt. FPBB cukup tinggi yaitu sebesar 4.26 dan 4.27. Persentase komponen myristicin terendah dihasilkan
pada spesies M. argentea Warb., M. speciosa Warb. dan Myristica sp. aksesi Tidore Buah Besar PHG1. Rata-rata kadar safrol dari 9 spesies yang dianalisis
termasuk rendah yaitu dibawah 1 kecuali M. fragrans Houtt. 4.26, FPBB. Kadar elemicin terendah dihasilkan dari spesies M. speciosa Warb. dan Myristica
sp. aksesi Kecil Kulit Merah PKBM. Untuk komponen methyleugenol, per- sentasenya bervariasi diantara 9 spesies pala, dengan persentase terendah ter-
dapat pada M. speciosa Warb. 0.66 Tabel 28. Tabel 28. Komponen utama senyawa aromatik 9 spesies pala dan fuli pala dari
Maluku Utara
Spesies Komponen Aromatik
Myristicin Elemicin Safrol
Methyl- Eugenol
M. fragrans Houtt. MFK
10.33 3.31
1.16 7.16
M. fragrans Houtt. FPBB
12.30 2.79
4.26 4.27
M. succedanea Reinw. MSC
12.90 2.90
1.59 7.48
M. fatua Houtt. MFT
10.55 2.65
0.92 1.18
M. argentea Warb. MARG
5.77 2.01
0.70 5.61
M. speciosa Warb. MSPC
5.13 0.34
0.87 0.66
Myristica sp.aksesi Kecil Kulit Merah PKBM
8.79 0.58
0.74 1.52
Myristica sp. aksesiTelur Kambing Kecil PTLK
12.37 1.49
1.71 2.19
Myristica sp. aksesi Tidore Buah Besar PHG1
6.15 1.57
0.78 1.96
M. fragrans Houtt.
–fuli merah tebal FMTB 13.41
1.51 1.31
5.92 M. fragrans
Houtt. – fuli merah tipis FMTP
15.24 3.24
1.32 7.71
M. fragrans Houtt.
– fuli putih tebal FPTB 14.37
2.87 1.41
4.60 M. fragrans
Houtt. – fuli putih tipis FPTP
13.41 2.30
1.29 5.42
Baldry et al. 1976 melaporkan Komposisi komponen minyak pala dari berbagai wilayah geografis dilaporkan sama dalam hal kualitasnya, tetapi secara
substansial berbeda dalam kuantitas kandungan volatil. Komponen minyak atsiri yang berasal dari India Barat Grenada ditemukan rendah alpha-pinene, safrol,
dan myristicin tetapi tinggi sabinene bila dibandingkan dengan minyak atsiri pala dari India Timur. Konsentrasi myristicin yang tinggi ditemukan menjadi ciri khas
minyak pala dari india Timur Indonesia, tetapi terdapat variasi yang cukup besar antara masing-masing minyak pala, dengan konstituen persentase
myristicin berkisar 3.3
–13.5. Komponen aromatik yang berhasil diidentifikasi dari fuli pala berwarna
merah dan putih memperlihatkan komponen myristicin untuk semua jenis fuli pa- da kisaran 13.41
–15.24, dengan kadar myristicin tertinggi dihasilkan fuli pala berwarna merah tipis. Rata-rata safrol yang teridentifikasi diatas 1 dengan ki-
saran 1.29 –1.41, konsentrasi safrol dalam minyak fuli termasuk tinggi. Mutu
kualitas minyak pala dibutuhkan persentase kandungan safrol dibawah 1 . Elemicin merupakan komponen utama dari fraksi eter aromatik yang ter-
kandung dalam minyak pala dan fuli. Elemicin berkontribusi terhadap pem- bentukan aroma mutu minyak pala dalam jumlah yang lebih kecil dibanding safrol
dan myristicin. Aroma minyak pala terutama disebabkan oleh adanya eter aromatis, dengan komponen utama myristicin, safrol, elemicin dan eugenol yang
memberikan bau khas pala dan pengaruh menenangkan Purseglove et al. 1981. Walaupun myristicin berkontribusi paling banyak dalam hal jumlah, tapi
myristicin bukan merupakan komponen tunggal pembentuk roma pala. Aroma
minyak pala dibentuk oleh gabungan komponen-komponen penyusunnya dengan myristicin yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap aroma
minyak atsiri pala. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Archer 1988 memperlihatkan bah-
wa pala Indonesia M. fragrans Houtt. mengandung myristicin 2 lebih tinggi bila dibandingkan dengan M. argentea Warb. 0,13. Myristicin dilaporkan tidak di-
temukan dalam M. Muelleri Warb. Kandungan safrol, yang dicurigai bersifat kar- sinogen masing-masing sebesar 0.13 dalam M. fragrans Houtt, 0.51 M.
argentea Warb. dan 0.24 dalam M. Muelleri Warb. Fraksi myristicin bersama
dengan elemicin yang bertanggung jawab atas sifat halusinogen pada biji pala.
Simpulan
Kadar minyak atsiri tertinggi dihasilkan spesies M. succedanea Reinw. 12.56 dan Myristica sp. aksesi Tidore Buah Besar
PHG1 dan kadar ter- rendah M. argentea Warb. 8.84 dan M. speciosa Warb. 9.37. Kadar
minyak atsiri fuli sebesar 19.60 –21.30. Kadar minyak fuli 21, lebih tinggi
dibanding-kan kadar minyak biji pala 11. Sifat fisiko-kimia bobot jenis, indeks bias, putaran optik, sisa penguapan dan kelarutan dalam etanol 9 spesies pala
Maluku Utara umumnya stabil dan memenuhi standar mutu SNI, kecuali spesies M. succedanea
Reinw, M. fatua Houtt. memiliki putaran optik yang tinggi me- nyimpang dari standar SNI. Sifat fisiko-kimia 4 macam fuli pala memenuhi
standar SNI. Analisis GC-MS minyak dari 9 spesies dan fuli pala menunjukkan bahwa
minyak pala tersusun atas komponen monoterpen hidrokarbon, monoterpen alkohol, monoterpen aromatik dan eter aromatik, dengan persentase komponen
monoterpen hidrokarbon lebih tinggi. Komponen minyak atsiri 9 spesies dan fuli memiliki komponen utama yang sama yaitu -pinene, -pinene, sabinene dan
terpinen-4-ol. Pinene merupakan senyawa monoterpen hidrokarbon yang banyak dijumpai dalam minyak pala dan fuli pala. Komponen aromatik utama 9 spesies
pala dan fuli pala adalah myristicin, safrol, elemicin dan methyleugenol. Kadar myristicin
tertinggi di jumpai pada M. fragrans Houtt. 12.30, M. succedanea Reinw. 12.90 dan Myristica sp. aksesi Telur Kambing PLTK 12.37, serta
pada fuli berwarna merah tipis. Kadar safrol tertinggi dijumpai pada M. fragrans Houtt. FPBB 4.26 .
IDENTIFIKASI SEKS TANAMAN PALA Myristica fragans Houtt.
Abstrak
Permasalahan utama budidaya tanaman pala dengan cara pembibitan yaitu belum dapat diketahui pasti tipe seks tanaman bibit, seks tanaman baru
diketahui saat tanaman berumur 5-7 tahun. Identifikasi tipe seks menggunakan penanda morfologi pada stadia biji dan bibit pala akan menghindarkan terpilihnya
tanaman jantan sehingga akan lebih mengefesienkan waktu, biaya dan tenaga kerja. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan metode penanda yang dapat
mendeteksi dan membedakan secara dini seks tanaman pala pada stadia biji dan tanaman bibit kurang dari enam bulan. Bahan penelitian adalah populasi tana-
man pala di Ternate, Tidore, dan Makian serta benih pala. Metode penelitian analisis Khi-kuadrat dan analisis SAS. Hasil penelitian memperlihatkan berdasar-
kan penanda morfologi dapat membedakan pohon betina dan jantan, monoe- cious
dan trimonoecious dan bunga hermaphrodit. Perbedaan pohon betina dan jantan adalah bunga betina yang tidak memiliki staminate dan bunga jantan tidak
memiliki pistilate. Morfologi Seks tanaman betina habitus lebih piramid, daun lebih besar, bunga 1-3, sedangkan tanaman jantan habitus lebih semi piramid-
membola dengan daun lebih kecil dan jumlah bunga lebih dari 3 pertangkai. Morfologi tanaman monoecious, hermaphrodit dan trimonoecious tidak mem-
perlihat perbedaan dengan tanaman betina. Prediksi seks berdasarkan biji yang bertanduk dan berlingir adalah biji jantan, biji yang tidak bertanduk dan berlingir
adalah biji betina. Morfologi bibit bercabang dan akar bercabang adalah tanaman betina, bibit dan akar tidak bercabang adalah tanaman jantan dengan nisbah
ratio prediksi gabungan seks biji, perakaran dan percabangan 2:1. 3:1, 9:6:1 dan 9:3:3:1, dengan tipe seks betina lebih dominan.
Kata kunci : pala, marka morfologi, seks pala, hermaphrodit, prediksi seks
SEX IDENTIFICATION OF NUTMEG PLANTS Myristica fragans Houtt.
Abtract
Nutmeg plant development by way of breeding is still experiencing difficulties in the provision of seeds that can not be known for certain sex mature
plants at the plant, where the sex of new plants are known as 5-year-old plants. Identification of the type of sex using morphological markers in seeds and
seedlings stadia nutmeg will prevent the election of a male plant so it would be mengefesien time, cost, manpower and other resources. The purpose of this
study is a method to detect markers that distinguish early sex and gender on the stadia nutmeg crop seeds and seedlings of plants less than six months. Materials
research is a nutmeg plant populations in Ternate, Tidore, and Makian and nutmeg seed. Research methods Khi-square analysis and analysis of SAS. The
results show based on morphological markers to distinguish between male and female trees, and flowers monoecious, trimonoecious and hermaphrodit.
Differences in female and male trees are the female flowers with no staminate and male flowers do not have pistilate. Sex morphology of the female plants
habitus more pyramids, larger leaves, flowers 1-3, while the male plants more semi habitus pyramid - membola with smaller leaves and flower number more
than 3 pertangkai. Sex morphology monoecious plants, and trimonoecious, hermaphrodit showed no difference with the female plants. Predicted sex is
based on the horns and berlingir seeds are seeds that are not male and beans are the seeds berlingir horns and females. Branching morphology of seedlings
and root branching are female plants, seeds and plant roots are not branching ratio of males to the sex ratio predictions of seed, roots and branching is 2:1, 3:1,
9:6:1 and 9:3:3:1 with a type of female sex is more dominant. Key words: nutmeg, morphological markers, sex nutmeg, hermaphrodit, sex
prediction
Pendahuluan
Budidaya tanaman pala dengan cara pembibitan hingga saat ini masih mengalami kendala dalam hal penyediaan bibit yang belum bisa diketahui seks
tanaman pada saat tanaman dewasa. Saat ini petani pala di Maluku Utara masih menghadapi kendala dalam mendeteksi dini atau menentukan seks tanaman
pala terutama pada stadia bibit berumur kurang dari enam bulan. Seks tanaman baru diketahui setelah tanaman dewasa berumur 5
–7 tahun. Jangka waktu yang lama tersebut akan sia-sia bila tanaman pala yang ditanam ternyata merupakan
tanaman jantan, sebab tanaman jantan tidak akan menghasilkan buah, dan hal ini mengakibatkan kerugian bagi petani pekebun.
Pada pohon pala dewasa yang telah berumur lebih dari 7 tahun, dengan karakter morfologi dapat dibedakan pohon pala jantan dan betina. Pada per-
kebunan pala dikenal ada rekomendasi seks ratio 1:10, yang berarti dalam setiap 10 barisan pohon betina terdapat 1 pohon jantan. Untuk mendapatkan komposisi
pertanaman pala yang ideal seperti diatas, jenis kelamin tanaman pala harus ditentukan sejak stadia benih hingga bibit. Sampai sekarang belum dapat di-
ketahui apakah suatu biji dapat berkembang menjadi tanaman jantan, betina atau berumah satu Hadad dan Syakir,1992. Seks tanaman pala jantan, betina
dan berumah satu tidak dapat dibedakan sebelum tanaman berbunga yaitu se- telah berumur 5
– 7 tahun Purseglove et al. 1981. Selama ini, untuk memenuhi rekomendasi seks ratio 1:10, dilakukan pe-
mangkasan pohon pala jantan dewasa untuk memperkecil rasio pohon jantan terhadap pohon betina. Kegiatan pemangkasan pohon pala jantan tersebut ten-
tunya cukup merugikan, baik dari segi waktu maupun biaya. Masalah diatas me- rupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya tanaman pala karena me-
nurut Deinum 1949, serta Hadad dan Syakir 1992, dari 100 biji yang ditanam, yang menjadi pohon betina sebanyak 55, pohon jantan 40 dan pohon monoe-
cious 5. Kondisi nisbah kelamin demikian sangat merugikan karena hasil pro-
duksi pala menjadi lebih rendah dari yang seharusnya diperoleh akibat ba- nyaknya tanaman jantan yang tidak dikehendaki sejak awal.
Salah satu solusi yang telah dicoba untuk mengatasi kerugian tersebut yaitu dengan melakukan grafting pada pohon pala betina. Ada beberapa kendala
dalam melakukan grafting pada tanaman pala, yaitu tingkat keberhasilannya masih cukup rendah yaitu sekitar 15. Faktor penyebabnya yaitu adanya ken-
dala inkompatibilitas antara batang bawah dan batang atas, sehingga metoda tersebut belum bisa digunakan untuk mengatasi masalah seks ratio Hadad dan
Syakir, 1992. Penelitian selanjutnya mengenai penentuan seks melalui ekstrak daun tanaman pala. Ekstrak daun pala yang berasal dari berbagai seks pala
diberi perlakuan NH
4
molybdat. Hasilnya menunjukkan bahwa NH
4
molybdat memberikan reaksi yang berbeda-beda. Penelitian secara anatomis dilakukan
dengan melihat bentuk kristal kalsium oksalat pada epidermis daun bagian bawah, dengan cara ini dapat ditentukan seks pohon jantan dan betina Hadad et
al . 2006.
