Padmosoekotjo, 1960:19. Meskipun demikian, sebagai suatu bentuk puisi, guritan mempunyai aturan-aturan tertentu yakni: 1 tidak ada ketentuan
guru gatra
, tetapi biasanya paling sedikit empat larik. Bisa terdiri hanya satu bait atau lebih dan di awal guritan selalu didahului dengan pendahuluan
sun nggegurit
aku menulis. 2 tidak ada ketentuan
guru wilangan
, tetapi jumlah suku kata tiap larik selalu sama. 3 jatuhnya vokal
guru lagu
masing-masing larik selalu sama Padmosoekotjo, 1960:20.
Geguritan
berasal dari kata
gurit
„tembang, kidung, rerepen‟ dan dapat dibentuk menjadi
anggurit
dan
anggegurit
. Dilihat dari bentuknya kata geguritan atau geguritan adalah bentuk dwi purwa „perulangan suku awal‟. Maka, sebutan
yang paling tepat adalah bentuk yang paling ringkas, yaitu “guritan” jika dibanding dengan “geguritan” Widodo, 2012:33.
Secara sepintas bentuk puisi
guritan
ini lebih bebas dibanding dengan macapat karena pola persajakan tidak terlampau ketat serta tidak ada aturan pola
persajakan berdasarkan metrum-metru tertentu. Bahkan sangat mungkin jika
guritan
ini kemudian mengilhami
geguritan
, bentuk puisi bebas, yang kemudian dikenal dan berkembang dalam sastra Jawa masa kini. Suripan menganggap
bahwa dalam
guritan
ciri yang paling menonjol adalah realitas faktual yang diangkat tidak jauh dari kehidupan keseharian. Maka tepatlah jika istilah “guritan”
digunakan untuk menyebut puisi Jawa modern dalam Widodo, 2012:34.
G. Struktur Puisi
Kajian strukturalisme bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasikan
makna keseluruhan itu adalah keterkaitan dari jalinan yang padu Winarni, 2013:101. Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau menganalisis puisi
tersebut maka hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah struktur dari puisi tersebut. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan
susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam
sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan,
dan saling bergantung Pradopo, 2007:119. Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia
yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, dunia karya sastra merupakan dunia yang
diciptakan pengarang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak
mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan makna ditentukan oleh hubungan dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu
Hawkes dalam Pradopo, 2007:119. Stuktur
adalah kaitan-kaitan
antar kelompok-kelompok
gejala Luxemburg, 1982: 36. Pendekatan stuktural merupakan langkah awal dalam
membongkar suatu karya sastra. Teori struktural adalah jembatan dalam seorang peneliti dalam mengkaji lebih lanjut. Analisis struktural dalam karya sastra dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi dan hubungan antar unsur yang bersangkutan. Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan
secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar unsur karya sastra yang
menghasilkan keseluruhan unsur. Analisis struktural tidak hanya mendata unsur tertentu dalam karya fiksi tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan
bagaimana keterkaitan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai Nurgiyantoro,
2007: 37. Bentik fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentu
nada dan larik puisi; termasuk di dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental sendiri terdiri dari tema, urutan
logis, pola asosiasi, semua arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental, terjalin dan terkombinasi
secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya Semi, 1993:107.
Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan:
Lapisan bunyi
, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai
bentuk fisik puisi.
Lapis arti
, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa.
Lapis tema
, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau
sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi Semi, 1993:108.
H. Semiotika Michael Riffaterre