6
II. TINJAUAN PUSTAKA
Seperti diketahui bahwa di kalangan akademis sedikitnya terdapat tiga perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan SDA dan Lingkungan, yaitu;
Pertama, Teori konflik sumberdaya alam, yang menjelaskan secara teoretis terjadinya konflik sosial yang di bingkai persoalan sumberdaya alam; Kedua, perspektif agraria
yang menjelaskan hubungan kepemilikan dan penguasaan SDA; Ketiga, perspektif
environmental
scarcity kelangkaan sumberdaya alam sebagai penyebab kerusakan lingkungan khususnya yang terbarukan renewable resources dan sangat terkait
dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi; Keempat, perspektif ekologi politik, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik berdasarkan dimensi kekuasaan,
keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal, nasional, global, kesejarahan, gender, dan peran aktor Peluso dan Watts 2001 dalam Zainuddin,
2012. Kaitannya dengan penelitian maka perspektif yang digunakan sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti yaitu menggunakan perspektif ekologi politik.
Teori Ekologi Politik
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seringkali menimbulkan ketimpangan dalam hal akses terhadap sumberdaya dan melahirkan ketimpangan
ekonomi masyarakat, hadirnya pencemaran lingkungan bio-fisik dan persoalan kebijakan oleh negara. Hal ini merupakan potret pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya nikel di kota Baubau yang kemudian melahirkan aktor dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau.
Dinamika tersebut diatas dapat dilihat dalam perspektif ekologi politik seperti apa yang dikatakan oleh Dharmawan 2007 bahwa pada ekologi politik
dipertemukan dua sub-ruang yang saling dikontestasi sesamanya yaitu ruang konflik sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan
keputusan politik yang melibatkan beragam kepentingan dilangsungkan dan ruang kekuasaan sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan
menjalankan keputusankebijakan yang telah ditetapkan diruang konflik. Kemudian Bryant dan Bailei 1997 menyatakan bahwa dalam ekologi politik
menjelaskan perubahan lingkungan dan konflik di dunia ketiga terutama masalah lingkungan misalnya erosi tanah, konsep pembangunan berkelanjutan,
karakteristik sosio-ekonomi yaitu kelas, aktor yaitu negara dan wilayah.
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang bagaimana pendekatan aktor dalam perspektif ekologi politik maka penting untuk diulas tentang sejarah
perkembangan ekologi politik itu sendiri. Secara historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya kesosiologi lingkungan, dari sosiologi
lingkungan ke ekologi politik. Pada akhir abad 20, investasi teoritik mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan karyawan
baru social dan ekologi the dinamics of human-environment interaction sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian sosial ekologi ditelaah lebih lanjut
masalah-masalah sosial dan hukum secara societal dinamics yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi disuatu wilayah. Pada taraf lebih lanjut
metamorfosa human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology oh human ecology Miklin dan Paston dalam Dharmawan, 2007.
Penggunaan istilah ekologi politik mulai dipublikasikan di kalangan akademisi pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an sebagai respon atas penggunaan lahan
dari tinjauan ekonomi dan sebagai reaksi atas proses politik dalam memanfaatkan
7 lingkungan Peet dan Watts, 1996.
Kemudian mengalami perkembangan yang pesat sebagai sebuah pendekatan baru terhadap interaksi manusia dan lingkungan
dalam perkembangan wacana pada tahun 1990-an. Merujuk pada Blaikie dan Brookfield 1987 yang mencoba menggabungkan ekologi politik dengan
keprihatinan ekologi yang didefinisikan secara luas sebagai ekonomi politik dunia ketiga, seperti dikatakannya:
“combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together, this encompasses the constantly shifting dialectic between society
and land~based resources, and also within classes and groups within society it self.
Dari kutipan tersebut diatas, Blaikie dan Brookfield 1987 dengan ekologi politik ingin melihat interelasi antara dampak ekologis dan relasi kekuasaan sosial
ekonomi. Relasi kekuasaan di sini termasuk masalah perebutan lingkungan, yakni penggunaan lahan dan praktik pengaturan yang dominan dalam wilayah tersebut.
Sementara Peet dan Watts 1996 mendefinisikan ekologi politik sebagai:
…“a confluence between ecologically rooted social science and the principle of political economy”.
Sementara menurut Dharmawan 2007 secara politis, muculnya bidang ilmu ekologi politik tidak terlepas dari menguatnya perspektif kritis
‐alternatif yang sengaja digaungkan oleh kekuatan
‐kekuatan gerakan sosial berhaluan struturalisme
‐keras pro‐lingkungan. Lebih lanjut Dharmawan 2007 mengemukakan bahwa mereka mendesak masyarakat dunia untuk berpaling dari
perspektif mainstream pembangunanisme ‐modernisme yang telah dianggap gagal
dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan yang diambilnya sangat mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif. Oleh kelompok ini, arus
utama modernisme ‐developmentalisme yang diintroduksikan melalui “logika
rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi ide ‐ide
modernitas Euro ‐Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan
pemihakan pada lingkungan di kawasan sedang berkembang. Pada titik inilah analisis ekologi politik menjadi terasa sangat dinamik dan berbeda secara
signifikan dengan apa yang ditawarkan oleh analisis ekologi manusia serta sosiologi ekologi manusia sosiologi lingkungan yang relatif lebih statis. Nuansa
dinamis tersebut terutama ditandai oleh masuknya dua domain penting dalam analisis ekologi politik, yaitu: 1 relasi kekuasaan politik, 2 analisis konflik
ekologi.
Berangkat dari pemahaman tentang lahirnya teori ekologi politik tersebut diatas maka Bryant dan Bailey 1997 mendefinisikan ekologi politik sebagai
penyelidikan ke dalam sumber politik, kondisi dan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menimpa pada proses kesenjangan sosial-ekonomi dan proses
politik”. Dengan mengambil persoalan politik, ekologi politik mengeksplorasi bagaimana perubahan lingkungan yang ada dalam hubungan politik dan ekonomi
serta bagaimana cara perubahan tersebut mempengaruhi hubungan yang terjadi. Selanjutnya, dengan memeriksa perubahan lingkungan politik, ekologi politik
mengakui bahwa lingkungan dan pembangunan, kekayaan dan kemiskinan, sangat terkait erat Bryant dan Bailey, 1997.
Kaitannya dengan penelitian ini peneliti ingin melihat aktor yang terlibat dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau, jika dilihat dalam
terminologi ekologi politik kaitannya dengan aktor seperti yang dikatakan Bryant
8
dan Bailey, 1997 dalam ekologi politik dunia ke III,
ketika aktor
mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja
swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan
memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya untuk mengendalikan lingkungan.
Kemudian lebih lanjut Bryant dan Bailey, 1997 menyatakan bahwa pendekatan aktor untuk memahami hubungan lingkungan sumberdaya dan
manusia di dunia ke-III yang perlu dilakukan adalah pertama menganalisis peran dan kepentingan dari para aktor terpilih dalam perubahan lingkungan di negara
ke-III, kita mampu menempatkan temuan empiris dari penelitian pada level lokal dalam perpektif teoritis dan komparatif, kedua dengan mengintegrasikan
pandangan teoritis dan komparatis pada peran dan kepentingan aktor yang berbeda, kita berusaha untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang
motivasi, kepentingan dan tindakan dari para aktor, ketiga dengan menekankan pada peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan di dunia ke III, kita
mengulang kembali pentingnya politik dalam ekologi politik. Terdapat dua hal penting dalam setiap pemahaman mengenai politik yaitu 1 suatu apresiasi bahwa
politik adalah tentang interaksi antar aktor akan persoalan sumberdaya lingkungan atau lainnya; 2 Suatu pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki
kekuatan untuk bertindak demi kepentingannya.
Teori Akses dan Property
Ribot and Peluso 2003 mendefenisikan akses sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari sesuatu the ability to derive benefits
from things dalam hal ini Peluso menterjemahkan akses sebagai “sekumpulan kekuasaan” “a bundle of powers”. Akses dalam definisi Peluso ini mengandung
makna “sekumpulan kekuasaan” “a bundle of powers” berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” “a bundle of rights”.
