pola hubungan dalam gerakan besar keistimewaan bersifat transaksional. Maka bisa ditafsirkan bahwa setiap tindakan akan memperhitungkan hasil-hasil tertentu
dalam transaksi. Atau aktivitas dukungan tersebut juga suatu bentuk transaksi. Maka, dalam gejolak keistimewaan ini, ada proses perubahan sosial yaitu
terciptanya kelas sosial baru yang tidak didasarkan oleh pola keturunan melainkan oleh bentuk dukungan. Kelas sosial ini menjadi sangat signifikan dalam hubungan
rakyat dengan raja karena di kelas inilah semua tema-tema politik berkelindan dan bisa mengakibatkan gerakan massa.
4. Menguasai rakyat
Salah satu hal yang menjadi penekanan dalam terbentuknya kelas priyai baru ini yaitu adanya peran untuk memerintah rakyat. Memerintah bukan berarti
mengambil peran dalam struktur birokrasi dalam pemerintahan administratif. Memerintah berarti menjadi operator agenda politik tertentu yang tujuannya
mengatur atau mengarahkan rakyat. Dalam konteks polemik keistimewaan, peran memerintah berarti bagaimana mendapatkan dukungan rakyat dan mengendalikan
rakyat untuk tujuan tertentu. Pada prakteknya, kelas perantara memainkan perannya untuk memerintah
rakyat melalui propaganda-propaganda dan pengawasan-pengawasan tertentu. Propaganda dilakukan dengan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tentang
tema keistimewaan Yogyakarta yang tujuan akhirnya mendapatkan dukungan publik. Sedangkan bentuk pengawasan dilaksanakan dengan ‘menyingkirkan’
pihak-pihak tertentu yang dianggap bersebrangan dengan versi resmi.
Saya memulai merinci mekanisme kuasa ini dengan menggaris bawahi salah satu teknik yaitu legitimasi historis. Dengan sejarah, orang mengkonstruksi
masa depannya. Cara seperti ini sudah lazim diterapkan oleh pemerintah untuk menciptakan konstruksi identitas nasionalnya. Sejarah perjuangan kemerdekaan
Republik Indonesia misalnya, menjadi legitimasi untuk ideologi pembentukan bangsa Indonesia. Ada versi penafsiran sejarah untuk menampilkan kebenaran
resmi. Versi sejarah resmi juga sedang ditampilkan oleh kelompok pro
penetapan. Caranya dengan melakukan rekonstruksi narasi-narasi sejarah arus samping yang menceritakan peran besar Sultan HB IX saat mengOrbankan
asetnya mendukung Republik Indonesia. Sejarah sebagai alat legitimasi. Bagaimana gerakan sosial ini mengkomunikasikan ideologinya dengan
‘pendidikan sejarah’ melalui rekonstruksi sejarah, reproduksi peristiwa historis, sampai pada terbentuknya narasi historis ini sebagai paradigma umum tentang
keistimewaan Yogyakarta. Mekanisme selanjutnya yaitu pada praktek pendisiplinan dengan
kekerasan. Mereka yang menjadi golongan pro pemilihan dianggap sebagai pembangkang. Kata ‘pembangkang’ berarti orang yang melawan aturan resmi.
Dari hal ini terlihat bahwa kelompok pro penetapan menggiring masyarakat ke dalam satu pemahaman tunggal. Maka mayoritas terkesan mempunyai hak untuk
mendominasi minoritas. Negara melakukan opressi dengan kekuatan senjata, yang dilakukan oleh
kelompok pro penetapan adalah melakukan kekerasan simbolik. Teknik
meliyankan adalah salah satu bentuk kekerasan simbolik ini. Cap ‘liberalis’ yang disematkan kepada seluruh pihak yang tidak mendukung penetapan,
menempatkan para pendukung pemilihan pada satu kutub yang sama. Mekanisme selanjutnya yaitu, bagaimana wacana kebenaran resmi yang
terwujud dalam ideologi negara digunakan sebagai basis pemikiran. Ideologi yang ‘dimainkan’ yaitu dasar-dasar negara; Pancasila dan UUD 1945. Gerakan
keistimewaan tidak menciptakan ideologi baru untuk menggantikan dasar-dasar negara ini. Yang terjadi adalah, penggunaan ideologi yang sama untuk melawan
pemerintah. Pancasila dan UUD 1945 tidak diganti atau direvisi tapi justru ditafsirkan secara berbeda. Maka, ideologi negara berbalik menjadi ‘senjata
makan tuan’ bagi pemerintah. Dengan menggembangkan gagasan pada ideologi negara Pancasila,
kelompok pro penetapan mengambil jarak tertentu dalam hubungan perlawanan dengan pemerintah. Jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan perlawanan lokal
yang berkembang di Indonesia, seperti Aceh dan Papua, kelompok pro penetapan di Yogyakarta tidak mau disebut separatis. Mereka tidak melawan untuk
memisahkan diri tapi memberikan penafsiran yang berbeda tentang gaya-gaya pemerintahan yang lebih bersahabat untuk masalah-masalah pemerintahan lokal.
Dengan melihat bagaimana kelompok pro penetapan menggunakan nasionalisme sebagai kata kunci, kita melihat bagaimana gerakan keistimewaan
Yogyakarta sebagai gerakan lokal yang melawan pemerintah pusat, menggunakan cara yang kreatif untuk memaknai nasionalisme. Hal ini tidak terjadi sebelumnya,
nasionalisme menguat melalui gerakan yang melakukan resistensi. Maka, ideologi
negara menjadi terlihat lentur. Artinya, ideologi negara tidak hanya diaplikasikan untuk pembentukan identitas bangsa atau negara, tapi bisa menjadi alat untuk
mengkritik negara. Jika, ideologi negara sebelumnya terkesan menjadi urusan elit politik di pusat, saat ini penafsiran ideologi negara menjadi fenomena bagi
gerakan lokal.
5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa