Kebijakan Moneter

9.1 Kebijakan Moneter

Laporan Perekonomian Indonesia 2012 • BAB 9 177

sentimen pasar seiring dengan spekulasi keluarnya Yunani dari Uni Eropa (Grexit). Menanggapi perkembangan tersebut, sejak Maret 2012 Bank Indonesia memandang bahwa level BI Rate sebesar 5,75% cukup ideal untuk menjaga perimbangan antara tujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, menjangkar ekspektasi inlasi masyarakat, dan memelihara tingkat kepercayaan pelaku pasar. Sementara itu, manuver kebijakan untuk meredam kenaikan risiko inlasi dalam jangka pendek dan mendukung pengelolaan keseimbangan eksternal dilakukan melalui langkah penguatan operasi moneter. Pilihan kebijakan tersebut dilandasi keyakinan bahwa sumber tekanan ekspektasi inlasi bersifat temporer dan belum membahayakan tujuan pencapaian sasaran inlasi selama gejolak dimaksud dapat diantisipasi lebih dini. Dalam perjalanannya, respons kebijakan tersebut cukup efektif di dalam menjangkar kembali ekspektasi inlasi ke lintasan sasarannya sebagaimana diindikasikan oleh sejumlah hasil survei ekspektasi harga. Selain itu, gejolak ekspektasi inlasi yang kembali mereda juga sangat dipengaruhi oleh pembatalan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Memasuki semester II 2012, perekonomian Indonesia dihadapkan pada meningkatnya risiko ketidakseimbangan eksternal. Di satu sisi, deisit neraca transaksi berjalan cenderung melebar, sementara di sisi lain, pembiayaan deisit terkendala oleh keterbatasan arus masuk modal asing menyusul memburuknya sentimen global serta harga aset rupiah yang dipersepsikan terlalu mahal. Menanggapi perkembangan tersebut, Bank Indonesia mengambil langkah taktis di area moneter berupa penyempitan koridor bawah suku bunga operasi moneter Bank Indonesia sebesar 25 bps menjadi 4,00% pada Agustus 2012. Langkah tersebut diikuti dengan penguatan struktur suku bunga instrumen moneter yang sekaligus berperan sebagai komplemen bagi kebijakan nilai tukar. Penguatan struktur suku bunga jangka pendek diharapkan dapat ditransmisikan ke struktur suku bunga pasar uang dan pasar obligasi secara menyeluruh sehingga aset rupiah dapat

kembali kompetitif sekaligus mampu mendongkrak pasokan valas di pasar keuangan domestik.

Respons kebijakan penyempitan koridor bawah suku bunga operasi moneter tersebut berjalan cukup efektif. Menipisnya spread imbal hasil SBN tenor panjang dengan tenor pendek pasca-langkah penguatan struktur suku bunga mereleksikan efektivitas langkah kebijakan dimaksud dalam mendorong kenaikan struktur suku bunga secara menyeluruh. Menyusul perkembangan tersebut, modal asing kembali mengalir ke aset rupiah. Sejumlah faktor eksternal juga turut mendorong perbaikan persepsi risiko pelaku pasar keuangan. Langkah stimulus moneter oleh sejumlah bank sentral negara-negara maju, khususnya Quantitative Easing ketiga (QE-3) oleh Bank Sentral Amerika Serikat memberi andil yang sangat signiikan dalam memulihkan kembali risk appetite pelaku pasar global untuk berinvestasi di aset-aset emerging markets termasuk di dalamnya, aset rupiah.

Secara menyeluruh, respons kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 dapat dinilai cukup ampuh dalam mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi, menjaga tingkat kepercayaan pelaku pasar, dan mendukung upaya penyesuaian keseimbangan eksternal secara bertahap. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2012 tetap mampu melaju di atas 6%. Indonesia bahkan tercatat menjadi satu dari sedikit negara di kawasan yang masih mampu melaju cukup cepat ditengah beratnya dampak perlambatan ekonomi global. Selain itu, gairah berinvestasi di aset rupiah juga dapat terus terpilihara dan pada gilirannya turut mendukung kecukupan pembiayaan deisit transaksi berjalan.

