PENDAHULUAN Political Ecology of Mining in Baubau South East Sulawesi province.

1

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Pada mulanya Kota Baubau adalah pusat kerajaan atau Kesultanan Buton yang pernah berjaya sejak abad ke-13 hingga abad ke-20. Wilayah kekuasaannya meliputi pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga 1 . Masa kesultanan tersebut berakhir pada tahun 1960 2 sebagai akibat dari proses “democratieseering” yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat itu. Pada awal tahun 1951, dilaksanakan “democratieseering” yaitu proses untuk mewujudkan demokratisasi di bekas daerah-daerah kerajaan swapraja. Hal ini ditandai dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan berganti kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1952 Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara 3 . Pada tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi 4 empat Kabupaten yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Ketika dilakukan pemekaran tersebut Kota Baubau berubah menjadi ibukota Kabupaten Buton. Kemudian pada tahun 1964 dibentuklah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964. Selama kurang lebih 42 tahun Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Buton maka pada tanggal 3 November 1981 Kota Baubau ditetapkan sebagai Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1981. Pada tanggal 17 Oktober tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001 Baubau mekar dari kabupaten Buton menjadi daerah otonom baru. Daerah Kota Baubau awalnya terdiri dari 4 empat kecamatan yaitu Kecamatan Wolio, Betoambari, Sorawolio dan Kecamatan Bungi. Sejak tahun 2006 Baubau mengalami pemekaran wilayah menjadi 6 enam kecamatan dan menjadi 7 tujuh kecamatan diakhir tahun 2008 dengan luas wilayah 221 km 2 . Ketujuh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Betoambari, Murhum, Wolio, Kokalukuna, Sorawolio, Bungi dan Kecamatan Lea-Lea Baubau dalam Angka, 2012. Setelah kota Baubau ditetapkan sebagai daerah otonom baru, dalam sistem disentralisasi sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah maka memungkinkan pemerintah daerah mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan Sumberdaya Alam SDA dan lingkungannya. Kondisi ini ikut mendorong pemerintah Kota Baubau melakukan ekspansi pengelolaan sumberdaya alam berbasis tambang ekstraktif. 1 Wilayah bekas kesultanan tersebut kini telah mekar menjadi wilayah beberapa daerah tingkat II yakni Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Muna. 2 Kesultanan Buton terakhir yaitu sultan ke 38 3 Tercatat bahwa ada lima orang Bupati Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Baubau saat itu yakni Achmad Marzuki Daeng Marala asal Sulawesi Selatan, R. Pusadan asal Sulawesi Utara,Abdul Pattaropoera asal Sulawesi Tengah, Muh Amin Daeng Soero asal Sulawesi Selatan dan La Ode Manarfa asal Sulawesi Tenggaraanak sultan ke-38 2 Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan kuasa pertambangan kepada pihak korporasi untuk melakukan kegiatan ekplorasi sumberdaya nikel. Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Walikota Baubau No 54516211EUD2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT Bumi Inti Sulawesi PT BIS di Kecamatan Sorawolio. Keputusan pemerintah daerah tersebut merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Adapun yang menjadi alasan pemerintah daerah yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah PAD untuk membiayai pembangunan di daerah. Pemanfaatan sumberdaya nikel oleh pihak swasta merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah Kota Baubau terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan lokasi sumberdaya nikel yang akan dieksploitasi tersebut bagi masyarakat merupakan sumber mata air dan dilindungi oleh masyarakat. Kondisi ini memicu terjadinya konflik pertambangan di Kota Baubau yang melibatkan komunitas masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Mahasiswa, pemerintah daerah dan korporasi. Beberapa isu pengelolaan sumberdaya alam yang memicu konflik tersebut antara lain: Pertama; Isu lingkungan atau persoalan hidrologi 4 . Bagi masyarakat lingkar tambang 5 sumberdaya dilokasi tambang nikel tersebut merupakan hajat hidup mereka karena merupakan sumber mata air. Sehingga dengan adanya kegiatan PT BIS dalam melakukan kegiatan eksplorasi ataupun eksploitasi akan menimbulkan dampak terhadap terjadinya banjir dan kekeringan. Hal ini seperti disampaikan oleh DYM Ketua Forum Badan Keswadayaan Masyarakat FBKM yang disitir melalui media massa Radar Buton, Kamis, 7 Februari 2008 bahwa : “....Sebelum kawasan hutan dijadikan lokasi pertambangan kondisi alam sudah tidak bersahabat. Dimusin penghujan, jika hujan sehari akan terjadi banjir dan disaat kemarau, panas seminggu, sebagian areal persawahan akan mengering. “Apalagi