DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM GAZI
UNIVERSITAS INDONESIA
DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM
PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR
DISERTASI
(RINGKASAN)
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik
Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.
Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
Gazi
NPM. 1006784115
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2016
i
TIM PEMBIMBING
Promotor
Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si
Ko-promotor 1
Dr. Bagus Takwin, M.Hum
Ko-promotor 2
Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si
TIM PENGUJI
Ketua Sidang
Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA
Anggota
Prof. Dr. Enoch Markum
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Faturrahman
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Prof. Dr. Bambang Pranowo
Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dr. Adriana Soekandar, M.Sc
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA
Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini
menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi
pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar
dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan
pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir.
Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi
Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan
kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.
Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M.
Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi
ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor
Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya
semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu
dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil.
Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi.
Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang
pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D
selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran
staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor.
Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr.
Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar
Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran
dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan,
Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA.,
Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto,
M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak
dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan
menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan
lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih
atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya..
Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya
selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr.
Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr.
Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per
satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang
diberikan bisa menjadi amal jariah.
Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN
Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk
melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan
dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas
Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses
penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh,
Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan
moral.
Kepada semua rekan dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UIN Jakarta,
saya ucapkan terima kasih atas persahabatan yang tulus dan kemitraan yang kokoh di antara kita
iii
sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral
bisa berjalan dengan lancar.
Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti..
Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan
kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku
teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr.
Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak
Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain
yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima
kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT
sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar
penjara.
Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong,
Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang
termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga
binaan penjara dari kalangan teroris.
Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba
Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba
Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan
persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudahmudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan.
Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di
lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan
dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesarbesarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga
dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi..
Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah
memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua
semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik.
Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan
tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya
yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama
lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita
dan masa depan.
Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik
UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi
dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah
serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini
membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur
dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian...
Disertasi ini saya persembahkan untuk almarhum abah tercinta, H. Said Saleh Saloom,
dan emak tersayang, almarhumah Jawirah, yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan
penuh cinta dan kasih sayang. Semoga pesan abah bahwa ilmu adalah warisan paling berharga
dalam hidup bisa diwariskan lagi kepada anak-anak; dan semoga teladan emak sebagai orang
yang tangguh dalam membesarkan dan mendidik anak bisa ditiru. Terima kasih kepada Bang
Zaed Saloom almarhum yang selalu menjadi teman diskusi saat masih hidup semoga Bang Zaed
bahagia di alam sana. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bang Hizam Saloom, yang selalu
bahagia dan bangga dengan capaian adik-adiknya, juga kepada adik-adik saya: Fadlika Saloom,
Najah Saloom, Hilwah Saloom, Nurimamah Saloom dan Faiz Saloom yang selalu mendukung
setiap langkah saya, serta para keponakan. Kepada keluarga besar Saloom di manapun dan
keluarga besar dari pihak emak di Lombok, terima kasih atas dukungan kalian.
iv
Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang
Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang
belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan
kebahagiaan dan ketenangan.
Terakhir tetapi yang paling utama dan inti, saya ingin menyampaikan terima kasih dan
cinta yang tulus kepada isteri tersayang, Ummu Athiyah, yang telah mendampingi penulis selama
12 tahun lebih dan telah memberikan tiga orang anak yang sehat dan pintar dengan segala sukaduka yang menyertai. Terima kasih, isteriku, belahan jiwaku yang tetap setia sampai saat ini. Saya
juga merasa perlu berterima kasih kepada anak-anak saya: Averrous Saloom (Bang Iyus/Verrous),
Imtiyazussaomi Saloom (Kakak Tiyas) dan si bungsu Fawwaz Muluki Saloom (Adik Luki) yang
memberi keceriaan dan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari kami. Abah sangat menyayangi
kalian dan berharap semoga kelak kalian bisa meraih pendidikan formal tertinggi dengan waktu
yang lebih cepat dan lebih berkualitas dibandingkan apa yang abah capai sekarang ini.
v
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul Disertasi
: Gazi
: Ilmu Psikologi
: Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan
Jalan Teror
Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang
proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang.
Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan
mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan
pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan
pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan
studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan
dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung
dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory.
Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke
dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan
teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses
meninggalkan jalan teror.
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan
teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan
keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu,
disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal,
organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi
individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup.
Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.
Kata Kunci : Grounded research, teroris, relasi sosial, deradikalisasi, disengagement,
vi
ABSTRACT
Name
Study Program
Judul Disertasi
: Gazi
: Psychology
: Dynamic of Social Relation in Process of Leaving
Terrorism
Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the
study on process of leaving terrorism is still overlooked.
To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave
terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as
design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have
involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More
than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research
resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory
technique.
Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories,
and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted
on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can
be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving
terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not
be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic:
personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic
pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief
change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study
were further discussed.
Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization,
disengagement.
.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul Dalam................................................................................. ..............
Tim Pembimbing Dan Tim Penguji...... .................................................... .................
Ucapan Terima Kasih................................................................................... ..............
Abstrak...................................................................................................... .......... ......
Daftar Isi.................................................................................................. ...........
Daftar Tabel.......................................................................................... .......... ..........
Daftar Gambar..................................................................................... ........... ..........
Latar Belakang ......................................................... ........ .................... .........
A
Pertanyaan Penelitian............................................................. ........ ................
B
Tujuan Penelitian.................................................................... ........ ................
C
Telaah Literatur .................... .................... .................... .................... ...........
D
Metode Penelitian.................... .................... .................... .................... ..........
E
Hasil Penelitian.................... .................... .................... .................... .............
F
Pembahasan Hasil Penelitian.................... .................... .................... .............
G
Kesimpulan.................... .................... .................... .................... ....................
H
Rekomendasi.................... .................... .................... .................... ................
H
Daftar Pustaka.................... .................... .................... .................... ...............
Riwayat Hidup.................... .................... .................... .................... ..............
viii
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
i
ii
iv
viii
x
xii
xiii
1
5
5
5
10
11
26
33
34
34
41
DAFTAR TABEL
1
Profil subyek penelitian..................................................................... ........
11
2
Pola meninggalkan jalan teror............................................................ .........
12
3
Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek............... .........
14
4
Perubahan pandangan tentang konteks jihad..................................... .........
15
5
Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup..................... .........
15
6
Gambaran rasa bersalah..................................................................... .........
17
7
Identitas kelompok versus identitas personal..................................... .........
18
8
Konflik nilai personal versus nilai kelompok.................................... .........
18
9
Deideologisasi jihad........................................................................... .........
20
10 Gambaran penurunan komitmen.....................................................................
21
11 Konflik interpersonal......................................................................... .........
24
12 Kontak dengan orang lain di luar kelompok...................................... .........
25
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Dinamika konflik pemimpin-pengikut................................................ .............
2 Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror........... .............
x
23
26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Pedoman wawancara.........................................................
Singkatan dan inisial..........................................................
xi
205
206
xii
RINGKASAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan
skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi
pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media
sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan
dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal
di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010)
Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI,
menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang
Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu
kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali
walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya
yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa
Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan
penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan
sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi
Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012).
Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek
utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya,
NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan
mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan
oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru,
2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas
Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015).
Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom
Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah
masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini
beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama
Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati
sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan.
Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo,
2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali
ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi
teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik.
Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena
menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat
yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006;
2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki
yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini.
Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi
ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin
& Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang
kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Psikologi, secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin &
Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan
menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010).
Para ahli berbeda pendapat dalam menanggapi kemungkinan berakhirnya aksi teror.
Misalnya, Jones dan Libicki (2008) berpendapat bahwa semua kelompok teroris akan berakhir
seiring berlalunya waktu. Pertanyaannya: Mungkinkah terorisme berakhir dan bagaimana mereka
akan berakhir? Apakah karena dikalahkan aparat keamanan (polisi dan militer)? Ataukah karena
memperoleh kemenangan? Atau alasan lain? (Jones & Libicki, 2008). Pertanyaan-pertanyaan itu
penting dijawab agar diperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit tentang bagaimana seharusnya
menghadapi aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini.