178 Laporan Perekonomian Indonesia 2012 • BAB 9

perlambatan ekonomi global. Stabilitas nilai tukar rupiah juga berperan dalam meredam gejolak peningkatan ekspektasi inlasi masyarakat yang sempat melonjak menyusul ketidakpastian rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Tekanan terhadap nilai tukar memuncak di pengujung terakhir semester

I 2012 seiring dengan memburuknya sentimen pelaku pasar global akibat ketidakpastian resolusi krisis di Uni Eropa dan semakin terbatasnya pasokan valas seiring dengan mulai memburuknya deisit neraca transaksi berjalan.

Kondisi ketidakseimbangan eksternal terus berlanjut di paruh kedua tahun 2012. Sementara itu, kondisi pasar valas domestik yang masih dangkal seringkali memicu keketatan likuiditas valas meski ketersediaan pasokan valas masih cukup memadai.

Menanggapi perkembangan tersebut, Bank Indonesia merumuskan kebijakan pengelolaan arus modal yang ditujukan untuk memperdalam pasar valas di domestik. Dalam rangka penguatan pasokan valas yang lebih berkesinambungan Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mulai efektif pada Januari 2012. (lihat Boks 9.2). Berdasarkan kebijakan tersebut, eksportir wajib menerima seluruh DHE melalui bank devisa di Indonesia paling lama 90 (sembilan puluh) hari

setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) 1 . Selanjutnya, dalam rangka pengayaan instrumen valas di pasar domestik, sejak Juni 2012 Bank Indonesia membuka lelang Term Deposit berdenominasi valas (TD valas) yang dapat menjadi outlet penempatan likuiditas valas milik perbankan, termasuk devisa yang berasal dari hasil ekspor. Selain berperan untuk memperkuat cadangan devisa, lelang TD valas juga berfungsi sebagai saluran intermediasi pasokan valas secara tidak langsung dari kelompok bank yang memiliki kelebihan likuiditas valas ke kelompok bank

1 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/20/PBI/2011 menyebutkan bagi PEB yang dikeluarkan tahun 2012, DHE wajib diterima eksportir melalui bank devisa dalam negeri paling lama

6 (enam) bulan setelah tanggal PEB. Dengan demikian, DHE atas PEB Januari 2012 harus sudah diterima pada Juli 2012.

Strategi kebijakan nilai tukar rupiah selama tahun 2012 diarahkan untuk tetap mendukung pengendalian inlasi serta tercapainya stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan. Di sepanjang tahun 2012, nilai tukar rupiah cenderung mengalami tekanan depresiasi dengan intensitas yang cukup besar seiring dengan terganggunya keseimbangan eksternal. Kuatnya permintaan domestik di tengah perlambatan ekonomi global serta masih tingginya sentimen pelaku pasar terhadap dinamika pemulihan ekonomi global berdampak pada tingginya permintaan valuta asing (valas) yang sekaligus mengeskalasi tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah.

Menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia menempuh langkah stabilisasi nilai tukar rupiah yang berpegang pada konsistensi arah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap kondisi fundamentalnya. Dalam kaitan tersebut, Bank Indonesia memberikan ruang penyesuaian yang lebih besar bagi nilai tukar sebagai daya dukung terhadap penyesuaian ketidakseimbangan eksternal. Pada saat yang sama Bank Indonesia melakukan langkah stabilisasi nilai tukar melalui intervensi valas secara terukur untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan dan memastikan berlangsungnya proses penyesuaian secara teratur. Bank Indonesia juga menempuh sejumlah kebijakan di area pengelolaan arus modal melalui langkah pendalaman pasar valas sebagai komplemen dari langkah stabilisasi nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut ditujukan untuk memperkuat struktur pasokan devisa sekaligus mendorong pendalaman pasar valas di dalam negeri.

Pada semester I 2012, Bank Indonesia mengarahkan kebijakan nilai tukar untuk menjaga kepercayaan pelaku bisnis dan meredam peningkatan risiko inlasi dalam jangka pendek. Nilai tukar yang stabil tentunya dibutuhkan dalam memelihara tingkat kepercayaan pelaku usaha, khususnya di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak