menghasilkan keseluruhan unsur. Analisis struktural tidak hanya mendata unsur tertentu dalam karya fiksi tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan
bagaimana keterkaitan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai Nurgiyantoro,
2007: 37. Bentik fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentu
nada dan larik puisi; termasuk di dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental sendiri terdiri dari tema, urutan
logis, pola asosiasi, semua arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental, terjalin dan terkombinasi
secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya Semi, 1993:107.
Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan:
Lapisan bunyi
, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai
bentuk fisik puisi.
Lapis arti
, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa.
Lapis tema
, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau
sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi Semi, 1993:108.
H. Semiotika Michael Riffaterre
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman,
pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda
sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang
paling lengkap dan sempurna. Tnda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerak mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan
rumah, pakaian, karya seni, sastra, lukisan, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat
multi disiplin sebagaimana diharapkan oleh Pierce agar teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan pada segala macam tanda. Semiotik dapat diterapkan pada
atau: menjadi bidang garapan linguistik, seni dengan berbagai subdisiplinnya, sastra, film, filsafat, antropologi, arkeologi, arsitektur, dan lain-lain
Nurgiyantoro, 2013:67. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tnda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tnda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebagai sebuah penggunaan
bahasa yang bergantung pada sifat-sifat yang menyebabkan bermacam-macam cara modus wacana mampunyai makna dalam Winarni, 2013:121. Pendekatan
semiotik pada dasarnya adalah pengembangan dari pendekatan strukturalisme. Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda
signifier
dan petanda
signified
. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang
ditandai oleh petanda yakni artinya Winarni, 2013:121.
Strukturalisme terbangun oleh unsur-unsur karya sastra, teori semiotika Michael Riffaterre tentang ketidaklangsungan pernyataan puisi dapat digunakan
sebagai pembedah struktur puisi. Michael Riffaterre dalam Pradopo, 1995:281 mengungkapkan
bahwa puisi
merupakan ekspresi
tidak langsung.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi tersebut disebabkan oleh tiga hal: 1 penggantian arti
displacing of meaning
, 2 penyimpangan arti
distorting of meaning
, dan 3 penciptaan arti
creating of meaning
. Ketidaklangsungan ekspresi puisi Riffaterre tersebut membedah unsur-unsur dalam puisi, seperti
bunyi, irama, dan kata termasuk di dalamnya kata-kata kiasan. Maka dapat disimpulkan bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi Riffaterre dapat
digunakan sebagai analisis struktural puisi. Ketidaklangsungan pernyataan puisi tersebut yaitu.
a. Penggantian Arti
displacing of meaning
Kata-kata kiasan puisi menggantikan arti sesuatu yang lain lebih-lebih metafora dan metonimi. Penggantian arti suatu kata kiasan berarti yang lain
tidak tidak menurut sesungguhnya Pradopo, 1995:210. Metafora merupakan pergeseran dari suatu sifat ke dalam sifat lain berdasarkan asosiasi kaitan atau
asosiasi perbandingan. Sedangkan metonomi merupakan kiasan pengganti nama.
b. Penyimpangan Arti
distorting of meaning
Menurut Riffaterre dalam Pradopo, 1995:213 bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsense
. 1
Ambiguitas Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan
makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa
kemungkinan. Adanya ambiguitas ini akan memberikan efek pada pembaca dan efek yang timbul pada setiap pembaca berbeda-beda
dikarenakan perbedaan pengalaman batin pembaca. 2
Kontradiksi Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan
menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya
berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, akan tetapi kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung
sesuatu kebenaran. Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. 3
Nonsense Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti,
sebab tidak terdapat dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna
significance
dalam puisi karena konvensi puisi.
c. Penciptaan Arti
creating of meaning
1 Simetri
Simetri adalah keseimbangan berupa persejajaran antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait Pradopo, 1995:220. Karya sastra secara
umum merupakan suatu rangkaian yang tersusun sehingga tercipta sesuatu yang indah.
2 Rima
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas dan dalam mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang
bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi Waluyo, 2003:90. Rima dalam larik dapat diperinci
menjadi tiga yaitu: aliterasi, asonansi, desonansi, dan anafora. a
Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik, seperti: disi
r
, kena
r
i, la
r
i, mena
r
i. b
Asonansi yaitu runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik, seperti: berjua
ng
, terba
ng
, berkemba
ng
. c
Desonansi adalah runtun ragangan konsonan kata dalam larik, seperti: comp
a
ng-camp
i
ng, sora
k
-sora
i
. d
Anafora ialah runtun suku kata yang sama dengan larik, seperti:
ber
nyanyi,
ber
gembira,
ber
sama. Rima bisa juga dibedakan menjadi rima awal, rima tengah, dan rima
akhir, ketiga rima itu diperhatikan menjadi rima terus a a a a, rima berpasangan a a b b, rima bersilang a b a b, rima berpeluk a b b a,
dan rima putus a a a b atau a b a c. 3
Homologues Homologeus
persamaan posisi ini sama dengan oersajakan dalam pantun. Misalnya makna yang mengeras intensitas arti dan kejelasan
yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan pararelisme Pradopo, 1995: 220. Penciptaan arti telah mencakup aspek formal puisi.
Homologues
tampak dalam bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar,
baik bentuk visual ataupun kata-katanya, persejajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama.
4
Enjambemen Enjambemen
adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya pada
puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang menunjukkan suatu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan
makna baris tersebut. 5
Tipografi Tipografi merupakan pembeda yang paling penting antara puisi dengan
prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Cara sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna
tambahan. Kata-kata yang disusun yang panjang dan pendek sedemikian bervariasi secara harmonis menimbulkan ritma yang padu. Waluyo,
2003:97.
d. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dalam memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat dalam karya sastra, dikenal dengan adanya istilah heuristik
heuristic
dan hermeneutik
hermeneutic
. Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan
semiotik. Hubungan antara heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja
hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan berkali-kali dan kritis
Nurgiyantoro, 2013:46. Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang
dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Orang sering menyebutnya sebagai makna yang ditunjuk kamus. Bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan
tentang sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Penafsiran hermeneutik yaitu berupa pembacaan dan pemahaman pada
tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicobatafsirkan kemungkinan makna tersirat, konotasi, atau
signifikasinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang
kode sastra Nurgiyantoro, 2013:47. Teeuw 1988:123 mengemukakan bahwa cara kerja hermeneutik untuk
menafsirkan karya sastra, dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya,
dan sebaliknya,
pemahaman unsur-unsur
berdasarkan keseluruhan. Bermula dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah
hermeneutik
hermeneutic circle
. Pemahaman karya sastra dengan tehnik tersebut dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan
walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya,
jadi bagian per bagian. Hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut dipergunakan untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan secara lebih
baik, luas, dan kritis. Pembacaan secara berulang-ulang sampai membuat peneliti dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna
intensionalnya secara optimal.
I. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menjadikan karya sastra sebagai objek penelitian. Penelitian kualitatif
menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya dengan deskripsi yang kaya dengan beragam nuansa, dan riset tentang persepsi manusia. Hal yang
perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif adalah mencerminkan fenomenologis. Model penelitian tersebut bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah Moleong, 2007:6.
Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semiotika sastra. Makna karya sastra sebagai
tanda dan semiotikanya. Makna yang bertautan dengan dunia nyata. Bentuk penelitian deskriptif kualitatif diharapkan mampu menjabarkan deskripsi dari
objek yang sedang diteliti yaitu
geguritan
karya Wieranta.
J. Data dan Sumber Data