Identifikasi Mineral

1. Identifikasi Mineral

Identifikasi mineral dilakukan terhadap batuan lava andesit piroksen teralterasi dengan mengunakan analisis petrografi dan scaning electron microscope (SEM). Hasil identifikasi

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

mineral dari analisis petrografi terhadap lava andesit piroksen teralterasi menunjukkan, bahwa batuan tersebut berstruktur scoria, porfitritik inequigranular, suhedral-anhedral dengan ukuran butir 0,4-1,2 mm. Mineral primer sebagai penyusun batuan ini adalah: plagioklas, piroksen dan mineral opaq yang tertanam dalam masadasar gelas vulkanik. Secara umum mineral primer tersebut telah mengalami ubahan hidrotermal menjadi mineral ubahan meliputi: klorit, montmorilonit, kalsit, kuarsa (silika sekunder) dan mineral opaq (Gambar 1.). Urat memotong batuan terisi oleh kuarsa, kalsit dan mineral opaq (Gambar 2.).

Adapun kehadiran mineral ubahan dapat dijelaskan sebagai berikut: Klorit, hadir menggantikan fenokris dan masadasar. Kalsit, hadir menggantikan fenokris dan masadasar, serta pengisi urat bersama dengan mineral opaq. Kuarsa (Silika Sekunder), hadir merubah fenokris dan masadasar, serta sebagai mineral pengisi di dalam urat dan rongga. Sebagai pengisi urat dan rongga hadir bersama kalsit dan mineral opaq atau hematit. Montmorillonit, jenis mineral lempung ini hadir di dalam batuan ubahan yang merubah fenokris dan masadasar. Mineral karbonat, terdiri dari kalsit. Mineral ini hadir merubah plagioklas, piroksen dan masadasar, serta dapat hadir sebagai mineral pengisi urat dan rongga. Beberapa kalsit dapat hadir bersama kuarsa dan montmorillonit. Mineral opaq berupa hematit, hadir merubah

sebagian plagioklas, piroksen dan masadasar, serta dapat hadir sebagai mineral pengisi urat, rongga dan kadang menginklusi fenokris.

Pengukuran unsur kimia dari mineral piroksen dan mineral ubahan menggunakan analisis SEM pada sampel No. 49. Pengukuran unsur kimia dilakukan pada 15 titik pengukuran dan hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1. Pengukuran dilakukan mulai dari tepi kristal piroksen hingga bagian tengah piroksen (Gambar 3.).

Gambar 1. Memperlihatkan batuan andesit piroksen terubah. Piroksen terubah menjadi montmorillonit, kalsit, klorit dan mineral opaq. Sedangkan masadasar gelas vulkanik juga terubah menjadi mineral ubahan yang sama. px: piroksen, chl: klorit, ca: kalsit dan op: mineral opaq.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 2. Memperlihatkan batuan andesit piroksen terubah yang terpotong oleh urat kalsit. px: piroksen, plg: plagioklas, chl: klorit, ca: kalsit dan op: mineral opaq.

Gambar 3. Titik-Titik Pengukuran Unsur Kimia Mineral Dari Piroksen Dimulai Dari Tepi Kristal Hingga Bagian Tengah Kristal Piroksen.

2. Mobilisasi unsur

Dari hasil pengamatan petrografi pada sampel No.49 menunjukkan kehadiran montmorillonit, klorit, kuarsa, kalsit dan mineral opaq yang mengganti beberapa bagian piroksen mulai dari bagian tepi hingga tengah kristal. Hal ini diakibatkan oleh interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan, sehingga menghasilkan mineral ubahan (Steiner, 1953). Hasil interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan ini dipelajari dengan melakukan analisis kimia mineral yang diharapkan agar diperoleh pola perubahan unsur kimianya.

Karakteristik unsur kimia mineral mulai dari mineral primer hingga menjadi mineral ubahan (Tabel 1.) adalah sebagai berikut: piroksen menunjukkan komposisi SiO 2 (53,59%), TiO 2 (0,77%), Al 2 O 3 (8,26%), Fe 2 O 3 * (33,47%), MgO (2,34%) dan CaO (1,56%). Komposisi Klorit dimulai dari bagian tepi kristal piroksen adalah SiO 2 (34,09-48,58%), Al 2 O 3 (23,70-26,75%), Fe 2 O 3 *(24,71-11,02%), MgO (16,93-6,88%), CaO (0,56-4,07%) dan Na 2 O (2,18-2,73%). Montmorillonit mempunyai komposisi: SiO 2 (53,22-60,11%), TiO 2 (32,17%), Al 2 O 3 (2,37- 32,77%), Fe 2 O 3 *(1,14-5,19%), MnO (1,49%), MgO (1,21-2,18%%), CaO (1,56-2,58%), Na 2 O (0,83-6,05%) dan K 2 O (0,38-8,97%). Kalsit mempunyai kandungan komposisi: MnO (1,24%) dan CaO (98,76-100%). Mineral opaq (hematit) mempunyai kandungan komposisi: SiO 2

(1,62%), TiO 2 (3,78%), Al 2 O 3 (2,97%), Fe 2 O 3 *(89,52%) dan Na 2 O (1,13%).

