KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1999 – 2004

SKRIPSI

Oleh:

RANULIN WINDARSARI

NIM: K4408007

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Oleh : Ranulin Windarsari NIM : K4408007

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Juli 2012

Pembimbing I Pembimbing II

Tri Yuniyanto, M. Hum Dra. Sri Wahyuni, M. Pd NIP. 19650627 199003 1 003

NIP. 19541129 198601 2 001

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Selasa Tanggal : 10 Juli 2012

Tim Penguji Skripsi: Nama Terang

Tanda Tangan

Ketua

: Drs. Herimanto, M. Pd, M. Si

Sekretaris

: Drs. Djono, M. Pd

Anggota I

: Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum

Anggota II

: Dra. Sri Wahyuni, M. Pd

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret a.n. Dekan Pembantu Dekan I

Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M. Si.

Ranulin Windarsari. K4408007. Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia tahun 1999 – 2004. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2012.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Latar Belakang Koalisi Partai Islam di Indonesia, (2) Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia tahun 1999, (3) Perkembangan Koalisi Partai Islam dalam di Indonesia tahun 1999 – 2004.

Metode penelitian ini adalah metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999 adalah sistem politik Indonesia yang kembali kepada sistem multipartai setelah masa Orde Baru dalam pemilu sehingga tidak ada satu partai yang menjadi pemenang mutlak, sehingga harus ada koalisi karena tanpa koalisi sulit untuk menghasilkan suara mayoritas; (2) Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999 adalah karena dalam Pemilihan Presiden dan wakil presiden 1999 menggunakan alternatif yang mana seorang Presiden harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50% lebih satu dari MPR maka proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui proses koalisi. Alternatif koalisi karena tidak adanya partai yang menjadi pemenang mutlak dalam pemilu 1999 menyebabkan partai-partai Islam memiliki kesempatan untuk mengambil inisiatif dalam membentuk pemerintahan dengan menyalurkan aspirasi-aspirasi politik yang dimiliki sehingga terbentuk Koalisi Poros Tengah. Tujuan Koalisi Poros Tengah ini adalah untuk mengimbangi dua kekuatan besar yang saling serang yaitu antara kubu pendukung Megawati Soekarnoputri dan kubu pendukung B.J. Habibie.; (3) Perkembangan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999-2004 dimulai dari keberadaan koalisi Poros Tengah sehingga berhasil mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu. Koalisi Poros Tengah ini pula yang menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan dan mendukung Megawati Soekarnoputri untuk menggantikan posisi Abdurrahman Wahid. Pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri beberapa partai Islam dalam pemerintahan bukan sebagai koalisi akan tetapi sebagai oposisi di parlemen.

Political Developments in Indonesia in 1999–2004. Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, July 2012.

The aims of this research is to describe: (1) Background of the Islamic Coalition Party in Indonesia, (2) The objectives of Islamic Coalition Party in Indonesia in 1999, (3) The development of the Islamic Coalition Party in Indonesia in the year 1999-2004.

This research method is the historical method with heuristic steps, criticism, interpretation, and historiography. Source of data used in this study are primary sources and secondary sources. Collecting data by literature study. The data analysis technique used is the technique of historical analysis, by performing external and internal criticism.

Based on this research can be concluded: (1) Background coalition of Islamic parties in Indonesia 1999 is Indonesia's political system to multiparty system again after the New Order in the election so that no single party winning an absolute, so there should be a coalition because no coalition difficult to produce a majority vote, (2) The purpose of Islamic Coalition Party in Indonesia in 1999 is due to the election of the President and vice president of 1999 using an alternative in which a President should support the Assembly the votes of at least 50% over one of the Assembly then the election of President and Vice President has to go through the process of coalition. Coalition alternative was selected because of the absence of an parties which to be an absolute winner in the 1999 elections so led to the Islamic parties have opportunity to take the initiative in forming a government with the aspirations politic owned to forming the Coalition of Poros Tengah. The purpose of Poros Tengah coalition is to offset the two major forces that are attacking each other between the stronghold of Megawati Soekarnoputri endorsers and the stronghold of B.J. Habibie endorsers, (3) The development of a coalition of Islamic parties in Indonesia in 1999-2004 starting from the existence of the Poros Tengah coalition that managed to deliver to Abdurrahman Wahid as a President of Indonesia defeat Megawati Sukarnoputri who brought by the PDI-P won the election. Poros Tengah coalition is also a drop from the presidency of Abdurrahman Wahid and Megawati Sukarnoputri support to replace the position of Abdurrahman Wahid. During of Megawati Soekarnoputri leadership, several of Islamic parties in government are not as a coalition but as an opposition in parliament.