Sehingga bila dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi
kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk relasi properti.
Sementara kekuasaan, menurut Ribot and Peluso 2003 terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian
rupa membentuk “bundel kekuasaan” bundle of powers dan “jaring kekuasaan” web of powers yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi
dari definisi Peluso ini bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan
mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan
politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan
institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda Ribot and Peluso, 2003.
Kaitannya dengan penelitian ini seperti yang diungkapkan Kuswijayanti 2007 yang meneliti tentang konservasi sumberdaya alam di taman nasional
gunung merapi : analisis ekologi politik, bahwa analisis akses digunakan untuk
9
menganalisa konflik terhadap sumberdaya tertentu [Nikel]. untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana konflik bisa menjadi sarana antar aktor yang
berbeda-beda dalam memperoleh keuntungan atau kehilangan sumberdaya baik yang tangible maupun intangible. Analisis akses juga dapat digunakan untuk
menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu atau tidak mampu memperoleh, memelihara atau mengendalikan akses sumberdaya
atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya.
Berangkat dari pemahaman tersebut diatas Ribot and Peluso 2003 menjelaskan lebih lanjut bahwa kemampuan untuk mengelola sumberdaya dalam
menyelesaikan hambatan-hambatan pada persoalan spesifik baik itu secara politik, ekonomi serta budaya dapat dilihat dalam bentuk atau pola yang disebut
“structural and relational mechanisms of access”.
Kaitannya dengan hal tersebut maka dalam konteks penguasaan sumberdaya alam Hanna et al. 1996 membagi 4 tipe hak kepemilikan dalam
sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu 1 hak kepemilikan pribadi private property regime; 2 hak kepemilikan bersama common property regime; 3
hak milik negara state property regime; dan tanpa hak milik open acces regime. Karateristik dari masing-masing tipe rezimpenguasaan tersebut
berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemilik serta tugas-tugas pemilik disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam
berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya. Tipe Penguasaan
Pemilik Hak Milik
Kewajiban Pemilik Hak Milik
Pribadi Individu
Penggunaan secara sosial, kendalikontrol akses
Penghindaran secara sosial
tidak dapat
diterima Hak milik
bersama Kolektif
Pengaturan bukan
pemilik Pemeliharaan;
menghambat tingkat
penggunaan Hak milik
Negara Warga
negara Menentukan aturan
Memelihara tujuan
sosial secara objektif Tanpa hak
Milik Tidak
ada Menangkap
Tidak ada Sumber : Hanna et al. 1996
Sementara itu Ostrom and Schhlager 1992 mengelompokkan setiap individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak kepemilikan terhadap
sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut : 1.
Hak atas akses rights of access, yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diizinkan authorized users, pemakai atau
penyewa claimant, kepunyaan propeitors, dan pemilik owners. 2.
Hak pemanfaatan rights of withdrawal, yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa,
kepunyaan, dan pemilik. 3.
Hak pengelolaan rights of management, yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumber daya yang ada untuk tujuan tertentu,
berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
10
4. Hak pembatasan rights of exclusion, yaitu hak untuk membatasi akses pihak
lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.
5. Hak pelepasan rights of alienation, yaitu hak untuk melepaskan penguasaan
atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim
sebagai miliknya.
Teori Konflik
Konflik sumberdaya
nikel merupakan
cerminan pengelolaan
pertambangan yang muncul akibat perbedaan pendapat dikalangan pemangku kepentingan baik itu pemerintah, perusahaan maupun masyarakat. Kondisi ini tak
jarang, pertambangan selalu menawarkan manfaat yang potensial bagi masyarakat ataupun atas nama kepentingan negara baik itu dalam hal perekrutan tenaga kerja,
pendapatan negara maupun sebagai investasi bagi masyarakat dipedesaan. Namun demikian, hal tersebut selalu dibarengi dengan isu seputar hak atas tanah, akses
sumberdaya, distribusi kekayaan kesenjangan ekonomi hingga pencemaran lingkungan. Kesemua isu tersebut merujuk dalam bentuk konflik pada masyarakat
lingkar tambang yang kemudian memunculkan kerentanan sosial pada komunitas lokal.
