Dukungan Kovenan Sipil dan Politik

13

BAB IV PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA: DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM HUKUM INDONESIA

4.1. Dukungan Kovenan Sipil dan Politik

Komite Hak Asasi Manusia, yang bertindak di bawah Kovenan Sipil dan Politik , yang diadopsi pada 9 April 1987, menyampaikan keputusan terhadap tiga kasus Belanda tentang jaminan sosial. Melalui tiga kasus ini, untuk pertama kalinya ditetapkan bahwa klausul non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan Sipil dan Politik dapat dipakai juga dalam kaitannya dengan pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam dua dari tiga kasus tersebut, ditemukan pelanggaran terhadap Pasal 26 oleh Komite. Kasus-kasus itu antra lain, Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The Netherlands berkaitan dengan perundang-undangan Belanda yang menetapkan bahwa perempuan yang menikah, kehilangan tunjangan penganggurannya, yang diberikan pada perempuan yang belum menikah dan semua laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka sudah kawin atau belum. Perbedaan ini diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah, perempuan yag menikah dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang tidak berlaku bagi laki-laki menikah dalam Martin Scheinin 2001:57-59. Di bawah Konvensi negara-negara Eropa tentang HAM selanjutnya disebut Konvensi Eropa, memberikan perlindungan tambahan terhadap berbagai hak yang juga dilindungi oleh perjanjian-perjanjian HAM lainnya. Dalam hal ini adalah klausul peradilan yang jujur Pasal 6 ayat 1. Ian Brownlie 1993:318, paling tidak hingga sekarang, telah menjadi titik-tolak bagi interpretasi yang paling penting yang memberikan perlindungan bagi beberapa hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus Salesi v. Italy, Pengadilan HAM Eropa memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 1 Konvensi Eropa, karena lamanya proses pemeriksaan yakni lebih dari enam tahun. Kasus itu tentang dana bulanan yang merupakan salah satu bentuk bantuan sosial, yang bertujuan melaksanakan Pasal 38 Konstitusi Italia: “Semua warga negara yang tidak sehat untuk bekerja dan kekuarangan uang untuk hidup, berhak memperoleh bantuan kesejahteraan dan biaya hidup sehari-hari. Laporan pemeriksaan domestik tentang sengketa itu sudah berlangsung selama lebih dari enam tahun. Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Pengadilan HAM Eropa memperluas porosedur perlindungan di bawah Pasal Pasal 6 Konvensi Eropa, pada hak-hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus ini, Swizwerland menolak permohonan penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan, karena ia seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali bekerja bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Gugatan penggugat bahwa penolakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6 Konvensi Eropa. Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan berdasarkan fakta bahwa pemohonpenggugat “mengklaim hak ekonomi individu yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undang- undang federal” dalam Martin Scheinin 2001:64-65. Martin Scheinin 2001:66-67 memberikan catatan bahwa jika seandainya hak-hak ekonomi dan sosial lainnya, selain asuransi sosial dan bantuan sosial, sudah dilindungi sebagai hak hukum pada tingkat domestik, maka tentu hak-hak itu bisa masuk ruang lingkup Pasal 6 Kovensi Eropa. Sejauh hukum domestik itu menentukan bahwa, misalnya, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan sekolah taman kanak-kanak negeri, atau hak atas perumahan atau pelayanan-pelayanan tertentu bagi orang cacat, sebagai hak individu, maka hak-hak seperti itu tentu akan memperoleh perlindungan tambahan dalam ketentuan itu. Dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak- hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa diajukan ke pengadilan dengan menggunakan klausul-klausul non-diskriminasi, persamaan di hadapan hukum, maupun peradilan yang jujur, yang terdapat dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik memuat di dalamnya klausul larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Klausul ini nampak jelas dalam kalimat pertama Pasal ini: “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama, tanpa disriminasi apa pun” . Atas dasar apa pun diskriminasi dilarang dilakukan, seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain, demikian ketentuan yang tersimpul daribagian kalimat kedua Pasal 26. Dalam kasus-kasus Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The Netherlands menampakkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin perempuan dan statusnya telah menikah, yang menyebabkan kehilangan tunjangan penganggurannya, sedangkan bagi laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka sudah kawin atau belum, mendapatkan tunjangan penganggurannya. Perbedaan ini diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah, perempuan yag menikah dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang tidak berlaku bagi laki-laki menikah. Jadi, jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan non-diskriminasi. Dalam kasus itu nampak pula perkembangan pemikiran dan penerapan hukum, bahwa pelanggran ketentuan non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik diperluas keberlakuannya pada hak-hak yang diakui dalam kovenan lainnya, dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga terdapat klausul non-diskriminasi, yakni tertuang dalam Pasal 3 ayat 3 dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 ayat 3 ditentukan, setiap negara peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun misalnya mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendpat yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain. Pasal 3 mempertegas lagi bahwa jenis kelamin, pria dan wanita, tidak boleh menjadi faktor pembeda dalam pemenuhan hak- hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jelasnya pasal ini merumuskan: “Setiap Negara Peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan wanita atas nikmat dari semua hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum dalam Kovenan ini”. Namun karena rumusan norma tersebut dirumuskan sebagai kewajiban bagi negara untuk berusaha, maka tidak kuat dijadikan dasar penuntutan maupun dasar pengujian bagi hakim. Lain halnya dengan Pasal 26 Kovenan Hak-hak sipil dan Politik yang merumuskannya sebagai hak setiap semua orang. Sebagai hak, memberikan kesempatan untuk melakukan tuntutan ketika haknya dilanggar. Lebih dari itu, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tidak mengenal mekanisme pengaduan perorangan, sebagaimana yang diadopsi dalam Kovenan Sipil dan Politik melalui Protokol Opsional.

4.2. Dukungan Instrumen Lainnya