Kerjasama yang baik dibutuhkan dalam suatu kelompok atau organisasi untuk

mencapai tujuan tertentu (Gillin)

Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik (Leo Agung S.)

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dukungan doa, spiritual dan material

2. Adik, Tante, Alm. Kakek tercinta

3. Almamater

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi;

4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum, selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd, selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan waktu, nasehat, dan kritikan selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati;

Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.

Surakarta, Juni 2012

Penulis

Tabel Halaman

1. Jadwal Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004 ……............ 29

2. 10 Besar Hasil Pemilu 7 Juni 1999 ………………………………. 69

3. Peta Koalisi Poros Tengah dalam Pemilihan Presiden 1999 ……... 78

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Berpikir Tentang Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004 ................... 25

2. Prosedur Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004……………. 34

Lampiran Halaman

3. Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 4 No. 6 Oktober 2006 ……………………………………………. 158

4. Undang-undang RI No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik …………………………………………………..

172

5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ……………………………………………… 188

6. Surat Permohonan Ijin Penyusunan Skripsi ……………. 189

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan agama (Islam) dan Negara selalu menjadi kajian menarik di Indonesia. Hal ini disebabkan persoalan kesejarahan menyangkut hubungan antara agama dan Negara di Indonesia yang sering muncul dan tenggelam, juga karena banyaknya pengaruh hubungan agama dan Negara yang berkembang di dunia Islam atau penduduk muslim di Indonesia sebagai mayoritas (Ma’mun Murod Al-Brebesy, 1999: 237).

Indonesia merupakan suatu Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemeluk Islam secara bersama atau sendiri, memiliki sistem bertindak dan sistem hubungan sosial yang tersusun dalam institusi syariah. Institusi syariah Islam disusun berdasarkan ajaran Islam yang tercantum dalam kitab al-Quran dan sunah Rasul. Pemeluk Islam yang merupakan mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia merupakan sub sistem masyarakat Indonesia. Dengan demikian, setiap penyusunan dan perumusan aturan tata hubungan masyarakat yang dilakukan pemerintah Indonesia akan segera langsung atau tidak langsung melibatkan komunitas umat tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 3).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam sebagai mayoritas terbesar di Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan perkembangan umat Islam di Indonesia yang dinamis sehingga mempengaruhi sebagian besar segi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara karena secara langsung maupun tidak langsung kehidupan masyarakat di Indonesia melibatkan komunitas umat Islam yang ada di Indonesia.

Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di Negara manapun Hal tersebut sesuai dengan simpulan Mintz dalam Rusli Karim (1997: 20) bahwa Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di Negara manapun Hal tersebut sesuai dengan simpulan Mintz dalam Rusli Karim (1997: 20) bahwa

Pengalaman sejarah perkembangan masyarakat Indonesia sebagai Negara, dalam proses perumusan konsep dasar tata hubungan sosial masyarakat memberi petunjuk suatu perbedaan yang cukup tajam antara pemerintah dan umat Islam tentang ideologi. Bagi umat Islam ideologi merupakan terjemahan langsung dari kaidah ajaran Islam, sementara pemerintah meletakkannya pada akar budaya kebangsaan dan kenasionalan. Oleh karena itu, pemerintah menempatkan Islam dalam konteks kebangsaan dan kenasionalan tersebut yang digali dari kebudayaan yang mentradisi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 4).