Mobilisasi unsur hasil interaksi fluida-batuan dalam proses hidrotermal yang terjadi pada mineral piroksen menjadi mineral ubahan dapat dipelajari pada diagram segitiga variasi unsur SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 * + MgO dan CaO (Gambar 4.). Pada diagram SiO 2 -Al 2 O 3 -Fe 2 O 3 +MgO tersebut menunjukkan mobilisasi unsur dari piroksen menjadi montmorillonit, klorit dan mineral opaq (hematit). Sedangkan diagram SiO 2 -Al 2 O 3 -CaO menunjukkan mobilisasi unsur dari piroksen menjadi montmorillonit, klorit dan kalsit (Gambar 5.). Pada diagram SiO 2 -Al 2 O 3 -Fe 2 O 3 +MgO menunjukkan bahwa pada proses penggantian piroksen menjadi montmorillonit, klorit dan hematit. Pada pembentukan klorit terjadi

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

mobilisasi unsur SiO 2 , Al 2 O 3 dan Fe 2 O 3 +MgO. Unsur Al 2 O 3 mengalami peningkatan atau pengkayaan dibarengi oleh penurunan unsur SiO 2 . Sedangkan unsur Fe 2 O 3 +MgO mengalami sebagian penurunan dan sebagian mengalami peningkatan. Pada pembentukan montmorillonit terjadi peningkatan unsur SiO 2 , Al 2 O 3 yang diikuti oleh penurunan unsur Fe 2 O 3 +MgO. Pada pembentukan hematit diperlukan kondisi penurunan SiO 2 dan Al 2 O 3 yang diikuti oleh

peningkatan unsur Fe 2 O 3 +MgO.

Pada diagram SiO 2 -Al 2 O 3 -CaO menunjukkan, bahwa pada proses penggantian piroksen menjadi montmorillonit, klorit dan kalsit. Pada pembentukan klorit terjadi mobilisasi unsur SiO 2 , Al 2 O 3 dan CaO. Unsur Al 2 O 3 dan CaO mengalami peningkatan atau pengkayaan dibarengi oleh penurunan unsur SiO 2 . Pada pembentukan montmorillonit terjadi peningkatan unsur Al 2 O 3 dan CaO (sedikit) yang diikuti oleh penurunan unsur SiO 2 . Mobilisasi unsur-unsur ini terjadi seperti halnya di lapangan panasbumi Kamojang, bahwa pada zonasi kaolinit-montmorillonit terjadi penambahan unsur Al 2 O 3 (Yudiantoro, 1997). Sedangkan pada pembentukan kalsit diperlukan kondisi penurunan SiO 2 dan Al 2 O 3 yang diikuti oleh peningkatan unsur CaO. Mineral lempung seperti kaolinit, illit, montmorillonit dan klorit adalah penciri zona argilik. Pada zona ini terjadi pengkayaan Al 2 O 3 yang berikutnya penghilangan komponen kalium, magnesium dan besi (Zulkarnain, 1991). Zona argilik ini terbentuk pada temperatur zona ini sekitar 100 o

C (Tabel 2). Hal ini didasarkan atas hadirnya montmorillonit dan kalsedon berstuktur colloform banding menurut Reyes (1990), Arnorsson (1975) dan Inoue (1995).

Tabel 2. Temperatur Indeks Mineral Ubahan

(Arnorsson, 1975, Reyes dkk., 1993 dan Inoue, 1995).

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 4. Memperlihatkan diagram SiO 2 -Al 2 O 3 -Fe 2 O 3 +MgO yang menjelaskan mobilitas

unsur dari piroksen yang tergantikan oleh klorit, montmorillonit dan mineral opaq.

Gambar 5. Memperlihatkan Diagram Sio 2 -Al 2 O 3 -Cao Yang Menjelaskan Mobilitas Unsur

Dari Piroksen Yang Tergantikan Oleh Klorit, Montmorillonit Dan Kalsit. KESIMPULAN

 Hasil interaksi fluida-batuan dalam proses hidrotermal yang terjadi pada mineral piroksen menjadi mineral ubahan, yaitu membentuk mineral sekunder yang terdiri dari:

montmorillonit, klorit, kalsit dan hematit yang terbentuk pada zona argilik. Zona ini terbentuk pada zona temperatur ini sekitar 100 o C.

 Pada pembentukan klorit terjadi mobilisasi unsur Al 2 O 3 dan CaO mengalami peningkatan atau pengkayaan dibarengi oleh penurunan unsur SiO 2 . Unsur Fe 2 O 3 +MgO di beberapa sampel

sebagian mengalami penurunan dan sebagian mengalami peningkatan.  Pada pembentukan montmorillonit terjadi peningkatan unsur SiO 2 , Al2O3 dan CaO yang

diikuti oleh penurunan unsur Fe 2 O 3 +MgO.

 Pada pembentukan kalsit diperlukan kondisi penurunan SiO 2 dan Al 2 O 3 yang diikuti oleh peningkatan unsur CaO.  Pada pembentukan hematit diperlukan kondisi penurunan SiO 2 dan Al 2 O 3 yang diikuti oleh

peningkatan unsur Fe 2 O 3 +MgO.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Program Hibah Bersaing Dikti 2016 yang telah memberikan fasilitas untuk melakukan penelitian. Ucapan terimakasih juga untuk BPPTK-Badan Geologi untuk melakukan analisis scaning electron microscope (SEM) dan Laboratorium

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Petrografi Jurusan Teknik Geologi, U N Veteran , Yogyakarta yang telah memberikan sarana dan prasarana pengamatan sayatan tipis.

DAFTAR PUSTAKA

Arnorsson, 1975 : Application of The Silica Geothermometer in Low-Temperature Hydrothermal Area in Iceland, American Journal of Science, 275, 763-784.

Bothe, A. Ch. D., 1929 : Djiwo Hills and Southern Range, Fourth Pacific Sci. Congr.Exc. Guide, 1929, 14 p. Browne, P.R.L., 1978 : Hydrothermal Alteration in Active Geothermal Fields, Earth Planet Set, 229-250.

Browne, .R.L., dan Brown, K.L., 99 : Geothermal Technology: Teaching the Teachers Course Stage III, ITB Bandung Indonesia-University Auckland.

Corbett, G.J., dan Leach, T.M., 1998 : Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems: Structure, Alteration and Mineralization: Society of Economic Geologists Special Publication Number

6, 237 p. Deer, W.A.F.R.S., Howie, R.A., dan Zussman, J., 1985 : An Introduction to the Rock Forming Minerals, Longman Group Limited, 528 p. Deer, W.A.F.R.S., Howie, R.A., dan Zussman, J., 1992 : An Introduction to the Rock Forming Minerals, 2 nd edition, Pearson Education Limited, 696 p. Hartono, G., 2000 : Studi Gunungapi Tersier: Sebara Pusat Erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta, Tesis Magister, ITB Bandung, 167 hal. Hedenquist, J.W., dan Richards, J., 1998 : The Influence of Geochemical Techniques on The Development of Genetic Models for Porphyry Copper Deposits; in Richards and Larson (ed.); Techniques in Hydrothermal Ore Deposits Geology, Economic Geology, 10, 235-256.

Idral, A., Suhanto, E., Sumardi, E., Kusnadi, D., Situmorang, T., 2003 : Penyelidikan Terpadu Geologi, Geokimia dan Geofisika Daerah Panas Bumi Parangtritis Daerah Istimewa Yogyakarta, Kolokium Hasil Kegiatan Inventarisasi Sumber Daya Mineral-DIM, hal.35-

Inoue A., 1995 : Formation of Clay Minerals in Hydrothermal Environments, In: Bruce Velde (edt) Origin and Mineralogy of Clay, Springer-Verlag, 334 p. Nahrowi, T.Y., Suratman, Kamida, S., Hidayat, S., 1979 : Geologi Pemetaan Pegunungan Selatan

Jawa Timur, Bagian plorasi, T GS L IGAS Cepu, p. Reyes, A.G., Giggenbach, W.H., Saleras, J.R.M., Salonga, N.D., dan Vergara, M.C., 1993 : Petrology and Geochemistry of Alto Peak, a Vapor-cored Hydrothermal System, Leyte Province, Philippines: Geothermics, 22, 479-519.

Richardson, S.M., dan McSween, H.Y.Jr., 1989 : Geochemistry Pathways and Processes, Englewood Cliffs, New Jersey, 208-235. Sartono, S., 1964 : Stratigraphy and Sedimentation of The Eastern Most Part of Gunung Sewu (East Java), Publisi Teknik-Seri Geologi Umum No.1, Direktorat Geologi Bandung. Surono, Sudarno, I., dan Toha, B., 1992 : Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, skala 1:100.000, Direktorat P3G, Bandung. Soeria-Atmadja, R., Suparka, M.E., dan Yuwono, Y.S., 1991 : Quaternary Calc-Alkaline Volcanism in Java with Special Reference to Dieng and Papandayan-Galunggung Complex. Proc. International Conference Volcanology and Geothermal Technology, IAGI-Bandung.

Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C, Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M., dan Priadi, B., 1994 : Tertiary Magmatic Belts in Java. Journal of Southeast Asia and Petrology, 9, 13-27. Steiner, A., 1953 : Hydrothermal Rocks Alteration at Wairakei, New Zealand, Econ.Geol., 48, 1-

13. Yudiantoro D.F., 1997 : Kimia Batuan Ubahan Hidrotermal Sumur KMJ-49 dan Sumur KMJ-57 Lapangan Panasbumi Kamojang Jawa Barat, Tesis Magister Program Studi Teknik Geologi ITB Bandung, 146 hal.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Yudiantoro, D.F., Suparka, E., Takashima, I., Ishiyama, D., Kamah, Y., 2012 : Alteration and Lithogeochemistry of Alteration Rocks at Well KMJ-49 Kamojang Geothermal Field West Java Indonesia, Int.j.econ.env.geol., 3(2), 21-32.

Zulkarnain, Iskandar, 1991 : Lingkungan Fisika-Kimia Zona Alterasi Endapan Tembaga Porfiri Dengan Kasus Daerah Saar-Nahe, Jerman, Riset Geologi Dan Pertambangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jilid 10, No.2. 22-30

LAMPIRAN

Tabel 1. Hasil Analisis Unsur Kimia Yang Diperoleh Dari Analisis SEM

No. 7 2 9 16 18 6 8 13 15 10 17 3 5 14 Nama

mo ca ca hem Oksida %

SiO 2 53,59 34,09 35,99 39,09 41,55 48,54 53,22 53,77 53,89 54,46 60,11 1,62 TiO 2 0,77

3,78 Al 2 O 3 8,26 23,70 23,21 24,60 24,05 26,75 25,99

2,37 31,39 30,99 32,77 2,97 Fe 2 O 3 33,47 24,71 19,78 17,43 17,14 11,02 5,16

2,58 100 98,76 1,13 Na 2 O

0,83 K 2 O

Keterangan: px: piroksen, chl: klorit, mo: montmorillonit, ca: kalsit, hem: hematit

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

KESETARAAN SIKUENSTRATIGRAFI DENGAN LITOSTRATIGRAFI BERDASARKAN DATA SUMUR MINYAK PADA LAPANGAN WIB SUB-CEKUNGAN JAMBI

Bambang TRIWIBOWO

Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, U N Veteran Yogyakarta Korespondensi penulis: bambang3wibowo@yahoo.co.id

ABSTRAK

Makalah ini mengkaji kesetaraan antara sikuenstratigrafi dengan litostratigrafi pada sumur minyak di Lapangan WIB”, yang acapkali dibahas secara terpisah. Sikuenstratigrafi disusun berdasarkan data 3 log sumur minyak, terutama berdasarkan kandungan serpihnya. Pembagian li tostratigrafi yang penamaannya disebut sebagai formasi diperoleh dari data li tologi laporan sumur yang tersedia. Pertautan antara kedua pembagian stratigrafi tersebut diatas, didasarkan pada kedalaman batas sikuen maupun formasi di setiap sumur, serta didukung data biostratigrafi. Hasil interpretasi dan analisis sumur minyak pa

da Lapangan WIB” di Sub-Cekungan Jambi, dapat dikenali adanya 6

sikuen, masing-masing dibatasi oleh Sequence Boundary (SB). Kesetaraan setiap sikuen dengan formasi pada lapangan ini adalah sbb:

Sikuen 6: SB6-SB7 ~ Formasi Air Benakat Sikuen 5: SB5-SB6 ~ Formasi Gumai Sikuen 4: SB4-SB5 ~ Intra Gumai Sikuen 3: SB3-SB4 ~ Formasi Talangakar Atas Sikuen 2: SB2-SB3 ~ Formasi Talangakar Bawah Sikuen 1: SB1-SB2 ~ Pre Talangakar (?)

Kata-kata kunci: stratigrafi, sikuen, formasi.

PENDAHULUAN

Dalam meningkatkan produksi minyak yang terus mengalami penurunan tingkat produksi, perlu dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan maupun mempertahankan laju produksi minyak. Untuk itu maka kajian di bidang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi selalu dilakukan, salah satunya kajian tentang geologi suatu lapangan sangatlah penting, khususnya masalah stratigra i lapangan. enelitian ini dilakukan pada Lapangan WIB Sub-Cekungan

Jambi. Cekungan Jambi termasuk dalam Cekungan Sumatera Selatan (Adiwijaya dan De Coster, 1973). Stratigrafi regional Cekungan Sumatra Selatan menurut Ginger dan Fielding (2005), digambarkan dalam bentuk Kolom Stratigrafi Regional Sumatra Selatan (Gambar 1). Data yang digunakan berupa data sumur di Lapangan WIB , terdiri atas laporan akhir dan data log ketiga sumur tersebut.

Studi geologi pada suatu lapangan/blok minyak suatu daerah, baik eksplorasi maupun eksploitasi kebanyakan didasarkan atas data sumuran. Stratigrafi lapangan minyak, umumnya dilakukan berdasarkan laporan akhir sumur dan pembahasannya selalu didasarkan pada ciri- ciri litologi hasil deskripsi dan analisis sumur. Selanjutnya pembagian stratigrafinya berupa formasi sebagai satuan dasar litostratigrafi (SSI, 1996). Selanjutnya, disusunlah urutan stratigrafi ini dari yang berumur tua ke muda formasi demi formasi, mulai dari basement sampai ke permukaan. Analisis dan kajian berikutnya adalah perkiraan dan perhitungan sumber daya dan atau cadangan minyak dan atau gas (hidrokarbon), yang juga dibahas untuk setiap formasi. Untuk mengetahui besarnya sumberdaya dan atau cadangan hidrokarbon secara rinci, baik persatuan batuan atau perlapisan batuan reservoar, dengan kajian tersebut di atas tentu saja akan mengalami kesulitan. Oleh sebab itu, maka diperlukan cara tambahan dalam pembagian stratigrafi, agar diperoleh perhitungan sumberdaya maupun cadangan yang lebih detil, akurat dan sekaligus obyektif.

Sikuenstratigrafi merupakan salah satu penggolongan lapisan batuan secara bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan satuan genesa yang dibatasi di bagian bawah dan atasnya oleh bidang ketidak selarasan atau keselarasan padanannya. Pembagian ini untuk menyusun

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

urutan peristiwa geologi. Satuan sikuen stratigrafi ialah suatu tubuh satuan batuan yang terbentuk dalam satuan waktu pada satu daur perubahan muka laut relatif (SSI, 1996). Pada kesempatan ini penulis melakukan kajian dan mencari kesetaraan antara formasi dan sikuen berdasarkan data sumur.

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

(Ginger dan Fielding, 2005)

METODOLOGI

etode yang digunakan dalam telitian ini adalah metode D SAIN , berupa deskripsi, analisis, dan interpretasi, selanjutnya ditarik kesimpulannya. Deskripsi yang dimaksud adalah deskripsi

litologi masing masing sumur yang didasarkan atas laporan akhir sumur. Analisis setiap sumur dilakukan berdasarkan perpaduan data log sumur (Gamma ray, crossplot NPHI dan RHOB, serta resistivitas) dan divalidasi dengan data mud log. Interpretasi litologi bertujuan untuk mengetahui jenis litologi pada setiap sumur. Selanjutnya dilakukan interpretasi penarikan batas sikuen, berdasarkan litologi dan pola tumpukan batuan. Pola penumpukan batuan dilandasi dengan perhitungan kandungan shale/serpih (Vsh). Perhitungan Vsh menggunakan persamaan:

Vshale = GR log -GR min ................................................................................................................................................................................................... (1) GR max -GR min .

Perhitungan Vsh ini perlu dilakukan, agar memudahkan dan obyektif dalam penarikan batas sikuen. Beberapa praktisi terkadang melakukan penarikan batas sikuen berdasarkan pada log GR, hal tersebut terkadang susah dilakukan, subyektif, dan hasilnya seringkali menjadi

debatable .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi litologi dan stratigrafi pada 3 sumur berdasarkan laporan akhir sumur meliputi penamaan dan kedalaman, variasi litologi, umur, dan lingkungan pengendapan.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Sumur B-01,

Sumur ini menembus Formasi Muara Enim kemudian, lalu Formasi Air Benakat di 842 md., Formasi Gumai di 1250 md., Formasi Talangakar di 1678 md., dan batuan dasar di 1770 md. Batuan Dasar, terdiri atas batuan metamorf filit-sekis, berwarna hijau gelap kehitaman, kadang terlihat kenampakan struktur lepidoblastik, sering dijumpai mineral klorit, kalsit dan kadang kadang urat kuarsa.

