32 | EKSPEDISI CENGKEH 32 | EKSPEDISI CENGKEH

32 | EKSPEDISI CENGKEH 32 | EKSPEDISI CENGKEH

Pekerja itu dibayar Rp 3.500 per liter. Itu pun biasanya bisa naik sampai Rp 4.000 per liter. Ini tergantung pada harga cengkeh di pasaran. Askar (23), berkata, itu dilakukan untuk memotivasi para pekerja. Askar sendiri adalah anak muda asal Soppeng. Sejak lulus sekolah menengah atas, ia empat tahun menjadi pemetik cengkeh di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Tahun 2013 ini adalah tahun pertamanya memetik cengkeh di Buntu Sawa. Ia sudah satu bulan memetik cengkeh.

Kemampuan para pekerja memetik cengkeh bisa sampai 50 liter sehari. Seorang perempuan asal Kendari yang baru seminggu lebih menjadi pemetik cengkeh, sejak awal September, bisa mendapatkan sampai 50 liter sehari.

Pekerja yang paling banyak berasal dari Soppeng, khususnya dari Takkalala. Mengapa demikian? Karena pemilik lahan cengkeh adalah

orang Soppeng. Namanya La Baratang. Para pekerja ini, selain ada yang datang sendiri, juga dijemput dari daerah asalnya. Bus penjemput

adalah milik pemilik lahan. Yang datang sendiri, akan digantikan ongkos perjalanannya. Jika mereka pulang dalam jumlah banyak, akan diantar sampai rumah mereka.

Mencari rumah La Baratang bisa dipastikan sangat mudah. Betapa tidak, setiap orang yang tinggal di Buntu Sawa --bahkan juga di desa-desa tetangganya-- akan langsung menunjuk ke balik bukit jika ditanyakan di mana alamat rumah petani cengkeh itu.

La Baratang adalah pemilik lahan cengkeh yang lahannya semakin luas. Jhon, salah seorang menantu La Baratang, mengatakan bahwa keluarga mereka sama sekali tak tahu berapa luas lahan cengkeh milik mertuanya. “Kami sebagai keluarga sama sekali tak pernah tahu persis berapa luas lahan cengkeh milik bapak. Yang kami tahu berapa bukit lahan cengkeh miliknya,” tutur Jhon sambil tertawa.

Jhon berkisah, awalnya La Baratang adalah ‘preman’. Ia pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Soppeng. Ia memutuskan

Kisah La Baratang | 33 Kisah La Baratang | 33

La Baratang kemudian mulai menjadi buah pembicaraan pada tahun 1993. Masa itu Soeharto masih berkuasa. La Baratang lalu dikenal sebagai petani yang berani protes satu kebijakan yang bernama Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang pertama kali diberlakukan pada 1992. Salah satu aturan dalam kebijakan ini adalah mewajibkan petani cengkeh untuk menjual hasil cengkeh mereka hanya lewat koperasi.

Efek dari kebijakan ini salah satunya adalah jatuhnya harga cengkeh secara drastis. La Baratang terkena dampaknya. Selain itu, uang petani yang tersimpan dalam koperasi tak pernah kembali, hingga BPPC bubar pada 1998. Petani menjerit. Mereka kemudian menanggapi keadaan itu dengan menebang pohon cengkeh mereka. La Baratang memilih jalan lain. Ia melakukan protes, mulai mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Soppeng dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Bahkan, sampai ke Jakarta menemui Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di DPR-RI.

Keberaniannya memprotes kebijakan yang akhirnya menyeret beberapa nama penting --seperti Presiden Soeharto, Tommy Soeharto,

dan Nurdin Halid dari Induk Koperasi Unit Desa (INKUD)-- membuat ia dihargai dan disegani. Pada salah satu sudut di dinding musallah rumahnya, terpajang satu sertifikat bertarikh 2001. Di sana dikatakan: “Penghargaan dan dukungan moral ini diberikan kepada anggota

masyarakat yang memiliki dedikasi dan secara konsisten menunjukkan keberanian untuk menjadi saksi, pelapor, dan pembela kepentingan

rakyat” --Lokakarya Nasional Anti Korupsi. Meskipun demikian, La Baratang sendiri dirundung kekecewaan. Akibat kebijakan itu, La Baratang rela membuntungi lengan kanannya dengan parang. Sebab inilah La Baratang semakin ‘melegenda’.

Kini yang bertanggung-jawab dan mengelola lahan milik La Baratang adalah istri dan anak-anaknya. Merekalah yang mengorganisir para pekerja, memastikan semua pekerjaan tuntas. Anak La Baratang ada tiga orang. Menantu-menantunya juga ikut membantu.

34 | EKSPEDISI CENGKEH

Pekerja di lahan cengkeh La Baratang sedang mematahkan buah cengkeh dari tangkai. Ketika foto ini diambil pada September 2013

jumlah pekerja hanya berkisar 30 orang seiring berkurangnya buah cengkeh. Pada puncak panen, Juli dan Agustus, pekerja seperti ini bisa

mencapai 180 orang.

Jhon adalah menantu La Baratang yang punya peran penting dalam usaha cengkeh ini. Dialah yang merintis pengerjaan jalan dari pusat desa sampai rumah La Baratang. Ia bisa mengoperasikan eskavator. Jalan yang ia rintis itulah yang menjadi jalan utama yang dilalui banyak warga masyarakat di dusun Buntu Sawa. Berkat perintisan jalan ini, pengangkutan hasil cengkeh bisa dengan mudah diangkut menggunakan mobil.

Usaha cengkeh La Baratang terus meningkat. Tahun 2013, La Baratang membeli tiga bus untuk mengangkut para pekerjanya. Dua mobil hardtop sebelumnya sudah dimiliki untuk mengangkut hasil cengkeh. Jhon berkata, rencana ke depan akan membeli oven besar khusus pengering cengkeh. La Baratang kini berusia 63 tahun. Usahanya selama ini mengembangkan tanaman cengkeh mulai dinikmati oleh anak dan cucu-cucunya. Ia sendiri barangkali butuh sejenak beristirahat, dan menyelami sisi spiritualitas dalam jiwanya. Mungkin karena itulah, sejak Juni 2013. ia berkeliling ke beberapa negar. Salah seorang anak

perempuannya, Nini, berkata, “saat ini (September) bapak berada di Uni Soviet. Sebelumnya sudah mengunjungi Pakistan.”

La Baratang berangkat ke beberapa negara tersebut bersama satu kelompok keagamaan yang cukup sohor di Indonesia. Kata salah satu anaknya, ia berkeliling untuk berdakwah. v

Kisah La Baratang | 35