kawasan jika kawasan hutan yang ada itu dijadikan areal pertambangan jelas akan menimbulkan bencana besar”. Kemudian diareal pertambangan terdapat dua hulu sungai yang menjadi tumpuan para petani....” Kedua; Persoalan regulasi, kegiatan eksplorasi tambang nikel PT BIS seharusnya belum dapat dilakukan karena belum mendaptkan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana yang dipersyaratan dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian berkaitan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota 4 Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi,terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisiknya dan reaksi dengan lingkungannya termasuk hubunganya dengan makhluk hidup International Glossary of Hidrology,1974 dalam Seyhan.E, 1990. Istilah hidrologi hutan dalam penelitian karena isu yang terjadi terkait materi konflik yang terjadi di lokasi studi salah satunya adalah banjir. Hal ini berkaitan dengan prinsip hidrologi atau perlakuan hutan terhadap prilaku hidrologi. Seyhan.E, 1990 menyatakan bahwa untuk menghubungkan perlakukan hutan terhadap prilaku hidrologi maka hal-hal umum yang terjadi dan diterima bersama yaitu 1 penggunaan vegetasi penutup hutan akan meningkatkan produksi air water yield, 2 tumbuhnya vegetasi penutup hutan akan menurunkan produksi air, 3. Di beberapa tempat akar-akar tanaman mengambil air tanah sedangkan penghilangan vegetasi penutup akan menurunkan evapotraspirasi dan akibatnya akan meningkatkan debit aliran sungai, 4. Evaporasi dari tanah yang gundul dan serasah akan meningkat setelah penghilangan vegetasi penutup hutan, dan 5 penghilangan hutan meningkatkan kisaran antara aliran sungai yang tinggi dan yang rendah, akibatnya meningkatkan aliran yang maksimum. 5 Adapun yang dimaksud dengan masyarakat lingkar tambang disini adalah masyarakat yang pemukimannya berada di sekitar lokasi tambang dan memilik pengaruh kuat terhadap potensi dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan yaitu masyarakat di kecamatan Sorawolio, kecamatan Bungi ,Kecamatan Lealea dan kecamatan Kokalukuna. 3 Baubau tahun 2003-20012 Perda No 2 Tahun 2004 bahwa lokasi pertambangan nikel PT BIS peruntukannya sebagai kawasan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sehingga lokasi pertambangan nikel PT BIS tidak sesuai dengan RTRW tahun 2003-2012. Selain hal tersebut persoalan regulasi terkait dengan AMDAL, bahwa komunitas memahami kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT BIS belum memiliki dokumen AMDAL. Ketiga; persoalan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, masyarakat sekitar lokasi pertambangan nikel Kecamatan Sorawolio memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistennya yaitu melalui pencarian rotan dan pengambilan madu dari lebah. Hal ini menjadi salah isu dengan hadirnya pertambangan nikel di Kota Baubau. Perubahan kewenangan yang memicu konflik serta kekuasaan atas sumberdaya alam menjadi faktor penting dalam perubahan-perubahan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam konteks ini, keinginan untuk mengelola pertambangan nikel yang dikelola oleh swasta di Kota Baubau melahirkan kebijakan tentang perubahan peruntukan kawasan. Perubahan tersebut yaitu dari kawasan yang peruntukannya pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam RTRW 2003-2012 Perda No 2 tahun 2004, kemudian ditambahkan sebagai kawasan pertambangan dalam RTRW 2012-2030 Perda No 1 tahun 2012. Hal ini memicu terjadinya konflik pada aras hulu sedangkan pembebasan lahan untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus 6 merupakan materi konflik agraria terjadi pada aras hilir. Dari berbagai isu yang telah dituliskan di atas seperti yang dikatakan oleh Bryant dan Bailey 1997 bahwa masalah lingkungan terutama di negara dunia ketiga adalah gambaran bagaimana lingkungan dibentuk dan berubah pada skala berbeda dalam hubungannya dengan masalah-masalah fisik maupun hubungan antar aktor. Aktor-aktor yang terlibat mulai dari tingkat lokal, pusat sampai internasional, yaitu negara, kelompok akar rumput, bisnis, lembaga multilateral maupun LSMNGO. Masing-masing aktor memberikan kontribusi, dampak dan penyelesaian untuk masalah lingkungan secara berbeda. Artinya, dampak masalah lingkungan terutama di tingkat lokal mempunyai pengaruh baik pada negara maupun kelompok akar rumput, yaitu negara kehilangan potensi sumber pendapatan dan kelompok akar rumput selain kehilangan sumber pendapatan, kehilangan produk hutan juga kehilangan cara hidupnya dalam berinteraksi dengan sumberdaya alamnya. Sementara Eckersley 1992 menyatakan bahwa, pertama masalah lingkungan ini bukan hanya sebagai terjadinya degradasi lingkungan saja tetapi, masalah lingkungan sebagai suatu krisis partisipasi berkaitan dengan isu partisipasi warga dan keadilan sosial; kedua, masalah lingkungan sebagai suatu krisis kehidupan keterbatasan pertumbuhan dan meningkatnya kejadian degradasi lingkungan; dan ketiga, masalah lingkungan sebagai suatu krisis budaya dan karakter serta kesempatan untuk emansipasi alienasi, kehilangan makna, secara 6 Terminal khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan yaitu terminal yang terletak di luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. Sementara Terminal untuk kepentingan sendiri adalah terminal yang terletak di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. 