Formasi Talangakar, terdiri atas selang seling batupasir dan serpih dengan sisipan batulanau dan batubara. Batupasir berporositas sedang, warna abu-abu sampai abu-abu terang, ukuran butir halus sampai kasar, menyudut-menyudut tanggung, pemilahan sedang, kekerasan sedang-keras, mudah diremas dan lepas-lepas, non karbonatan, umumnya tersusun atas mineral kuarsa, kadang-kadang berupa urat kuarsa.

Serpih, berwarna abu-abu sampai abu-abu gelap, lunak sampai sedang, pipih dan sedikit karbonatan. Batulanau, berwarna abu-abu terang sampau abu-abu, kekerasan sedang, kadang- kadang pasiran. Batubara, berwarna hitam, kekerasan sedang, pecahan pipih. Formasi Talangakar berumur N4, ditafsirkan sebagai endapan transisi atau neritik tepi

dengan sistem pengendapan delta plain. Formasi Gumai, diendapkan selaras diatas Formasi Talangakar, litologi dominan serpih dengan sisipan batupasir dan napal, pada bagian atas terkadang dijumpai sisipan tipis batugamping. Pada bagian tengah Formasi Gumai dijumpai endapan batupasir yang tebal, kurang lebih 20 meter, ditafsirkan sebagai endapan turbidit, dengan ciri porositas sedang,ukuran butir halus sampai sedang bentuk butir menyudut tanggung sampai mebundar tanggung, pemilahan sedang, terdiri dari butiran kuarsa, kadang dijumpai glaukonit dengan semen kalsit.

Serpih, berwarna abu-abu gelap, sedang-keras, karbonatan, kadang-kadang lanauan dan banyak mengandung fosil foram planktonik. Sisipan batupasir, porositas sedang, warna abu-abu kadang putih kotor, ukuran butir sangat halus sampai halus, menyudut tanggung sampai membundar tanggung, pemilahan baik, kekerasan sedang, karbonatan, mengandung mineral kuarsa, glaukonit dan fosil, tebal sisipan kurang dari 5 meter.

Batugamping, packstone, porositas jelek, warna putih-coklat terang, kompak, kekerasan sedang, kristalin tipis-tipis, hadir sebagai sisipan. Formasi ini berumur N5-N9, diendapkan pada lingkungan sub-lithoral sampai bathial. Formasi Air Benakat, formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Gumai, litologinya

terdiri atas batulempung dan batupasir. Bagian bawah formasi didominasi batulanau dan serpih, semakin ke atas berubah dominan batulempung dan batupasir.

Batulanau, berwarna coklat terang-abu-abu, lunak sampai sedang, karbonatan. Serpih, berwarna abu-abu sampai abu- abu terang, lunak-sedang, mudah diremas, dan

sedikit karbonatan. Batulempung, berwarna abu-abu sampai abu-abu terang, lunak-sedang, karbonatan,

kadang-kadang karbonan, mengandung mineral glaukonit. Batupasir, porositas jelek-sedang, berwarna abu-abu kehijauan, ukuran butir halus- sedang, menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan butir sedang, banyak mengandung mineral kuarsa, glaukonit, foram dan sedikit karbonatan.

Berumur N9-N13, diendapkan pada lingkungan litoral-sub-litoral dangkal. Formasi Muara Enim, dominan batulempung berselingan dengan batupasir, batulanau

serta batubara. Berumur N14/lebih muda, diendapkan pada lingkungan litoral.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Sumur B-02,

Sumur ini menembus Formasi Muara Enim kemudian, lalu Formasi Air Benakat di 520 md., Formasi Gumai di 978 md., Formasi Talangakar di 1780 md., dan batuan dasar di 2424 md. Batuan Dasar, terutama terdiri atas hornfels, abu-abu tua, masif, keras, berasal dari batulanau, dijumpai urat kuarsa dan kalsit, indikasi kekar dan breksi sesar. Formasi Talangakar, pada bagian bawah terdiri atas selang seling antara batupasir dan batulanaudengan sisipan batubara. . Batupasir, porositas sedang, putih sampai abu-abu terang, tersemen sedang, berbutir halus-sangat halus, agak menyudut-agak membundar, terpilah sedang, komposisi kuarsa, glaukonit, karbon, tidak gampingan.

Batulanau, coklat gelap-hitam kecoklatan, agak keras, agak berbongkah-bongkah, pasiran, pirit, tidak gampingan. Batubara, hitam, kemilau, dan getas. Berumur N5 atau lebih tua, diendapkan pada lingkungan darat-delta plain. Formasi Air Benakat, formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Gumai, litologinya

terdiri atas batupasir gampingan dan batulempung. Bagian bawah formasi didominasi batulanau dan serpih, semakin ke atas berubah dominan batulempung dan batupasir.

Batulanau, berwarna coklat terang-abu-abu, lunak sampai sedang, glaukonit, pirit, karbonatan. Batupasir, porositas jelek-sedang, berwarna abu-abu kehijauan, ukuran butir halus- sedang, menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan butir sedang, banyak mengandung mineral kuarsa, glaukonit, foram dan sedikit karbonatan.

Berumur N5/lebih muda-N13, diendapkan pada lingkungan litoral-sub-litoral dalam. Formasi Muara Enim, dominan batulanau dan sisipan batupasir. Berumur N14/lebih

muda, diendapkan pada lingkungan litoral-sub litoral.

Sumur B-03,

Sumur ini menembus Formasi Muara Enim kemudian, lalu Formasi Air Benakat di 450 md., Formasi Gumai di 868 md., Formasi Talangakar di 1550 md., dan batuan dasar di 2230 md. Batuan Dasar, terdiri atas batuan metamorf filit-schist, berwarna hijau gelap kehitaman, kadang terlihat kenampakan struktur foliasi, komposisi dibangun atas material lempung, dengan kuarsa mikro, dan kuarsa monokristalin, klorit, kaolinit dan illit.

