1. Mobilisasi Massa
35
Reformasi 1998 menandai sebuah masa transisi yang penuh ketidakpastian. Pengerahan massa di jalan menjadi peristiwa yang sangat lazim. Kelompok massa
mahasiswa melakukan demonstrasi di setiap kota di Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, jalan-jalan di seluruh kota dipenuhi massa tanpa agenda yang jelas.
Dan terjadilah perusakan massal, pembakaran aset bangunan dan kendaraan, serta penjarahan.36
Tanggal 20 Mei 1998, HB IX dan PA VIII, memberikan orasi di Alun-alun utara kraton Yogyakarta. Event ini menyebabkan ribuan massa berkumpul di
tempat tersebut. Diyakini oleh banyak pihak, karena peristiwa ini, Yogyakarta tidak mengalami dampak kerusakan yang lebih parah karena kumpulan massa bisa
dikendalikan dan tidak sampai memperluas dampak-dampak perusakan. Peristiwa yang kemudian lebih dikenal dengan Pisowanan Ageng.
Peristiwa ini menjadi titik penafsiran atas terbentuknya gerakan keistimewaan Yogyakarta. Pertama, pada momen ini, warga Yogyakarta dari
berbagai elemen masyarakat tanpa terorganisir tumpah ke jalan. Dari puluhan tahun kehidupan sosial di Yogyakarta, baru pada momen tersebut muncul gerakan
massa yang memobilisasi ribuan orang, meskipun peristiwa ini sangat terkait
35Pemaparan dalam Sub bab “Mobilisasi Massa” ini menjadi titik awal penafsiran tentang proses lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejauh belum ada pemahaman yang
pasti, saya meminjam argumen pihak-pihak yang merepresentasikan golongan penetapan sebagaimana dituliskan dalam buku-buku tentang tema keistimewaan Yogyakarta.
36Menurut catatan Sudomo Sunaryo, di Yogyakarta, amuk massa juga sudah terjadi. Perusakan terjadi salah satunya di showroom mobil Timor, yang diketahui bersama milik Tomi
Hutomo Mandalaputra Tomi Soeharto, anak Presiden Soeharto. Lihat: Baskoro, Haryadi Sunaryo, Sudomo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati
Perubahan, Menggagas Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 91.
dengan tren demonstrasi pada tahun 1998. Kedua, faktor ketokohan dua raja di Yogyakarta sangat berpengaruh pada terjadinya pengumpulan massa. Terkesan
bahwa peristiwa ini memperlihatkan pengaruh besar yang dimiliki kedua pemimpin kultural ini dalam daya tarik untuk mobilisasi massa.
37
Peristiwa Pisowanan Ageng ini selalu dijadikan rujukan untuk menggambarkan bagaimana sikap hormat dan rasa tunduk kepada para raja, masih
ada dalam dinamika masyarakat Yogyakarta. Terlebih lagi, ketokohan Sultan HB X yang cukup karismatik bagi masyarakat Yogyakarta. Berbagai media massa
mengungkapkan bagaimana kelompok massa dapat ‘dikendalikan’ paska Pisowanan Ageng ini.
38
Pisowanan Ageng sebenarnya adalah peristiwa kultural dari tradisi masyarakat feodal di Jawa pada masa lalu. Pisowanan dilakukan oleh rakyat
kepada penguasa sebagai bentuk dari sikap tunduk. Dengan menyebut pengerahan ribuan massa ke Alun-alun ini sebagai pisowanan, menunjukan adanya kesan
yang kuat bahwa peristiwa ini sebuah pertemuan akbar dimana rakyat menghadap raja.
37Pada tahun 2003, terbit buku berjudul Pisowanan Ageng . Buku tersebut dianggap terlalu mengagungkan peran Sultan HB X sehingga terkesan menafikan peran kelompok-
kelompok mahasiswa. Pada akhirnya, buku ini ditarik dari peredaran. Lihat: Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik 2003http:www.suaramerdeka.comharian031014dar16.htm. Akan
tetapi, saat memasuki masa panasnya perdebatan soal Keistimewaan Yogyakarta, perbincangan mengenai Keistimewaan Yogyakarta kembali menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng 1998
sebagai titik tolak.
38Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo 2010 dalam Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya menuliskan bahwa sejumlah media massa baik dalam negri maupun luar
negri melaporkan bahwa terkendalinya massa di Yogyakarta karena efek dari penyelenggaraan event besar Pisowanan Ageng. Semenjak peristiwa itu, perusakan-perusakan fasilitas bisa menjadi
menurun.