Indonesia sebagai Negara bekas jajahan terdapat tiga kelas yang saling bersaing, yaitu: borjuis metropolitan, borjuis pribumi dan kelas tuan tanah. Perkembangan politik di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh keberadaan kelas- kelas tersebut. Contoh yang terjadi adalah pada masa penjajahan Belanda, golongan penduduk di Hindia Belanda di bagi ke dalam tiga golongan yaitu: golongan Eropa (Belanda), golongan bumi putera/pribumi, dan golongan Timur Asing (Slamet Muljana, 2008: 97). Pembagian golongan tersebut menimbulkan persaingan di antara para pedagang pribumi, khususnya pedagang Islam dengan para pedagang dari golongan Timur Asing yaitu pedagang Cina. Hal ini kemudian menimbulkan rasa nasionalisme modern Indonesia yang pada saat itu mulai tumbuh. Kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia untuk berhadapan dengan pihak Belanda dan juga dengan orang Cina. Sarekat Dagang Islam kemudian didirikan tahun 1911 yang awalnya diarahkan memperkuat usaha untuk menghadapi pedagang Cina. Pada umumnya pedagang Indonesia pada saat itu beragama Islam maka disebut Sarekat Dagang Islam. Ikatan terhadap Islam dapat menyebar ke segenap penjuru Indonesia sebagai Negara bekas jajahan terdapat tiga kelas yang saling bersaing, yaitu: borjuis metropolitan, borjuis pribumi dan kelas tuan tanah. Perkembangan politik di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh keberadaan kelas- kelas tersebut. Contoh yang terjadi adalah pada masa penjajahan Belanda, golongan penduduk di Hindia Belanda di bagi ke dalam tiga golongan yaitu: golongan Eropa (Belanda), golongan bumi putera/pribumi, dan golongan Timur Asing (Slamet Muljana, 2008: 97). Pembagian golongan tersebut menimbulkan persaingan di antara para pedagang pribumi, khususnya pedagang Islam dengan para pedagang dari golongan Timur Asing yaitu pedagang Cina. Hal ini kemudian menimbulkan rasa nasionalisme modern Indonesia yang pada saat itu mulai tumbuh. Kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia untuk berhadapan dengan pihak Belanda dan juga dengan orang Cina. Sarekat Dagang Islam kemudian didirikan tahun 1911 yang awalnya diarahkan memperkuat usaha untuk menghadapi pedagang Cina. Pada umumnya pedagang Indonesia pada saat itu beragama Islam maka disebut Sarekat Dagang Islam. Ikatan terhadap Islam dapat menyebar ke segenap penjuru

Lahirnya Sarekat Islam merupakan sebuah aktivitas keagamaan pertama yang cukup berarti dalam usaha memperbaiki posisi umat Islam dalam sebuah bangsa yang telah dijajah. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakkan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia. Kemudian disusul dengan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, dengan semangat pembaharuan yang merupakan suatu cara baru untuk diperkenalkan kepada komunitas Islam ke dalam kehidupan modern yang mulai menggunakan organisasi modern. Falsafah perjuangan yang terpenting adalah mengangkat martabat bangsa terjajah.

Kedua organisasi Islam di atas disebut sebagai langkah awal yang mempunyai dampak bagi masa depan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan berikutnya, Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), sebagai partai Islam pertama. Sedangkan Muhammadiyah berkembang menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan yang sangat berpengaruh, terutama dalam mengajarkan paham Islam modern, memberikan perhatian pada pendidikan dan amal sosial.

Sejak tahun 1920-an umat Islam semakin banyak yang melibatkan diri dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah asing. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa organisasi Islam telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perjuangan bangsa menentang penjajah (Abdul Munir Mulkhan, 1987: 56).

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri setelah Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada tahun 1926 oleh K.H.A. Wahab Hasbullah. Organisasi-organisasi Islam yang lain (berhaluan modernis, reformis, dan tradisionalis) menyatukan dalam federasi Islam yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di tahun 1937 (Ahdi Makmur, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri setelah Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada tahun 1926 oleh K.H.A. Wahab Hasbullah. Organisasi-organisasi Islam yang lain (berhaluan modernis, reformis, dan tradisionalis) menyatukan dalam federasi Islam yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di tahun 1937 (Ahdi Makmur,

Selama ratusan tahun Indonesia dijajah oleh bangsa asing, akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah prokalmasi kemerdekaan itu, Indonesia mulai menata sistem pemerintahannya dengan sistem presidensial, yaitu suatu pemerintahan yang kepala negaranya juga berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, dibentuk kabinet pertama yang sesuai dengan UUD 1945 pada tanggal 2 September 1945 yaitu kabinet Presidensial. Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya maklumat presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, kemudian banyak partai politik yang di bentuk oleh rakyat (Miriam Budiardjo, 2008: 425). Sejak saat itu sistem kabinet Presidensial Indonesia diganti dengan sistem Kabinet Parlementer dengan Perdana Menteri pertamanya yaitu Sutan Syahrir yang praktis menjalankan kekuasaan. Berbekal kekuasaan tersebut, Sutan Syahrir mempelopori penggusuran sistem satu partai dan membengun sistem banyak partai. Kabinet Syahrir tidak ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun telah keluar maklumat pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945 yang menganjurkan mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat memperjuangkan kemerdekaan. Pada saat itu kabinetnya disebut sebagai kabinet presidensial dan dipimpin oleh seorang presiden. Dalam perjalanannya kabinet Presidensial ini tidak berlangsung lama, dari tanggal 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut terjadi karena adanya maklumat presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh Nasional yang sangat vokal yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer (Zainal Abidin Amir, 2003: 34).