1
Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi
dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan
memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah
pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan,
2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour,
2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan
akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk
tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan.
Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok
memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005;
Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan
dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa
keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007;
Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di
antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang
(2015). Menurut saya, riset tim YPP tidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga
tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset
Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih
banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe
Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh
mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom
Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah.
Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan
narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan
relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan
penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan
narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror
(wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan
penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan
mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan
diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris
dan kelompoknya di Indonesia.
Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang
dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang
berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi
(Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang
tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi
yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris (Fink & Harne,
2008).
Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor
yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena
perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai
konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini
akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi
individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010).
Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman
meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep
deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009).
Jumlah penelitian yang mengkaji tentang mekanisme deradikalisasi dan disengagement
belum begitu banyak (Horgan, 2009). Kendati demikian, terdapat banyak program deradikalisasi
yang dijalankan sejumlah pemerintah dari beberapa negara dimana disebutkan bahwa hampir
sebagian besar program deradikalisasi yang ada tidak berlandaskan kepada hasil penelitian
(Horgan, 2009). Perubahan ideologi dan tingkah laku sangat erat kaitannya dengan Ilmu Psikologi
(Ardila, 2002; Baumeister & Finkel., 2010). Oleh karena itu, penelitian psikologi tentang
2
meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa
meninggalkan jalan teror terjadi.
Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog
atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi
Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009;
Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa
menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran
agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada
kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di
kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran
Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis
(Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang
dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam
dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok
dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo
& Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin
menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011).
Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera
keluar dari penjara.
Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka
kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan
ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson,
2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan
ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang
baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor
dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa
bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam
meninggalkan jalan teror?
Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya
Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010),
Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan
Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik
dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan.
Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh
aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap
berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh
Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan
yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai
faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap
sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik
(Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010).
Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi
komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan
jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal
terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang
maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang
tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement
berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang
terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu
selama menjadi aktivis kelompok ekstrim.
Disley dkk (2012) menemukan bahwa intervensi tertentu seperti program deradikalisasi
dan disengagement yang dirancang secara khusus merupakan faktor penting yang bisa
menjelaskan kenapa meninggalkan jalan teror. Sedangkan Kruglanski dkk (2011; 2014) melihat
bahwa deradikalisasi dan disengagement bisa dijelaskan dengan melihat faktor motivasi pelaku
3
teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah
diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W.,
Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan
kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti,
hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan
teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh
karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih
meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan
faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah
Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti
deradikalisasi dan disengagement sebelumnya.
Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi
individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan
ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai
tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai
seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, &
Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau
dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan
teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010;
Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang
dalam proses meninggalkan jalan teror?
Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan
untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru
semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna,
2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih
bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014;
Jacobson, 2010; Milla, 2011).
Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara
dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad
seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid
(Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang
mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal
yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator
radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini
(Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011;
Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna
lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang
mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara
memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham
moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour,
2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari
domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub
Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses
deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland,
Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari
para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada
perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009).
Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait para jihadis
meninggalkan jalan teror adalah bagaimana keyakinan mereka terhadap jihad, penegakan daulah
Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah mereka masih tetap memahami jihad sebatas
al-qital (berperang) saja ataukah telah bergeser seperti keyakinan dan pemahaman umat Islam
mainstream?
4
Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009),
Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh
komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada
temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam
(2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi
teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan
pencegahan terorisme.
Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau
komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan
pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di
Indonesia?
B.
Pertanyaan Penelitian
Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan
disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang
mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab
dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari
pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan
persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek
penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk
dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di
Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses
meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan
kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan
sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana
dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam
pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan
terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang
mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku
teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia.
D. Tinjauan Literatur
Pengertian Meninggalkan Jalan Teror
Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan
makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah
meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup
dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya.
Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam
mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009;
Bjorgo, 2009).
Deradikalisasi
Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus
sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted
attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan
Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial
tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan
Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan
terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam.