Formasi Talangakar, pada bagian paling bawah (Pra Talangakar?) terdiri atas selang seling antara batupasir dan batulanau dengan sisipan batubara dan serpih dibagian bawah. Batupasir, porositas sedang, putih sampai abu-abu terang, tersemen sedang, berbutir halus-sangat halus, agak menyudut-agak membundar, terpilah sedang, komposisi kuarsa, glaukonit, karbon, agak gampingan.

Batulanau, coklat gelap-hitam kecoklatan, agak keras, agak berbongkah-bongkah, pasiran, pirit, tidak gampingan. Serpih, abu-abu gelap sampai hitam kehijauan, getas-keras, agak berlapis-berlapis, setempat lanauan, karbon, tidak gampingan gampingan. Batubara, hitam, kemilau, dan getas. Formasi Talangakar, pada bagian bawah terdiri atas selang seling antara batupasir dan

serpih dengan sisipan batubara dan lanau dibagian bawah. Batupasir, porositas sedang, putih sampai abu-abu terang, tersemen sedang, berbutir halus-sangat halus, agak menyudut-agak membundar, terpilah sedang, komposisi kuarsa, glaukonit, karbon, agak gampingan.

Serpih, abu-abu gelap sampai hitam kehijauan, getas-keras, agak berlapis-berlapis, setempat lanauan, karbon, tidak gampingan gampingan. Batubara, hitam, kemilau, dan getas. Batulanau, coklat gelap-hitam kecoklatan, agak keras, agak berbongkah-bongkah,

pasiran, pirit, tidak gampingan. Berumur N4 atau lebih tua, diendapkan pada lingkungan darat-delta plain.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Formasi Gumai, diendapkan selaras di atas Formasi Talangakar, litologi dominan serpih dengan sisipan batupasir dan napal, pada bagian atas terkadang dijumpai sisipan tipis

batugamping. Pada bagian tengah Formasi Gumai dijumpai endapan batupasir yang tebal, kurang lebih 20 meter, ditafsirkan sebagai endapan turbidit, dengan ciri porositas sedang,ukuran butir halus sampai sedang bentuk butir menyudut tanggung sampai mebundar tanggung, pemilahan sedang, terdiri dari butiran kuarsa, kadang dijumpai glaukonit dengan semen kalsit.

Serpih, berwarna abu-abu gelap, sedang-keras, karbonatan, kadang-kadang lanauan dan banyak mengandung fosil foram planktonik. Sisipan batupasir, porositas sedang, warna abu-abu kadang putih kotor, ukuran butir sangat halus sampai halus, menyudut tanggung sampai membundar tanggung, pemilahan baik, kekerasan sedang, karbonatan, mengandung mineral kuarsa, glaukonit dan fosil.

Batugamping, packstone, porositas jelek, warna putih-coklat terang, kompak, kekerasan sedang, kristalin tipis-tipis, hadir sebagai sisipan.

Formasi ini berumur N5-N8, diendapkan pada lingkungan litoral sampai neritik tepi. Formasi Air Benakat, formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Gumai, litologinya

terdiri atas batulempung dan batupasir. Bagian bawah formasi didominasi batulanau dan serpih, semakin ke atas berubah dominan batulempung dan batupasir.

Batulanau, berwarna coklat terang-abu-abu, lunak sampai sedang, karbonatan. Serpih, berwarna abu-abu sampai abu- abu terang, lunak-sedang, mudah diremas, dan

sedikit karbonatan. Batulempung, berwarna abu-abu sampai abu-abu terang, lunak-sedang, karbonatan, kadang-kadang karbonan, mengandung mineral glaukonit.

Batupasir, porositas jelek-sedang, berwarna abu-abu kehijauan, ukuran butir halus- sedang, menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan butir sedang, banyak mengandung mineral kuarsa, glaukonit, foram dan sedikit karbonatan.

Berumur N8 atau lebih muda, diendapkan pada lingkungan litoral-neritik tengah. Analisis log sumur dilakukan untuk mengetahui litologi, variasi litologi, dan pola

tumpukannya, serta perhitungan volume shale (Vsh). Log yang dipakai sudah dinormalisasi, koreksi lingkungan sumur, dan menggunakan parameter petrofisik a, m, dan n yang harganya diambil dari lapangan terdekat, ka rena di Lapangan WIB tidak ada data special core analysis (SCAL). Selanjutnya hasil pemodelan analisis sumur tersebut (Gambar 2 sd. 4) digunakan untuk menginterpretasi/menarik batas sikuen. Sikuen 1 tidak dijumpai di ketiga sumur, sikuen ini dibuat dengan melihat stratigrafi regional daerah telitian (Gambar 1). Pada kolom stratigrafi regional, terlihat adanya sedimen di bawah Formasi Talangakar. Batuan pra Talangakar inilah yang oleh penulis dianggap sebagai sikuen 1 (SB-1 sampai SB-2). Selanjutnya secara konsisten dikenali Sikuen 2 (SB-2 sampai SB-3) berturut turut sampai dengan sikuen 6 di semua sumur. SB-2 di semua sumur berimpit dengan batas bawah Formasi Talangakar, sedang SB-3 berada di tengah Formasi Talangakar, yang selanjutnya disebut sebagai batas atas Formasi Talangakar Bawah sekaligus merupakan bottom Formasi Talangakar Atas. SB-4 setara dengan batas atas Formasi Talangakar Atas, SB-5 berada ditengah Formasi Gumai, yang selanjutnya dinamakan sebagai batas atas Intra Gumai. Terakhir sikuen 6 dengan batas bawah SB-6 sampai SB-7. SB-6 ini setara dengan batas atas Formasi Gumai dan SB-7 di batas bawah Formasi Air Benakat. Batas bawah masing-masing sikuen berupa Sikuen Boundary (SB), merupakan kontak yang tajam di akhir pola tumpukan berbentuk corong. Pola-pola berbentuk lonceng yang ditafsirkan berupa Transgresive System Tract (TST). Pada akhir pola lonceng yang dibatasi Maximum Flooding Surface (MFS), pola tumpukannya berubah lagi menjadi pola lonceng dan berakhir di SB berikutnya. Sedimen Lowstand System Tract (LST) tidak dijumpai di semua sumur telitian. Sedangkan mulai MFS sampai dengan SB di atasnya disebut sebagai Highstand System Tract (HST).

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Sumur B-01

Gambar 2. Hasil Analisis Sumur B-01, Perhatikan kolom Vsh dan Batas Sikuen.

Sumur B-02 Sumur B-02

Gambar 3. Hasil Analisis Sumur B-02, Perhatikan kolom Vsh dan Batas Sikuen.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Sumur B-03

Gambar 4. Hasil Analisis Sumur B-03, Perhatikan kolom Vsh dan Batas Sikuen.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan :

1. ada ketiga sumur di Lapangan WIB dijumpai urutan ormasi dari tua ke muda sebagai berikut: Basement, Formasi Talangakar, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.

2. Hasil analisis sikuen dapat dikenali 6 sikuen, masing-masing dibatasi oleh sikuen boundary (SB) dan terdiri atas dua system tract, yakni Transgresive System Tract (TST) dan Highstand System Tract (HST).

3. Kesetaraan setiap sikuen dengan formasi pada lapangan ini adalah sbb.: Sikuen 6: SB6-SB7 ~ Formasi Air Benakat Sikuen 5: SB5-SB6 ~ Formasi Gumai Sikuen 4: SB4-SB5 ~ Intra Gumai Sikuen 3: SB3-SB4 ~ Formasi Talangakar (Atas) Sikuen 2: SB2-SB3 ~ Formasi Talangakar (Bawah) Sikuen 1: SB1-SB2 ~ Pra Talangakar (?)

DAFTAR PUSTAKA

--------, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia , Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Adiwidjaja, P & de Coster, G.L., 1973, Pre-Tertiary paleotopography and related

sedimentation in South Sumatra , Indonesian Petroleum Association, Proceedings 2nd annual convention.

Anonim, 1986, Log Interpretation Charts ”, vol I-Principles, Schlumberger Well Services, USA. Asquith, G. and Gibson. C., 1983, Basic Well Log Analysis for Geologist ”, AAPG, Tulsa Oklahoma. Dewan, J.T., 1983, Essentials of Modern Open-hole Log Interpretation ”, Penn Well Pub.Co., Tulsa. Ginger, D. & Fielding K., 2005, The Petroleum Systems and Future Potential of The South

Sumatra Basin , Indonesian Petroleum Association, Proceedings 30th Annual Convention, Jakarta.

Harsono, Adi, 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log ”, Schlumberger Oilfield Services, Schlumberger Oilfield Services. Posamentier, H.W. and G.P. Allen, 1995, Silisiclastics Sequence Stratigraphy ”, AAPG Education Department. Rider, Malcolm, 2002, The Geological Interpretation of Well Log ”, Rider-French Consulting Ltd, Skotlandia.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

KONTROL STRUKTUR TERHADAP MODEL URAT KUARSA PEMBAWA MINERAL SULFIDA DI KALI MOJO, PACITAN, JAWA TIMUR

Fredy 1,2 , Prasetyadi 1 , Gazali 1,2 , Reyzananda 1

1) U N Veteran Yogyakarta 2) GeoPangea Research Group email: fredy.ijank@gmail.com

ABSTRACT

Kali Mojo is a river formed by fault zone structure that s trending Northeast – Southwest with its

kinematic is a Normal Left Slip Fault (N 229 0 E/ 82 0 - N 230 0 E/ 83 0 ). And then this fault struc ture

cutted by fault that have trending Northwest – Southeast with its kinematic is a Normal Right Slip

Fault (N 329 0 E/ 82 0 – N 121 0 E/ 70 0 ). The Northeast – Southwest system was cutting over the volcanic

rock, which is an andesitic lava coherent-clo gged that s part of the Late Eocene - Early Miocene Mandali ka Rock Fo rmation. This vo lcanic rock is a part of the central facies of the ancient volcanic activity of Tegalombo Volcano that has undergone a very strong intensi ty of alteration, characterized by the presence of prophyli tic alteration, argillic alteration and silification alteration. Silicification alteration is wholly formed on the veins formed by the stress strain of the left slip fault movement. The vein textures that are formed are massive quartz and disseminated base metals. These quartz veins have undergone richness in sulfide mineral (pyri te, chalcopyrite, chalcocite) and have a general

bearing of N335 0 E to N155 0 E with a dip ranging fro m 36 0 to 71 0 . Mineralization in Kali Mojo forms an

Epithermal High Sulfidation system contro lled by fault movement and the ore body controlled by tensional fracture. Keywords : Kali Mojo, model, quartz vein, sulfide minerals