Sistem pemerintahan parlementer ini berarti membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan perannya di legislatif. Partai apa pun yang Sistem pemerintahan parlementer ini berarti membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan perannya di legislatif. Partai apa pun yang

Kabinet selanjutnya dijabat oleh partai-partai politik yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang melakukan koaliasi (berkoalisi) seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi pada masa kabinet Syahrir I. Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur sebagai oposisi (Miriam Budiardjo, 2008: 428).

Pemilu pertama pasca kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai Islam, yaitu Majelis Suro Muslimin Indonesia (Matsyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam (88%), tidak semua penduduk menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok Islam hanya memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang diperebutkan. Jika dibandingkan dengan jumlah wakil partai-partai Islam di DPR. Sementara (sebelum pemilu) yang hanya berjumlah 57 orang (24% dari seluruh anggota parlemen), maka sebenarnya hasil itu mengalami kenaikan yang cukup besar (M. Dzulfikriddin, 2010: 108).

pemilu tahun 1955 dan mempunyai suara yang sama adalah persoalan ideologi yaitu Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan Pancasila serta sosial ekonomi sebagai dasar Negara. Hal ini terjadi karena pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan (Hamdan Zoelva, 2008: 6).

Pemilu kedua dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu NU memperoleh suara 18,67%, Parmusi 7,36%, PSII 2,39% dan Partai Islam Perti 0,70%. Perolehan suara hasil pemilu 1971 untuk partai-partai yang bercorak Islam menurun dibandingkan pada pemilu 1955 (Deliar Noer, 1999: 97).

Selama masa Orde Baru pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan pembuat masalah dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Ali Murtopo dalam Kacung Marijan (1993: 37) berpendapat bahwa gagasan penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari pada itu adalah perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada program, sehingga paralel dengan penyederhanaan partai adalah penunggalan ideologi. Realisasinya, pada tanggal 10 Januari 1973 sepuluh partai yang ada pada saat itu disederhanakan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) yang bercorak nasionalis (PDI) yang terdiri dari 5 partai seperti PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Murba, 2) yang bercorak spiritual (fusi dari partai-partai Islam), terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, 3) Golongan Karya yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang belum tersalurkan lewat partai-partai yang ada (Kacung Marijan, 1993: 37). Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu Selama masa Orde Baru pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan pembuat masalah dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Ali Murtopo dalam Kacung Marijan (1993: 37) berpendapat bahwa gagasan penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari pada itu adalah perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada program, sehingga paralel dengan penyederhanaan partai adalah penunggalan ideologi. Realisasinya, pada tanggal 10 Januari 1973 sepuluh partai yang ada pada saat itu disederhanakan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) yang bercorak nasionalis (PDI) yang terdiri dari 5 partai seperti PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Murba, 2) yang bercorak spiritual (fusi dari partai-partai Islam), terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, 3) Golongan Karya yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang belum tersalurkan lewat partai-partai yang ada (Kacung Marijan, 1993: 37). Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu

Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada tanggal 21 Mei 1998 lengser dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dan jabatannya kemudian digantikan oleh Wakilnya yaitu Baharuddin Jusuf Habibie. Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan maka dimulailah era Reformasi di Indonesia. Atas desakan publik, pemilu yang baru atau dipercepat segara dilaksanakan, sehingga hasil-hasil pemilu 1997 segera diganti. Kemudian pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 pada masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yan merupakan produk pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik sebelum menyelenggarakan Pemilu 1999 yang dipercepat pelaksanaannya, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. RUU kemudian disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu tahun 1999 berjumlah 48 partai (Muhammad Yahya Selma, 2009: 31).

UUD 1945 mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multi partai. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 6A (2) UUD 1945 dalam S.E.M.

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemillihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata gabungan partai poltitik artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik (S.E.M. Nirahua, 2009: 87).

