Tahap Persiapan

1. Tahap Persiapan

Setiap pengarang memiliki cara masing-masing untuk melalui tahap persiapan dalam proses penciptaan karya sastranya. Tahap persiapan tergantung pada sejauh mana pemikiran dan pengalaman yang dialami oleh pengarang. Karya sastra yang berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan pengarang juga tidak terlepas dari peran pengarang dalam mengolah tahapan ini. Peran pengarang sangat penting dalam mengolah dan mengembangkan pemikirannya untuk kemudian dituangkan ke dalam karya sastra.

Tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan (Jakob Sumardjo, 1997:69-70).

Pada tahap ini Dinda Natasya memiliki gambaran akan bagaimana karyanya nanti. Meski tidak banyak persiapan yang dilakukan Dinda Natasya dalam proses perciptaan karya sastranya. Dinda Natasya menulis hanya karena apa yang dilihat dan didengarnya. Dinda Natasya selalu menempatkan dirinya pada posisi mereka yang menjadi inspirasinya agar dapat ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Dinda Natasya melakukannya dengan cara spontan. Bahkan ia mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda Natasya,

commit to user commit to user

sebagai penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).

Spontan adalah serta merta; tanpa dipikir; atau tanpa direncanakan lebih dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati, tidak karena dianjurkan dsb (Dendy Sugono, 2008:1335). Kespontanan Dinda Natasya tersebut tercermin pada puisi yang terdapat dalam judul dan lariknya. Seperti dalam puisi PadaMu (hal 72), Tak Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75). Judul-judul dan larik-larik yang terdapat di dalamnya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain. Dinda Natasya mengungkapkan curahan hatinya tanpa berpikir panjang. Berkaitan dengan pengertian spontan, hal itu menunjukkan bahwa puisi tersebut memang merupakan puisi yang bersifat ekspresi spontan dari Dinda Natasya. Berikut kutipan salah satu dari ketiga puisi di atas yang menunjukkan ekspresi spontan dalam tulisannya.

ROMANSA Di dinding kamarku

Putih susu Diam memandang Kala mataku pejam.

Disudut ranjangku Bayang keemasan Hangat menyusup Saat tubuhku tergetar

Di langit-langit malamku Romansa tertinggal Penuh bisik lirih Saat anganku terkenang

Wangi cendana membingkai indah Wajah cinta dalam rona pelangi

commit to user

Indah tercium Walau hasrat tengah tenggelam

Wahai Kidung asmarandana Kau di sini Tinggal di kamar hati Menebar romansa asmara

Malam minggu sendiri. Jakarta, 30 Januari 2010. (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75)

Meski demikian kespontanan Dinda Natasya tersebut juga berkaitan dengan profesinya sebagai penyiar yang terbiasa berpikir cepat dan dapat langsung mengungkapkan pendapatnya dengan cepat ketika ada topik yang diberikan untuknya. Sama halnya ketika dalam tahap persiapan ini, Dinda Natasya tidak memerlukan banyak persiapan untuk menulis. Karena sebagai penyiar yang sudah cukup berpengalaman selama lebih dari 25 tahun, Dinda Natasya juga banyak menyimpan pengalaman, baik itu dari dirinya maupun dari pendengarnya atau orang lain (“pasien-pasiennya”). Kespontanan Dinda Natasya tersebut juga

diungkapkannya dalam kutipan hasil wawancara berikut. Jadi, ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti

kalau sudah ada waktu, tidak lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu pagi atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih ingat langsung dibikin. Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan... Karena Bunda dipakai siaran, dipakai siaran itu tidak menganggap. Beda ya, jadi ga pakai laptop, kalau orang kan tulis dulu di .... terus pakai laptop. Ngomong nya kita cepat ya kalau nulis, dalam hitungan menit kita harus sudah, ada kasus hitungan menit, Bunda harus On Air lagi. Jadi kalau ada ide sekelebat masuk ya langsung catat, sampaikan, nanti kan kalau itu penting ke belakangnya itu baru dikembangkan di..di apa, ditulis lebih luas gitu kan wawasannya ditambahin supaya membaca juga itu bisa jadi ilmu gitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).

Dinda Natasya menggunakan pemikirannya dalam mempersiapkan tahap ini untuk menciptakan karya-karyanya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru, terutama persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Cinta dalam

commit to user commit to user

Ya Allah Padamu bersimpuh di ujung sajadah Menggenggam tasbih Pejam tertunduk Hingga basah mata Mengigil ngilu Merindui hadirmu di setiap waktuku Engkaulah hidupku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:72)

Wujud cinta kepada Tuhan sangat terlihat dalam kutipan puisi PadaMu di atas. Dinda Natasya mengungkapkan bahwa wujud cinta itu dilakukan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah sholat yang diakhiri dengan membaca tasbih yang tampak dalam puisi tersebut merupakan wujud nyata kecintaan Dinda Natasya pada Tuhannya. Wujud cinta Dinda Natasya yang lain yaitu sesama mahluk sosial tampak dalam kutipan berikut.

...Boleh kau ingatkan belenggu atasku Dan kau rantai kehidupanku Tapi kemanakah nurani Jika aku merasa belenggu ini bukan milikku Kebebasan itu terbatas tipis Apakah aku ini bersalah? Apakah aku ini pendosa? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:102)

Persoalan sosial seperti yang tampak dalam kutipan puisi di atas merupakan contoh tipisnya kecintaan antar-sesama makhluk sosial berupa ketidakpedulian dengan bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menghakimi sesamanya. Cinta dalam pengertian antar sesama makhluk sosial juga tampak dalam kutipan puisi Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka , yaitu “...Dan sesungguhnya cinta tak bertuan. Ia milik siapa saja ” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:96).

commit to user

Maksud dari judul dan kutipan puisi yang saling berkaitan di atas adalah cinta Dinda Natasya, Samudra Biru, dan Pandeka dapat dimiliki oleh siapa saja. Hal ini barkaitan dengan profesinya sebagai “dokter cinta” yang menerima dengan tangan terbuka bagi siapa saja yang datang padanya untuk mencurahkan isi hatinya. Dinda Natasya selain menjadi pendengar setia, ia juga mampu memberi kenyamanan dan kedamaian serta membantu memberi solusi semampunya kepada “pasien-pasiennya”. Sebab itulah Dinda Natasya banyak dicintai oleh “pasien- pasiennya” dan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan Samudra Biru sebagai penulis, karena tulisan-tulisannya yang bersifat menghibur dan dapat memberi nasihat-nasihat atau pesan secara tidak langsung.

Sebagian besar “pasien-pasien” Dinda Natasya datang dengan membawa persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, termasuk persoalan

percintaan antara pria dan wanita. Hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Menyapa dengan Cinta (hal 93) berikut.

Aduhai Betapa indah cinta menyapa dunia Santunmu sesakkan dada Bukan lembut buai angin menerpa ilalang Senja itu milikku, biarlah kubingkai dengan hatiku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:93)

Pengertian cinta dalam kutipan di atas merupakan cerminan kisah seseorang yang sedang jatuh cinta kepada lawan jenis atau dapat dikatakan mabuk cinta. Mabuk adalah berbuat di luar kesadaran; sangat gemar (suka); tergila-gila; sangat birahi; mabuk asmara (Dendy Sugono, 2008:852). Dalam kaitannya dengan hal ini kisah percintaan tak selalu sesuai harapan, ada yang patah hati karena cinta. Hal tersebut tampak dalam judul puisi Puisi Para Mantan, yang mencerminkan tentang kisah cinta yang sudah berakhir sehingga orangnya disebut

commit to user commit to user

Pengertian cinta yang begitu luas sehingga tidak menutup kemungkinan cinta hadir kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja. Termasuk cinta orang tua kepada anaknya yang tidak pernah pudar dan tercermin dalam puisi berjudul Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) dan Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79).

Dari judul puisinya saja sudah sangat terlihat bahwa Dinda Natasya ingin menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua anaknya. Menuliskan puisi khusus untuk anak-anak istimewanya itu. Cinta Dinda Natasya juga layaknya cinta seorang ibu sepanjang masa, hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79), yaitu “...May Allah bless you: little princess. Cinta ibu hidup dalam jiwamu tak pernah mati” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:79).

Hal tersebut juga merupakan bentuk ungkapan atau penyataan cinta Dinda Natasya untuk kedua anaknya. Pada larik “...May Allah bless you: little princess ” memiliki arti “...semoga Allah memberkahimu: putri kecil”, bermakna bahwa Dinda Natasya mendoakan anaknya yang pada saat itu sedang berulang tahun di usia 21 tahun. Meski putrinya telah memasuki usia dewasa Dinda Natasya masih menganggapnya sebagai putri kecil atau “little princess” karena

commit to user commit to user

Demikian itu pengertian cinta yang luas, cinta yang tak mengenal ruang, jarak, dan waktu. Cinta yang dapat singgah di hati siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dinda Natasya mengemas pengertian-pengertian cinta itu ke dalam larik-larik puisi yang apik dan penuh nasihat.

Dalam tahap persiapan ini Dinda Natasya banyak mendapat dorongan dari pendengar pada acara siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan orang-orang yang sudah sering membaca beberapa petikan tulisan Dinda Natasya di status dinding akun facebook miliknya. Tuntutan dari orang-orang terdekatnya itulah yang sedikit memaksa Dinda Natasya untuk membukukan tulisan-tulisannya.