4 bersamaan terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang luar biasa, kerusakan budaya, meningkatnya monokultur urban yang secara serentak mengurangi keragaman budaya. Dalam konteks penelitian ini maka menarik untuk ditelaah lebih jauh terkait dengan ekologi politik, kekuasaan dan konflik pertambangan nikel di Kota Baubau. Hal inilah alasan sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Perumusan Masalah Konflik pertambangan di Kota Baubau muncul akibat ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya nikel di lokasi pertambangan. Ketidakadilan ini hadir ketika pemerintah daerah memberikan izin kuasa pertambangan eksplorasi kepada PT BIS. Melalui surat keputusan walikota Baubau No 54516211EUD2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT BIS di Kecamatan Sorawolio. Berkaitan dengan regulasi, pada tahun 2007 PT BIS seharusnya belum dapat melakukan kegiatan eksplorasi. Hal ini disebabkan karena PT BIS belum mendapatkan rekomendasi persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel didalam kawasan hutan produksi terbatas dari Kementerian Kehutanan. Kemudian lokasi pertambangan nikel PT BIS disinyalir tidak sesuai dengan RTRW Kota Baubau tahun 2003-2012 Perda No 2 tahun 2004. Implikasi dari hal tersebut, melahirkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa,LSM dan masyarakat. Kemudian untuk dapat melakukan kegiatan ekspor sumberdaya nikel maka PT BIS memerlukan lahan untuk membangun jalan menuju terminal khusus. Kegiatan pembebasan lahan inilah menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Hal ini merealitas dalam bentuk konflik horisontal antar masyarakat. Reaksi yang terjadi akibat kegiatan pembebasan lahan tersebut yaitu aksi demonstrasi baik pro maupun kontra, penyegelan kantor lurah serta pelemparan rumah masyarakat yang pro terhadap tambang serta teror. Keputusan pemerintah daerah tersebut di atas merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Bagi pemerintah daerah pemanfaatan sumberdaya nikel tersebut sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah PAD untuk membiayai pembangunan di daerah. Sementara bagi sebagian komunitas, dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut akan minimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan yaitu banjir dan kekeringan. Konflik pertambangan di Kota Baubau sebagaimana telah diuraikan diatas hadir akibat bentuk ketidakadilan ketika pemerintah daerah memaksakan untuk memanfaatakan potensi sumberdaya nikel yang ada. Dimana bagi masyarakat lokasi tersebut merupakan sumber mata air penduduk. Kemudian beberapa isu lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara lain 1 hadirnya pihak swasta dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam pertambangan nikel atau pemicu terjadinya konflik, 2 persoalan regulasi, terkait dengan RTRW, pinjam pakai kawasan hutan dan AMDAL, 3 Pencemaran lingkungan atau persoalan hidrologi, terkait dengan wacana banjir dan kekeringan akibat kegiatan ekplorasi dan operasi produksi pertambangan nikel 4 persoalan pembebasan lahan, terkait dengan pro dan kontra oleh komunitas dan 5 persoalan akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat petani rotan dan madu lebah. Untuk 5 itu penting dilihat bagaimana penyebab terjadinya konflik tersebut dalam perspektif ekologi politik. Namun untuk menelusuri dan memahami penyebab terjadinya konflik dan aktor yang terlibat dalam konflik pertambangan di Kota Baubau, beberapa point pertanyaan berikut perlu terungkap dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana sejarah penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam SDA di Kota Baubau? 2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau dan bagaimana relasi kekuasaan yang dibangun oleh aktor tersebut serta apa yang menjadi latar belakang penyebab timbulnya konflik pertambangan di Kota Baubau serta ? Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian tentang ekologi politik pertambangan di Kota Baubau ini yaitu : 1. Mengetahui sejarah penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. 2. Mengetahui aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau dan relasi kekuasaanya serta menganalisis konflik pertambangan nikel yang terjadi di Kota Baubau. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA