B agi Robo Ismail, cengkeh memiliki banyak arti. Lelaki berusia

B agi Robo Ismail, cengkeh memiliki banyak arti. Lelaki berusia

53 tahun itu menganggap cengkeh sebagai penyelamat dan sebagai tabungan. Di rumahnya, Robo menyimpan cengkeh kering di dalam kamar. Robo adalah perantau asal Selayar yang datang mencari penghidupan di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah.

Tahun 1982, lelaki yang sempat duduk hingga di bangku kelas tiga Sekolah Dasar itu mendengar obrolan tetangganya bahwa di Toli-Toli, orang-orang Bugis sukses menjadi petani cengkeh. Waktu itu Robo masih lajang. Dengan harapan pasti berhasil, Robo kemudian datang

ke Toli-Toli. Niat yang dia bawa dari kampungnya adalah dia akan bertani cengkeh.

Tiba di Toli-Toli, dia membeli tanah kebun di Labengga, di kawasan hutan Bambolayang. Jarak hutan ini dari rumah Robo sekitar tiga kilometer. Waktu itu, harga tanah masih Rp 75.000 per hektar. Dia kemudian membeli bibit Cengkeh Zanzibar dan Sikotok dari petani Toli-Toli, dan mulailah dia menanam. Saat membuka kebun cengkeh pertama kali, baru sekitar dua puluh pohon cengkeh yang dia tanam.

60 | EKSPEDISI CENGKEH

M. RIDWAN ALIMUDDIN

Di kebun itu juga dia menanam pohon pisang. Setelah menanam cengkeh, Robo kembali pulang ke Selayar dan di

sana dia menikahi perempuan yang masih keluarganya. Usai menikah, dia memboyong istrinya kembali ke Toli-Toli.

Sekarang, sudah tiga puluh tahun Robo menghayati pekerjaannya bertani cengkeh. Dia tidak belajar dari siapa pun dalam hal budidaya. Dia bilang seiring waktu, dia belajar sendiri bagaimana memperlakukan tanaman cengkehnya. Misalnya saja, jika daun cengkehnya hitam, itu karena ada hama yang menganggu. Lalu hal lainnya adalah: jika buah cengkeh keluar seperti bentuk kuku, itu

artinya tujuh bulan kemudian barulah bisa dipanen. Namun jika tangkai cengkehnya bercabang tiga, itu tandanya tiga bulan kemudian

barulah bisa dipanen. Menurut Syafrudin Romana (62 tahun), pensiunan Dinas Perkebunan

sekaligus tetangga Robo, “Papa Ical adalah salah satu orang yang sukses dan setia bertani cengkeh.” Papa Ical adalah panggilan akrab para tetangga pada Robo.

Robo & Cengkeh di Dalam Kamar | 61

“Waktu tahun 1992, aturan BPPC banyak membuat petani cengkeh frustasi. Sehingga waktu itu, di Toli-Toli hampir enam puluh persen petani cengkeh menjual lahannya pada pedagang Tionghoa, selain itu banyak petani mengabaikan tanaman cengkehnya, sehingga tanamannya mati. Tapi kalau Papa Ical tidak, dia masih urus kebun cengkehnya,” terang Syafrudin Romana.

Sementara dari cerita Papa Ical, ia bertahan di masa BPPC karena punya keyakinan, kelak cengkeh bisa menjadi penyelamatnya. Di saat harga cengkeh merosot, Papa Ical tidak memanen cengkehnya tapi tetap baparas (membersihkan rumput-rumput pengganggu di sekitar pohon cengkeh). Untuk tetap bertahan di masa BPPC yang mematikan harga cengkeh, Papa Ical berjualan pisang keliling kampung di Toli- Toli.

“Waktu BPPC, banyak petani jual dorang pe kebun cengkeh, ada juga yang kaseh biar pohon cengkehnya sampai mati. Tapi saya waktu itu berpikir, tetap suatu hari nanti cengkeh akan ada harganya, dan saya waktu itu membayangkan jika cengkeh semakin kurang, maka nanti harganya akan mahal,” tutur Papa Ical.

Sepanjang hidupnya, Papa Ical mengaku perhatiannya lebih tercurah pada bertani cengkeh. Tiga bulan sekali Papa Ical melakukan perawatan pohon-pohon cengkehnya. Mulai memangkas, memupuk dan membersihkan rumput liar. Sekali perawatan biaya yang dia keluarkan sekira empat juta rupiah.

Di sela-sela dia tak mengurus kebun cengkehnya, dia bekerja sebagai tukang bangunan. Tahun lalu, dia dan ratusan petani cengkeh yang punya kebun di Bambolayang patungan duit dan bahan-bahan material seperti semen untuk membuat jalan aspal menuju kawasan hutan tersebut.

Sekarang, tanaman cengkehnya sudah berjumlah 200 pohon. Maret tahun 2013 ini, ia memanen sekisar 700 kilogram cengkeh. Waktu itu, di Toli-Toli harganya berkisar dari Rp 125.000 hingga Rp 145.000 per kilogram. Papa Ical punya dua langganan tempat dia memasok cengkeh di Toli-Toli: Toko Tolis Foto dan Toko Roda Mas. Keduanya adalah toko milik saudagar Tionghoa. Tahun ini dari hasil panen 700 kilo itu, Papa Ical menyisakan sekitar lima karung nilon cengkeh yang dia simpan di dalam kamar.

62 | EKSPEDISI CENGKEH

Panen tahun ini, Papa Ical mengajak para tetangganya untuk membantunya memanjat, memetik dan bacude (melepaskan cengkeh dari tangkainya). Upah yang dia berikan untuk panjat Rp 25.000 per pohon. Kalau bacude, Rp 5.000 per liter. Kadang- kadang, ada orang Gorontalo dan Buol yang datang meminta

R IS

pekerjaan padanya pada musim

M AT

panen. Istilah bagi mereka yang

A C mencari kerja di musim panen

cengkeh adalah ‘makan gaji’.