Berpikir Itu Fitrah Umat Islam

5.3 Berpikir Itu Fitrah Umat Islam

Bagi umat Islam, berpikir merupakan suatu keharusan seperti yang tercantum didalam ayat- ayat Al Qur’an misalnya pada QS 89:23-24, QS 44:38-39, QS 23:115. Yang paling mendasar adalah memikirkan dan merenungkan penciptaan diri mereka sendiri dan alam semesta. “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?”, demikian Allah SWT berfiman di dalam surat Ar-Ruum (QS 30:8). Lebih jauh lagi, Syekh Ibnu Athaillah Al-Sakandari, mursyid ke-3 tarekat Syadziliyah menyebutkan dalam kitab al-Hikam [12] :

“Allah mengizinkanmu merenungkan apa-apa yang berada dalam alam ini, namun Dia tidak mengizinkanmu berhenti pada benda-benda alam yang itu-itu saja.

”Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi’.”

Dan juga dalam surat Yunus Allah berfirman,

“Perhatikanlah apa yang ada di langit” (QS 10:101).

Dia telah membukakan pintu jalan pengertian bagimu. Karena itu ketika Allah SWT berfirman “Perhatikanlah langit itu”, hal ini tidak menunjukkanmu pada adanya benda- benda semata.

Dengan kata lain, Allah menyarankan kita untuk merenung sebenarnya berhubungan dengan suatu metode praktis untuk berpikir secara mendalam (deep thinking) tentang ciptaan Allah, yaitu manusia dan alam semesta, sebagai pintu gerbang paling depan untuk masuk menuju jalan yang mengarahkan manusia kepada Allah SWT.

Merenung sebenarnya identik dengan mengingat (dzikir), sehingga merenungkan ciptaan Allah sama dengan mengingat Allah, sehingga ia yang merenung mampu membuka berbagai pengertian tentang Kemahabesaran dan Kemahakuasaan Allah. Karena itu, sebisa mungkin merenung dan berpikir secara mendalam menjadi corak kehidupan kita sehari-hari.

Perenungan sehingga hakikat kebendaan semua makhluk tersingkap merupakan petunjuk jalan menuju Allah SWT. Hal ini merupakan suatu kenyataan karena semua makhluk sebenarnya mengandung aspek al-Bathin dan azh-Zhahir, yang tidak lain adalah dua Asma Allah yang mencerminkan Keimanan Islam dan diambil langsung dari surat Al-Hadiiid [57] : 3 sebagai suatu ungkapan tauhid :

“Dialah, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; Dan Dia Maha Mengetahui segala

sesuatu”.

Ayat diatas merupakan fondasi atau landasan musyahadah Umat Islam untuk menyingkapkan jatidirinya dan Tuhannya melalui suatu proses yang sebenarnya menjadi bagian dari ayat-ayat suci al-Qur’an yang disebut sebagai penyucian atau pemurnian jiwa (QS 91:7-10) sebagai suatu metode atau cara untuk memurnikan kembali nafs-nya kedalam wilayah yang lebih lembut dan halus (QS 91:7-10)). Metode yang dikembangkan selama berabad-abad ini telah dikenal baik di kalangan Umat Islam dan kemudian muncul menjadi suatu cabang ilmu sendiri yaitu Tasawuf atau seringkali disebut sebagai Sufisme.

Para orientalis dari ilmuwan barat sering mengungkapkan sufisme atau tasawuf sebagai jalan Mistik Islam. Konotasi mistik ini sebenarnya Para orientalis dari ilmuwan barat sering mengungkapkan sufisme atau tasawuf sebagai jalan Mistik Islam. Konotasi mistik ini sebenarnya

Puasa merupakan salah satu formalisasi metode pemurnian jiwa yang telah dinyatakan secara syariat sebagai suatu kewajiban. Namun metode tasawuf yang saat ini berkembang dalam wadah tarikat-tarikat memiliki metode unik masing- masing untuk melakukan aktivitas pemurnian jiwa dengan tujuan seperti diungkapkan dalam QS 57:3. Ruh dari semua itu sebenarnya adalah meng-Esa- kan Tuhan seperti ruh menyaksikan di alam alastu (QS 7:172). Dengan peng-Esa-an langsung, kenangan atau memori inheren manusia beriman diaktifkan kembali. Dari aktivasi itu, maka semua atribut Tuhan yang dikenal sebagai asma, sifat dan Perbuatan-Nya diaktualisasikan menjadi kemuliaan akhlak manusia. Karena itu, seringkali tasawuf pun dikatakan sebagai ilmu tentang pembinaan Puasa merupakan salah satu formalisasi metode pemurnian jiwa yang telah dinyatakan secara syariat sebagai suatu kewajiban. Namun metode tasawuf yang saat ini berkembang dalam wadah tarikat-tarikat memiliki metode unik masing- masing untuk melakukan aktivitas pemurnian jiwa dengan tujuan seperti diungkapkan dalam QS 57:3. Ruh dari semua itu sebenarnya adalah meng-Esa- kan Tuhan seperti ruh menyaksikan di alam alastu (QS 7:172). Dengan peng-Esa-an langsung, kenangan atau memori inheren manusia beriman diaktifkan kembali. Dari aktivasi itu, maka semua atribut Tuhan yang dikenal sebagai asma, sifat dan Perbuatan-Nya diaktualisasikan menjadi kemuliaan akhlak manusia. Karena itu, seringkali tasawuf pun dikatakan sebagai ilmu tentang pembinaan