Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan pendekatan sastra pada dasarnya adalah memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya.
Berdasarkan konsep semiotika, yaitu dengan menganalisis karya berdasarkan satuan-satuan tanda yang bermakna dengan tidak melupakan
hubungan fungsi satuan tanda tersebut Pradopo, 2005:118. Dalam pendekatan strukturalisme dinamika sastra tidak lepas dari konvensi-konvensi masyarakat,
baik masyarakat sastra maupun masyarakat pada umumnya, dan dipandang sebagai suatu sistem tanda yang bermakna.
Berdasarkan tema yang diangkat yaitu tentang kacintaan Wieranta terhadap sang anak, maka
geguritan
Wieranta tersebut akan diteliti lebih lanjut dengan judul Bentuk Kasih Sayang Orang Tua kepada Anak dalam Kumpulan
Geguritan Dongeng Saka Pabaratan
Karya Wieranta Tinjauan Semiotika.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh
geguritan
karya Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti,
penyimpangan arti, dan penciptaan arti? 2.
Bagaimana makna tujuh
geguritan
dalam kumpulan
geguritan Dongeng Saka
Pabaratan
Karya Wieranta? 3.
Bagaimanakah bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam kumpulan
geguritan Dongeng Saka Pabaratan
Karya Wieranta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mewujudkan beberapa tujuan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah di atas. adapun tujuan dalam penelitian ini
adalah: 1.
Mendeskripsikan ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh
geguritan
karya Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti,
penyimpangan arti, dan penciptaan arti. 2.
Mendeskripsikan makna tujuh
geguritan
dalam kumpulan
geguritan Dongeng Saka Pabaratan
Karya Wieranta. 3.
Mendeskripsikan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam kumpulan
geguritan Dongeng Saka Pabaratan
Karya Wieranta.
D. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada tinjauan Semiotika, penelitian Semiotika digunakan untuk meneliti geguritan karya Wieranta yang
ditulis dalam buku Kumpulan Geguritan dengan judul buku
Dongeng Saka Pabaratan
. Tinjauan Semiotika dalam penelitian ini guna mengetahui struktur dan
keunikan yang ada dalam puisi
Dongeng Saka Pambabaran
karya Wieranta yang bertemakan kasih sayang orang tua kepada anak.
Pemilihan geguritan karya Wieranta sebagai objek dikarenakan Wieranta termasuk penulis geguritan yang aktif. Wieranta merupakan dosen dari
Universitas Sebelas Maret sehingga mempermudah untuk mendapatkan data dalam penelitian ini.
E. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian hendaknya mampu memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah kajian puisi Jawa atau
geguritan
terutama melalui sudut pandang semiotika menurut Michael Riffattere. Selain itu juga diharapkan mampu
menambah wawasan tentang studi analisis sastra Jawa.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca mengenai bagaimana bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak
yang digambarkan dalam
geguritan
karya Wieranta. Selain itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk penelitian
sejenis.
F. Konsep Puisi dan Geguritan
Puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah Samuel dalam Pradopo, 2007:6. Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan teori
dan pendekatan yang tepat agar sesuai dengan objek yang akan diteliti. Teori dan konsep pendekatan yang sesuai dengan objek yang akan dikaji sangatlah
diperlukan untuk menghasilkan penelitian yang mendekati sempurna. Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang
puisi, baik definisi, itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Beberapa ahli yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet
Mulyana mengemukakan bahwa puisi adalah sintesis dari pelbagai peristiwa
bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses jiwa yang mencari haikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam
salah satu bentuk dalam Semi, 1993:93. Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbernd dalam Pradopo, 2007:5 yang
memberikan definisi bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran menafsirkan dalam bahasa berirama bermetrum. Pembacaan dalam
puisi tidak dilakukan sama seperti membaca pada umumnya. Puisi juga termasuk dalam jenis membaca indah. Hudson dalam Waluyo, 2012: 29 berpendapat
bahwa puisi adalah karya sastra yang bersifat emosional dan imajinatif. Tampaknya Hudson melihat puisi dari perspektif psikologis mengenai komponen-
komponen model komunikasi. Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya
sastra. Rene Wellek dan Warren mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetikanya
dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya seni sastra dalam Pradopo, 2007:315.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu. Pertama, sifat seni atau fungsi seni, kedua kepadatan, dan ketiga ekspresi tidak langsung.