Para petani pala di Malaysia dan Maluku juga mengadakan penelitian penentuan jantan atau betina dari bentuk biji. Biji yang memiliki permukaan ujung
membukit atau bertanduk diduga jantan dan biji yang bagian ujungnya rata diduga betina. Disamping itu ada pula yang menduga dari jumlah akar pada bibit
umur 3 bulan. Bila akarnya lebat diduga pohon betina, sedangkan yang kurang lebat diduga pohon jantan. Ditempat lain ada pula yang menduga dari sudut
cabang mendatar dan meruncing. Percabangan mendatar diduga merupakan pohon betina dan yang merucing dengan daun kecil dan lebih rindang pohon
jantan. Kebanyakan pohon betina di Maluku menunjukkan percabangan yang mendatar dengan sudut lebih dari 80
, dengan bentuk helaian daun lebih terkulai. Letak percabangan yang bersudut kecil dengan percabangan lebih tegak serta
helaian daun yang relatif lebih kecil dan letak daun lebih tegak banyak dimiliki oleh pohon jantan Hadad et al. 2006
Solusi untuk mengetahui seks tanaman pala yaitu dengan menggunakan marka morfologi dan molekuler. Secara morfologi perlu diteliti penciri sifat-sifat
visualmorfologi yang dapat digunakan untuk membedakan seks tanaman pala. Secara morfologi juga dapat digunakan berbagai marka DNA untuk tujuan
tersebut. sehingga perlu dicari suatu metode untuk mendeteksi secara dini seks tanaman pala yang merupakan permasalahan utama pada komoditas tersebut
Hadad dan Syakir, 1992. Dengan demikian penelitian untuk mendeteksi secara dini seks tanaman pada stadia bibit berumur kurang dari 6 bulan sangat me-
nunjang untuk diteliti. Data yang dihasilkan akan memberikan informasi tentang perbedaan pala jantan dan betina pada stadia benih atau bibit berumur kurang
dari enam bulan berdasarkan penanda karakter morfologi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi karakter morfologi pohon pala jantan, betina dan monoe-
cious yang telah dewasa.
2. Memperoleh informasi tentang perbedaan pala jantan dan betina dewasa berdasarkan karakter morfologi
3. Memperoleh informasi perbedaan pala jantan dan betina pada stadia benih dan bibit berumur kurang dari enam bulan berdasarkan penanda morfologi.
4. Informasi penanda prediksi membedakan seks tanaman pala pada stadia biji dan bibit berumur kurang dari enam bulan, sehingga memudahkan petani
untuk mengidentifikasi seks tanaman sejak dini.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada sentra tanaman pala di Maluku Utara dan di Kebun Penanaman dan Pembibitan Tanaman Pala Cicurug, Pusat Penelitian
Tanaman Industri dan Penyegar BALITTRI Sukabumi mulai bulan September 2008 sampai dengan bulan Agustus 2010.
Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi
tanaman pala spesies M. fragrans Houtt. yang terdapat di Ternate, Tidore dan Makian Maluku Utara. Identifikasi seks tanaman pala dewasa pada tanaman pala
yang telah berumur lebih dari 15 tahun. Pohon pala yang digunakan adalah aksesi pohon pala betina, aksesi pohon pala jantan dan aksesi pohon pala
monoecious , trimonoecious, benih pala dan bibit pala. Peralatan yang digunakan
adalah perlengkapan identifikasi seks tanaman pala berupa mikroskop, loup, caliper, alat hitung, plastik sampel, bak perkecambahan.
Metode Penelitian
Identifikasi Seks Tanaman Pala Menggunakan Penanda Morfologi Identifikasi seks tanaman pala dewasa menggunakan pala spesies M.
fragrans Houtt. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan identifikasi dan
karakterisasi pada sentra perkebunan tanaman pala di Maluku Utara. Setiap
populasi tanaman pala di Ternate, Tidore dan Makian diambil sebanyak 100 pohon pala spesies M. fragrans Houtt., kemudian diidentifkasi tipe seks tanaman.
Kegiatan mendeteksi seks tanaman jantan dan betina dengan menggunakan marka morfologi, yaitu pada tanaman pala dewasa berumur lebih dari 15 tahun,
bibit dan biji pala. Berdasarkan karakter morfologi diteliti penciri sifat-sifat morfo- logi untuk membedakan seks tanaman pala, kemudian dilakukan identifikasi jenis
pohon jantan, betina, monoecious dan trimonoecious. Penentuan tanaman jantan, betina, monoecious dan trimonoecious di-
lakukan dengan mengidentifikasi bunga yang terdapat pada pohon tersebut. Setiap pohon pala dibagi kedalam tiga bagian pengambilan sampel bunga.
Sebanyak 100 bunga diambil setiap bagian bawah, tengah dan bagian atas tajuk tanaman pala
. Kemudian diidentifikasi bagian morfologi bunga, yaitu bila bagian
bunga hanya mempunyai pistilate, adalah bunga betina, sebaliknya bila bagian bunga hanya mempunyai staminate, adalah bunga jantan. Untuk bagian bunga
yang mempunyai pistilate dan staminate, bunga tersebut adalah bunga herma- phrodit.
Kategori penentuan seks tanaman yaitu : Tanaman betina : bila setiap pohontanaman hanya dijumpai bunga yang mem-
punyai pistilate. Tanaman jantan : bila setiap pohontanaman hanya dijumpai bunga yang mem-
punyai staminate. Tanaman monoecious : bila setiap pohontanaman dijumpai bunga yang mem-
punyai pistilate dan staminate. Tanaman trimonoecious : bila setiap pohontanaman dijumpai bunga yang mem-
punyai pistilate, staminate dan bunga hermaphrodit. Identifikasi dilakukan berdasarkan fenotipe tanaman yang terdiri atas :
1. Sebanyak 100 pohon pala dewasa berumur 15 tahun dari setiap lokasi di- lakukan identifikasi berdasarkan penciri morfologi yaitu :
Jenis pohon jantan - betina – monoecious-trimonoecious
Bentuk percabangan Bentuk tajuk tanaman
Bentuk daun tanaman Jumlah bunga per rangkaian bunga
2. Sebanyak 100 biji yang diambil dari pohon betina berumur 15 tahun, kemu- dian dilakukan deteksi pada biji pala berdasarkan penciri morfologi yaitu :
Identifikasi biji jantan dan betina Identifikasi biji berdasarkan bentuk tanduk yaitu bila bagian atas biji mem-
punyai tonjolan yang tajam, maka dikatagorikan biji jantan sebaliknya bila tidak mempunyai tonjolan berarti biji betina.
Identifikasi linger biji yaitu bila biji mempunyai lekukan alur yang panjang maka dikategorikan biji jantan, bila lekukan alur pendek berarti biji betina.
3. Sebanyak 100 bibit pala berumur kurang dari 6 bulan kemudian dilakukan identifikasi untuk mendeteksi seks bibit berdasarkan :
Bentuk percabangan perakaran Bentuk percabangan batang bibit
Analisis Data
Berdasarkan data marka morfologi seks tanaman pala dilakukan Uji Khi- kuadrat. Data dianalisis secara statistik dengan prosedur ANOVA dan uji signi-
fikansi nilai tengah Duncan DMRT menggunakan program statistik SAS SAS, 1996.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Seks Pala
Hasil eksplorasi dan identifikasi seks tanaman pala di Maluku Utara pada daerah Ternate, Tidore dan Makian, dapat mengidentifikasi tanaman jantan, be-
tina, monoecious dan trimonoecious Tabel 29, Gambar 11, 12, 13, 14 dan 15. Tanaman trimonoecious adalah tanaman pala yang mempunyai bunga
jantan, bunga betina dan bunga hermaphrodit dalam satu tanaman, sedangkan tanaman monoecious adalah tanaman pala yang mempunyai bunga jantan dan
bunga betina dalam satu tanaman. Karakteristik tanaman betina, monoecious dan trimonoecious tidak dapat dibedakan karena ketiga jenis seks tanaman ter-
sebut mempunyai bentuk morfologi tanaman yang sama, kecuali dari perbedaan bentuk bunga pada masing-masing seks tanaman.
Karakteristik tanaman jantan yaitu bentuk pohon silindermembola atau
oblong, sudut percabangan meruncing dengan cabang utama tegak. Bentuk da- un umumnya lebih kecil tegak dan permukaan daun lebih glosi. Jumlah bunga
berangkai sebanyak 3 –15 bunga dan bagian bunga tidak mempunyai pistil de-
ngan staminate linier 8-30 baris. Tanaman tidak berbuah kalaupun berbuah ha- nya terbentuk sebanyak 20 buah perpohon Gambar 11, 13 dan 15.
Tabel 29. Karakter morfologi tanaman pala jantan dan betina
Karakter Morfologi Jantan ♂
Betina ♀ Bentuk Pohon
• MembolaSilinder, tegak, habitus lebih kecil
• Piramid, melebar, habitus lebih besar
Sudut Percabangan • Meruncing, membentuk
sudut lancip ≤ 45⁰ • Cabang utama lancip dan
tegak • Mendatar membentuk
sudut 45 ⁰
• Cabang utama melebar Bentuk Daun
• Langsingsilinder • Daun kecil dan tegak
• Permukaan daun glosi • Melebar oval
• Besar dan terkulai • Permukaan daun kusam
Bunga • Silinder langsing
• Berangkai 3 -15 bunga • Bagian bunga tidak memiliki
pistilate • Staminate linier bersatu
berjumlah 8 – 30 baris
• Piramid dengan dasar bunga mengembung
• 1 – 3 bunga • Bagian bunga memiliki
pistilate dan tidak memiliki staminate
Buah • Menghasilkan buah ± 5 – 10
buah pohon • Menghasilkan produksi
buah ≥ 100–500 buah panen pohon
Prediksi Seks Biji dan Bibit Biji = - Ujung Kepala
- Bentuk Dada - Bentuk Alur
• Lancip • Cembung
• Panjang • Datar
• Rata • Pendek
Bibit 3 - 6 bulan • Akar tidak bercabang
• Perakaran tidak lebat • Batang tidak bercabang
• Akar bercabang • Perakaran lebat
• Batang barcabang
Karakteristik tanaman betina yaitu pohon membentuk piramid atau se-
tengah piramid, percabangan utama membentuk sudut 45 ⁰. Bentuk daun lebih
besar dan terkulai, daun tidak glosikusam. Jumlah biasanya hanya 1 –3 bunga
pertangkai, bagian dasar bunga mengembung dengan adanya pistil dan tidak memiliki staminate
serta menghasilkan buah ≥ 100 – 500 buah panen pohon Gambar 12, 14 dan 15.
Tanaman jantan setelah berumur 15 tahun umumnya daunnya kecil- kecil, tegak dan rimbun dengan daun lebih glosi. Untuk tanaman betina tidak
mengalami perubahan setelah tanaman berumur 15 tahun morfologi ukuran daunnya lebih besar, terkulai dan kusam Gambar 15.
Gambar 11. A - B. Tanaman pala jantan
Gambar 12. A - B. Tanaman pala betina Percabangan utama pada tanaman jantan umumnya akan membentuk
sudut yang tajam 45 , sehingga penampakan morfologi cabang utama adalah tegak dan menjulang keatas Gambar 13. Efek dari percabangan utama yang
tegak akan membentuk morfologi hibitus membola atau kolomoblong. Tanaman betina percabangan utama lebih terbuka lebar dan membentuk sudut 45
A B
A B
Gambar 14, dengan percabangan lebih mendatar, maka morfologi tanaman betina akan membentuk hibitus piramid atau semi-piramid.
Gambar 13. A-B-C-D morfologi sudut percabangan utama pada tanaman jantan
Gambar 14. A-B, morfologi sudut percabangan utama pada tanaman betina
A B
C D
A B
Gambar 15. A-B: Morfologi daun tanaman jantan, C-D: morfologi daun tanaman betina
Berdasarkan jenis kelaminnya tanaman pala dibedakan menjadi dua go- longan yaitu dioecious dan monoecious. Pada tanaman pala dioecious, bunga
jantan staminate dan bunga betina pistilate pada tanaman yang berbeda, sedangkan pada monoecious, staminate dan pistilate pada tanaman yang sama.
Pohon yang hanya memiliki staminate dinamakan tanaman jantan dan pohon hanya memiliki pistilate disebut tanaman betina. Pada umumnya pala merupakan
tanaman dioecious yang mempunyai bunga jantan staminate dan bunga betina pistilate pada tanaman yang berbeda, sedangkan pada populasi tanaman pala
tidak dikenal dan tidak ditemukan tanaman hermaphrodit. Tanaman pala juga mempunyai bunga hermaphrodit dan biasanya bunga hermaphrodit sering di-
temukan pada pohon trimonoecious. Morfologi bunga jantan lebih oblat
–oval dengan warna bunga putih gading
– gading kekuningan. Jumlah bunga pada tanaman jantan lebih banyak dan lebih rimbun dengan jumlah bunga 3
–10 bunga per rangkaitandan bunga. Anther bunga jantan linier menyatu berjumlah 8
–20 baris dan tidak memiliki ovarium bakal buah. Umumnya tanaman jantan tidak menghasilkan bunga
betina sehingga tidak menghasilkan buah, kalaupun menghasilkan bunga betina
A B
C D
persentase bunga 5. Hasil pengamatan pada perkebunan pala di Maluku Utara untuk tanaman jantan yang umurnya 15 tahun, pada awalnya tanaman
jantan tidak menghasilkan buah sama sekali, tetapi dengan bertambah umur tanaman maka tanaman jantan akan menghasilkan buah, walaupun persentase
jumlah buah yang dihasilkan 5. Bunga jantan mekar dan tepung sari reseptif selama dua hari dan setelah itu bunga akan layu dan rontok Gambar 16.
Gambar 16. A-B-C: Morfologi bunga jantan, D-E-F: morfologi bunga betina Morfologi bunga betina berbentuk seperti piramid dengan dasar bunga
agak melebar, tempat bakal buah ovarium dan tidak memiliki staminate. Warna bunga putih gading sampai gading kekuningan. Bunga betina mekar dan reseptif
A
B
C D
E
F
selama sehari, bila selama sehari bunga betina tidak diserbuki maka akan me- ngering dan kemudian rontok Gambar 16 dan 17.
