M asih jelas di ingatan Abbas Abdul Muis, saat ia menjadi

M asih jelas di ingatan Abbas Abdul Muis, saat ia menjadi

pelaut di kapal pengangkut hasil bumi: cengkeh, kopra, dan cokelat. Kapal itu berlayar dari pelabuhan tua di kota Donggala menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saat itu tahun 1980-an, pengangkutan hasil bumi melalui jalur laut masih nomor satu.

26 | EKSPEDISI CENGKEH

Gudang-gudang tua terbengkelai di Pelabuhan Donggala. Gudang-gudang ini dulunya adalah salah satu pusat penampungan kopra terbesar di Sulawesi Tengah pada tahun 1960-1970-an. Masa jaya perdagangan kopra dan juga hasil bumi lain seperti cengkeh sudah berlalu, menjadi kenangan manis para pelaut dan pekerja, juga para pedagang dan petani, di sana.

Pelabuhan tua kota Donggala dikenal sebagai pelabuhan niaga tertua, yang sudah dibangun sekitar 300 tahun yang lalu. Di masa Belanda, pelabuhan Donggala merupakan pusat pengumpulan hasil bumi seperti kopra dan kayu cendana dari Sulawesi Tengah. Kopra dan cendana ini kemudian dikirim Ke Makassar, lalu ke Belanda melalui jalur perairan laut. Pada tahun 1905, ketika Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia membagi wilayah, pelabuhan tua

A R A N IE W

Donggala dijadikan sebagai pelabuhan

TA T

E niaga dan penumpang. Kemasyhuran

TA E pelabuhan itu juga disinggung oleh Buya

B Hamka dalam buku Tenggelamnya Kapal van der Wijck . Pramoedya Ananta Toer

dalam ‘Tetralogi Buru’nya, juga menyebut pelabuhan Donggala sebagai tempat singgah para pelaut nusantara dan mancanegara.

Enam tahun hidup Abbas akrab dengan pelabuhan tua Donggala. Dia mengenang tahun 1990, waktu itu kapalnya mengangkut 20 ton cengkeh dari pelabuhan Donggala menuju pelabuhan Tanjung Perak. Kapal kayu pengangkut barang yang dia gunakan waktu itu adalah buatan Karasiang, Kalimantan Selatan. Saat pelayaran, cuaca sedang teduh, sehingga mereka sampai ke Pulau Jawa dengan jarak tempuh pelayaran empat hari empat malam.

“Kalau langit berkilat dan ombak kencang, kami bisa seminggu di

Cengkeh dalam Ingatan Pelaut Donggala | 27 Cengkeh dalam Ingatan Pelaut Donggala | 27

Tapi pernah juga kejadian kapal mereka hanyut di lautan selama sembilan hari. Akhirnya saat ombak agak teduh, mereka singgah berlabuh di Bawean. Saat pertama kali melaut, Abbas masih mabuk. Oleh juragan kapalnya yang orang Bugis, ia dianjurkan untuk makan jantung ikan tuna hidup dan mandi air laut. Setelah melakukan anjuran itu, Abbas tak lagi mabuk.

Dalam sekali panen cengkeh, ada sekitar tujuh hingga sepuluh kapal yang melayarkan cengkeh ke pelabuhan Tanjung Perak. “Tapi tak hanya cengkeh, melainkan kopra, pala dan cokelat juga ikut,” tambahnya. Pulangnya kapal-kapal pengangkut barang ini akan membawa pulang gula, besi dan beras.

Abbas pernah bekerja di kapal milik orang Tionghoa. Di kapal itu dia bekerja dengan pelaut-pelaut Banjar, Bugis, dan Batak. Sebagai juru minyak, lelaki berusia 47 tahun itu digaji sebesar 60 ribu per bulan. Ini besaran upah pada tahun 1989.

Sebelum melaut, Abbas seorang pemain sepak bola di Klub Persatuan Sepak Bola Hizbul Watan (PSHW). Namun, di tahun 1989, ia gantung

sepatu karena diminta sepupunya bekerja sebagai juru minyak di kapal. Laut kemudian menjadi akrab baginya ketimbang lapangan rumput. Namun seakrab-akrabnya laut, ada juga kesepiannya.

“Hiburan kami selama berhari-hari di lautan adalah mendengar nyanyian para pelaut Sanger. Pelaut Sanger senang bernyanyi,” ujar Abbas.

Menurut Syafrudin K (41 tahun) --pekerja sosial di Yayasan Bone Bula Donggala-- tahuan 1980-an, pelabuhan Donggala menjadi jalur dagang cengkeh menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Orang-orang Mamuju Utara ikut menggunakan jalur ini untuk perdagangan hasil buminya, termasuk cengkeh. Hal ini karena jarak Mamuju Utara lebih dekat ke Donggala ketimbang Sulawesi Selatan.

“Sejak dulu Donggala dikenal sebagai kota pebisnis-pebisnis tua, komoditas cengkeh dari Banawa Selatan, Mamuju Utara, Rio Pakava

dan daerah Pantai Timur Sulawesi Tengah melewati pelabuhan Donggala. Waktu itu, daerah-daerah ini belum punya jalur dagang sendiri,” terang Syafrudin.

28 | EKSPEDISI CENGKEH

Abbas bilang, waktu perdagangan cengkeh masih bergantung pada kapal kayu menuju Pulau

IS R

Jawa, pelaut-pelaut hanya

A mengandalkan kompas, peta tua,

C H M AT

juga pengetahuan purba membaca

.R A M

tanda-tanda alam. Misalnya,

kalau ada kilat dari barat, itu

Abbas Abdul Muis, seorang

juru minyak KM Mitra Abadi,

menandakan akan ada ombak

menikmati masa istirahat

dari barat. Jika ada kilat di langit

lantaran kapal tempatnya bekerja

utara, maka ada ombak dari

masuk dok.

utara. Sementara itu, di tongkang kapal diikatkan sapu ijuk untuk menangkal hantu laut.

“Kalau saat pelayaran amgkut barang-barang itu, ada satu perempuan yang minta menumpang, juragan kami tak membolehkan. Namun, jika dia sangat minta tolong, maka dia wajib membawa ayam betina,” tambah Abbas.

Masa itu, kapal-kapal tauke di Donggala tak hanya mengangkut cengkeh, melainkan kopra dan cokelat. Menurut Abbas, di tahun 1990-an, mengangkut cengkeh sangat berisiko tinggi, karena kemasannya masih di dalam karung nilon yang rentan basah air laut. “Tapi cengkeh banyak yang selamat, kecelakaan laut di masa itu jarang sekali terjadi,” tambah Abbas.

Dari tahun 1989 hingga 1992, Abbas masih terus mengangkut cengkeh di kapalnya. Nanti pada tahun 1995, tata niaga cengkeh

tak lagi bergantung pada kapal kayu, melainkan sudah beralih pada kapal-kapal besi. Di tahun 1995, kapal-kapal besi telah masuk ke Donggala.

“Sejak tahun 2000, cengkeh telah jadi muatan eksklusif karena sudah dimuat dalam kontainer-kontainer yang diangkut kapal-kapal besi lengkap dengan GPS dan radar,” ujar Abbas memungkasi kisahnya. v

Cengkeh dalam Ingatan Pelaut Donggala | 29

Kisah La Baratang