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensiil Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensiil. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang berbunyi “Salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung”. Semangat pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” baru dapat direalisasikan pada pemilihan Presiden tahun 1999. Pada pemilihan itu muncul 3 orang calon, sehingga penentuan Presiden dilakukan dengan suara terbanyak. Ini adalah proses pemilihan Presiden yang sangat demokratis (Saldi Isra, 2009: 108).

Hasil pemilu 1999 menghasilkan pola yang serupa dengan pemilu 1955. Pada pemilu 1999 menempatkan lima partai besar di tangga perolehan kursi DPR. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu memperoleh suara terbanyak yaitu 33,8 % (154 kursi), disusul Partai Golkar 22,5 % (124 kursi), PPP 12,6 % (59 kursi), PKB 10,7 % (51 kursi) dan PAN 7,1 % (35 kursi) (Koirudin, 2005: 107). Akan tetapi, meskipun menghasilkan pola yang serupa dengan Pemilu 1955, hasil Pemilu 1999 untuk partai Islam mengalami penurunan dari pada Pemilu 1955. Pada pemilu 1955 Hasil pemilu 1999 menghasilkan pola yang serupa dengan pemilu 1955. Pada pemilu 1999 menempatkan lima partai besar di tangga perolehan kursi DPR. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu memperoleh suara terbanyak yaitu 33,8 % (154 kursi), disusul Partai Golkar 22,5 % (124 kursi), PPP 12,6 % (59 kursi), PKB 10,7 % (51 kursi) dan PAN 7,1 % (35 kursi) (Koirudin, 2005: 107). Akan tetapi, meskipun menghasilkan pola yang serupa dengan Pemilu 1955, hasil Pemilu 1999 untuk partai Islam mengalami penurunan dari pada Pemilu 1955. Pada pemilu 1955

Hasil pemilu menunjukkan bahwa koalisi politik pasca pemilu merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh partai politik manapun (Delaiar Noer, 1999: 340). Pemerintahan yang dibangun oleh hasil pemilu 1999 bukan merupakan sistem parlementer seperti hasil pemilu 1955, pola koalisi antara partai yang satu dengan partai yang lain terjadi (Kacung Marijan, 2010: 69). Hal ini dikarenakan tidak ada satu pun partai yang berhak mmengklaim sebagai single majority party. Kemenangan PDI Perjuangan tidak mencapai 50% plus satu dari kursi yang tersedia. Mayoritas mutlak seperti halnya bunyi pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dalam Ign. Ismanto (2004:

56) yaitu, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum”. Kondisi politik pasca Soeharto terdapat isu politik sentral, yakni entitas politik reformis dan nonreformis. Sementara kedekatan ideologis merupakan faktor utama yang mampu merekatkan pola koalisi menjadi kokoh. Pemilu multipartai mengisyaratkan adanya pola politik posisi kontra posisi. Dalam proses persaingan itu, koalisi politik tidak bisa dihindarkan (Deliar Noer, 1999: 340). Koalisi merupakan langkah strategis dalam menentukan positioning dan pembentukan citra sebuah partai politik. Tanpa positioning yang unik maka sebuah partai politik akan sulit membedakan dirinya dari yang lain. Positioning berguna tidak hanya pada masa pemilu tapi juga saat pemerintahan berjalan. Positioning pada saat pemilu berfungsi untuk menarik perhatian pemilih, maka pada saat pemerintahan berjalan positioning dapat berguna untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Selama masa menjalin hubungan ini dapat dilakukan pembentukan atau penguatan citra partai politik yang bertujuan untuk menguatkan hubungan antara partai politik dengan masyarakat. Positioning partai politik akan menentukan citra partai politik di depan rakyat atau pemilih. Positioning akan lebih mudah bagi partai politik yang sudah memiliki platform yang kuat.

sistem kepartaian Indonesia pasca-Soeharto memasuki fase yang disebut dengan Pluralitas Eksterm, yakni suatu sistem kepartaian yang ditandai oleh kehadiran jumlah partai yang cukup besar dan masing-masing memiliki ideologi yang bertentangan. Fenomena seperti ini biasanya muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masyarakatnya secara sosio-kultural dapat dikatakan majemuk.