Gambar 17. Morfologi lengkap bunga pala, A: jantan, B: hermaphrodit, C: betina Tanaman pala juga mempunyai bunga hermaphrodit. Morfologi bunga
hermaphrodit mempunyai calon bakal buah yang dikelilingi oleh 6
–10 tangkai sari dengan kepala kantong sari memanjang pada bagian atas tangkai sari. Setiap
tangkai mempunyai kantong sari yang terbelah menjadi dua bagian pada bagian sisi kepala sari dan berisi serbuk sari. Bunga hermaphrodit biasanya sering
dijumpai pada tanaman trimonoecious. Bunga hermaphrodit pala dapat dilihat pada Gambar 17.
Karakter Untuk Prediksi Seks pada Stadia Tanaman Pala Biji dan Bibit Untuk dapat membedakan sejak awal seks tanaman pala, harus dimulai
dari pemilihan biji pala. Prediksi seks biji dan bibit yang digunakan dalam pene- litian berdasarkan kearifan lokal petani pala di Maluku Utara yang telah diguna-
kan sejak jaman dulu untuk menentukan seks biji dan bibit. Prediksi seks biji jantan yaitu biji bagian ujung kepala biji lancip dan bagian dada cembung dengan
linger yang panjang. Biji betina yaitu ujung kepala biji tumpul dengan bagian dada yang rata dan linger pendek. Prediksi perakaran utama bibit jantan umum-
nya tidak bercabang dan bibit tidak membentuk percabangan, sedangkan bibit betina perakaran utama membentuk percabangan dengan bibit juga ber-cabang
Gambar 18 dan 19.
A B
C C
Gambar 18. Morfologi biji pala untuk prediksi seks; A: biji jantan mempunyai tanduk pada bagian kepala, B: biji betina tidak mempunyai tanduk
pada bagian kepala
Gambar 19. Morfologi bibit pala untuk prediksi seks tanaman; A: bibit tanaman betina batang bercabang, B: bibit tanaman jantan batang tidak ber-
cabang
Analisis Seks Pala
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa populasi pala di lokasi Ternate, Tidore dan Makian yang diamati memperlihat tanaman pala betina dominan pada
semua lokasi dan tidak berbeda nyata, kemudian diikuti tanaman monoecious lebih tinggi untuk populasi di Ternate dan berbeda nyata dibandingkan Tidore
dan Makian, sedangkan tanaman jantan dan trimonoecious memperlihatkan tidak berbeda nyata di semua lokasi pengamatan Ternate, Tidore dan Makian. Kedua
jenis seks tanaman mempunyai proporsi yang hampir sama untuk semua daerah pengamatan seks tanaman pala Tabel 30.
Demikian juga untuk jumlah populasi tanaman betina pada semua lokasi yang diamati menunjukkan jumlah tanaman betina lebih banyak dibandingkan
dengan tanaman jantan, monoecious dan trimonoecious. Hal ini dapat dijelaskan
A B
A B
bahwa sejak awal pemilihan biji untuk benih hingga bibit, petani pala telah melakukan seleksi terhadap seks tanaman kelak yang ingin dihasilkan.
Tabel 30. Rataan tanaman pala Betina, Jantan, Monoecious dan Trimonoecious pada lokasi Ternate, Tidore dan Makian
Lokasi Seks Tanaman
Betina Jantan
Monoecious Trimonoecious
Ternate Marikurubu
Moya Tabanga
Togafu Rua
67,00 ab 67,00 ab
A 66,75 ab 62,00 ab
62,50 ab 4,00 h
4,00 h C 4,00 h
4,00 h 4,00 h
23,00 abcd 26,25 abc
A 25,00 abcd 30,00 a
28,25 ab 6,00 e
5,50 e C 4,25 f
4,00 f 5,25 e
Tidore Jaya
Gorabunga Afa-afa
Sirongo Toloa
63,00 ab 64,00 ab
A 64,00 ab 69,00 a
63,00 ab 8,00 b
6,00 f A 8,00 b
4,00 h 0,00 a
21,00 bcd 23,00 abcd
B 20,00 bcd 20,00 bcd
18,00 cd 8,00 b
7,00 c A 8,00 b
7,00 c 9,00 a
Makian Dalam1
Dalam2 Dalam3
Luar1 Luar2
67,00 ab 65,75 ab
A 64,25 ab 59,00 b
64,50 ab 8,00 b
7,75 c B 6,25 e
5,00 g 7,00 d
17, 00 d 18,25 cd
B 23,75 abcd 28,00 ab
21,75 abcd 8,00 b
8,25 ab B 5,75 e
8,00 b 6,75 cd
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kapital atau huruf kecil pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5.
Berdasarkan penanda morfologi biji tidak bertanduk dan bibit batang bercabang, diseleksi biji dan bibit pala yang diprediksi adalah tanaman betina.
Berdasarkan hasil seleksi populasi tanaman pala yang ada dilapangan dihasilkan jumlah tanaman betina yang paling banyak. Disamping itu bila ternyata tanaman
yang tumbuh dilapangan adalah tanaman jantan maka petani akan menebang dan mengganti dengan tanaman betina atau monoecious, sehingga populasi pa-
la yang dominan adalah tanaman betina. Seks tanaman pala di tiga lokasi memperlihatkan persentase tanaman
betina dihasilkan lebih besar dari 50 persen. Hal ini berarti di Maluku Utara po- pulasi tanaman pala yang dominan adalah tanaman betina dengan persentase
rataan sebesar 64,55 persen Tabel 31. Walaupun jumlah tanaman betina lebih dominan tetapi masih ditemukan tanaman jantan, ini sesuai dengan rekomendasi
untuk frekuensi tanaman jantan dengan tanaman betina yaitu 1 : 10
Tabel 31. Persentasi tanaman Betina, Jantan, Monoecious dan Trimonoecious Lokasi
Seks Tanaman Kebetinaan
Betina Jantan
Monoecious Trimonoecious
Ternate Tidore
Makian 64.95
64.60 64.10
4.00 7.20
6.80 26.20
20.40 21.75
4.85 7.80
7.35 73.25
72.39 72.19
Tanaman 64.55
6.00 22.78
6.67 72.61
Sifat kebetinaan „femaleness sex’ pada populasi seks tanaman pala di
Ternate, Tidore dan Makian menunjukkan persentase sebesar 72.61. Hal ini menjelaskan bahwa persentase serbuk sari yang membawa gen dengan alel
betina lebih besar dari 50 persen seks fungsional probabilitas transmisi gen de- ngan alel betina dan alel jantan yang diturunkan melalui gamet jantan dan betina
kegenerasi berikutnya. Dengan demikian persilangan di antara seks tanaman pala akan menghasilkan segregasi untuk tanaman betina lebih tinggi dengan
persentase seks betina sebesar 50 Tabel 31. Hasil uji Khi-kuadrat perbandingan tanaman pala betina, jantan dan
monoecious dan trimonoecious pada populasi tanaman pala di Ternate daerah
Marikurubu, Moya, Tabangame, Togafu dan Rua mengikuti kaidah 3:1, 13:3 dan 10:3:3. Nisbah perbandingan seks pala di Tidore daerah Jaya, Gorabunga, Afa-
Afa, Sirongo dan Toloa yaitu 3:1, 13:3, 9:6:1 dan 10:3:3. Demikian juga di Makian daerah Dalam1, Dalam2, Dalam3, Luar1 dan Luar2 mengikuti nisbah Mendel
3:1, 13:3, 12:3:1 dan 10:3:3. Berdasarkan nisbah frekuensi perbandingan Mendel tersebut kemungkinan sifat seks pala dikendalikan oleh 2 gen dengan interaksi
dominan dan resesif epistasis serta interaksi kompleks Tabel 32. Bila benih yang diperoleh dari hasil selfing bunga hermaphrodit sebagian
besar akan menghasilkan tanaman hermaphrodit dan tanaman betina atau semuanya tanaman betina dengan perbandingan 3:1. Pendapat ini didukung
oleh Chan 1995 yang menyatakan selfing bunga hermaprodit atau penyerbukan bunga hermaphrodit dengan serbuk sari dari bunga hermaphrodit akan meng-
hasilkan kombinasi jumlah tanaman hermaphrodit dua kali lebih banyak dari tanaman betina.
Bila bunga hermaphrodit mendapat persilangan dari tepung sari bunga jantan maka akan dihasilkan turunan tanaman berbunga hermaphrodit atau
tanaman monoecious dengan bungan jantan dan betina terdapat dalam individu
tanaman yang sama atau tanaman dioecious dengan tanaman jantan dan tana- man betina pada individu yang berbeda Weeks et al. 2006.
Tabel 32. Uji Khi-kuadrat X
2
perbandingan tanaman pala betina, jantan, monoecious
dan trimonoecious di Ternate, Tidore dan Makian Lokasi
2
hitung
3:1 13:3
9:6:1 12:3:1
10:3:3 TERNATE
Marikurubu Moya
Tabanga Togafu
Rua 3.00 tn
1.61 tn 0.65 tn
2.25 tn 2.25 tn
0.10 tn 0.10 tn
1.81 tn 0.10 tn
0.10 tn 5.89
7.64 9.13
2.03 tn 4.90
8.86 1.48 tn
1.78 tn 10.63
5.14 2.69 tn
3.62 tn 13.89
1.73 tn 1.37 tn
TIDORE Jaya
Gorabunga Afa-afa
Sirongo Toloa
0.01 tn 5.88
1.08 tn 0.65 tn
1.08 tn 0.69 tn
1.81 tn 0.04 tn
1.19 tn 0.04 tn
2.69 tn 0.70 tn
1.66 tn 9.13
1.66 tn 1.40 tn
6.79 6.37
1.78 tn 6.37
0.45 tn 4.31 tn
0.47 tn 3.33 tn
0.47 tn
MAKIAN Dalam1
Dalam2 Dalam3
Luar1 Luar2
1.61 tn 2.25 tn
3.00 tn 2.25 tn
3.85 0.79 tn
0.02 tn 0.15 tn
0.02 tn 0.40 tn
13.72 4.12
0.92 tn 0.86 tn
1.24 tn 2.52 tn
3.32 tn 10.28
2.13 tn 2.13 tn
1.91 tn 1.89 tn
2.28 tn 0.90 tn
1.54 tn
Keterangan :
2
hitung pada taraf 5 = 3.840, pada taraf 1 = 6.630 db=1, 5 = 5.990, pada
taraf 1 = 9.210 db=2, dan = berbeda nyata; tn = tidak nyata
Hasil uji Khi-kuadrat perbandingan tanaman pala betina, jantan, monoe- cious
dan trimonoecious pada populasi tanaman pala keseluruhan di Ternate, Tidore dan Makian mengikuti kaidah perbandingan 13:3 dan 10:3:3 Tabel 33.
Hasil uji Khi-kuadrat masuk perbandingan dua kelas dan tiga kelas, dengan sifat seks kemungkinan dikendalikan oleh 2 gen dengan aksi gen dominan dan resesif
epistasis serta adanya interaksi kompleks antar gen pengendali seks pala. Pengujian dengan nisbah 3:1 untuk keseluruhan populasi pala yang ber-
ada di Ternate, Tidore dan makian tidak mengikuti kaidah tersebut. Hal ini dapat dijelaskan karena kemungkinan pada populasi pala di Ternate untuk tanaman
pala jantan telah mengalami pengurangan jumlah tanaman yang ada dilapangan. Pengurangan jumlah tanaman jantan dikarenakan tanaman jantan tidak meng-
hasilkan buah dan tidak memberikan nilai produksi bagi petani pala sehingga nilai ekonomis yang diharapkan petani tidak dihasilkan, mengakibatkan tanaman
jantan ditebang dan digantikan dengan tanaman betina. Akibat dari pergantian tanaman jantan, maka perbandingan antara tanaman betina dengan tanaman
jantan dan monoecious terlalu besar, sehingga hasil analisis uji Khi-kuadrat pada ke-tiga daerah tersebut tidak memenuhi kaidah perbandingan 3:1 Tabel 33.
Tabel 33. Uji Khi-kuadrat X
2
nisbah tanaman pala jantan, betina, monoecious dan trimonoecious di
Ternate, Tidore dan Makian Lokasi
2
hitung
13:3 Prob
10:3:3 Prob
Ternate 1.51
0.22 3.65
0.16 Tidore
0.02 0.88
0.43 0.81
Makian 1.17
0.28 1.18
0.56 Selain pola segregasi yang tidak sesuai dengan nisbah Mendel, maka hal
lain yang dapat dijelaskan yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh La Muhuria et al
. 1997 pada tanaman pala berdasarkan pengamatan jumlah kromosom menunjukkan bahwa tanaman betina, jantan maupun berumah satu mempunyai
jumlah kromosom yang sama, yakni 2n=34, jadi dari jumlah kromosom tidak dapat membedakan tanaman jantan, betina dan monoecious.
Tanaman dioecious membentuk sekitar enam atau tujuh persen spesies tanaman, jenis utama lain dari seksualitas tanaman yang digambarkan adalah
sebagai monoecious dan hermaphrodit. Pada tumbuhan berumah satu, masing- masing individu tanaman memiliki bunga jantan dan betina terpisah. Bunga
hermaphrodit adalah jenis yang paling umum dari seksualitas tanaman, terjadi di
lebih dari 80 spesies dengan jantan dan bagian betina ditemukan di setiap individu bunga Heilbuth et al. 2001; Stehlik dan Barrett, 2006.
Perbedaan jenis kelamin pada tanaman kemungkinan diatur oleh gen-gen yang mengatur ekspresi kelamin yang terletak pada kromosom tertentu Zluvova
et al . 2010. Ekspresi kelamin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi, transport dan
kepekaan hormon Negrutiu dan Sala, 1991, sedangkan aktivitas hormon sangat dipengaruhi oleh rangsangan lingkungan antara lain kualitas cahaya, periode-
sitas, nutrisi dan suhu Adam et al. 2011; Parker, 1990. Hal yang sama dilapor-
kan juga terjadi pada asparagus Asparagus officinalis L. yang menunjukkan bahwa asparagus dapat menjadi berumah dua karena adanya aborsi dari putik
atau serbuk sari dari primordial bunga hemaphrodit sehingga menjadi tanaman yang secara genotipe jantan atau betina. Kemungkinan terjadinya perubahan
seks disebabkan adanya perubahan keseimbangan hormon yang dikendalikan oleh sistem gen pengontrol kelamin pada pasangan kromosom homomorphic
dan faktor lingkungan Bracale et al. 1991.