Ashour (2009) memberikan tiga point penting yang bisa menjelaskan deradikalisasi yaitu
perubahan cara memahami ideologi, penolakan terhadap cara-cara kekerasan dan lebih banyak
5
menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi
organisasi.
Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi
seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali
kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi
atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan
Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The
Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang
keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007).
Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras.
Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal,
sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan
tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap
dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004).
Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif (Smelser,
2007)
Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen,
2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004;
Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan
kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga
terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005).
Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari
proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan
persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press;
Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari
seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling
tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam
pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009).
Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses
belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi
perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson,
2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal
pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010)
mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror.
Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi,
bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock,
2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang
dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah
sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel,
2007; Jhonson, 2009).
Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi
keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005).
Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis
menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi
teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat
menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu
teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009).
Dalam konteks Indonesia, kesimpulan sementara ini diperkuat pula oleh fakta historis
tentang DI/TII yang menunjukkan bahwa ideologi jihad atau ideologi penegakan negara Islam
atau ideologi penegakan sistem pemerintahan khilafah tidak hilang, tetapi mengalami
metamorfosis atau penyesuaian waktu, atau bisa juga bersinergi dengan ideologi yang lain.
Misalnya, metamorfosis atau sinergi ideologi NII dengan ideologi salafi jihadi seperti yang terjadi
pada kasus Abdullah Sungkar, ABB dan tokoh kelompok garis keras lainnya (Ramakrishna, 2005;
6
2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi
melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selamalamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan
mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi
radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan
pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya
(BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011)
tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan
anak atau bahkan cucu.
Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran,
pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama
dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah
resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan
wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan
hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013).
Disengagement
Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu
berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement
berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan.
Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan
penghapusan ideologi kekerasan.
Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang
mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses
yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses
deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang
dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok
teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada
deradikalisasi.
Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008
menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai
individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang
mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi
jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul
anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono,
2012; Amirsyah, 2012).
Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah
penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan
datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para
ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat
pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010).
Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok
yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang
menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala
meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu
tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang
bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan
massal atau kekerasan yang dilakukan ba
DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM
PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR
DISERTASI
(RINGKASAN)
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik
Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.
Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
Gazi
NPM. 1006784115
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2016
i
TIM PEMBIMBING
Promotor
Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si
Ko-promotor 1
Dr. Bagus Takwin, M.Hum
Ko-promotor 2
Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si
TIM PENGUJI
Ketua Sidang
Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA
Anggota
Prof. Dr. Enoch Markum
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Faturrahman
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Prof. Dr. Bambang Pranowo
Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dr. Adriana Soekandar, M.Sc
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA
Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini
menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi
pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar
dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan
pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir.
Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi
Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan
kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.
Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M.
Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi
ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor
Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya
semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu
dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil.
Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi.
Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang
pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D
selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran
staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor.
Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr.
Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar
Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran
dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan,
Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA.,
Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto,
M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak
dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan
menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan
lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih
atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya..
Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya
selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr.
Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr.
Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per
satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang
diberikan bisa menjadi amal jariah.
Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN
Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk
melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan
dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas
Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses
penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh,
Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan
moral.
Kepada semua rekan dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UIN Jakarta,
saya ucapkan terima kasih atas persahabatan yang tulus dan kemitraan yang kokoh di antara kita
iii
sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral
bisa berjalan dengan lancar.
Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti..
Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan
kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku
teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr.
Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak
Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain
yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima
kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT
sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar
penjara.
Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong,
Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang
termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga
binaan penjara dari kalangan teroris.
Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba
Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba
Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan
persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudahmudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan.
Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di
lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan
dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesarbesarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga
dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi..
Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah
memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua
semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik.
Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan
tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya
yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama
lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita
dan masa depan.
Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik
UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi
dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah
serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini
membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur
dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian...
Disertasi ini saya persembahkan untuk almarhum abah tercinta, H. Said Saleh Saloom,
dan emak tersayang, almarhumah Jawirah, yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan
penuh cinta dan kasih sayang. Semoga pesan abah bahwa ilmu adalah warisan paling berharga
dalam hidup bisa diwariskan lagi kepada anak-anak; dan semoga teladan emak sebagai orang
yang tangguh dalam membesarkan dan mendidik anak bisa ditiru. Terima kasih kepada Bang
Zaed Saloom almarhum yang selalu menjadi teman diskusi saat masih hidup semoga Bang Zaed
bahagia di alam sana. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bang Hizam Saloom, yang selalu
bahagia dan bangga dengan capaian adik-adiknya, juga kepada adik-adik saya: Fadlika Saloom,
Najah Saloom, Hilwah Saloom, Nurimamah Saloom dan Faiz Saloom yang selalu mendukung
setiap langkah saya, serta para keponakan. Kepada keluarga besar Saloom di manapun dan
keluarga besar dari pihak emak di Lombok, terima kasih atas dukungan kalian.
iv
Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang
Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang
belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan
kebahagiaan dan ketenangan.
Terakhir tetapi yang paling utama dan inti, saya ingin menyampaikan terima kasih dan
cinta yang tulus kepada isteri tersayang, Ummu Athiyah, yang telah mendampingi penulis selama
12 tahun lebih dan telah memberikan tiga orang anak yang sehat dan pintar dengan segala sukaduka yang menyertai. Terima kasih, isteriku, belahan jiwaku yang tetap setia sampai saat ini. Saya
juga merasa perlu berterima kasih kepada anak-anak saya: Averrous Saloom (Bang Iyus/Verrous),
Imtiyazussaomi Saloom (Kakak Tiyas) dan si bungsu Fawwaz Muluki Saloom (Adik Luki) yang
memberi keceriaan dan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari kami. Abah sangat menyayangi
kalian dan berharap semoga kelak kalian bisa meraih pendidikan formal tertinggi dengan waktu
yang lebih cepat dan lebih berkualitas dibandingkan apa yang abah capai sekarang ini.
v
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul Disertasi
: Gazi
: Ilmu Psikologi
: Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan
Jalan Teror
Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang
proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang.
Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan
mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan
pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan
pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan
studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan
dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung
dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory.
Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke
dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan
teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses
meninggalkan jalan teror.
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan
teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan
keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu,
disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal,
organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi
individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup.
Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.
Kata Kunci : Grounded research, teroris, relasi sosial, deradikalisasi, disengagement,
vi
ABSTRACT
Name
Study Program
Judul Disertasi
: Gazi
: Psychology
: Dynamic of Social Relation in Process of Leaving
Terrorism
Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the
study on process of leaving terrorism is still overlooked.
To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave
terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as
design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have
involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More
than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research
resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory
technique.
Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories,
and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted
on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can
be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving
terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not
be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic:
personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic
pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief
change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study
were further discussed.
Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization,
disengagement.
.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul Dalam................................................................................. ..............
Tim Pembimbing Dan Tim Penguji...... .................................................... .................
Ucapan Terima Kasih................................................................................... ..............
Abstrak...................................................................................................... .......... ......
Daftar Isi.................................................................................................. ...........
Daftar Tabel.......................................................................................... .......... ..........
Daftar Gambar..................................................................................... ........... ..........
Latar Belakang ......................................................... ........ .................... .........
A
Pertanyaan Penelitian............................................................. ........ ................
B
Tujuan Penelitian.................................................................... ........ ................
C
Telaah Literatur .................... .................... .................... .................... ...........
D
Metode Penelitian.................... .................... .................... .................... ..........
E
Hasil Penelitian.................... .................... .................... .................... .............
F
Pembahasan Hasil Penelitian.................... .................... .................... .............
G
Kesimpulan.................... .................... .................... .................... ....................
H
Rekomendasi.................... .................... .................... .................... ................
H
Daftar Pustaka.................... .................... .................... .................... ...............
Riwayat Hidup.................... .................... .................... .................... ..............
viii
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
i
ii
iv
viii
x
xii
xiii
1
5
5
5
10
11
26
33
34
34
41
DAFTAR TABEL
1
Profil subyek penelitian..................................................................... ........