Fisher et al. 2001 menguraikan bahwa untuk membantu dalam memahami cara-cara memahami konflik salah satunya melalui teori Kebutuhan
Fisher et al. 2001 yaitu konflik yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dan pemerintah terjadi karena kebutuhan masyarakat lokal yang tidak memperoleh
tempat sebagaimana harapan dan persepsi mereka tentang hak milik dan hak untuk berkehidupan, pada lahan dan tempat yang mereka pahami sebagai tanah
leluhur yang harus mereka peroleh, dan pertahankan, sedangkan dalam konsepsi pemerintah, masyarakat adat dapat mengancam keutuhan kawasan konservasi.
Akibat dari dua kebutuhan yang bertentangan tersebut menciptakan kondisi dan situasi konflik yang menempatkan masyarakat adat dalam sub ordinasi kekuasaan
dan kesewenangan yang menciptakan kemiskinan.
Kemudian untuk lebih memahami dan mendalami konflik yang terjadi, Fisher et al. 2001 memperkenalkan beberapa alat bantu unntuk menganalisis
situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda.
Tahap-tahap ini adalah: 1.
Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat
ketegangan hubungan diantara beberapa pihak danatau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
2. Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu
pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal
11
diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
4. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa
perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan
pertikaian.
5. Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan
masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-
konflik.
Dari kerangka teoritik yang dikemukakan oleh Fisher et.al 2001 di atas, menegaskan kepada kita bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam
memahami terjadinya suatu konflik yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi melalui serangkaian tahapan
proses, mulai dari pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat, sampai kepada pasca konflik.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini mencoba melihat sejarah penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam dilokasi studi. Sehingga dengan mengetahui sejarah tersebut
perubahan hak properti sumberdaya alam dapat diuraikan. Kemudian penyebab yang melatar belakangi terjadinya konflik pertambangan nikel di Kota Baubau
serta aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Setelah aktor-aktor tersebut diketahui maka langkah selanjutnya adalah mengetahui bagaiman aktor-aktrot tersebut
membangun jejaring diantara mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Bryant dan Bailey,
1997 dalam
ekologi politik
dunia ke
III aktor
ketika mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan
lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja Swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk
mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya
untuk mengendalikan lingkungan.
Kaitannya dengan ekologi politik pertambangan di Kota Baubau dalam penelitian ini, keberadaan sumber daya alam [nikel] di Kota Baubau yang telah
dikelola pemanfaatannya oleh pihak swastacorporation lihat hal-1 menjadi arena aktor Pemerintah,Swasta,LSM dan Civil Society dan jejaring aktor dalam
membentuk konflik sumberdaya [nikel]. Untuk menguak potret konflik sumberdaya nikel tersebut dapat dilihat dari pola akses terhadap sumberdaya
alam. Artinya bahwa konflik sumberdaya nikel lahir dapat dilihat dari akses oleh aktor terhadap sumberdaya nikel yang melahirkan kesenjangan ekonomi antar
aktor dan persoalan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam memberi sumbangsi signifikan misalnya dikeluarkannya IUP Eksplorasi oleh pemerintah daerah
tentunya hal ini erat kaitannya dengan basis legitimasi pemerintah yang ditinjau dari sisi konstitusi legal formal. Berangkat dari posisi tersebut kemudian studi
ini mencoba untuk memahami bagaimana ekologi politik pertambangan di Kota Baubau?. Untuk itu berikut akan disajikan kerangka pemikiran dari penelitian ini
Gambar 2.1.
12
Gambar 2. 1. Kerangka pemikiran penelitian ekologi politik pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara
Konflik Pertambangan
Perubahan akses SDA Bundle of power
Perubahan relasi kekuasaan antar aktor
Perubahan hak properti SDA
13
III. METODOLOGI PENELITIAN