Brooks berpendapat bahwa puisi adalah cara mengungkapkan sesuatu dengan ciri-ciri tertentu, yaitu: irama, rima, dan bahasa kias. Berdasarkan
pendapat tersebut, sebuah definisi tentang puisi dapat disusun berdasarkan jalur sifat dan tumpuan pemaknaannya. Sifat ekspresif melihat puisi dari sudut
penciptaannya oleh penyair. Sifat objektif melihat puisi sebagai karya sastra yang otonom, mandiri sebagai sebuah wacana puitik. Sedangkan sifat pragmatik
melihat lirik ragam puisi dari sudut pola harapan pembaca atau khalayak penikmatnya dalam Waluyo 2012:30.
Secara bahasa, bahasa dalam puisi tentu tidak ajeg
consistent
. Artinya, ada bahasa sehari-hari yang bercirikan bahasa puisi. Dan sebaliknya ada bahasa
puisi yang bercirikan bahasa sehari-hari. Bahkan ciri-ciri bahasa puisi, prosa dan drama saling tumpang tindih. Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ciri
bahasa puisi menggunakan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sedang bahasa sehari-hari lebih mengacu pada fungsi kegunaan pragmatik Satoto,
2012:118. Menganalisis sastra jenis puisi sebenarnya peneliti tidak bisa mengabaikan
begitu saja faktor penulis outhor, pembaca reader, dan hubungan antar keduanya. Riffaterre mengemukakan bahwa strukturalisme puisi tidak mampu
menyediakan kriteria untuk kepentingan analisis puisi yang membedakan teks yang punya relevansi stilistika dengan tidak-tidak ada sesuatu hal yang merupakan
sarana stilistika yang dapat ditemukan secara intrinsik. Lebih lanjut Riffaterre mengemukakan bahwa sebuah analisis yang mempunyai kriteria secara eksplisit
adalah perbuatan semena-mena dan tidak mungkin menghasilkan suatu timbangan penilaian yang baik Satoto, 2012:120.
Karya sastra Jawa sendiri terdapat karya sastra Jawa sejenis puisi yang medianya menggunakan bahasa Jawa, puisi bahasa Jawa tersebut sering disebut
geguritan
. Istilah geguritan berasal dari kata
gurit
tulis, tembang, memperoleh akhiran
an
yang menunjukkan arti “yang di...”. dengan demikian secara harfiah
guritan
berarti yang ditulis atau tembang yang dikarang, tetapi secara luas
guritan
berarti membuat atau mengarang tembang atau melagukan tembang
Padmosoekotjo, 1960:19. Meskipun demikian, sebagai suatu bentuk puisi, guritan mempunyai aturan-aturan tertentu yakni: 1 tidak ada ketentuan
guru gatra
, tetapi biasanya paling sedikit empat larik. Bisa terdiri hanya satu bait atau lebih dan di awal guritan selalu didahului dengan pendahuluan
sun nggegurit
aku menulis. 2 tidak ada ketentuan
guru wilangan
, tetapi jumlah suku kata tiap larik selalu sama. 3 jatuhnya vokal
guru lagu
masing-masing larik selalu sama Padmosoekotjo, 1960:20.
Geguritan
berasal dari kata
gurit
„tembang, kidung, rerepen‟ dan dapat dibentuk menjadi
anggurit
dan
anggegurit
. Dilihat dari bentuknya kata geguritan atau geguritan adalah bentuk dwi purwa „perulangan suku awal‟. Maka, sebutan
yang paling tepat adalah bentuk yang paling ringkas, yaitu “guritan” jika dibanding dengan “geguritan” Widodo, 2012:33.
Secara sepintas bentuk puisi
guritan
ini lebih bebas dibanding dengan macapat karena pola persajakan tidak terlampau ketat serta tidak ada aturan pola
persajakan berdasarkan metrum-metru tertentu. Bahkan sangat mungkin jika
guritan
ini kemudian mengilhami
geguritan
, bentuk puisi bebas, yang kemudian dikenal dan berkembang dalam sastra Jawa masa kini. Suripan menganggap
bahwa dalam
guritan
ciri yang paling menonjol adalah realitas faktual yang diangkat tidak jauh dari kehidupan keseharian. Maka tepatlah jika istilah “guritan”
digunakan untuk menyebut puisi Jawa modern dalam Widodo, 2012:34.
G. Struktur Puisi