Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi)

2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi)

Pengarang melalui tahap pengendapan dalam proses penciptaan karya sastra sebelum akhirnya menuliskan apa yang telah menjadi gambaran pengarang.

Masa pengendapan adalah tahapan yang dilakukan dengan mencari,

mengumpulkan, mengolah, sekaligus memikirkan hal-hal yang dianggap perlu untuk memperkuat ide pengarang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari tahapan-tahapan tersebut adalah, (1) mencari adalah beusaha mendapatkan (menemukan, memperoleh), (2) mengumpulkan adalah membawa sesuatu dan menyatukan dengan yang lain agar dapat berkumpul, (3) mengolah adalah memasak (mengerjakan, mengusahakan) sesuatu (barang dsb) supaya menjadi lain atau lebih sempurna, dan (4) memikirkan di sini adalah mencari upaya untuk

commit to user commit to user

Pengertian-pengertian tersebut dalam kaitannya dengan masa pengendapan merupakan tahapan yang harus dilalui sebelum pada akhirnya menuliskan. Tidak sulit bagi Dinda Natasya untuk mencari dalam tahapan ini, karena ia banyak mendapat inspirasi dari pengalaman hidup baik diri sendiri maupun orang lain. Dari pengalaman pendengar dan “pasien-pasiennya” itu dengan tidak disadari telah terkumpul banyak hal sehingga menjadi konsep berpikir Dinda Natasya. Kemudian Dinda Natasya mengolahnya sekaligus memikirkan dengan memilah-milah hal-hal yang dianggap perlu dalam membagikan konsep berpikirnya tentang pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam tulisan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Salah satu yang menjadi cerminan dari hal tersebut terdapat dalam pernyataan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yaitu Catatan Lain Tentang Penjara. Terdapat suatu pernyataan tentang pengalaman Dinda Natasya yang menghasilkan puisi Mimpi 18 Hari (hal 15) dan kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14) itu sendiri, berikut kutipannya.

...Ini adalah pengalamanku ketika aku banyak mendengar suara-suara dari balik penjara. Merasakan pahit getirnya kehidupan dan indahnya persahabatan yang tersampaikan lewat forum curhat baik yang melalui SMS, telepon pribadi ataupun yang online melalui acara di radio. Aku seakan tinggal di dalam (ruang tahanan) selama 18 hari (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:13).

Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang, dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa pengendapan ini biasanya konsentrasi penulis hanya pada gagasan itu saja. Di

commit to user commit to user

Pada beberapa karya Dinda Natasya merupakan curahan hatinya ketika berhadapan atau merasakan suatu keadaan yang mengganggu pikirannya. Menurutnya, menulis adalah cara pelampiasan untuk menjadikan perasaan dan pikiran negatif menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dan juga dirinya secara pribadi. Dinda Natasya mengaku tidak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak. Juga apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak oleh pembaca (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).

Cara yang dilakukan Dinda Natasya tersebut merupakan kompensasi sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis yaitu penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan (Dendy Sugono, 2008:635). Bentuk pelampiasan yang dilakukan Dinda Natasya ini sebagai pengalihan dari pikiran negatifnya terhadap suatu keadaan yang kemudian diolah dan dituangkan ke dalam tulisannya agar lebih bermanfaat untuk pembacanya. Namun tidak semua pemikiran setiap pembaca itu sama, karena pembaca memiliki cara pandang yang berbeda. Cara pandang tersebut juga bergantung pada latar belakang kehidupan, wawasan, dan pengalaman hidup pembaca sehingga mempengaruhi daya tangkap mereka. Dalam kaitannnya dengan hal tersebut, peneliti dapat menangkap hal positif dari hasil bacaannya sehingga dapat menjadi hal yang lebih bermanfaat dan dijadikan sebagai

commit to user commit to user

Hal di atas tercermin dalam puisi Dinda Natasya yaitu Kalah (hal 70-71) dan Puisi Para Mantan (hal 112-113), berikut kutipannya. KALAH

Ya Allah Engkau mengajariku cinta Dalam kegalauan mencoba mencari Apa makna yang telah kau beri Tentang memberi dan menerima Tentang ketulusan dan keikhlasan

Ya Allah Hari ini aku tersesat jauh Dalam perjalananku meraih cintamu Seseorang datang menghadang langkahku Aku gagal mendapatkanmu Karena aku memberi seluruh cintaku Dan menerima fatamorgana ini Yang telah menjauhkanku darimu

Ya Allah Inilah tipu muslihat cinta Yang ku lihat adalah kesenangan dunia Kebahagiaan semu yang ternyata membuatku menderita Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu

Ya Allah Jika akhirnya tangis dan sesal Tak bisa lagi menolong Siapakah yang akan selamatkanku dari siksa ini Jika bukan karena kasih sayangmu Ampunilah aku ya Tuhanku Karena cinta ini telah membutakan matahatiku

Ya Allah Bebaskan aku dari penjara cinta ini

commit to user

Biarkan aku kembali padamu Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini Karena mencintainya melebihi cintaku padamu Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71).

Puisi di atas merupakan curahan hati Dinda Natasya yang menuliskan tentang kekalahan manusia, ketika manusia itu kalah dalam menempatkan dirinya di posisi sebagai manusia. Karena hidup, mati, rezeki, dan terutama jodoh adalah milik Tuhan artinya manusia semestinya tunduk dan patuh terhadap takdir yang menjadi kehendak Tuhan. Kemudian dalam puisi Kalah (hal 70-71), Dinda Natasya mengemas bentuk kekalahan tersebut berupa kalahnya intuisi manusia terhadap nafsunya sendiri. Dalam menulis puisi tersebut, Dinda Natasya banyak

melihat “kekalahan” orang-orang dalam menjalin hubungan, meski taat dalam agamanya namun cinta mereka bisa mengalahkan keimanan. Misalnya manusia

lebih berani meninggalkan Tuhan untuk kekasihnya daripada meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan sehingga sama halnya dengan nekat meninggalkan agama. Demikian yang diungkapkan Dinda Natasya dalam kutipan hasil wawancara melalui telepon berikut.

Kalau di Kalah itu Bunda menuliskannya itu kekalahan manusia ketika ia kalah menempatkan dirinya di posisinya sebagai manusia. Karena kalau jodoh, mati, rejeki, itu milik Tuhan artinya kan manusia tunduk patuh sama takdir sama kehendak-Nya kan. Nah, ketika kekalahan itu adalah kalah karena intuisinya ya kalah sama nafsunya sendiri maka kekalahan itu kan kekalahan mutlak. Karena ia tidak mungkin tidak bangkit, kecuali kalau Tuhan sendiri yang datang menolong ya, ... ...Kalau bicara tentang menganalisa permasalahan remaja, percintaan yang gagal, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ketuhanan yang kemudian menjadi abu-abu ketika cinta masuk dan manusia menjadi Kalah tadi kan. Ee akhirnya itu lebih berani meninggalkan Tuhan daripada ee apa ya namanya, berani meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan. Kan lebih pada nekat ninggalin agama (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).

Dinda Natasya merasa banyak manusia telah “mengkhianati” Tuhan dengan mencintai seseorang melebihi cintanya kepada Tuhan sehingga ia merasa

commit to user commit to user

Kemudian mungkin bisa menyerahkan, menyerah kalah „Ya Tuhan aku kalah, dan aku kembalikan lagi kepada-Mu gitu, jangan sampai aku meneruskan ini tapi dengan kemenangan yang salah ‟ kan gitu. Jadi intinya begitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).

Dari pergulatan pikiran negatif Dinda Natasya itulah, yang kemudian Dinda Natasya mengolahnya ke dalam tulisan sehingga lebih bermanfaat untuk pembacanya atau orang lain. Hal tersebut tentunya dengan tujuan agar pembaca dapat mengambil sisi positif dari tulisan Dinda Natasya dan dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan doa. Seperti yang diungkapkan Dinda Natasya berikut.

“Semuanya itu adalah doa untuk pembicaraan permohonan pencerahan ya, merujuk pada Tuhan. Untuk puisi Kalah semuanya begitu. ” (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012)

Dalam pengetikan puisi Kalah tersebut, peneliti juga mengkritisi penggunaan ejaan yang salah pada kata ganti “-Mu” dalam larik: “…Dalam perjalananku meraih cintamu ”, “…Aku gagal mendapatkanmu”, “…Yang telah menjauhkanku darimu ”, “…Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu ”, “…Jika bukan karena kasih sayangmu”, “…Biarkan aku kembali padamu ”, dan “…Karena mencintainya melebihi cintaku padamu” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71). Kata ganti “-Mu” dalam larik-larik puisi tersebut dituliskan dengan ejaan “m” kecil dan tanpa tanda hubung (-) di

commit to user commit to user

menggunakan huruf “m” kapital dengan tanda hubung (-) di depan huruf “m” kapital. Jadi, kata ganti “-Mu” tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk semua

kebesaran dan segala milik Tuhan, sehingg a “-Mu” adalah Tuhan. Hal tersebut juga karena penulisan “Mu” tanpa tanda hubung (-) yang dilakukan oleh Dinda Natasya dapat diartikan sebagai penyatuan yang sangat antara mahluk dan Tuhannya. Berikut kutipan ungkapan hasil wawancara dengan Dinda Natasya.

Kalau dipenulisan, sorry, kalau Bunda itu kan menulis gunanya untuk disiarkan ya. Di siaran itu tidak bisa dibaca antara “Mu” besar “Mu” kecil,

jadi kalau misalnya kitanya sudah disiarkan direkam kemudian di, ee sesuatu yang direkam kemudian ditulis. Ejaan dibaca sama ejaan ditulis kan tidak, tidak bisa dimengerti oleh orang yang mengedit. ..” Bunda kan biasa menggunakan tulisan untuk siaran, untuk audio bukan visual jadi karena kebiasaan bekerja di radio kadang-kadang orang selalu akan salah menafsirkan kata- kata “Mu” besar “Mu” kecil kecuali kalo diapa ya, ditunjukkan dalam kalimat yang memang diartinya ada perbedaan antara

menulis “Mu” besar dan “Mu” kecil. Semua kata “Nya”, “Mu” atau yang menjadi nama dengan huruf besar pasti adalah katakan di Tuhan, kan gitu. Ya, penafsiran editornya saya rasa yang berbeda (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).

Kompensasi lain yang dilakukan oleh Dinda Natasya sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis terdapat dalam puisi berikut.

PUISI PARA MANTAN Untuk yang patah hati : Bangun!

Dulu aku ada Kau puja kau sayang kau cinta Kini ku tak ada Kau buang kau hina kau nista Roda memang telah berputar Musim telah berganti

Mana janji manismu, cinta setia sampai mati Kini tak ada tersisa

commit to user

Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk

Aku memang pantas Hanya mantanmu Sakit teriris hati, sepi saat cinta pergi Tapi aku sudah berusaha Tak apa Sendiri tanpamu tak buatku takut Luka yang kau toreh tak membunuhku Sedih itu tak sesatkan langkah Memang mantanmu Masih sang juara Tak apa

Dulu kau tiada Kujaga kubawa kuserta Kini kau tiada Kuterjaga kuasa kuberusaha Roda kembali berputar Musim kini milikku

Biarkan janji, tak harus setia untuk mati Biarkan janji, tak perlu mati untuk setia Semua hanya ada asa Pergimu bangunkanku dari jatuh

Aku tak pantas Memang tak pantas jika hanya meratap Tak akan terkikis hati. Cinta sudah pergi Aku selalu terjaga asa Tak apa

Sendiriku kan salut taklukkanmu Duka menoreh semangat, ini hidupku! Sedih bawaku tempatkan lebih baik Walau dulu mantanmu Aku masih juara Sungguh, tak apa! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112-113)

Dari puisi di atas Dinda Natasya mencoba mencurahkan pemikirannya tentang kisah cinta seseorang yang sedang patah hati. Dinda Natasya mengemasnya dalam bahasa yang ringan dan menyelipkan pesan di dalamnya sehingga mampu membangkitkan semangat meski telah patah hati. Seperti dalam kutipan berikut.

commit to user

...Sendiri tanpamu tak buatku takut Luka yang kau toreh tak membunuhku Sedih itu tak sesatkan langkah Memang mantanmu Masih sang juara Tak apa... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112)

Masa pengendapan yang dialami oleh Dinda Natasya memang diasumsikan tidak memakan waktu yang lama, karena pengalamannya sebagai penyiar selama lebih dari 25 tahun menjadi pendukung utama dalam terciptanya Dialog Cinta Oase Samudra Biru . Hal tersebut diakuinya karena bahasa yang digunakan seorang penyiar adalah bahasa tutur, sehingga jarang menulis. Dinda Natasya juga mengakui bahwa Dialog Cinta Oase Samudra Biru adalah buku pertama dan untuk pertama kalinya ia menulis dan mencoba memindahkan apa yang biasa disampaikan di udara ketika sedang siaran ke dalam tulisan (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:viii).

Pernyataan Dinda Natasya dalam bukunya tersebut juga didukung dengan pernyataannya dalam email yang dikirimkan kepada peneliti. Berikut kutipannya.

...Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan begitu ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya siaran yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah. (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).

Hal tersebut juga yang melatarbelakangi kespontanitasan gaya menulis Dinda Natasya. Banyaknya pengalaman yang mengendap dalam diri dan pikirannya sehingga membuat Dinda Natasya seperti memiliki gudang gagasan atau dapat dikatakan juga memiliki wawasan yang luas. Maka saat Dinda Natasya ingin menulis atau diberi suatu topik sebagai bahan pembahasan, ia akan dengan

commit to user commit to user