Secara prosedural koalisi adalah sebuah keharusan. Secara praktis, koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, di sisi lain dibutuhkan dalam rangka membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang duduk di parlemen namun tidak ikut memerintah. Kelangsungan kekuasaan presiden atau wakil presiden tidak tergantung kepada dukungan DPR. Pada tataran praktis, koalisi tak terelakkan karena sistem politik multipartai melahirkan aroma sistem parlementer. Koalisi antar partai politik dengan demikian menjadi semacam motor penggerak bagi terpilihnya kandidat presiden (Suharizal, 2009: 30). Koalisi antar partai politik merupakan motor penggerak untuk menuju pemilihan Presiden karena dengan sistem multipartai di Indonesia sulit untuk mendapat suara mayoritas sebesar 50% lebih satu sehingga koalisi merupakan cara untuk menuju pemilihan Presiden.

Pemilu 1999 menempatkan PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu dengan mengantongi 33,76% suara dalam pemilihan Presiden 1999 tidak berhasil meloloskan calon Presiden Megawati Soekarnoputeri sebagai Presiden ke empat Republik Indonesia. Mengacu pada pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”. Dengan kata lain, calon presiden dari partai yang mendapat suara terbanyak dalam pemilu tanggal 7 Juni 1999, tidak dengan sendirinya terpilih sebagai Presiden, tetapi tergantung dari berapa suara yang diperoleh di MPR.

PDI Perjuangan meskipun berhasil mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilu 1999, karena suara terbanyak tidak identik dengan perolehan kursi terbanyak

PDI Perjuangan harus di dukung oleh partai-partai lain dalam suatu koalisi untuk mewujudkan tujuan itu sehingga memperoleh suara mayoritas yaitu lima puluh persen ditambah satu di MPR, sebaliknya jika koalisi itu tidak dapat diwujudkan, maka pupuslah cita-cita itu. Hal tersebut dipahami oleh Golkar yang mendapat suara terbanyak kedua yang sejak awal sangat menginginkan terpilihnya kembali Habibie sebagai presiden ke empat. Perkembangan selanjutnya, persaingan antara dua kekuatan politik itu semakin keras dan masing-masing menggunakan tekanan yang berpotensi demokrasi yang baru tumbuh. Ketegangan politik terjadi sebelum pemilihan presiden 1999, seperti di tingkat elit, para pendukung Habibie yang melibatkan beberapa partai Islam mengedepankan argumentasi yang berpijak pada legal-formal kegamaan untuk menolak presiden wanita, dalam hal ini pencalonan Megawati sebagai Presiden. Ketegangan politik itu mengundang perhatian serius banyak kalangan yang kemudian muncul ide Poros Tengah dari Bambang Sudibyo sebagai penengah yang berupaya untuk menerobos kebekuan politik yang sedang berlangsung (Zainal Abidin Amir, 2003: 248-250).

Poros Tengah merupakan kelompok politik / koalisi / gabungan yang melibatkan Partai-Partai Politik yang bediri setelah reformasi 1998 yang berhaulan Islam. Poros Tengah dibentuk atas dasar ide dari Amien Rais dan berhasil membawa Abdurrahman Wahid sebagai Presiden mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang diusung oleh partai pemenang pemilu 1999 PDI Perjuangan. Konstituen partai politik sekaligus menjadi pemilih presiden dari koalisi partai politik. Jalannya roda partai politik diyakini masih efektif bagi pemenangan calon presiden, meski tak sedikit fakta yang terbalik. Artinya, kemenangan partai politik dalam pemilihan legislatif tidak sepenuhnya ekuivalen dengan preferensi pemilihan presiden. Partai politik lebih suka membentuk koalisi terbatas yang lebih efektif mencapai tujuan bersama, kepentingan partai, dan individunya, dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Suharizal, 2009: 30). Sistem multipartai yang diberlakukan di Indonesia pasca Orde Baru menyebabkan koalisi merupakan suatu keharusan yang harus Poros Tengah merupakan kelompok politik / koalisi / gabungan yang melibatkan Partai-Partai Politik yang bediri setelah reformasi 1998 yang berhaulan Islam. Poros Tengah dibentuk atas dasar ide dari Amien Rais dan berhasil membawa Abdurrahman Wahid sebagai Presiden mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang diusung oleh partai pemenang pemilu 1999 PDI Perjuangan. Konstituen partai politik sekaligus menjadi pemilih presiden dari koalisi partai politik. Jalannya roda partai politik diyakini masih efektif bagi pemenangan calon presiden, meski tak sedikit fakta yang terbalik. Artinya, kemenangan partai politik dalam pemilihan legislatif tidak sepenuhnya ekuivalen dengan preferensi pemilihan presiden. Partai politik lebih suka membentuk koalisi terbatas yang lebih efektif mencapai tujuan bersama, kepentingan partai, dan individunya, dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Suharizal, 2009: 30). Sistem multipartai yang diberlakukan di Indonesia pasca Orde Baru menyebabkan koalisi merupakan suatu keharusan yang harus