Prediksi Seks Biji dan Bibit
Prediksi seks biji dilakukan dengan mengambil 100 biji pala dari pohon betina setiap lokasi yaitu Ternate, Tidore dan Makian, kemudian dilakukan pe-
ngamatan berdasarkan ciri morfologi ada tidaknya tanduk biji yang diprediksi biji betina, jantan dan monoecious Tabel 34.
Tabel 34. Frekuensi prediksi tipe seks berdasarkan morfologi tanduk biji pala Morfologi
biji Lokasi
Tipe seks Jumlah
biji Frekuensi biji
Tanduk biji
Ternate Uniseksual
: Betina
Jantan 53 53.0
25 25.0 78.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 22 22.0 monoecious
Tidore Uniseksual :
Betina Jantan
6 6.0 60 60.0
66.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 34 34.0 monoecious
Makian Uniseksual
: Betina
Jantan 25 25.0
40 40.0 65.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 35 35.0 monoecious
Tanduk Biji Uniseksual
: Betina
Jantan 84 28.0
125 41.7 69.7 dioecious
Biseksual :
Monoecious 91 30.3 monoecious
Benih yang diambil dari Ternate menghasilkan frekuensi tipe seks yang diprediksi dioecious sebesar 78.0 dan 22.0 monoecious, sedangkan untuk
Tidore dan Makian prediksi tipe seks dioecious tidak jauh berbeda yaitu sebesar
65-66 dan 34-35 adalah monoecious. Total frekuensi persentase tanduk biji untuk tipe seks dioecious 69.7 dan monoecious sebesar 30.3. Dengan
demikian prediksi tipe berdasarkan tanduk biji menghasilkan tipe seks yang do- minan pada lokasi Ternate, Tidore dan makian adalah tanaman dioecious se-
besar 69.7 Tabel 34. Prediksi seks biji berdasarkan bentuk linger biji dilakukan dengan meng-
ambil 100 biji pala dari setiap pohon betina, dari setiap lokasi pengamatan Ternate, Tidore dan Makian. Pengamatan morfologi biji berdasarkan bentuk li-
nger biji yang kemudian diprediksi tipe seks biji betina, jantan dan monoecious. Untuk lokasi Ternate menghasilkan tipe seks dioecious sebesar 77.0 dan
monoecious sebesar 23.0. Lokasi pengamatan di Tidore prediksi tipe seks
dioecious sebesar 69.0 dan monoecious 31.0, sedangkan lokasi Makian tipe
seks dioecious sebesar 65.0 dan monoecious sebesar 35.0. Total frekuensi persentase linger biji dengan prediksi tipe seks dioecious sebesar 69.7 serta
monoecious sebesar 29.7 Tabel 35
Tabel 35. Frekuensi prediksi tipe seks berdasarkan morfologi linger biji pala Morfologi
biji Lokasi
Tipe seks Jumlah biji
Frekuensi biji Linger biji
Ternate Uniseksual
: Betina
Jantan 50 50.0
27 27.0 77.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 23 23.0 monoecious
Tidore Uniseksual :
Betina Jantan
13 13.0 56 56.0
69.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 31 31.0 monoecious
Makian Uniseksual
: Betina
Jantan 20 20.0
45 45.0 65.0 dioecious
Biseksual :
Monoecious 35 35.0 monoecious
Linger Biji Uniseksual
: Betina
Jantan 83 27.7
128 42.7 69.7 dioecious
Biseksual :
Monoecious 89 29.7 monoecious
Penjelasan frekuensi seks dari Tabel 35 yaitu, benih yang dihasilkan dari perkawinan antara tanaman androdioecious atau gynodioecious akan menghasil-
kan tanaman dioecious atau monoecious Weeks et al. 2006; Hofmeyr, 1941; Storey, 1953, dengan jumlah tanaman betina lebih banyak dibandingkan tanam-
an jantan, karena tanaman betina dan monoecious akan memperlihatkan pe- nampilan morfologi tanaman yang sama Maisyaroch, 1986. Tariq 2011 men-
jelaskan hasil persilangan antara betina dengan hermaphrodit atau herma- phrodit
dengan hermaphrodit dapat menghasilkan jantan, betina atau herma- phrodit
, karena karakteristik hermaphrodit dapat memberikan ketiga sifat seks. Liu et al. 2004 dan Panhwar et al. 2005 juga melaporkan bahwa seks herma-
phrodit dapat menghasilkan hermaphrodit, betina dan jantan.
Penentuan seks tanaman betina ataupun jantan secara konvensional dilakukan setelah tanaman menghasilkan bunga. Hal ini karena tidak terlalu tam-
pak perbedaan karakter vegetatif antara tanaman betina, jantan maupun monoe- cious.
Permasalahan mirip pada tanaman papaya yang sifat seks tanaman agak mirip dengan tanaman pala, Maisyaroch 1986 menyatakan, semua penciri
vegetatif seperti tinggi bibit, jumlah daun, kerampingan bibit, dan lingkar batang tidak dapat digunakan sebagai ciri pembeda seks tanaman semenjak masih be-
rupa bibit. Hasil uji Khi-kuadrat prediksi seks biji berdasarkan linger biji tidak sesuai
dengan nisbah Mendel, hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk tetua jantan sebagai sumber serbuk sari tidak diketahui apakah dari tanaman monoecious, trimonoe-
cious atau dari bunga hermaphrodit. Faktor lain yaitu banyak tanaman jantan
pada populasi tanaman pala dilapangan yang ditebang, selain itu dalam hal seleksi pemilihan benih-benih yang dianggap sebagai benih betina saja yang
dipilih, sehingga hal-hal tersebut memperkecil jumlah populasi tanaman jantan di lapangan. Efek dari faktor tersebut diatas akan menghasilkan ratio segregasi uji
Khi-kuadrat menyimpang tidak sesuai dengan ratio mendel. Penjelasan lain berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Durand dan
Durand 1991 pada tanaman berumah dua Mercurialis annua L. menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin dikontrol oleh 3 gen. Tanaman jantan begantung
pada 2 gen pelengkap A dan satu dari gen pelengkap B, sedangkan sensitivitas untuk hormon betina tergantung pada jumlah gen dominan B. Tanpa adanya gen
pelengkap gen dominan A atau gen dominan B akan menginduksi tanaman men- jadi betina. Pemberian auksin dari luar akan menginduksi tumbuhnya bunga jan-
tan pada nodia bunga betina sedangkan sitokinin akan menginduksi tumbuhnya putik pada bunga tanaman jantan.
Perbedaan ukuran panjang absolute kromosom antar jenis kelamin juga terjadi pada tanaman pala La Muhuria et al. 1997. Menurut Stebbins 1971
perbedaan ukuran, bentuk dan jumlah kromosom menunjukkan perbedaan mor- fologi daun, bentuk dan buah. Berdasarkan hal tersebut perbedaan fenotipe
adanya bunga jantan, betina dan hermaphrodit diduga terkait adanya kandu- ngan DNA pada kromosom yang mengontrol ekspresi jenis kalamin. Penelitian
yang dilakukan oleh Naranjo et al. 1998 terhadap lima spesies Vicia Faba- ceae juga menunjukkan bahwa ukuran volume kromosom total mempunyai
korelasi positif dengan kandungan DNA.
Tabel 36. Frekuensi prediksi tipe seks berdasarkan morfologi perakaran bibit pala
Seratus biji pala yang berasal dari pohon betina dikecambahkan menjadi bibit kemudian dikarakterisasi morfologi perakaran bibit dan dihasilkan frekuensi
tipe seks berdasarkan morfologi perakaran bibit pala. Untuk lokasi Ternate mor- fologi perakaran bibit yang bercabang diprediksi tipe seks betina dihasilkan
sebesar 68 dan perakaran bibit yang tidak bercabang diprediksi seks jantan sebesar 32. Pada lokasi Tidore perakaran bercabang tipe seks betina sebesar
73 dan perakaran tidak bercabang tipe seks jantan 27, sedangkan lokasi Morfologi
Akar Lokasi
Tipe seks Jumlah
bibit Frekuensi
bibit Perakaran
bibit Ternate
Uniseksual :
Betina Jantan
68 68.0 32 32.0
100.0 dioecious
Tidore Uniseksual :
Betina Jantan
73 73.0 27 27.0
100.0 dioecious
Makian Uniseksual
: Betina
Jantan 75 75.0
25 25.0 100.0 dioecious
Perakaran bibit Uniseksual
: Betina
Jantan 216 72.0
84 28.0 100.0 dioecious
Makian perakaran bibit bercabang tipe seks betina adalah 75 dan perakaran diprediksi tipe seks jantan sebesar 25. Frekuensi persentase perakaran bibit
diprediksi tipe seks betina sebesar 72 dan prediksi tipe seks jantan sebesar 28. Dengan demikian berdasarkan morfologi perakaran bibit maka diprediksi
tipe seks dominan adalah tanaman betina sebesar 72 Tabel 36. Tabel 37. Frekuensi prediksi tipe seks berdasarkan morfologi percabangan bibit
pala
Seratus biji pala dari pohon betina yang diambil dari tiga lokasi Ternate, Tidore dan Makian kemudian dikecambahkan menjadi bibit dan diamati morfologi
percabangan bibit pala. Pada lokasi Ternate dan Tidore bibit yang bercabang di- prediksi tipe seks betina yaitu sebesar 48 dan bibit tidak bercabang diprediksi
tipe seks jantan sebesar 52. Di lokasi Makian frekuensi bibit yang bercabang diprediksi tipe seks betina sebesar 49 dan prediksi seks jantan 51. Total
frekuensi percabangan bibit dari tiga lokasi pengambilan sampel biji pala, yaitu prediksi tipe seks bibit betina sebesar 48.3 dan prediksi tipe seks jantan yaitu
51.7 Tabel 37. Prediksi seks pala berdasarkan morfologi biji bertanduk dan linger biji,
maka hasil uji Khi-kudrat yang sesuai dengan nisbah Mendel yaitu 3:1 dan 9:7. Prediksi seks morfologi biji bertanduk dari Ternate dan Makian sesuai nisbah 3:1,
demikian juga untuk morfologi linger biji hanya Makian yang sesuai dengan nisbah 3:1. Prediksi seks morfologi tanduk biji untuk semua lokasi memenuhi
Morfologi bibit
Lokasi Tipe seks
Jumlah bibit
Frekuensi bibit
Percabangan bibit
Ternate Uniseksual
: Betina
Jantan 48 48.0
52 52.0 100.0 dioecious
Tidore Uniseksual :
Betina Jantan
48 48.0 52 52.0
100.0 dioecious
Makian Uniseksual
: Betina
Jantan 49 49.0
51 51.0 100.0 dioecious
Percabangan bibit Uniseksual
: Betina
Jantan 145 48.3
155 51.7 100.0 dioecious
nisbah 9:7, dan morfologi linger biji hanya di Ternate yang tidak memenuhi nisbah 9:7 Tabel 38. Pengujian terhadap nisbah dua kelas dari karakter morfo-
logi biji bertanduk dan linger biji, maka sifat seks kemungkinan dikendalikan oleh dua gen dengan interaksi gen duplikat resesif epistasis.
Tabel 38. Uji khi-kuadrat perbandingan prediksi seks tanaman pala berdasarkan bentuk tanduk kepala biji dan
linger biji Karakter
morfologi Lokasi
2
hitung 3:1
Prob 9:7
Prob Tanduk
Biji Ternate
Tidore Makian
0.01 12.81
0.01 0.90
0.00 0.90
0.57 0.42
0.42 0.44
0.51 0.51
Linger Biji
Ternate Tidore
Makian 1.53
2.08 0.03
0.21 0.14
0.85 1.85
0.02 0.12
0.17 0.87
0.72
Hasil uji Khi-kuadrat prediksi seks tanaman berdasarkan percabangan perakaran dan percabangan batang bibit untuk semua lokasi pengamatan, nis-
bah yang sesuai adalah 3:1 dan 9:7. Prediksi seks tanaman pala berdasarkan percabangan perakaran dan percabangan batang bibit yaitu bila bibit yang mem-
perlihatkan akar bercabang dan bibit batang bercabang adalah tanaman betina, sebaliknya bibit yang akar dan cabang tidak bercabang adalah tanaman jantan
Tabel 39. Tabel 39. Uji khi-kuadrat prediksi seks tanaman pala
berdasarkan karakter morfologi percabangan perakaran dan percabangan batang bibit
Prediksi seks tanaman saat pertumbuhan vegetatif bibit juga dilakukan oleh Hadi et al. 2002, yaitu identifkasi seks tanaman salak pada pertumbuhan
vegetatif, apabila biji salak yang berkecambah “bersabuk” akan menghasilkan
Karakter Morfologi
Lokasi
2
hitung 3:1
Prob Percabangan
Perakaran Ternate
Tidore Makian
3.00 0.33
0.01 0.08
0.56 0.91
9:7 Prob
Percabangan Bibit
Ternate Tidore
Makian 0.92
0.12 1.34
0.34 0.72
0.25
tanaman betina, sedangkan bi ji berkecambah “tidak bersabuk” akan menghasil-
kan tanaman jantan. Sifat seks tanaman ditentukan oleh hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogen tanaman. Metzger 1995 mengemukakan selain
faktor endogen yang berpengaruh terhadap penampakan bunga atau ekspresi seks, faktor eksogen atau faktor lingkungan dapat mempengaruhi ekspresi seks
tanaman. Tabel 40. Uji khi-kuadrat prediksi sex tanaman pala berdasarkan
gabungan karakter morfologi biji, perakaran dan bibit pala
Prediksi seks pala berdasarkan gabungan dari karakter morfologi biji, percabangan perakaran dan percabangan bibit memperlihatkan semua karakter
morfologi menghasilkan nisbah yang sama untuk morfologi seks. Nisbah yang sesuai untuk ketiga jenis karakter adalah 3:1, 9:6:1 dan 9:3:3:1 Tabel 40.