Beberapa bulan setelah Pisowanan Ageng bulan Mei 1998, PA VIII, yang menjabat sebagai gubernur DIY, meninggal dunia, menimbulkan permasalahan
baru. Kekosongan jabatan memicu pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang berhak mengisi jabatan gubernur DIY. Mekanisme lama tetap dipertahankan yaitu
pemilihan gubernur oleh DPRD sebagai lembaga legislatif. Ada yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan pemilihan gubernur di tingkat DPRD. Persoalan ini memicu berkembangnya gerakan massa dari kawasan pedesaan. Terbentuklah Ismaya,39
sebuah asosiasipaguyuban yang menghimpun seluruh lurah di empat kabupaten di DIY. Natasuwita, seorang lurah yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan mantan Presiden Soeharto ini, sengaja menghimpun kelompok perangkat desa untuk mendukung penetapan Sultan HB X sebagai gubernur DIY.40 Sebagai
sebuah organisasi yang menghimpun pemimpin pemerintahan tingkat bawah, tentu sangat memungkinkan untuk mengerahkan massa.41 Mobilisasi tidak lagi
terkesan spontan seperti yang terjadi pada Pisowanan Ageng beberapa bulan sebelumnya. Ribuan massa secara terorganisir dimobilisasi oleh para lurah ini
untuk melakukan demonstrasi di pusat keramaian Kota Yogyakarta.
39Ismaya adalah akronim dari Ing Sedya Mematri Aslining Ngayogyakarta. Nama ‘Ismaya’ juga merepresentasikan seorang tokoh dalam epik wayang.Ismaya adalah seorang dewa
yang menjelma menjadi manusia melalui perwujudan Semar, pelayan para ksatria. 40Sebagaimana diungkapkan Mulyadi saat mengungkapkan tujuan dibentuknya Ismaya
yaitu sebagai bentuk dukungan untuk mendukung Sultan HB X sebagai gubernur DIY. Wawancara dengan H. Mulyadi di Godean, 2009
41Paguyuban Ismaya yang merangkum para lurah di tingkat DIY, juga memiliki underbow berupa paguyuban-paguyuban lurah di tingkat kabupaten. Paguyuban-paguyuban
tersebut yaitu; Tungguljati Bantul, Bodronoyo Kulon Progo, Suryondadari Sleman, Semar Gunung Kidul. Selain itu, paguyuban lurah ini juga menjalin jejaring kerjasama dengan
paguyuban-paguyuban lain yang mempunyai kemiripan karakteristik. Jejaring ini dibangun paguyuban yang merangkum para dukuh kepala dusun.
Pemicu dari gerakan para perangkat desa ini yaitu sikap Pemerintah pusat tentang penentuan gubernur DIY. Pemerintah saat itu berencana menunjuk calon
lain. Ada tegangan yang terjadi antara kelompok masyarakat di Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Ini terkait siapa yang akan mengisi jabatan gubernur.
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negri Mendagri Syarwan Hamid sedang menyiapkan figur yang diusulkan untuk mengisi jabatan gubernur. Sedangkan, di
pembicaraan yang terjadi di DPRD Yogyakarta, ada nama yang diusulkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan FPP. Sempat terjadi Pemilihan gubernur yang
dilaksanakan di tingkat DPRD. Di sisi lain, di tingkat masyarakat, semakin membesar dukungan terhadap Sultan HB X agar menjabat sebagai gubernur
Yogyakarta. Paska pengangkatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, polemik
bagaikan bola salju yang terus bergulir. Dua tahun setelah pengangkatan Sultan HB X sebagai gubernur, muncul tuntutan baru yaitu pengangkatan PA IX yang
menggantikan PA VIII sebagai wakil gubernur. Paku Alam IX akhirnya mengalami pengangkatan sebagai wakil gubernur setelah melalui penetapan oleh
menteri dalam negeri. Tapi sebelumnya, ribuan massa sudah mengucapkan ikrar untuk mengangkat PA IX sebagai wakil gubernur. Ribuan massa ini menyaksikan
ketika seorang tukang becak yang mengikrarkan pengangkatan Paku alam sebagai wakil gubernur.
Dorongan untuk merumuskan keistimewaan Yogyakarta melalui RUU keistimewaan berpijak pada UU No 31950 tentang pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tuntutan ini memuncak dengan di bacakannya sebuah maklumat yang disebut; ‘Maklumat Rakyat Yogyakarta’ pada sebuah aksi massa.
Dalam salah satu butir isi maklumat tersebut, tercantum kalimat; ‘Rakyat Yogyakarta berkeinginan untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta,
seperti yang tertulis dalam UU No 3 1950’.42 Pembacaan maklumat atas nama rakyat yang disertai aksi massa ini mendapatkan respons dari pemerintah pusat.
