Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan

4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan

Pada tahap ini, Dinda Natasya menuliskan dengan cepat dan spontan. Barangkali jika tidak, maka kemungkinan besar ide yang baru saja muncul akan cepat hilang atau mati. Bagi Dinda Natasya tidak perlu waktu berlama-lama lagi untuk menuliskan ide atau gagasannya. Karena seperti yang telah dibahas dalam tahapan inspirasi bahwa kespontanitasan Dinda Natasya yang lantas membuatnya tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penulisan sampai penyempurnaan. Hal tersebut juga dikarenakan profesinya sebagai penyiar yang dituntut serba cepat dalam berpikir dan lebih banyak bicara. Berikut kutipan hasil wawancara Dinda Natasya yang mencerminkan hal di atas.

Iya, kayak gini, kadang-kadang kayak gini, kalau puisi seketika itu pada, pada artinya mungkin bisa langsung lebih tajam ya karena kan seketika itu kan murni, orisinil gitu. Tapi kalau digubah, kepentingannya kan estetika untuk kepenyiarannya. Harus ada suara yang, untuk cara membacanya di radio itu didengarkan itu nyaman, enak, lurus tidak kudruh atau ruwet gitu loh . Jadi, sesuatu yang mudah dicerna dan enak untuk dinikmati walaupun itu sebuah kalimat yang dibaca dengan bergaya kan gitu. Jadi kalo, puisi mungkin Bunda kan tidak berpuisi seperti para puitis ee apa ya itu para ee itulah seniman yang begitu puitis di panggung seperti itu ya karakternya. Kalo Bunda kan suaranya betul-betul hanya karakter suaranya karena

commit to user commit to user

Pada tahap penulisan, kalau saat inspirasi telah muncul maka segeralah lari ke mesin tulis atau computer atau ambil bolpoin dan segera menulis. Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan yang baik atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk tulisan yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar, masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini (Jakob Sumardjo, 1997:71-72).

Namun bagi Dinda Natasya, dirinya tidak banyak melakukan proses penyempurnaan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti. Apakah pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak dan bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak oleh pembaca. Proses penyempurnaan yang dilakukan Dinda Natasya ini juga terkait dengan tahap inkubasi atau pengendapan. Hal tersebut tampak dalam kutipan email yang dikirimkan oleh Dinda Natasya kepada peneliti berikut.

Saya termasuk orang yang bisa menulis secara spontan. Saya tak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang saya tulis sesuai dengan maksud saya atau tidak dan apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak. Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan begitu ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya siaran yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah (Email Dinda Natasya, 03 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).

Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan tahap persiapan dan dari kutipan email di atas, bahwa Dinda Natasya dapat menulis dengan spontan.

commit to user

Dinda Natasya menulis karena apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Dinda Natasya mengaku kadang menempatkan dirinya sebagai mereka yang menjadi objek pemikirannya dan berusaha ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Terkadang Dinda Natasya menjadikan menulis hanya sebagai kebiasaannya dalam memotret peristiwa, tetapi bukan menggunakan kamera melainkan mata pena (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).

Kespontanan dari gaya kepenulisan Dinda Natasya tersebut telah menjadi kekhasan tersendiri bagi Dinda Natasya sebagai seorang penulis yang berprofesi penyiar dan konsultan persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Sedikit banyak profesinya tersebut sangat mempengaruhi karena sebagai penyiar dan konsultan, Dinda Natasya selain memiliki banyak pengalaman dan bertemu banyak orang, ia juga banyak mendengarkan pengalaman-pengalaman atau kisah-kisah dari orang lain tentang kehidupan mereka. Dari hal tersebut Dinda Natasya juga banyak belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus mengalaminya sendiri.

Pengalaman Dinda Natasya tersebut telah mengendap lama dalam batin dan pikirannya sehingga saat Dinda Natasya diberi topik atau pertanyaan maka akan dengan cepat Dinda Natasya mengekspresikan dalam bentuk puisi. Selain itu, Dinda Natasya juga mengolah pengalaman-pengalaman tersebut menjadi karya yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya.

Tidak banyaknya bahkan relatif tidak adanya proses penyempurnaan bagi Dinda Natasya dalam tahap ini tampak dalam ungkapannya pada kutipan hasil wawancara berikut.

commit to user commit to user

ga salah ada, kalau ga salah ada... ...atau mungkin satu aja, satu aja udah cukup kalo „Kalah‟ paling karena itu coretan tangan ya. Kalau misalnya garis-garis atau apa itu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).

Kemudian berikut juga peneliti mencantumkan tulisan asli beberapa puisi yang digunakan sebagai bukti kerelatifan tidak adanya proses penyempurnaan, yaitu puisi Kalah (hal 70-71), Puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (17-18), dan puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103).

commit to user