Dari pola segregasi nisbah yang didapat, sifat seks pala kemungkinan dikendalikan oleh dua gen. Sifat pengendalian kemungkinan adalah dominan
penuh pada kedua lokus, atau adanya interaksi duplikasi dari gen yang mengen- dalikan sifat seks pala.
Sistem seksual pada tumbuhan hampir sangat beragam, dan memahami sistem seksual tanaman merujuk pada segregasi distribusi alel dan fungsi gamet
yang akan mengekspresikan morfologi struktur bunga dan mekanisme gen yang mengendalikan ekspresi penekanan carpel atau stamen untuk menghasilkan
bunga monoecious, dioecious atau hermaphrodit Ming et al. 2011. Mekanisme struktur perkembangan carpel dan benang sari melibatkan sejumlah besar fungsi
genetik, dan mutasi yang terjadi pada salah satu gen pengatur seks gen pe- ngendali carpel dan stamen yang dapat memicu aborsi atau hilangnya fungsi
jantan atau betina pada organ bunga Zhang et al. 2005, Wellmer et al. 2004. Karakter
Morfologi
2
hitung 3:1
Prob 9:6:1
Prob 9:3:3:1 Prob Biji datar -
perakaran dan bibit bercabang
0.20 0.65
0.10 0.95
2.25 0.52
Biji lancip - perakaran dan
bibit lurus 0.15
0.69 2.99
0.22 2.96
0.39 Biji-perakaran-
bibit pala 1.14
0.28 1.34
0.51 0.68
0.88
Mekanisme kontrol secara genetik untuk sifat-sifat yang terpaut seks pada tanaman pala masih merupakan misteri yang belum dapat dipahami se-
cara menyeluruh. Sifat karakter seks pala hanya dapat dijelaskan berdasar- kan pengujian-pengujian segregasi sifat seperti karakter jenis kelamin pada
individu tanaman dilihat dari bunga yang dihasilkan dari progeni-progeni turu- nan. Hasil segregasi jenis kelamin tanaman berdasarkan penanda morfologi biji,
perakaran dan bibit pala diduga karena adanya pengaruh gen yang saling meng- hambat ekspresi carpelstamen dan kemungkinan diekspresikan dalam bentuk
non fungsional, serta Interaksi alel yang berbeda dapat mengakibatkan peru- bahan fenotipe seksual pala.
Simpulan
Berdasarkan identifikasi terhadap karakter morfologis pada populasi tana- man pala di Ternate, Tidore dan Makian menghasilkan tanaman pala betina jan-
tan, monoecious, trimonoecious dan teridentifikasi adanya bunga hermaphrodit. Perbedaan pohon betina dan jantan adalah bunga betina yang tidak memiliki
staminate dan bunga jantan tidak memiliki pistilate. Morfologi tanaman betina memiliki habitus lebih piramid, daun lebih besar,
bunga 1-3 dan menghasilkan buah. Tanaman jantan memiliki habitus lebih semi piramid-membola dengan daun lebih kecil dan jumlah bunga banyak lebih dari 3
pertangkai. Morfologi tanaman monoecious dan trimonoecious tidak memperlihat perbedaan dengan tanaman betina.
Prediksi seks berdasarkan biji yang bertanduk dan berlingir adalah biji jantan dan biji yang tidak bertanduk dan berlingir adalah biji betina. Morfologi
bibit bercabang dan akar bercabang adalah tanaman betina, bibit dan akar tidak bercabang adalah tanaman jantan dengan nisbah ratio prediksi seks biji, per-
akaran dan percabangan bibit. 3:1, 9:6:1 dan 9:3:3:1, dengan tipe seks betina le- bih dominan. Sifat pengendalian kemungkinan adalah dominan penuh pada ke-
dua lokus, serta adanya interaksi duplikasi dari gen yang mengendalikan sifat seks pala.
117
ANALISIS MOLEKULER TANAMAN PALA Myristica spp. BERDASARKAN PENANDA SSR
Abstrak
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi beberapa spesies Myristica
. Tiap spesies memiliki perbedaan morfologi satu sama lain. Pengemba- ngan budidaya tanaman pala sangat penting dengan mengetahui seks tanaman
sejak dini. Karakterisasi berdasarkan penanda Simple Sequence Repeat SSR untuk mendapatkan Informasi keragaman genetik dan determinasi seks tanaman
penting untuk pemuliaan pala. Penelitian bertujuan untuk mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan 48 jenis pala dan memperoleh
informasi seks tanaman pala M. fragrans jantan dan betina dengan marka SSR. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman,
Departemen AGH IPB. Pada penelitian DNA diisolasi dari daun muda dan diamplifikasi menggunakan primer SSR dengan metode PCR Polymerase Chain
Reaction
. Analisis data dengan metode UPMGA menggunakan NTYSY dan analisis Cervus. Hasil penelitian menunjukkan sepuluh marka dapat
mengevaluasi keke-rabatan dan keragaman genetik plasma nutfah tanaman pala, dengan tingkat polimorfisme tinggi yaitu 78 dan gen diversity He
sebesar 0.821 serta heterosigositas Ho sebesar 1.00. Keragaman genetik tertinggi 0.897 dihasilkan pada lokus M4s14, sedangkan terendah 0.731 pada
M2r6. Heterosigositas rata-rata tinggi pada semua lokus. Rata-rata Polimorphic Information Content PIC tinggi, sebesar sebesar 0.787. Klastering spesies pala
dengan tingkat kesamaan genetik 23 membentuk empat klaster utama dengan tingkat kemiripan 14.25 sampai 86.00, tingkat kemiripan tersebut meng-
indikasikan bahwa individu beragam dalam populasi pala dengan tingkat heterozigositas alel-alel sebesar 1.00. Primer SSR Vsur34 menghasilkan pita
polimorfik yang dapat membedakan seks tanaman pala jantan dan betina pada M. fragrans
. Primer Vsur34 juga dapat membedakan bibit pala yang berasal dari biji tidak bertanduk merupakan bibit gynomonocious dan trimonoecious serta
dihasilkan bibit betina sebesar 73. Bibit yang berasal dari biji bertanduk merupakan bibit andromonoecious, trimonoecious serta dihasilkan bibit jantan
sebesar 50. Disimpulkan bahwa marka SSR yang digunakan dapat meng- evaluasi keragaman genetik plasma nutfah pala dengan polimorfis yang tinggi,
serta primer SSR Vsur34 dapat dijadikan penanda untuk membedakan seks tanaman dan bibit pala sejak dini.
Kata Kunci : Analisis SSR, plasma nutfah pala, seks pala, keragaman genetik, hubungan kekerabatan
MOLECULAR ANALYSIS OF NUTMEG PLANTS Myristica spp. BASED ON SSR MARKERS
Abstract
Indonesia has a high biodiversity of some species Myristica. Each species has a different morphology from each other. Pengemba with nutmeg cultivation is
very important to know the sex of plants early. Characterization of Simple Sequence Repeat based markers SSR to get information and genetic diversity
of sex determination is important for plant breeding nutmeg. The research aims to study the genetic diversity and kinship 48 types of nutmeg and nutmeg plant sex
information M. fragrans males and females with SSR markers. Research conducted at the Laboratory of Plant Molecular Biology, Department of AGH IPB.
In the present study DNA was isolated from young leaves and amplified using SSR primers by PCR Polymerase Chain Reaction. Data analysis methods and
analysis NTYSY UPMGA using Cervus. The results showed ten markers to evaluate kinship and genetic diversity of plant germplasm nutmeg, with rates as
high as 78 of polymorphism and gene diversity He for 0821 and heterozygosity Ho of 1.00. The highest genetic diversity 0897 resulted in
M4s14 locus, while the lowest 0731 on M2r6. High average heterozygosity at all loci. Average Polimorphic Information Content PIC is high, amounting for 0787.
Klastering nutmeg species with a genetic similarity level of 23 to form four main clusters with a similarity level of 14:25 to 86.00, the level of similarity to indicate
that individuals vary in the degree of heterozygosity nutmeg population alleles at 1.00. Vsur34 SSR primers produced polymorphic bands that could distinguish
the sex of male and female plants nutmeg on M. fragrans. Can also distinguish primary Vsur34 nutmeg seed derived from seed is that the seeds do not have
horns and trimonoecious, gynomonocious and female seeds produced by 73. Seedlings originating from seed is a seed andromonoecious horns, and the
resulting seedlings trimonoecious males by 50. Concluded that SSR markers can be used to evaluate the genetic diversity of germplasm nutmeg with a high
polymorphic, and can be used as a primer Vsur34 SSR markers to distinguish the sex of plants and seed heads early on.
Keywords: Analysis of SSR, germplasm nutmeg, nutmeg sex, genetic diversity,
phylogenetic relationship
Pendahuluan
Potensi dan penggunaan marka molekuler sebagai instrumen dalam pemuliaan tanaman telah dikenal sejak berpuluh tahun yang lalu. Marka dapat
dikategorikan sebagai marka morfologi maupun marka molekuler Douaihy et al. 2012; Jonah et al. 2011. Selain karakter morfologi, penanda DNA lebih banyak
digunakan sebagai karakter atau penciri tanaman karena lebih stabil dan ter- percaya. Karakter DNA lebih unggul bila digunakan sebagai karakter penciri
tanaman sebab memiliki kestabilan yang sangat tinggi dan bahkan variasi ling- kungan hampir tidak mengubah karakterisitiknya
Kemajuan dalam bidang biologi molekuler, mampu mengkarakterisasi materi genetik tanaman dan membantu dalam progam pemuliaan untuk dapat
mengamati dan menganalisis keragaman genetik tanaman maupun untuk me- ngungkapkan seks tanaman pada tingkat DNA.
Keragaman genetik dan permasalah seks tanaman dapat diungkapkan melalui metode molekuler dengan menggunakan berbagai macam penanda un-
tuk identifikasi dan karakterisasi genetik populasi pala serta determinasi seks ta- naman. Salah satu penanda molekuler yang dipakai untuk mengungkapkan ke-
kerabatan genetik populasi pala di Maluku Utara yaitu penanda SSR simple sequence repeat
. Mikrosatelit DNA atau SSR telah digunakan secara luas untuk identifikasi prokaryot dan eukaryot, yang merupakan penanda molekuler yang
memiliki presisi yang tinggi. Marka molekuler adalah suatu penanda pada level DNA yang menawar-
kan keleluasaan untuk meningkatkan efisiensi pemuliaan konvensional dengan melakukan seleksi tidak langsung pada karakter yang diinginkan, yaitu pada
marka yang terkait dengan karakter yang membedakan antara individu tanaman dalam populasi atau antara populasi tanaman dan jenis tanaman. Marka DNA
merupakan penanda yang stabil tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik tanaman pala. Marka
DNA yang digunakan untuk identifikasi keragaman genetik adalah Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat SSR. Metoda mikrosatelit juga terbukti akurat
serta lebih tepat dibandingkan dengan teknik molekular lain dalam mempelajari keanekaragaman genetik tanaman Sawadogo et al. 2009 maupun identifikasi
seks tanaman. Marka molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dapat terdeteksi pada semua fase pertumbuhan tanaman. Marka molekuler dapat
mengkarakterisasi aksesi tanaman pala secara langsung dan tepat pada level DNA sehingga dapat dibedakan kekerabatan antara aksesi plasma nutfah pala
serta dapat mengungkapkan genetik seks tanaman. Marka mikrosatelit SSR merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek
dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan meliputi seluruh genom yang ditemukan secara luas pada organisme Eukariota
terutama pada organisme eukariotik. Marka SSR merupakan marka kodominan dan dapat mendeteksi variasi alel yang tinggi Upadhyay et al. 2011; Molla et al.
2010. Oleh karenanya, marka SSR dapat digunakan untuk mendeteksi aksesi tanaman yang berkerabat dekat secara lebih baik dibandingkan dengan marka
molekuler yang lain. SSR dapat dideteksi dengan pewarnaan menggunakan tek- nik Silver Staining PAGE pewarnaan perak dengan teknik Polyacrilamyde Gel
Electrophoresis. Proses deteksi SSR juga dapat diotomatisasi dengan menggu- nakan fluorescently-labeled markers dan alat analisis genetik genetic analyzer.
Kelebihan utama dari teknik tersebut adalah pembacaan fragmen DNA lebih akurat ketelitian sampai 1 bp, lebih otomatis dan marka yang berbeda ukuran
fragmen DNA dan warna labelnya dapat diproses bersamaan dalam sekali pen- deteksian running Upadhyay et al. 2011; Molla et al. 2010.
Akhir-akhir ini, mikrosatelit banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik tanaman, di antaranya jagung, padi, anggur, kedelai, jawawut,
gandum, dan tomat Powell et al. 1996; Yadaf et al. 2008. Pasangan primer mikrosatelit forward dan reverse diamplifikasi dengan PCR berdasarkan hasil
konservasi daerah yang diapit marka untuk suatu gen pada kromosom. Menurut Powell et al. 1996, beberapa pertimbangan untuk penggunaan marka mikro-
satelit dalam studi genetik di antaranya 1 marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom eukariot, variabilitasnya sangat tinggi banyak alel
dalam lokus, sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui; 2 me- rupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi;
3 merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, eva- luasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotipe untuk karakter yang di-
inginkan; 4 studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. SSR sekarang merupakan marker yang dipilih pada banyak area genetika molekuler karena
mikrosatelit sangat polimorfik bahkan untuk spesies atau galur yang berkerabat dekat, memerlukan DNA dalam jumlah kecil dan dapat diautomasi.
Pada saat kini marka molekuler yang telah digunakan secara luas adalah SSR Simple Sequence Repeat atau mikrosatelit. Marka tersebut telah diguna-
kan pada berbagai studi, di antaranya studi keragaman genetik atau identifikasi varietas tanaman Tantasawat et al. 2011, struktur genetik pada Beta vulgaris
Raybould et al. 1998 juga digunakan untuk mengungkapkan keragaman genetik tanaman dan kekerabatannya, seperti yang telah dilakukan pada tanaman pi-
sang, Onyango et al. 2010, kakao Zhang et al. 2006 quinoa Mason et al.