Tak lama setelah peristiwa itu, pemerintah pusat mengeluarkan surat penetapan PA IX sebagai wakil gubernur DIY. Sampai pada titik ini, kedua pemimpin
kultural dua raja dalam wilayah DIY telah mendapatkan jabatan politik yang dulu juga dijabat oleh kedua pendahulu mereka HB IX dan PA VIII.
Kendati kedua raja di DIY telah mendapatkan posisi sebagai gubernur dan wakil gubernur, persoalan dalam Keistimewaan Yogyakarta belum selesai.
Indonesia paska reformasi tidak seperti masa Orba. Gejala demokratisasi terjadi di setiap daerah dengan penyelenggaraan Pilkada Pemilihan Kepala Daerah.
43
Para kepala daerah gubernur dan wakil gubernur yang terpilih akan memerintah
dalam waktu lima tahun satu periode, hanya bisa memerintah satu periode lagi jika terpilih lagi dalam pilkada.
Tepat pada ulang tahun HB X yang ke-62, tanggal 7 April 2007 di Pagelaran Kraton Yogyakarta, HB X membacakan sebuah orasi budaya berjudul
“Meneguhkan kembali Takhta untuk Rakyat”. Dengan beberapa kalimat dalam orasinya, Sultan HB X menyatakan ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi pada
periode selanjutnya. Pernyataan Sultan ini, menimbulkan perdebatan dan pembicaraan publik. Dalam orasinya tersebut, Sultan HB X menyatakan
42Lihat; Hadiwijoyo, Surya Sakti. 2009. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher., hlm 167
43Akronim Pilkada Pemilihan Kepala Daerah kemudian diganti dengan Pemilukada Pemillihan Umum Kepala Daerah
ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi setelah masa jabatannya sebagai gubernur habis pada tahun 2008.
Pernyataan kontroversial HB X ditanggapi dengan luar biasa oleh publik. Beragam penafsiran muncul dalam menanggapi pernyataan tersebut. Mulai
banyak kelompok masyarakat yang kembali mengorganisir massa. Tujuannya, untuk mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut.Situasi ini menjadi
semakin kabur dengan tidak banyaknya HB X memberikan penjelasan soal maksud dan tujuan tentang pernyataannya tersebut.
Maka terjadilah sebuah acara, dimana ribuan masyarakat datang ke kraton untuk bertemu dengan HB X. Peristiwa ini disebut sebagai pisowanan ageng.
Mengingat, sebuah event yang disebut sebagai pisowanan ageng juga pernah terjadi pada tahun 1998, acara ini kemudian disebut Pisowanan Ageng II. Ribuan
massa memadati kraton.
44
Mulyadi bahkan pernah mengordinasi para lurah untuk melakukan boikot jika pemilukada untuk memilih gubernur dan calon gubernur tetap dilaksanakan.
Tentu saja, pelaksanaan pemilukada tidak akan terjadi jika struktur pemerintahan tingkat bawah desa tidak beroperasi.
45
Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang masa jabatan selama satu periode lagi. Jadi, Sultan HB dan Adipati PA masih
berhak menduduki posisi sampai tahun 2011. Gerakan massa ini kemudian
44Sampai saat ini saya belum mendapatkan data tentang siapa saja yang terlibat menyelenggarakan pertemuan yang disebut sebagai Pisowanan Ageng II ini.
45Mulyadi, wawancara 2009
menyurut setelah pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang masa jabatan. Selama masa perpanjangan akan digunakan untuk menyusun
RUUK. Bertahun-tahun pergerakan gelombang massa bisa disimpulkan dalam pola
yang sama. Habisnya masa jabatan kepala daerah, desakan massa, kemudian respon pemerintah pusat yang memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Ada
tegangan antara pemerintah pusat dengan kelompok masyarakat yang menginginkan ditetapkannya Sultan HB X dan Adipati PA IX sebagai Kepala
daerah dan wakil kepala daerah tanpa terhalang periode jabatan dan pemilukada. Sistem yang disusun dalam RUU Keistimewaan ini disusun oleh JIP
Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. Draf ini pula yang menjadi acuan oleh menteri dalam negeri pemerintah pusat untuk membuat aturan baku terkait
keistimewaan Yogyakarta. Sistem parardhya ini didasarkan pada pemahaman bahwa adanya dikotomi antara kepala daerah dengan kepala pemerintahan yang
lazim ditemukan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional.
