JI E N O A JI E N O A
JI E N O A JI E N O A
Seperti kawasan lainnya pada awal September 2013, hujan menyiram Haruku tanpa henti. Banyak petani mengurungkan panen meski berbatang cengkeh mereka sudah layak panen. Hujan yang kebanyakan
juga menghajar buah cengkeh sampai gugur. “Sementara anak-anak sekarang tidak seperti kami dulu. Mereka sudah malas ambil biji-biji jatuh,” ujar Clif.
Ancaman lain bagi cengkeh adalah ulat dan lawa-lawa (laba-laba) putih. Ulat penyebab daun cengkeh menguning ini sekilas seperti ulat sagu. Namun, kata Clif, ulat itu di dalam batang. Petani bakal
kesulitan mencarinya karena tak ada lubang penanda. Berbeda dengan lawa-lawa putih penyebab daun kering karena tampak jelas jaring- jaring yang rekat di dahan dan ranting.
Clif lahir 1970. Ia merasakan sendiri bagaimana BPPC menghajar petani cengkeh. Harga cengkeh sebelum berkuasanya BPCC adalah Rp 7.500 per kilogram, turun menjadi Rp 2.000 per kilogram. Cliff ketika itu merupakan salah seorang pemuda Haruku yang menempuh pendidikan di Kota Ambon ketika harga cengkeh terjun bebas.
“Uang angkutan ke sekolah waktu itu masih Rp 25 atau Rp 50. Uang jajan saya juga segitu.” kata Cliff, yang kini bertani cengkeh. “Karena BPPC, kami tidak bisa lanjut sekolah lagi. Kami tiba-tiba dilarang kuliah,” tambahnya, tertunduk.
Orangtua Clif, Eliza Kissya (64) dan Elizabeth Kissya Reiuwpassa (63), masa itu berprofesi sebagai pedagang cengkeh. Mereka membeli cengkeh seharga Rp 5.000 per kilogram, terpaksa dijual seharga Rp 2.500 per kilogram. Orangtuanya kemudian berpindah profesi. “Bapak waktu itu tanam sayur, saya menjahit karena harus membiayai enam anak yang waktu itu semuanya sudah sekolah,” terang Mama Liz, yang sampai kini masih menjahit.
Cliff mengaku, ia lebih banyak membiakkan anakan. “Waktu badan saya tambah berat, saya memilih bekerja di persemaian saja,” kata lelaki muda bertubuh subur itu tertawa terbahak.
46 | EKSPEDISI CENGKEH
Pemanenan cengkeh Clif sekarang diserahkan kepada kerabatnya dengan sistem bagi hasil atau gaji. Di Haruku, memilih sistem
mana yang akan dipakai dan disepakati antara pemilik dan pemanen bergantung pada harga cengkeh. Bila harga cengkeh turun di bawah Rp 100.000 per kilogram, maka sistem bagi hasil yang mereka pakai. Jika harga sedang menanjak mencapai harga versi September 2013, maka sistem penggajian yang akan diberlakukan. “Dalam sistem gaji, konsumsi mereka tidak kita sediakan, diganti dengan 5-8 cupa saat terakhir panen,” terang Clif.
Cengkeh Zanzibar menjadi jenis yang banyak ditanam petani Haruku. Jenis ini hanya butuh waktu sekisar 4-5 tahun untuk
berbuah, dibanding dengan Cengkeh Tuni yang mengharuskan petani menunggu sampai 7 tahun. Namun itu bergantung pada seberapa
besar hawa air laut menyentuh tanaman ini. Panen selalu dimulai dari kawasan pesisir, lalu pelan bergerak menyusur lereng dan sampai terakhir ke cengkeh-cengkeh yang tumbuh di puncak gunung atau bukit.
Sebenarnya cengkeh adalah tanaman yang baru dikembangkan oleh Clif. Ia mengaku baru menanam cengkeh pada 2002, ketika anaknya Victor Patarira Kissya lahir. Clif memelihara cengkeh sebagai bekal masa depan anak ketiganya. Menurut Clif, kelak ketika Victor sudah besar, anak lelakinya akan bertanggungjawab atas kehidupan anak dan istrinya. Anak laki-laki yang menjadi pihak yang diberi bagian lebih besar dalam sistem pewarisan yang berlaku dalam adat-istiadat Haruku. Apakah ini berkaitan dengan pendidikan Victor kelak?