2005, jagung Marcia et al. 2006, kedelai Narvel et al. 2000 dan Brassica Plieske dan Strurss, 2001. Pemanfaat SSR untuk mengungkapkan perbedaan
seks tanaman juga telah dilakukan pada tanaman populus Yin et al. 2008 dan ubi jalar Gallareta et al. 2007
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi tingkat polimorfisme penanda SSR dan diversitas genetik
plasma nutfah pala dengan penanda SSR. 2. Memperoleh informasi tentang hubungan kekerabatan antar aksesi tanaman
pala di Maluku Utara yang diidentifikasi dan dikarakterisasi berdasarkan pe- nanda DNA SSR.
3. Memperoleh polimorfis penanda DNA tipe seks spesies M. fragrans Houtt. untuk tanaman pala jantan dan pala betina berdasarkan marka SSR.
4. Mengetahui polimorfisme penanda SSR pala jantan dan betina pada stadia bibit berumur kurang dari enam bulan dan tanaman dewasa dari spesies M.
fragrans Houtt.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lokasi perkebunan pala di Maluku Utara dan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman PMB, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor IPB dan di kebun penanaman tanaman pala Cicurug, Pusat Penelitian Tanaman Industri dan
Penyegar BALITTRI Sukabumi dari bulan Februari 2009 hingga Agustus 2011.
Bahan Tanaman
Untuk isolasi DNA, bahan yang digunakan dalam penelitian untuk analisis keragaman adalah daun tanaman pala yang berasal dari hasil eksplorasi dan
karakterisasi di Maluku Utara, Penelitian Topik I : Analisis Morfologi dan Agrono- mi pala Myristica spp.. bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda
tanaman pala yang berasal dari 48 aksesi tanaman yang merupakan hasil eksplorasi dan karakterisasi dari Ternate, Tidore, Patani Halmahera Tengah,
Bacan Halmahera Selatan dan Makian, yang berasal dari berbagai spesies pala dan digunakan untuk ekstraksi DNA. Untuk analisis seks tanaman diambil daun
pala dari Penelitian Topik III : Identifikasi Seks Tanaman Pala M. fragrans Houtt. tanaman jantan, betina, monoecious dan trimonoecious, serta daun pala
stadia bibit, yang digunakan untuk ekstraksi DNA. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian adalah : 1 bahan-bahan kimia untuk isolasi DNA tanaman pala,
2 PCR Core Kit dan 17 Primer Mikrosatelit SSR simple sequence reapets pala untuk analisis SSR Hemmila et al. 2010; Draheim et al. 2009, dan 3 bahan
kimia untuk pembuatan PAGE Polyacrylamide Gel Electrophoresis dan pewarnaan perak silver staining.
Metode Penelitian Analisis SSR Simple Sequence Repeats.
Pada penelitian ini digunakan pasangan primer mikrosatelit yang menghasilkan polimorfik yang jelas pada tanaman pala maupun identifikasi seks
tanaman. Tujuh belas primer didesain oleh Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al
. 2009 yang digunakan untuk ampli-fikasi DNA genom pala dalam analisis keragaman genetik dan analisis seks tanaman pala dapat dilihat pada Tabel 41.
Isolasi DNA .
DNA total tanaman pala dari daun tanaman yang paling muda diisolasi mengikuti metode CTAB Cetyltrimethylammonium bromide yang dimodifikasi
Doyle dan Doyle, 1990; Sheeja et al. 2008. Sebanyak 1,5 g daun pala yang masih
muda dipotong-potong
kemudian ditambahkan
1 PVP
PolyvinylPolypyrrolydone dan nitrogen cair selanjutnya digerus di dalam mortal sampai halus. Selanjutnya daun dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml yang
berisi 1 ml buffer ekstraksi CTAB CTAB 5 100 ml; 5 M NaCl 63 ml; 25 ml Tris-
HCl pH 8,0; 10 ml EDTA 0,5 pH 8,0; dan 1 β-mercaptoethanol yang
ditambahkan saat akan melakukan ekstraksi, dengan prosedur sebagai berikut :
Ekstrak daun dipindahkan ke dalam tabung 2 ml.
Tabung diinkubasi pada waterbath dengan suhu 65 C selama 1 jam dan
sesekali dikocok untuk menghindari pengendapan.
Ditambahkan 0,5 ml Chloroform Isoamyl Alkohol 24:1 dan divortex
Disentrifugasi pada 11000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke dalam tube baru
Ditambahkan 1 ml Chloroform Isoamyl Alkohol 24:1 dan divortex
Disentrifugasi pada 11000 rpm selama 10 menit
Supernatan yang diperoleh dipindahkan kedalam tube baru volume 1,5 ml dan di-tambahkan 1 ml iso-propanol dingin.
Tabung digoyangkan pelan-pelan hingga terbentuk gumpalan putih, kemu-
dian diinkubasi selama 1 jam di freezer.
Disentrifugasi pada 10000 rpm selama 5 menit
Cairan dibuang dan pellet dilarutkan dengan 200 µl buffer TE
Ditambahkan 10 µl Na-asetat 3M dan 1 ml Ethanol absolut dingin.
Tabung digoyang perlahan saat hingga muncul gumpalan putih
Tabung disentrifugasi pada 10000 rpm selama 5 menit.
Pelet DNA dikeringkan dan dilarutkan dalam 200 µl buffer TE Keberhasilan isolasi DNA dicek dengan melakukan running elektroforesis pada
gel agarose 0,8. Uji Konsentrasi dan Kemurnian DNA
. Penetapan kuantitas dan kemurnian DNA masing-masing contoh sampel
diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Pembacaan A260 = 1, berarti konsentrasi DNA yaitu 50 µgml dan
dianggap sebagai faktor konversi. DNA mempunyai kemurnian yang tinggi bila rasio nilai absorbansi 260 nm terhadap 280 nm, berkisar antara 1.8
– 2.0 Sambrook et al. 1989. Tingkat kemurnian DNA ditentukan pula berdasarkan
kemampuannya untuk diamplifikasi dengan teknik PCR. Konsentrasi DNA di- hitung berdasarkan rumus :
{DNA} gml = A260 x 50 gml x faktor pengenceran
Uji PCR Sampel DNA .
Uji PCR sampel DNA pala dilakukan sesuai dengan protokol dan kondisi yang disertakan oleh produsen primer dengan modifikasi sesuai keperluan. Re-
aksi amplifikasi untuk primer SSR dilakukan pada volume total 25 µl yang me- ngandung 0,2 µM untuk masing-masing primer, 1,25 U Taq polymerase Real
Biotech Corporation, 1 X buffer PCR, 0,1 µM dNTP mix 10mM dan 2 µl DNa templat.
Tahapan kondisi PCR untuk marka SSR adalah sebagai berikut : 1. Pre-denaturasi pada suhu 95
C selama 3 menit.. 2. Dilanjutkan 35 siklus termal yang masing-masing terdiri atas : denaturasi pa-
da suhu 95 C selama 1 menit, annealing penempelan primer pada suhu
58 C selama 1 menit, elongation perpanjangan basa pada suhu 72
C sela- ma 1 menit.
3. Final extention perpanjangan basa untuk putaran terakhir pada suhu 72 C
selama 7 menit. 4. Akhir siklus termal suhu PCR menurun dari 72
C menjadi 4 C, kemudian di-
inkubasikan pada suhu 4 C, hingga sampel DNA hasil PCR digunakan untuk
elektroforesis. DNA hasil amplifikasi kemudian dicek dengan melakukan running elektroforesis
pada gel agarose 1 untuk konfirmasi ada atau tidaknya produk amplifikasi. Running PAGE DNA hasil amplifikasi dengan SSR
A. Persiapan plate kaca pendek 1. Kaca dicuci dengan detergen, dibilas dengan air bersih dan dikeringkan
2. Kaca disemprot dengan alkohol 95 dan dilap dengan kertas tissue. 3. 0,5 ml sigmacote diteteskan pada permukaan atas kaca dan diratakan
dengan tissue. 4. Sigmacote dibiarkan mengering dan kelebihan sigmacote dibersihkan
dengan mencuci memakai alkohol 95 B. Persiapan plate kaca panjang
1. Kaca dicuci dengan detergen, dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Kaca disemprot dengan alkohol 95 dan dilap dengan kertas tissue.
2. Permukaan atas kaca ditetesi dengan larutan pengikat yang terdiri atas 1 ml alkohol 95, 5 µl asam asetat glacial dan 2 µl bind saline disiapkan
sesaat sebelum digunakan. 3. Larutan pengikat diratakan dengan tissue dan dibiarkan kering.
4. Permukaan kaca disemprot kembali dengan alkohol 95 dan dilap de- ngan kertas tissue.
C. Persiapan Gel Akrilamid 6 1. Gel akrilamid dibuat sebanyak 70 ml dengan komposisi sebagai berikut :
urea 29,4 g; 5x Buffer TE 14 ml; larutan akrilamid 40 10,5 ml; APS 10 250 µl; TEMED 36 µl; aquades 70 ml.
2. Gel dituangkan secara perlahan dan tidak boleh terputus dimulai dari satu ujung hingga mencapai bagian ujung kaca pendek. Gel dibiarkan terpoli-
merisasi selama ± 15 menit. D. Polyacrylamide Gel Electrophoresis PAGE
1. Gel dalam kaca dipasang pada apparatus untuk elektrophoresis. Buffer 1x TBE dituangkan pada tangki atas dan bawah sampai pada level yang
telah ditentukan. 2. Arus listrik disambungkan pada 1.700 volt dan ditunggu sampai suhu gel
mencapai 60 C. Arus listrik dimatikan dan sisa urea di bagian atas gel di-
bersihkan dan comb dipasang. 3. Sebanyak 2 µl sampel DNA di-load kedalam masing-masing well. Loading
harus sudah selesai sebelum suhu turun sampai 40 C. DNA ladder 100
bp di-load sebagai penanda ukuran DNA. 4. Tutup tangki dipasang kembali dan arus listrik dinyalakan. Running di-
lakukan pada 120 volt selama 1.5 jam, atau loading dye mencapai buffer ditangki bagian bawah.
E. Staining dan visualisasi gel 1. Fiksasi dilakukan dengan larutan 100 ml asam acetat glacial 900 ml air
ultra pure selama 5 -30 menit hingga warna biru pada gel hilang.
2. Pencucian dengan air ultra pure dilakukan 2 kali masing-masing selama 2 menit.
3. Staining dilakukan dengan larutan silver nitrat 1 g dan 1,5 ml formaldehid dalam 1 liter air ultra pure selama 30
– 60 menit. 4. Pencucian dengan air ultra pure selama 5
– 20 detik 5. Develop gel dilakukan dengan larutan yang terdiri atas 30 g sodium-
karbonat dalam 1 liter air ultra pure yang telah didinginkan pada suhu 4
C. Sebelum digunakan ditambahkan 1,5 ml formaldehid 37 dan 200 µl sodium thiosulfat.
6. Stop dengan larutan fiksasi selama 5 menit
7. Pencucian dengan air ultra pure 8. Gel dikeringkan pada suhu ruang
Skoring untuk marka kodominan SSR .
Hasil amplifikasi DNA berupa pita hasil PAGE yang merupakan fragmen- fragmen DNA polimorfik diskor dengan melihat jumlah allel yang dihasilkan dari
setiap sampel untuk setiap primer. Tabel 41. Daftar 17 primer spesifik SSR yang digunakan untuk mengamplifikasi
genomic DNA pala dalam PCR
No
aksesi
Sekuen primer Produk
PCR Tm
C Pola ulangan
M4s73 F
R AAGGTCTGGTTTGCTGATGA
AAGGTCTGGTTTGCTGATGA 244
–268 63
ATG9 M4s14
F R
GTTTACCAGATTGGCACACG GCACATTGAGTGGACAGCA
181 –227
63 GT9 GA28
M2r6 F
R GGTTCACTCTGCCCTTTTGT
GATGCACTTTAGTAAGGTTTCAAGC 141
–159 59
CAA11 M2r9
F R
CTCTCCACATGTCTGAGGAACTT AGGTGATATGGCCCATTTTG
208-217 59
GT20 M1r6
F R
CCTGACAACTGGAGAAGATGG TGATTTCAAACCCAGTCAAGG
141-159 59
AGT10 GAA10 M2r31
F R
AGCTTGGGATCAGGTGATATG CGGCCCAATTGAGCTACTAA
151-159 59
GT16 M1s75
F R
AAGAAAATGGGGCAGACGTT TGCTGCTAATTCTTCTTTCTCTGAT
155-179 60
TGG9 TAG9 M4s90
F R
CAGCACGGTGACTACAGCAG TTTTTGGTGTCGTGTCCTTG
203-239 65
AAG15 M1r10
F R
GATCTTGGTGTAAGCTTCTTCTTC CATGCCCCAAAATCACTTC
145-169 58
ACT16 CTT8 M5r33
F R
TCAAACAAAACCACCCATACC GGTTTAAAAGAGGCCATGATTC
141-156 62
ATG8 Vsur34
F R
CTA GTT GAA CTC ATT TCC AC TGG TAT TAG ACT AGC ACT CA
283 –305
52 CT19
Vmul65 F
R CTG CTG CAC CAG AGA AAC
TCG CAT TCA TGA GTT CCC A 158-192
52 CT8CA12
Vsur56 F
R CTT CCT TTC TCC GTT GCC
CTG AAT GCA ACT AGG AGT A 221-237
52 CT13
Vseb21 F
R GCA ATA CGT CTC CAT TTA TC
GTT CAC TTT CTG TTG GAT GA 226-227
52 AC3GCA2AAC2A
ACACAT2TCACAT3 Vseb3
F R
TAT TCT GAC TTC CAC ATC ATG GTA AGA CAA CTT GGC CAT A
224-230 52
AG19 Vsur35
F R
CCT CTT TCA TTG GTG CAA C ATC GTC TTC ACT CAA ACA ATC
285-303 52
GA15 Vsur45
F R
GAT ACT GCA TGA TAT AAG GC AAT AGA ATG CTT AGT AAC CTA C
289-321 52
TC9TCA10
Keterangan : sumber : Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009; F = primer forward, R = primer reverse
Analisis Data
Profil pita DNA hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan primer yang spesifik marka SSR diubah ke bentuk data biner. Karena pita-pita yang dihasil-
kan melalui SSR bersifat kodominan yang dapat membedakan genotipe homo-
zigot dari heterozigot maka data biner dari primer yang dihasilkan kemudian di- buat data genotipenya. Data yang dihasilkan dari analisis molekuler SSR se-
lanjutnya dianalisis untuk melihat : 1. Data hasil profil polimorfisme mikrosatelit untuk melihat keragaman dan ke-
kerabatan spesies pala. 2. Data profil mikrosatelit untuk membedakan pohon jantan dan pohon betina
pada M. fragrans. Setiap pita yang dihasilkan diinterpretasikan sebagai alel, polimorfis profil pita
SSR diskor secara individual berdasarkan ada atau tidaknya pita. Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita
dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari setiap genotipe. Data biner digunakan untuk menghasilkan matriks data biner dengan ban-
tuan program numerical taxonomy and multivariate system NTSYSpc versi 2.02 Rohlf, 1998. Dari matriks data biner diturunkan menjadi matriks kesamaan
genetik similarity matrix antar genotip pala menggunakan Dice Similarity Coefficient
Dice, 1945; Nei dan Li, 1979. Matriks kesamaan genetik dibuat menggunakan similarity for quantitative data SIMQUAL yang merupakan sub-
program similarity and dissimilarity. Berdasarkan nilai matrik genetik yang didapat tersebut dilakukan analisis pengelompokan Cluster Analysis dengan meng-
gunakan metode unweighted pair-group method with aritmathic averages UPGMA. Analisis pengelompokan kekerabatan dilakukan dengan sub-program
sequential agglomerative hierarical nested cluster analysis SHAN. Hasil analisis
pengelompokan UPGMA menggunakan tree-display yang merupakan subpro- gram Graphics Program NTSYSpc Zulkifli et al. 2001. Dendogram yang di-
peroleh mencerminkan hubungan kesamaan genetik antar individu pala yang dievaluasi. Selanjutnya tingkat heterosigositas ditentukan dengan menggunakan
program CERVUS.