Berdasarkan uraian masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan mempelajari lebih lanjut masalah Koalisi Partai Islam, dan kemudian mengambil judul “KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1999 – 2004” sebagai obyek penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka muncul permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999?

2. Bagaimana tujuan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999?

3. Bagaimana perkembangan koalisi partai Islam dalam perpolitikan di Indonesia tahun 1999 – 2004?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999.

2. Untuk mengetahui tujuan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999.

3. Untuk mengetahui perkembangan koalisi partai Islam dalam perpolitikan di Indonesia tahun 1999 – 2004.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting karena diharapkan dapat menghasilkan informasi yang akan memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kelimuan terutamanya dalam pengetahuan tentang koalisi Partai Islam dalam perkembangan politik di Indonesia tahun 1999-2004.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat:

a. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para peneliti lain, khususnya yang mendalami peristiwa koalisi partai Islam dalam perkembangan politik di Indonesia tahun 1999-2004.

b. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah, khususnya sejarah politik.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Politik

a. Pengertian Sistem Politik

Pengertian Sistem menurut A. M. Junaedi (2008: 104) adalah “serangkaian unsur yang secara teratur yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”. Menurut Pamudji dalam Arifin Rahman (1998: 1) mendifinisikan sistem sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh. Pengertian lain mengenai sistem menurut Sukarna (1990: 7) adalah metoda atau tata cara dan manajemen atau pengurusan. Sukarna (1981: 13) mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan pendapat- pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain, yang membentuk suatu kesatuan yang berhubungan satu sama lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah suatu keseluruhan yang komplek atau terorganisir atau saling berhubungan satu dengan yang lain secara teratur saling berkaitan membentuk totalitas atau melakukan suatu maksud atau tujuan.

Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah Polis, yang bearti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan teia berarti urusan. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki (Sumarsono, 2001: 137).

Pengertian politik menurut Duvurger (1993: xii) adalah “masalah kekuasaan”. Pengertian kekuasaan menurut Miriam Budiardjo (1977: 35) adalah “kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku Pengertian politik menurut Duvurger (1993: xii) adalah “masalah kekuasaan”. Pengertian kekuasaan menurut Miriam Budiardjo (1977: 35) adalah “kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku

David Easton dalam Budi Winarno (2008: 1) mengemukakan bahwa kehidupan politik seyogianya dilihat sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan. Hal ini penting untuk menerapkan asumsi implisit kesalinghubungan bagian-bagian sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan- kegiatan yang saling berkaitan. Asumsi sifat saling berkaitan ini atau ikatan-ikatan sistematis dari kegiatan-kegiatan ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa semua kegiatan tersebut memengaruhi cara pembuatan dan pelaksanaan keputusan- keputusan otoritatif dalam suatu masyarakat.

Sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti organisme atau individu. Almond dan Powell dalam Budi Winarno (2008: 4) mengemukakan bahwa sebuah sitem secara tidak langsung merupakan ketergantungan antar bagian-bagian dan batas antara sistem dengan lingkungannya. Interpendensi mengandung makna bahwa ketika terdapat perubahan ini akan mempengaruhi perubahan semua komponen dan keseluruhan sistem politik.

