perkawinan yang seperti ini tidaklah sesuai dengan maksud dan tujuan perkawinan.
Tujuan perkawinan, dengan demikian kita dapat menyimpulkan pengertian bahwa untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang
bahagia dan kekal haruslah didasarkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pandangan ini sejalan dengan sifat religius bangsa Indonesia yang
mendapat realisasinya di dalam kehidupan beragama dan bernegara. Jika dicermati tujuan perkawinan adalah sangat ideal, karena tidak
hanya melihat dari segi lahirnya saja, tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara seorang suami dan isteri yang ditujukan untuk
membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan dibawah umur, biasanya membawa banyak kesedihan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Maka dimungkinkan tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat tercapai.
4.4 Syarat-syarat Perkawinan
Agar dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi syarat- syarat perkawinan, yaitu:
1. Syarat Materiil, yaitu syarat mengenai orang-orang yang hendak
melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan, ijin, Syarat- syarat meteriil diatur dalam pasal 6 sd pasal 11 Undang-undang nomor 1
tahun 1974, yang dibedakan lagi dalam syarat materiil yang absolute atau mutlak dan syarat materiil yang realtif atau nisbi.
a. Syarat materiil yang absolut atau mutlak merupakan syarat-syarat
yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapa dia akan melangsungkan perkawinan, yang meliputi:
1 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Pasal 6 ayat 1 UU No.1 tahun 1974. 2
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat ijin
kedua orang tua. Pasal 6 ayat 2 UU No.1 tahun 1974. 3
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudak mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 enam belas tahun. Pasal 7 ayat 1 UU No.1 tahun 1974.
b. Syarat materiil yang relatif atau nisbi, merupakan syarat yang
melarang perkawinan antara seorang dengan seorang tertentu, yaitu: 1
Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan
perkawinannya, yang ditentukan pada pasal 8 UU No.1 tahun 1974:
a Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
maupun ke atas. Pasal 8 huruf a UU No.1 tahun 1974.
b Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. Pasal 8 huruf b UU No.1 tahun 1974.
c Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu bapaktiri. Pasal 8 huruf c UU No.1 tahun 1974. d
Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sususan, dan bibipaman susuan. Pasal 8 huruf d
UU No.1 tahun 1974. e
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang. Pasal 8 huruf e UU No.1 tahun 1974. f
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 8 huruf f UU No.1
tahun 1974. 2
Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal yang diijinkan olaeh pasal 3 ayat 4 dan pasal 4. Pasal 9 UU
No.1 tahun 1974. 3
Larangan perkawinan antara dua orang yang telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya menentukan lain. Pasal 10 UU No.1 tahun 1974.
4 Untuk seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu. Pasal 11 UU No.1 tahun 1974.
2. Syarat formil, yaitu syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan
dengan upacara nikah. Syarat formil yang merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan, diatur dalam PP No. 9
Tahun 1975, yang terdiri dari 3 tahap, yaitu: a.
Tahap Pertama : 1
Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan. Pasal 3 ayat 1 PP No. 9
Tahun 1975. 2
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 4 PP No. 9
Tahun 1975. 3
Pemberitahuan memuat nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. Pasal 5 PP No. 9 Tahun 1975.
b. Tahap Kedua :
1 Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat apakah syarat-
syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halagan menurut undang-undang. Pasal 6 ayat 1 PP No. 9
Tahun 1975. 2
Pegawai pencatat meneliti pula : Pasal 6 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975.
a Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon
mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
b Keterangan mengenai nama, agamakepercayaan, pekerjaan
dan tempat tinggal orang tua calon mempelai. c
Izin tertulisizin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-undang, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun.
d Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang;
dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri.
e Dispensasi PengadilanPejabat sebagai dimaksud Pasal 7
ayat 2 Undang-undang. f
Surat kematian isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan
untuk kedua kalinya atau lebih. g
Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAMPANGAB, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
h Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu
alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
3 Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, apabila pegawai pencatat menemukan adanya hal atau belum dipenuhinya syarat untuk melangsungkan
perkawinan maka harus diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tuanya atau kepada wakilnya. Pasal 7 ayat 2
PP No. 9 Tahun 1975.
c. Tahap Ketiga
Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat serta
tiada sesuatu halangan perkawinan Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975. Maksud pengumuman adalah untuk memberi keempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan- keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila
diketahui bertentangan dengan hukum agama dan kepercayaan atau bertentangan dengan peraturan perundangan lain.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 adalah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 sebagai berikut: 1.
Adanya persetujuan kedua calon mempelai. 2.
Adanya izin kedua orang tuawali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. 4.
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darahkeluarga yang tidak boleh
kawin. 5.
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain. 6.
Bagi suami isteri yang sudah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama
dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya.
7. Tida berada dalam waktu tunggu bagi calon wanita yang
janda. Syahrani,2006:64 Di samping itu undang-undang juga mengatur tentang persyaratan umur
minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum
terpenuhi. Dalam hal ini undang-undang mengatur sebagai berikut: 1.
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 enam
belas tahun. 2.
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi ke Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3.
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 undang-undang perkawinan yang secara otentik pasal ini masih mendapat beberapa penjelasan bahwaa : untuk
menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
2.5 Sahnya Perkawinan