Hasil dan Pembahasan A. Keragaman Genetik Pala Myristica spp.
Profil Pita Mikrosatelit SSR
Marka molekuler SSR simple sequence repeat atau mikrosatelit telah banyak digunakan secara luas dalam analisis yang berbasis molekuler. Marka
SSR telah digunakan pada berbagai studi, diantaranya studi keragaman genetik Hemmila et a. 2010; Draheim et al. 2009 dan identifikasi varietas tanaman
Asgedom et al. 2011; Burstin et al. 2001 . Marka SSR merupakan tandem arrays
dari 2-5 pasang nukleotida berulang yang ditemukan secara luas pada organisme eukariot. Marka tersebut bersifat kodominan dan dapat mendeteksi
variasi alel yang tinggi Molla et al. 2010; Panaud et al. 1996; Upadhyay et al. 2011.
a
b Gambar 20. Profil pita hasil PAGE pada aksesi pala Maluku Utara dengan
primer M1r6 a dan primer M4s73 b Penelitian menggunakkan 10 primer SSR yang merupakan primer terpilih
yang didesain oleh Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009 untuk Myris- ticaceae.
Seluruh primer yang digunakan mampu menghasilkan produk hasil amplifikasi PCR, yang ditunjukkan dengan hasil elektroforesis pada gel agarose
dan elektroferogram hasil poly-acryllamide gel electrophoresis PAGE. Visua-
lisasi alel-alel marker SSR yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 20. In- formasi detail dari primer yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Nama lokus, urutan basa dan jumlah alel dari 10 marka SSR No Nama
Urutan Basa 5’-3’ Jumlah Jumlah alel Primer Lokus alel polimorfis
1 M1r6 F : CCTGACAACTGGAGAAGATGG 6 6 R : TGATTTCAAACCCAGTCAAGG
5 M4s14 F : GTTTACCAGATTGGCACACG 13 13 R : GCACATTGAGTGGACAGCA
2 M2r6 F : GGTTCACTCTGCCCTTTTGT 10 10 R : GATGCACTTTAGTAAGGTTTCAAGC
3 M2r9 F : CTCTCCACATGTCTGAGGAACTT 5 5 R : AGGTGATATGGCCCATTTTG
6 M4s73 F : AAGGTCTGGTTTGCTGATGA 8 8 R : AAGGTCTGGTTTGCTGATGA
4 M2r31 F : AGCTTGGGATCAGGTGATATG 11 11 R : CGGCCCAATTGAGCTACTAA
7 M1s75 F : AAGAAAATGGGGCAGACGTT 14 14 R : TGCTGCTAATTCTTCTTTCTCTGAT
8 Vsur34 F : CTAGTTGAACTCATT TCCAC 10 10 R : TGGTATTAGACTAGCACTCA
9 M4s90 F : CAGCACGGTGACTACAGCAG 6 6 R : TTTTTGGTGTCGTGTCCTTG
10 Vmul65 F : CTGCTGCACCAGAGAAAC 11 11 R :
TCGCATTCATGAGTTCCCA Jumlah 94 94
Rataan 9.4 9.4
Keterangan : F = primer forward, R = primer reverse
Hasil elektroforesis amplifikasi DNA dari 10 lokus SSR yang digunakan untuk menganalisis keragaman genetik pala menghasilkan alel sebanyak 94 alel.
Polimorfis pita per primer bervariasi mulai dari 5 – 14 dengan jumlah rataan 9.4
alel per lokus. Jumlah alel polimorfis sebanyak 94 alel dengan persentase polimorfismenya sebesar 100. Hal ini berarti dari 10 lokus SSR yang digunakan
semua lokus menghasilkan alel yang polimorfis. Lokus M1s75 merupakan lokus dengan jumlah alel yang terbanyak yaitu 14 alel, dan jumlah alel polimorfis
sebanyak 14. Artinya pada lokus tersebut, alel yang teramplifikasi merupakan alel yang polimorfis. Lokus M2r9 merupakan lokus dengan jumlah alel polimorfis
yang terendah, berarti lokus M2r9 hanya dapat mengamplifikasi genom pala sampel sebanyak 5 alel. Dari 10 lokus SSR yang digunakan lokus M2r9 me-
rupakan lokus dengan jumlah alel yang terendah Tabel 42 dan 43.
De Vicente dan Fulton 2003 menjelaskan bahwa nilai polimorfisme di- tentukan oleh frekuensi kemunculan alelnya. Nilai frekuensi yang tinggi pada
suatu posisi alel menunjukkan banyaknya alel yang muncul pada posisi tersebut. Frekuensi alel yang muncul pada satu primer yang bervariasi posisinya me-
nunjukkan tingkat polimorfisme dari primer tersebut. Suatu gen dapat dikatakan polimorfis bila frekuensi kemunculan salah satu alel-alelnya kurang atau sama
dengan 0.95 atau 0.99. Nilai polimorfis alel berguna untuk menunjukkan adanya variasi dari genotipe. Primer polimorfis dibutuhkan untuk dapat menganalisis
keragaman genetik suatu populasi tanaman dengan memperlihatkan keragaman pola pita yang terbentuk Chakravarthi dan Naravaneni, 2006.
Tabel 43. Jumlah alel dan nilai polimorfis dari 10 primer SSR yang digunakan dalam penelitian analisis keragaman genetik plasma nutfah pala
Lokus Alel
Nilai Polimorfisme Alel-Alel Polimorfis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 M1r6 6
M4s14 13 M2r6 10
M2r9 5 M4s73 8
M2r31 11 M1s75 14
Vsur34 10 M4s90 6
Vmul65 11 0.28 0.32 0.22 0.11 0.03 0.02 - - - - - - - -
0.05 0.06 0.21 0.05 0.03 0.08 0.10 0.13 0.03 0.11 0.02 0.01 0.10 - 0.04 0.10 0.22 0.22 0.17 0.11 0.04 0.02 0.01 0.05 - - - -
0.15 0.27 0.39 0.15 0.02 - - - - - - - - - 0.23 0.37 0.08 0.07 0.04 0.14 0.01 0.04 - - - - - -
0.18 0.30 0.09 0.03 0.03 0.04 0.04 0.03 0.02 0.09 - - - - 0.09 0.08 0.13 0.12 0.02 0.04 0.14 0.01 0.21 0.01 0.06 0.01 0.02 0.04
0.41 0.02 0.09 0.05 0.04 0.03 0.02 0.03 0.21 0.08 - - - - 0.21 0.26 0.18 0.24 0.04 0.06 - - - - - - - -
0.08 0.08 0.01 0.10 0.08 0.15 0.18 0.13 0.02 0.14 0.02 - - - Polimorfis
Polimorfis Polimorfis
Polimorfis Polimorfis
Polimorfis Polimorfis
Polimorfis Polimorfis
Polimorfis Rerata 9.4
Sepuluh lokus yang digunakan dalam analisis keragaman genetik pala, semuanya menunjukkan lokus yang polimorfis. Nilai polimorfis digunakan untuk
melihat tingginya keragaman genetik pala. Semakin tinggi nilai polimorfis maka tingkat keragaman genetiknya semakin tinggi Seluruh aksesi pala yang diamati
memiliki nilai polimorfis yang tinggi sehingga tingkat keragamannya tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan marka SSR cukup efektif untuk mempelajari
keragaman genetik plasma nutfah tanaman pala. Keragaman ditunjukkan adanya polimorfisme pada lokus. Tingkat polimorfis marka SSR yang diobservasi dari
populasi tanaman pala cukup tinggi.
Tingkat Heterozigositas
Tingkat heterosigositas pada lokus-lokus yang ada di dalam genom masing-masing aksesi pala akan menentukan kedekatan genetik antar aksesi
yang dianalisis. Informasi tentang tingkat heterosigositas atau homosigositas ak- sesi pala sangat penting guna menunjang pengembangan serta program pe-
muliaan tanaman pala di masa mendatang. Tabel 44. Parameter keragaman genetik 48 aksesi pala berdasarkan marka SSR
Lokus Jumlah alel
Parameter Keragaman Ho
He PIC
M1r6 6
1.00 0.757
0.707 M4s14
13 1.00
0.897 0.877
M2r6 10
1.00 0.850
0.822 M2r9
5 1.00
0.731 0.675
M4s73 8
1.00 0.779
0.741 M2r31
11 1.00
0.843 0.817
M1s75 14
1.00 0.889
0.869 Vsur34
10 1.00
0.772 0.738
M4s90 6
1.00 0.799
0.758 Vmul65
11 1.00
0.887 0.865
Mean 9.40
1.00 0.821
0.787
Keterangan : Ho: heterosigositas, He: nilai diversity gen, PIC: polimorfic information content
Hasil skoring yang dilakukan menunjukkan bahwa primer SSR yang di- gunakan rata-rata mampu mengidentifikasi alel per lokus sebanyak 9.40. Total
jumlah alel diperoleh sebanyak 94 dari 10 lokus, jumlah alel terkecil 5 diperoleh pada lokus M2r9 dan terbesar 14 pada lokus M1s75. Rata-rata jumlah alel per
lokus lebih besar di-bandingkan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009, yaitu 4.82 alel per lokus. Nilai
rata-rata Polymorphic Information Content PIC sebesar 0.787. Nilai PIC tersebut tergolong tinggi dan mengindikasikan bahwa marka SSR yang
dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi aksesi pala yang dianalisis. Empat lokus SSR dengan nilai PIC di atas 0,80 yaitu M2r6, Vmul65, M4s14 dan
M1s75, masing-masing menunjukkan jumlah total alel 10, 11, 13 dan 14. Hal ini
menunjukkan bahwa lokus SSR dengan jumlah alel yang besar adalah informatif untuk studi populasi. Tingginya jumlah rata-rata alel per lokus per tanaman pada
pala dapat disebabkan oleh sangat tingginya tingkat heterozigositasnya. Jumlah alel dan nilai PIC dari masing-masing lokus yang diperoleh dari hasil evaluasi
dapat dilihat pada Tabel 44. Hasil running PAGE pada Tabel 44 menunjukkan bahwa berdasarkan 10
lokus SSR yang dianalisis, sebagian besar aksesi pala yang diuji mempunyai pasangan alel yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa aksesi pala yang
diuji sebagian besar dari 10 lokus SSR berada dalam kondisi heterozigot. Di antara 10 lokus yang digunakan, 8 lokus yang sama digunakan oleh Hemmila et
al. 2010 menghasilkan rata-rata jumlah alel per lokus 5 pada populasi
“Red- listed tree species Myristica malabarica Lam.
”, dan Draheim et al. 2009 menggunakan dua lokus SSR menghasilkan rata-rata jumlah alel per lokus 7
pada populasi “Tropical forest tree Virola surinamensis”. Berdasarkan hasil analisis diperoleh rata-rata gen diversity He 0.821
dan rata-rata heterosigositas Ho sebesar 1.00. Keragaman genetik tertinggi 0.897 dihasilkan pada lokus M4s14, sedangkan terendah 0.731 pada M2r6.
Heterosigositas rata-rata yang tinggi dihasilkan pada semua lokus. Pada umumnya tingkat heterosigositas yang tinggi pada lokus-lokus yang dianalisis
akan ber-korelasi positif dengan nilai PIC yang tinggi pula Tabel 44. Nilai PIC yang tinggi menunjukkan bahwa 10 primer SSR yang digunakan dalam penelitian
memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi karena menghasilkan alel-alel yang banyak. Secara keseluruhan lokus-lokus yang dianalisis mempunyai persentase
heterosigositas yang tinggi dan sekaligus mempunyai nilai PIC untuk masing- masing lokus yang tinggi pula. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik
yang tinggi me-nunjukkan bahwa lokus SSR yang digunakan cukup efektif mengidentifikasi keragaman genetik plasma nutfah pala dan dapat membedakan
aksesi maupun spesies pala yang dianalisis. Tingkat heterosigositas atau homosigositas lokus-lokus setiap aksesi dan spesies pala merupakan informasi
di dalam genom masing-masing spesies yang akan menentukan kedekatan genetik antar spesies maupun di dalam spesies.