11
2
Pola meninggalkan jalan teror............................................................ .........
12
3
Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek............... .........
14
4
Perubahan pandangan tentang konteks jihad..................................... .........
15
5
Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup..................... .........
15
6
Gambaran rasa bersalah..................................................................... .........
17
7
Identitas kelompok versus identitas personal..................................... .........
18
8
Konflik nilai personal versus nilai kelompok.................................... .........
18
9
Deideologisasi jihad........................................................................... .........
20
10 Gambaran penurunan komitmen.....................................................................
21
11 Konflik interpersonal......................................................................... .........
24
12 Kontak dengan orang lain di luar kelompok...................................... .........
25
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Dinamika konflik pemimpin-pengikut................................................ .............
2 Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror........... .............
x
23
26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Pedoman wawancara.........................................................
Singkatan dan inisial..........................................................
xi
205
206
xii
RINGKASAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan
skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi
pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media
sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan
dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal
di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010)
Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI,
menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang
Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu
kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali
walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya
yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa
Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan
penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan
sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi
Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012).
Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek
utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya,
NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan
mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan
oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru,
2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas
Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015).
Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom
Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah
masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini
beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama
Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati
sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan.
Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo,
2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali
ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi
teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik.
Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena
menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat
yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006;
2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki
yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini.
Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi
ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin
& Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang
kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Psikologi, secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin &
Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan
menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010).
Para ahli berbeda pendapat dalam menanggapi kemungkinan berakhirnya aksi teror.
Misalnya, Jones dan Libicki (2008) berpendapat bahwa semua kelompok teroris akan berakhir
seiring berlalunya waktu. Pertanyaannya: Mungkinkah terorisme berakhir dan bagaimana mereka
akan berakhir? Apakah karena dikalahkan aparat keamanan (polisi dan militer)? Ataukah karena
memperoleh kemenangan? Atau alasan lain? (Jones & Libicki, 2008). Pertanyaan-pertanyaan itu
penting dijawab agar diperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit tentang bagaimana seharusnya
menghadapi aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini.
1
Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi
dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan
memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah
pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan,
2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour,
2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan
akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk
tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan.
Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok
memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005;
Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan
dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa
keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007;
Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di
antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang
(2015). Menurut saya, riset tim YPP tidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga
tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset
Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih
banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe
Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh
mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom
Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah.
Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan
narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan
relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan
penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan
narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror
(wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan
penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan
mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan
diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris
dan kelompoknya di Indonesia.
Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang
dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang
berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi
(Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang
tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi
yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris (Fink & Harne,
2008).
Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor
yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena
perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai
konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini
akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi
individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010).
Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman
meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep
deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009).
Jumlah penelitian yang mengkaji tentang mekanisme deradikalisasi dan disengagement
belum begitu banyak (Horgan, 2009). Kendati demikian, terdapat banyak program deradikalisasi
yang dijalankan sejumlah pemerintah dari beberapa negara dimana disebutkan bahwa hampir
sebagian besar program deradikalisasi yang ada tidak berlandaskan kepada hasil penelitian
(Horgan, 2009). Perubahan ideologi dan tingkah laku sangat erat kaitannya dengan Ilmu Psikologi
(Ardila, 2002; Baumeister & Finkel., 2010). Oleh karena itu, penelitian psikologi tentang
2
meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa
meninggalkan jalan teror terjadi.
Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog
atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi
Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009;
Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa
menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran
agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada
kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di
kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran
Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis
(Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang
dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam
dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok
dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo
& Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin
menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011).
Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera
keluar dari penjara.
Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka
kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan
ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson,
2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan
ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang
baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor
dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa
bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam
meninggalkan jalan teror?
Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya
Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010),
Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan
Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik
dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan.
Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh
aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap
berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh
Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan
yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai
faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap
sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik
(Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010).
Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi
komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan
jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal
terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang
maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang
tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement
berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang
terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu
selama menjadi aktivis kelompok ekstrim.