Menurut Almond dan Powell dalam Budi Winarno (2008: 4) sistem politik adalah semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah. Dalam hal ini, sistem politik memasukkan tidak hanya institusi pemerintahan, seperti legislasi, hukum, dan agen-agen administratif, tetapi semua struktur dalam semua struktur dalam semua aspek-aspek politik.

pendapat-pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan negara dengan Negara.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem politik adalah kumpulan prinsip-prinsip, pendapat-pendapat dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain untuk mengatur urusan Negara atau pemerintahan.

b. Ciri-ciri Sistem Politik

David Easton dalam Budi Winarno (2008: 5) mengemukakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) ciri dalam sistem politik, dua diantaranya yaitu: 1) identifikasi, yaitu langkah paling awal yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan identifikasi terhadap sistem politik sehingga dapat dibedakan dengan sistem yang lainnya; input dan output, sistem politik mempunyai konsekuensi- konsekuensi terhadap masyarakat dalam bentuk keputusan-keputusan otoritarif. Konsekuensi inilah yang disebut dengan outputs, sementara keberlangsungan sistem politik akan sangat ditentukan oleh keberadaan inputs sistem politik, 2) Diferensiasi dalam suatu sistem, yaitu anggota-anggota dari suatu sistem paling tidak mengenal pembagian kerja minimal yang memberikan suatu struktur tempat berlangusungnya kegiatan-kegiatan itu; Integrasi dalam suatu sistem sosial, Suatu sistem harus memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasi atau memaksa anggota-anggotanya untuk bekerjasama walaupun dalam keadaan minimal sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang otoritatif (Budi Winarno, 2008: 8–9).

sitem politik, yaitu:

1) Semua sistem politik termasuk yang paling sederhana mempunyai kebudayaan politik. Dalam pengertian bahwa masyarakat yang paling sederhanapun mempunyai tipe struktur politik yang terdapat dalam masyarakat yang paling kompleks sekalipun. Tipe-tipe tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain sesuai dengan tingkatan dan bentuk pembidangan kerja yang teratur.

2) Semua sistem politik menjalankan fungsi-fungsi yang sama walaupun tingkatannya berbeda-beda yang ditimbulkan karena perbedaan struktur. Hal ini dapat diperbandingkan yaitu bagaimana fungsi-fungsi itu tadi sering dilaksanakan atau tidak dan bagaimana gaya pelaksanaannya.

3) Semua struktur politik biar bagaimanapun juga dispesialisasikannya baik pada masyarakat yang primitif maupun yang modern melaksanakan banyak fungsi. Oleh karena itu sistem politik dapat membandingkan sesuai dengan tingkat kekhususan tugas.

4) Semua sistem politik adalah sistem campuran dalam pengertian kebudayaan. Secara rasional tidak ada struktur dan kebudayaan yang semuanya modern atau semuanya primitif melainkan dalam pengertian tradisional, semuanya adalah campuran antara unsur modern dan tradisional.

2. Sistem Pemerintahan

a. Pengertian Sistem Pemerintahan

Menurut C. F. Strong dalam Pamudji (1994: 4) Pemerintahan didefinisikan sebagai organisasi di mana diletakkan hak untuk melaksakan kekuasaan berdaulat dan tertinggi. Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar dari pada suatu badan atau kementrian-kementrian yang diberi tanggungjawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara-negara didalam ataupun di luar. Pemerintah harus memiliki kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan Menurut C. F. Strong dalam Pamudji (1994: 4) Pemerintahan didefinisikan sebagai organisasi di mana diletakkan hak untuk melaksakan kekuasaan berdaulat dan tertinggi. Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar dari pada suatu badan atau kementrian-kementrian yang diberi tanggungjawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara-negara didalam ataupun di luar. Pemerintah harus memiliki kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan

Menurut Montesquieu dalam C.S.T. Kansil (1993: 10) bahwa dalam suatu sistem pemerintahan Negara terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu: 1) kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen), 2) kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet), 3) kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).

Istilah sistem pemerintahan berkaitan pula dalam hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Pada umumnya, dalam berbagai konstitusi berbagai negara dirumuskan mengenai bentuk dan struktur badan eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif, khususnya yang bersifat nasional. Perumusan mengenai sistem pemerintahan tingkat nasional mestinya menggunakan satu model dari dua model utama ditambah satu model campuran yakni sistem kabinet atau parlementer, sistem presidensil, sistem campuran antara sistem kebinet dan sistem presidensial (Jimly Assiddiqie, 1996: 40).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa sistem pemerintahan adalah pembuatan, cara dan hal-hal yang dilakukan oleh pejabat dalam struktur kekuasaan dalam satu negara, mencakup urusan pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan Negara.

b. Pembagian Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem pemerintahan parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal ini dikarenakan adanya pertanggunjawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperolah dukungan kepercayaan dengan Sistem pemerintahan berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem pemerintahan parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal ini dikarenakan adanya pertanggunjawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperolah dukungan kepercayaan dengan