Keragaman Genetik Antar Individu.
Hasil analisis pengelompokan dengan metode Unweighted Pair Group Method Aritmatic
UPMGA, dari gabungan semua pita DNA hasil amplifikasi 10
primer SSR yang digunakan, menghasilkan dendogram yang disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Dendogram klastering 48 aksesi pala berdasarkan 10 lokus SSR
IV
Koefisien kemiripan
Dendogram pengelompokan aksesi pala menunjukkan bahwa, kesamaan genetik 48 aksesi pala berkisar 14.25 - 86.00 . Ke-48 aksesi pala dari Ternate,
Tidore, Patani, Bacan dan Makian menunjukkan kemiripan genetik dengan mem- bentuk satu kelompok pada koefisien kemiripan 0,14. Pada koefisien kemiripan
0,23 maka populasi pala dari Ternate,Tidore, Patani, Bacan dan Makian mem-
bentuk 4 klaster.
Klaster I mempunyai 20 anggota dengan koefisien kemiripan sebesar
0.34, yang terdiri atas 5 aksesi dari Ternate, 7 aksesi Tidore, 2 aksesi Patani dan 3 aksesi dari Makian. Klaster II mempunyai 16 anggota dengan koefisien ke-
miripan sebesar 0.31, dengan satu aksesi dari Ternate, 3 aksesi Tidore, 7 aksesi Patani dan Bacan 5 aksesi pala. Klaster III beranggota 10 aksesi yaitu 5 aksesi
dari Ternate, 2 aksesi Patani, 2 aksesi Bacan dan satu aksesi dari Tidore dengan koefisien kemiripan sebesar 0.47 Klaster IV dengan koefisien kemiripan genetik
sebesar 0.37, yang beranggota hanya 2 aksesi dari Bacan Gambar 21. Berdasarkan pengelompokan UPGMA menggunakan 10 primer SSR ter-
lihat bahwa seluruh aksesi mengelompok sesuai dengan kesamaan genetiknya. Seluruh aksesi dalam populasi pala menunjukkan keseragaman dengan mem-
bentuk satu kelompok pada tingkat kesamaan genetik sebesar 0.14. Keragaman yang terjadi karena aksesi-aksesi pala yang berasal dari spesies yang berbeda
lokasi yaitu dari Ternate, Tidore, Makian, Patani dan Bacan. Hasil analisis SSR menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara profil SSR aksesi M. fragrans
Houtt. dari klaster I dengan profil SSR spesies M. fragrans Houtt. klaster II. Perbedaan juga terlihat antara spesies M. succedanea Reinw. klaster I dengan
klaster II dari spesies yang sama, dan perbedaan akan terlihat dari aksesi yang berbeda asal spesiesnya. Hal ini memberikan harapan terhadap kemampuan
lokus SSR untuk membedakan genotipe yang berbeda walaupun dari spesies yang sama.
Hasil analisis pengelompokan UPGMA memperlihatkan bahwa populasi pala tidak menunjukkan adanya keragaman pada nilai tingkat kesamaan 1.00,
hal ini mengindikasikan bahwa aksesi pala seluruhnya beragam. Disamping itu dendogram juga memperlihatkan adanya satu atau dua aksesi pala dalam
populasi klaster I yaitu spesies M. speciosa Warb. MSP yang berbeda dari po- pulasinya dengan tingkat kemiripan dalam populasi sebesar 0.34. Adanya ke-
ragaman aksesi pala dari beberapa spesies yang dianalisis dengan 10 lokus SSR dari 48 aksesi pala menunjukkan bahwa pada populasi pala yang dianalisis
terdapat 10 spesies dan Myristica sp. memperlihatkan perbedaan yang besar da- ri setiap populasinya baik dalam klaster maupun antar klaster, artinya bahwa ke-
ragaman genetik yang terbentuk dalam populasi pala tinggi. Perbedaan keragaman antar populasiklaster yang diuji memperlihatkan
bahwa aksesi tanaman pala klaster 1 sangat berbeda bila dibandingkan dengan kelompok aksesi pala klaster IV. Aksesi klaster II bila dibandingkan dengan ak-
sesi pada klaster IV memperlihatkan perbedaan sebesar 77 dengan tingkat ko- efisien kemiripan sebesar 0.23. Dalam klaster II, aksesi Myristica sp. BLBL
memperlihatkan perbedaan dengan aksesi M. fatua Houtt. dan M. papuana Scheff. MFW dan MPPU serta H. iryaghedhi Warb. dan H. globularia Warb.
HRSS dan HRSV dengan koefisien kesamaan sebesar 0.32. Keragaman terlihat dari perbedaan pada morfologi buah dari masing-masing aksesi pala.
Keragaman genetik umumnya digunakan untuk menggambarkan adanya variasi yang dijumpai pada turunannya dan dapat diukur pada level individu, populasi
dan spesies. Keragaman pada level individu dapat dilihat dengan adanya individu homozigot dan heterozigot. Pada level populasi, keragaman yang terjadi dise-
babkan tersekatnya individu-individu dalam populasi, sedangkan pada level spe- sies keragaman disebabkan tersekatnya populasi-populasi dari satu spesies.
Berdasarkan dendogram kekerabatan terdapat pencampuran aksesi pala dari 5 lokasi populasi pala di Maluku Utara yaitu Ternate, Tidore, Makian, Patani
dan Bacan. Pengelompokan menunjukkan bahwa aksesi yang memiliki sifat yang sama akan cenderung membentuk satu kelompok. Pengelompokkan menunjuk-
kan bahwa masing-masing aksesi memiliki hubungan genetik dan kekerabatan yang dekat. Hasil analisis klaster memisahkan 48 aksesi pala menjadi empat
kelompok utama Tabel 45. Pengelompokkan klaster tersebut menunjukkan bahwa spesies dan jenis pala tersebar pada wilayah Ternate, Tidore Patani,
Bacan dan Makian. Spesies dan jenis pala yang berasal dari Ternate menyebar pada kelompok I, II dan III. Dari Tidore menyebar ke-lompok I, II dan III. Patani
masuk pada kelompok I, II dan III. Untuk Bacan semua spesies dan jenis pala menyebar merata pada kelompok I, II, III dan IV. Spesies pala dari Makian hanya
masuk pada kelompok I Tabel 45.
136
Tabel 45. Pengelompokan 48 individu tanaman pala berdasarkan analisis klaster 10 marka SSR Lokasi
Kelompok I
II III
IV
Ternate M. fragrans
Houtt. aksesi Kembar MFK M. fragrans
Houtt. MFRG Myristica. sp.. aksesi Biji Plat UBPS, Myristica sp.
aksesi Ternate Buah-Biji Besar, BBBBT, M.
fragrans Houtt. aksesi Fuli Putih, FPBB, M. succedanea Reinw. aksesi.
Fuli Kuning MSC1 M. succedanea
Reinw.MSCR M. fragrans
Houtt. aksesi Kulit Hijau MFH, Myristica
sp. aksesi Terbelah Tengah-Hijau TTHK, M.
succedanea Reinw. aksesi
B iji Plat MSC2 , Myristica
sp. aksesi Lonjong Hijau BLH, Myristica sp. aksesi
Lonjong Kuning BLK
Tidore Myristica
sp. aksesi. Patani lonjong PPBL, Myristica sp. aksesi Tidore Buah
Biji Besar BBBB, M. fatua Houtt. aksesi Besar Merah PHKM, Myristica sp.
aksesi Lonjong Unjung Lancip, BLUL1, Myristica
sp. buah lonjong unjung lancip, PHG1, M. fatua aksesi.Lonjong Merah
PLM1, M. fragrans Houtt. aksesi Tidore Buah Besar FBBB
M. succedanea Reinw. cv. Fuli Kuning MSC,
M.fragrans Houtt. PBD1, M. fatua Houtt.
wild MFW
Myristica sp. aksesi Kecil
Kulit Merah PBKM
Patani Myristica
sp. aksesi.Lonjong Unjung Lancip BLUL2, Myristica sp.aksesi Kulit
Coklat PKBC Myristica
sp. aksesi Buah Biji Lonjong BLBL, Myristica
sp. aksesi Lonjong Lancip PLLP, M. succedanea
Reinw. aksesi Botak Bulat PBBB, M. fragrans Houtt. PBD2, Myristica
sp. aksesi Fuli Lengket PFLB, Myristica sp. aksesi Telur Kambing PTLK, M. argentea
Warb. aksesi Lonjong, MARG Myristica
sp. aksesi Kulit Merah, PKBM, Myristica
sp.aksesi Patani Buah besar Biji Besar PBBB2
Bacan Myristica
sp.aksesi Bacan Buah-Biji Lonjong BBL, M. fragrans Houtt. MFB,
M. speciosa Warb.MSP
Myristica sp.aksesi.Tipis Biji Besar BTBB,
Myristica sp aksesi Tipis Biji Kecil BTBK, H.
spicata Sinclair HRSS, H. sylvestris
Warb.HRSV, M. papuana Scheff.MPPU Myristica
sp. aksesi Buah Biji Kecil BBK, M.
succedanea Reinw. aksesi
Bulat Biji Plat MSC3 H. iryaghedhi
Warb.HRSI, H. globularia
Warb. HRSG
Makian M. succedanea
Reinw. aksesi Sebelei Oblat MSC4, Myristica sp. aksesi
Sebelei-Bulat Gading BBG, Myristica sp. aksesi Sebelei Unjung Runcing UBR
137 Kelompok I, anggota kelompok tersebut sebanyak 19 aksesi yang terdiri
atas M. fragrans Houtt., M. succedanea Reinw., M. fatua Houtt., M. speciosa Wrab. dan Myristica sp. Koefisieen kemiripan kelompok berkisar 0.30
– 0.86. Secara istimewa pada kelompok I semua aksesi dari populasi pala yang berada
di 5 wilayah masuk pada kelompok I. Berdasarkan ciri morfologi maka pada kelompok I didominasi dengan bentuk buah pala mulai dari bentuk buah bulat
– oval dan agak lonjong
– lonjong. Ada beberapa spesies yang masuk dalam kelompok I tetapi spesies tersebut membentuk sub kelompok tersendiri misalnya
M. speciosa Warb. hanya mempunyai satu anggota dan bergabung dengan
kelompok I pada koefisien kemiripan sebesar 34. Selain itu sub-sub kelompok lainnya juga membentuk sub kelompok dalam kelompok I dengan kemiripan
dalam anggota sebesar 0.51, yaitu M. fragrans Houtt. dengan Myristica sp. Kelompok II, aksesi kelompok ini berasal dari Ternate, Tidore, Patani dan
Bacan. Kelompok II beranggotakan 16 aksesi yang terdiri atas M. fragrans Houtt., M. succedanea
Reinw., M. argentea Warb., M. papuana Scheff., Myristica sp., H. spicata
Sinclair dan H. sylvestris Warb. Koefisien kemiripan pada kelompok II berkisar 0.27
– 0.83. Pada kelompok II, ada yang spesifik membentuk sub ke- lompok dan beranggota hanya dua aksesi yaitu M. succedanea Reinw. MSCR
– MSC kemudian bergabung dalam kelompok II dengan koefisien kemiripan se-
besar 27, menyusul sub kelompok dengan satu aksesi dari Patani yaitu Myristica
sp. dengan koefisien kemiripan dalam kelompok II sebesar 30. Selain itu sub kelompok lain hanya satu aksesi yaitu M. argentea Warb. dari Patani dan
mem-punyai kemiripan dalam kelompok II sebesar 36. Sub kelompok lain hanya ber-anggota dua aksesi dari Tidore dan Bacan yaitu M. fatua Houtt. dan
M. papuana Scheff., dengan koefisien kemiripan kedua aksesi dalam kelompok II
sebesar 30, hal ini berarti keragaman dalam kelompok tinggi karena kemiripan diantara anggota dalam kelompok dan antar kelompok hanya sebesar 30.
Anggota dari kelompok II lebih didominasi dari daerah Patani dan Bacan. Kelompok III, kelompok tersebut beranggota 10 aksesi terdiri atas M.
fragrans Houtt., M. succedanea Reinw., dan Myristica sp., yang berasal dari
Ternate, Tidore, Patani dan Bacan dengan tingkat kesamaan genetik aksesi- aksesi pala dalam kelompok III berkisar 0.44
– 0.76. Hal Ini berarti tingkat ke- ragaman dalam kelompok cukup tinggi. Pada kelompok III lebih didominasi ak-
sesi dari Ternate, Patani dan Bacan sedangkan dari Tidore hanya beranggota satu aksesi Myristica sp.
Kelompok IV spesifik dari Bacan, hanya beranggotakan H. iryaghedhi Warb. HRSI dan H. globularia Warb. HRSG. Kemiripan diantara kedua aksesi
sebesar 0.37 dan mempunyai kemiripan genetik dengan kelompok lain sebesar 17. Hal ini berarti pada kelompok IV mempunyai keragaman genetik dengan
kelompok I, II dan III sebesar 83. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelompokkan aksesi pala secara
individu tidak selalu berdasarkan daerah asal, kecuali untuk aksesi dari kelompok IV yang memang spesifik berasal dari Bacan. Sub kelompok lain terdiri atas cam-
puran antar lokasi. Umumnya kemiripan genetik dalam kelompok maupun antara kelompok dari 48 aksesi pala yang dianalisis rendah 0.17
– 86, dan data dari penelitian menunjukkan bahwa 48 aksesi pala Maluku Utara terdiri empat
kelompok genetik yang berbeda, hal ini berarti keragaman genetik pala di Maluku Utara cukup tinggi. Marka molekuler dapat memberikan gambaran yang cukup
tinggi tentang perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun pada kerabat jauhnya. Penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik
pada tingkat jari-ngan atau seluler dan polimorfisnya tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
B. Identifikasi Seks Tanaman Pala M. fragrans Houtt. Dengan SSR