Pribadi seorang sultan sebagai penerus raja-raja dinasti Mataram adalah simbol sosio-kultural Jawa di Yogyakarta. Maka, sebagian masyarakat
Yogyakarta menginginkan kepemimpinannya tanpa dibatasi masa jabatan. Keyakinan tentang sebuah pusat kuasa simbolik ini dipahami betul oleh semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat umum. Oleh karena itu, Sultan HB X dan Adipati PA IX tetap diberikan posisi yang signifikan sebagai pemimpin tertinggi
tapi mempunyai keterbatasan khusus. Posisi ini dinamakan Parardhya, sebuah
lembaga yang terdiri dari Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta. Lembaga ini dibatasi perannya untuk masuk ke dalam ranah politik praksis.
Ternyata, kelompok-kelompok massa menolak lembaga Parardhya tersebut. Pemahaman ini mereka tolak mentah-mentah. Posisi Gubernur sebagai
kepala pemerintahan harus diisi dengan orang yang sama dengan kepala daerah. Maka, Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta harus otomatis mengisi jabatan
gubernur dan wakil gubernur. Dengan menempatkan Sultan HB dan Adipati PA dalam posisi simbolik
diyakini akan semakin menjauhkan interaksinya dengan rakyat. Posisi simbolik ini juga diduga akan mengurangi peran Sultan dalam pemerintahan karena
perannya hanya sejauh memberikan hak veto untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur baru.
Sistem pemisahan wewenang ini dianggap hanya mengulangi strategi memecah kekuasaan politik yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Pada masa kerajaan pada zaman kolonial, pemerintahan internal diperintah oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut Patih. Dengan campur tangan
pemerintah kolonial Belanda, pemilihan Patih sangat ditentukan oleh dukungan Belanda. Patih dianggap membawa kepentingan pemerintah kolonial.
Kelompok pro-penetapan gelombang awal, dalam hal ini kelompok- kelompok yang mewakili perangkat desa. Dilihat dari latar belakang sosio-
kulturnya, mereka adalah representasi masyarakat tradisional. Selain domisili mereka yang berada di kawasan rural, yang memungkinkan tradisi masih hidup
dan diyakini, secara tidak langsung mereka ditempatkan pada posisi ‘penjaga
tradisi’. Bagi para pendukung wacana pemilihan gubernur dan wakil gubernur, elit desa ini memanipulasi keterikatan kultural sebagai pilihan politik. Mereka juga
dimanipulasi oleh pengaruh-pengaruh luar yang menggunakan kraton sebagai satu-satunya identitas Yogyakarta.
46
Dalam perkembangan sejarah, para perangkat desa adalah loyalis Sultan. Sistem pemerintahan kerajaan di masa lalu menempatkan mereka menjadi bagian
dari struktur yang disebut pamong praja. Dalam perkembangannya, seiring dengan masuknya Yogyakarta sebagai salah satu propinsi dalam lingkup Republik
Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan dalam pemerintahan.
47
Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat dengan tradisi kerajaan dan raja-rajanya. Pamong praja mempunyai loyalitas yang
tinggi terhadap Sultan. Walau Sultan ikut mendukung perubahan sistem pemerintahan yang mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja, tidak
muncul kritik atau gugatan terhadap Sultan. Mereka justru mengecam lembaga- lembaga lain. Singkatnya, Sultan tidak akan mereka gugat karena kesetiaan
terhadap Raja adalah prinsip yang mereka pegang sebagai pamong praja.
48
46Bagi para peneliti IRE Institute for Research and Empowering dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, dukungan perangkat desa ini adalah tarik menarik kekuasaan
untuk memanfaatkan resources yang ada. Para elit desa ingin membangkitkan romantisme antara kraton dan desa yang sudah hilang selama lima puluh tahun. Selain itu, mereka juga menolak
intervensi kabupaten ke dalam rumah tangga desa. Kewenangan kabupaten dinilai terlalu besar sehingga, para elit desa berkoalisi dengan kraton dan provinsi yang mempunyai kekuatan yang
lebih besar.
47Selo Soemardjan mendeskripsikan dengan rinci bagaimana proses ini terjadi pada tahun 1950’an di Yogyakarta dengan bukunya yang terkenal, Perubahan Sosial di Yogyakarta.
48Loyalitas para perangkat desa terhadap Sultan bisa dicermati bahwa pada masa lalu, mereka menjadi bagian dari birokrasi Kasultanan yang disebut pamong praja. Dalam
perkembangannya, seiring dengan masuknya Yogyakarta sebagai salah satu Provinsi dalam lingkup Republik Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan
2. Terbentuknya Dikotomi Sosial