Disley dkk (2012) menemukan bahwa intervensi tertentu seperti program deradikalisasi
dan disengagement yang dirancang secara khusus merupakan faktor penting yang bisa
menjelaskan kenapa meninggalkan jalan teror. Sedangkan Kruglanski dkk (2011; 2014) melihat
bahwa deradikalisasi dan disengagement bisa dijelaskan dengan melihat faktor motivasi pelaku
3
teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah
diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W.,
Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan
kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti,
hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan
teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh
karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih
meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan
faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah
Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti
deradikalisasi dan disengagement sebelumnya.
Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi
individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan
ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai
tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai
seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, &
Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau
dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan
teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010;
Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang
dalam proses meninggalkan jalan teror?
Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan
untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru
semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna,
2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih
bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014;
Jacobson, 2010; Milla, 2011).
Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara
dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad
seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid
(Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang
mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal
yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator
radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini
(Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011;
Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna
lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang
mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara
memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham
moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour,
2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari
domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub
Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses
deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland,
Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari
para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada
perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009).
Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait para jihadis
meninggalkan jalan teror adalah bagaimana keyakinan mereka terhadap jihad, penegakan daulah
Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah mereka masih tetap memahami jihad sebatas
al-qital (berperang) saja ataukah telah bergeser seperti keyakinan dan pemahaman umat Islam
mainstream?
4
Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009),
Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh
komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada
temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam
(2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi
teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan
pencegahan terorisme.
Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau
komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan
pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di
Indonesia?
B.
Pertanyaan Penelitian
Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan
disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang
mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab
dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari
pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan
persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek
penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk
dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di
Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses
meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan
kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan
sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana
dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam
pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan
terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang
mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku
teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia.
D. Tinjauan Literatur
Pengertian Meninggalkan Jalan Teror
Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan
makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah
meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup
dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya.
Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam
mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009;
Bjorgo, 2009).
Deradikalisasi
Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus
sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted
attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan
Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial
tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan
Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan
terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam.
Ashour (2009) memberikan tiga point penting yang bisa menjelaskan deradikalisasi yaitu
perubahan cara memahami ideologi, penolakan terhadap cara-cara kekerasan dan lebih banyak
5
menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi
organisasi.
Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi
seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali
kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi
atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan
Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The
Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang
keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007).
Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras.
Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal,
sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan
tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap
dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004).
Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif (Smelser,
2007)
Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen,
2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004;
Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan
kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga
terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005).
Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari
proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan
persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press;
Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari
seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling
tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam
pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009).
Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses
belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi
perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson,
2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal
pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010)
mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror.
Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi,
bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock,
2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang
dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah
sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel,
2007; Jhonson, 2009).
Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi
keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005).
Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis
menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi
teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat
menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu
teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009).
Dalam konteks Indonesia, kesimpulan sementara ini diperkuat pula oleh fakta historis
tentang DI/TII yang menunjukkan bahwa ideologi jihad atau ideologi penegakan negara Islam
atau ideologi penegakan sistem pemerintahan khilafah tidak hilang, tetapi mengalami
metamorfosis atau penyesuaian waktu, atau bisa juga bersinergi dengan ideologi yang lain.
Misalnya, metamorfosis atau sinergi ideologi NII dengan ideologi salafi jihadi seperti yang terjadi
pada kasus Abdullah Sungkar, ABB dan tokoh kelompok garis keras lainnya (Ramakrishna, 2005;
6
2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi
melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selamalamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan
mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi
radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan
pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya
(BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011)
tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan
anak atau bahkan cucu.
Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran,
pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama
dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah
resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan
wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan
hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013).
Disengagement
Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu
berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement
berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan.
Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan
penghapusan ideologi kekerasan.
Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang
mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses
yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses
deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang
dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok
teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada
deradikalisasi.
Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008
menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai
individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang
mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi
jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul
anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono,
2012; Amirsyah, 2012).
Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah
penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan
datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para
ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat
pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010).
Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok
yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang
menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala
meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu
tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang
bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan
massal atau kekerasan yang dilakukan ba