“Bukan. Justru saya memfokuskan pada bekal masa depan tadi. Karena kenyataannya, laki-laki justru yang lebih banyak tinggal di Haruku ketimbang perempuan yang kebanyakan mereka di luar Haruku karena harus bersekolah. Mungkin ini berkaitan dengan sistem pewarisan tadi, bahwa ada jalan lain bagi perempuan untuk memperoleh jaminan hidup, seperti dengan pendidikan yang tinggi,” pungkas Clif. v
Dunia Dalam Cengkeh | 47
Orang-orang TNS
mur pernikahan Rasina Ester Melay dan Ruland Steven Melay, pada tahun 1978, baru dua tahunan. Pada awal Maret tahun itu,
Rasina yang hamil dan Ruland harus ikut naik ke ‘Tomini’, kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), bersama 500- an kepala keluarga yang dipindahkan pemerintah pusat dari Pulau Serua, pulau kecil di tengah Laut Banda. Mereka diberangkatkan hari itu menuju Waipia, kawasan di Pulau Seram di timur yang terletak 370-an kilometer di utara Serua.
Tangis Rasina pecah. Ratap yang sama muncul memenuhi geladak dan lambung kapal tentara itu. Hanya mesin kapal besi itu yang
panas. Bagian lainnya, dengan dingin merenggut nasib para penghuni Serua dan membawa mereka menembus sisa-sisa angin barat yang berhembus di Laut Banda.
“Kami hanya bawa pakaian dan tempat tidur, kasur,” kata Rasina. Matanya berkaca-kaca, mengenang peristiwa itu.
Sementara Ruland hanya diam. Ia menyimpan amarah. Belakangan ia tahu, inilah akhir dari proses setahunan yang selama ini ia saksikan di Lesluru, di tanah kelahirannya. Itu bermula pada Maret
1977, ketika satu tim berisikan orang-orang dari pemerintah provinsi melakukan sosialisasi perihal rencana memindahkan penghuni
Serua. Jelas, warga menolak. Pada Oktober tahun yang sama, satu tim datang lagi. Rencana itu tetap mereka tolak. Lalu, kali ketiga, pada awal Februari 1978, tentara turun dan bawa senjata. Terjadi kekerasan. Warga terpaksa bergegas.
Esoknya, kapal bersandar di Pelabuhan Makariki, dua puluhan kilometer dari Waipia. Tapi tangis di geladak dan lambung kapal belum reda ketika mereka harus turun. Sekisar sekilometer dari labuhan, orang-orang Serua ini hidup di penampungan. Pemerintah membekali mereka beras, ikan asin, ikan kaleng, dan kacang ijo. Setelah dua tahun di situ, mereka dipindahkan ke permukiman sekarang.
N IE A
Jalan masuk Negeri (Desa) Waru,
salah satu desa orang-orang TNS yang
E T TA P
berasal dari Serua.
TA E B
“Hidup kami di Serua sehat, Nyong. Kami tidak pernah dapat penyakit. Kami tidak pernah makan babi di sana. Kami juga tidak piara karena bisa rusak tanaman. Di sana cuma ikan segar dan ayam. Kami juga tidak makan gula. Gula kami dapatkan dari mangga atau lemon, jeruk manis. Kami juga menyaring air hujan menggunakan belerang dan bisa langsung diminum,” terang Rasina. Seorang pensiunan Dinas Kesehatan Maluku Tengah, Hasib Muhammad (58) menceritakan pengalamannya bersentuhan antara
1978-1980 dengan para orang-orang ungsian TNS. Pak Hasib mengaku berdagang sejak SMA. “Saya sering beli kacang ijo dan ikan kaleng mereka. Biasanya berkarung-karung mereka bawa. Mereka pasti bosan makan itu terus. Jadi jatah pemerintah mereka jual saja,”
terang Pak Hasib, perantau Bugis yang lari dari Makassar karena masa kacau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Kedatangan Rasina dan Ruland bersama 500-an keluarga itu merupakan satu dari dua gelombang kedatangan 1.120 keluarga penduduk Serua, satu dari tiga pulau yang dikosongkan oleh pemerintah pada tahun 1978 karena alasan gunung berapi bawah laut. Dua pulau lain yang juga harus ditinggalkan penghuninya adalah
Ruland Steven Melay dan Rasina Ester Melay, suami istri yang dipindahkan pemerintah dari Pulau Serua ke Pulau Seram pada akhir dasawarsa 1970-an. Ruland kini Raja Negeri (Kepala Desa) Lesluru.
JI E N O A A N D Y S
50 | EKSPEDISI CENGKEH
Pulau Teon dan Pulau Nila. Tiga nama pulau itu kemudian melekat di kecamatan yang mereka mukimi, Kecamatan TNS, Waipia, Maluku Tengah.
Setelah bermukim di Waipia, tidak berarti mereka tidak pernah kembali lagi. Setiap tahun, laksana kawanan ikan terbang, gelombang manusia itu pulang dan mengarungi Laut Banda dengan semang (perahu bercadik) dan belang (perahu layar) ke Teon-Nila- Serua.
Satu tujuannya: cengkeh! Cengkeh TNS terkenal sejak lama. Orang-orang menghargainya lebih mahal ketimbang cengkeh-cengkeh panenan dari Pulau Ambon
atau kawasan Lease. Kalau cengkeh Tuni dan Zanzibar hasil panen di Lease seharga Rp 125.000 per kilogram, cengkeh TNS dihargai Rp 150.000 per kilogram. Zengkih , demikian sebutan orang TNS untuk jenis rempah ini, selalu ditunggu dari TNS sebelum paket
cengkeh dari Kepulauan Maluku dikirim ke Surabaya. “Itu ditunggu, karena pedagang katanya dorang susun cengkeh
Lease di bawah dan cengkeh TNS di atas,” terang Raja Negeri Lesluru.
Wajar bila orang-orang yang berangkat ke sana membawa bekal seperti sukun bakar, ubi jalar bakar, atau bahan makanan hasil asapan. Ini semua karena jenis cengkeh yang berbeda dari yang lain. Jenisnya sama saja, Cengkeh Tuni—cengkeh endemik Maluku (‘tuni’ berarti ‘asli’ dalam bahasa Tana, bahasa adat di Masohi).
Tapi apa yang membedakannya? “Cengkeh biasa seperti tahi tikus. Tapi Cengkeh TNS sekilas
besarnya seperti Cengkeh Hutan. Tapi dia sarat dan susutnya kurang, hanya satu ons per kilonya. Lebih harum dan lebih pedis. Entah apa yang membuatnya begitu. Padahal bibitnya orang ambil dari Saparua. Mungkin hawa panas dari bawah… karena keadaan tanah setiap daerah ‘kan beda-beda...,” jelas Ruland. Begitu pula pada September 2013, warga TNS Waipia kembali mengarungi Laut Banda. Namun, konon, tahun ini hanya ‘setengah panen’ atau panen biasa, yang berarti hasil panen hanya mencapai sekitar 300 - 400 ton. Istilah ini bersanding dengan istilah ‘panen
Orang-orang TNS | 51 Orang-orang TNS | 51
Terakhir kali, demikian pengakuan Ruland, pernah ke Serua pada 2009, mengantar seorang utusan pertambangan dari Jakarta. Dari situ ia melihat perkembangan tanah kelahirannya sekaligus negeri
JI
O tempatnya mengabdi sebagai Sekretaris Negeri Lesluru selama A
20 tahun. “Banyak kebun cengkeh yang sudah tertutup belerang. S Y
A Mungkin sudah 40 persen yang tertutup.” N
Bisa jadi keterangan Pak Ruland tadi merupakan jawaban atas pertanyaan yang selama ini memenuhi benak orang-orang yang dipaksa pindah dari TNS. Namun alasan yang mereka duga selama ini adalah “di sana terdapat tambang minyak lepas pantai, sekitar 20 mil laut dari TNS... kualitas belerangnya nomor dua di dunia... dan terdapat kandungan uranium tinggi”.
Itu bisa benar, bisa juga keliru. Tapi ketika Wakil Presiden Adam Malik datang meresmikan Kecamatan TNS Waipia, Pak Ruland
hanya menganggap, “Itu ‘kan program pemerintah pusat. Biar Presiden juga datang kalau itu program pusat. Tapi, kalau ada yang bilang ‘Kenapa Wakil Presiden begitu repot datang dari Jakarta hanya untuk meresmikan kecamatan?’… ya Nyong-nyong samua yang bisa artikan itu,” pungkasnya. v
52 | EKSPEDISI CENGKEH
Cengkeh & Tradisi Merantau di Nusa Laut
Nusa Laut kucinta Beribu pohon cengkeh di sana
Itu hasil terutama dari kami di Nusa Laut … Oh, Nusa Laut, sudah jauh Anyo-anyo dipukul ombak Pulau emas yang tak kulupa Hingga akhir kututup mata
(Pulau Emas , ciptaan N.N)