dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Syahrani,1992:67
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa
terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni : agama Samawi dan agama non Samawi ;
agama Islam, Hindu, Budha, Kristen protestan dan Khatolik. Keseluruhan agama tersebut memiliki tata aturan
sendiri-sendiri baik secara vertical maupun horisontal ; termasuk di dalamnya tata cara perkawinan. Hukum
perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling
bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam UU. No. 1
Th. 1974 Lembaran Negara RI. Tahun 1974 Nomor 1. Adapun penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang di dalam bagian penjelasan umum
diuraikan beberapa masalah mendasar. Sudarsono,2005:6
4.2 Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan jaman dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2.
Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
kepercayaannya itu.dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dariyang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari
seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami maupun calon
isteri harus telah masak jiwa raganya agar dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan, mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menyantumkan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 Sembilan
belas tahun bagi pria dan 16 enam belas tahun bagi wanita. 5.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar adanya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di
depan siding Pengadilan. 6.
Hak dan kedudukan isteri dalam perkawinan adalah seimbang dengan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama-sama oleh suami isteri.
4.3 Tujuan Perkawinan