ABSTRAK

Kali Mojo merupakan sungai yang dibentuk o leh struktur sesar yang bearah Ti murlaut – Baratdaya

dengan kinematik sesar mendatar kiri turun (N 229 0 E/ 82 0 – N 230 0 E/ 83 0 ). Sistem sesar mendatar

kiri turun ini kemudian dipotong oleh struktur sesar berarah Baratlaut – Tenggara dengan kinematik

sesar mendatar kanan turun (N 329 0 E/ 82 0 – N 121 0 E/ 70 0 ) yang merupakan sesar periode kedua,

sehingga menyebabkan kedudukan bidang urat di daerah ini terpotong. Struktur sesar pada periode pertama memo tong batuan beku vulkanik lava andesit koheren yang merupakan bagian dari Formasi Mandali ka yang berumur Eosen Akhir – Miosen Awal. Batuan gunungapi ini merupakan bagian fasies pusat dari kegiatan Gunungapi Purba Tegalo mbo yang mengalami intensitas alterasi batuan yang sangat kuat, ditandai dengan hadirnya alterasi profilitik, argilik dan si lisifikasi. Alterasi silisifikasi secara keseluruhan terbentuk pada urat-urat yang terbentuk akibat gaya tari kan dari pergerakan sesar mendatar kiri. Tekstur urat yang terbentuk adalah massive quartz dan base metals disseminated pada tubuh urat. Urat-urat kuarsa ini mengalami pengakayaan mineral sulfida (pyrite,

chalcopyrite, galena, chalcocite, covelite) serta memi liki arah umum N335 0 E - N155 0 E dengan kedudukan berkisar 36 0 – 71 0 . Mineralisasi di Kali Mojo membentuk Epithermal High Sulfidation system yang dikontrol oleh pergerakan sesar dan tensional fracture sebagai ore body-nya.

Kata Kunci: Kali Mojo, struktur, model, urat kuarsa, mineral sulfida

PENDAHULUAN

Dari sudut pandang pengkajian mineralisasi, tentulah tatanan tektonik pulau Jawa, khususnya Pegunungan Selatan Jawa Timur tidak dapat dipisahkan dari sejarah tektonik global, yaitu interaksi antara lempeng Eurasia di Utara dengan lempeng Indo-Australia di Selatan. Dengan berlangsungnya proses tektonik yang bekerja, maka secara langsung mempengaruhi terbentuknya jalur gunung api Oligo-Miosen dan struktur tektonik, baik patahan serta rekahan- rekahan akibat aktivitas tektonik.

Daerah penelitian berada di Pegunungan Selatan Jawa timur khususnya di Kabupaten Pacitan bagian utara yaitu Daerah Kali Mojo, Kecamatan Tegalombo. Berdasarkan tatanan tektoniknya termasuk kedalam busur magmatik Tersier Sunda-Banda (Carlie dan Mitchell, 1994) (Gambar 1). Daerah penelitian terletak pada jalur Pegunungan Selatan, Jawa Timur dan termasuk dalam Formasi Andesit Tua (van Bemmelen, 1949). Batuan dari busur magmatik ini

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

pada umumnya banyak mengandung endapan bijih yang ekonomis. Dearah penelitian pada umumnya terdiri dari batuan sisa paleo vulkanisme, batuan terobosan asam-basa yang telah mengalami proses alterasi dan mineralisasi (Samodra dkk. 1990). Hal ini didukung juga oleh Fredy .,dkk (2016) telah mengidentifikasi, bahwa Kali Mojo yang secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Tegalombo meruapakan sisa kegiatan Gunungapi Purba Tegalombo, yaitu Khuluk Tegalombo yang memperlihatkan fasies pusat dan proximal dari suatu sistem gunungapi (Gambar 2).

Gambar 1. Busur Magmatic Indonesia (Charlie dan Mitchell, 1994)

Gambar 2. Fasies Gunungapi Purba Tegalombo (Fredy, 2016)

Sistem struktur regional di daerah Kali Mojo ini mengikuti pola struktur regional umum yang ada di Jawa Timur, yaitu berarah Utara – Selatan, Barat – Timur, Baratlaut – Tenggara dan Timurlaut – Baratdaya. Sedangkan di daerah enelitian ini dujumpai dua arah sesar utama yang membentuk satu sistem sesar geser yang berarah Timurlaut – Baratdaya, hal ini sesuai dengan

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya yang mengemukakan adanya arah umum sesar berarah Timurlaut – Baratdaya (Samodra dkk, 1992; Sampurna dan Samodra, 1997, Sudiarto dan Prapto, 2995; dan Fredy dkk, 2016) yang berupa sistem sesar geser/ strike-slip fault.

Dengan memperhitungkan faktor paleo-vulkanisme dan intensitas struktur geologi yang berkembang secara regional di daerah ini, maka memungkinkannya larutan hidrotermal yang terbentuk pada bagian akhir dari siklus pembekuan magma dan umumnya terakumulasi pada litologi dengan permeabilitas tinggi atau pada zona lemah (rekahan) (Bateman, 1981), akan membentuk suatu sistem endapan hidrotermal yang dikontrol oleh sistem rekahan. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya(wall rocks) akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder (alteration minerals). Keberadaan zona alterasi dan mineralisasi ini akan membantu dalam perencanaan pengembangan eksplorasi mineral bijih yang mengandung bijih mineral sulfia. Salah satu indikator yang berpengaruh terhadap kehadiran urat-urat pembawa mineral bijih berharga adalah struktur rekahan (kekar, sesar). Jaringan kekar yang berkembang merupakan jalan bagi late-magmatics untuk mengisi dan mengendapkan mineral-mineral bijih (Purwanto, 2002).

METODOLOGI

Mineralisasi hidrotermal adalah hasil akhir dari suatu serangkaian proses yang dibentuk oleh pemanasan air meteorik maupun air magmatik oleh volatile matter yang membawa mineral-mineral logam di dalamnya, pada kegiatan volkano-plutonik. Proses tersebut akan menghasilkan zona alterasi dan cebakan mineralisasi bijih yang akan terkonsentrasi di dalam suatu media struktur geologi, dalam kasus ini adalah struktur sesar dan kekar.

Untuk mengetahui model urat kuarsa di daerah Kali Mojo ini dilakukan beberapa pendekatan seperti studi literatur, observasi dan pengumpulan data lapangan, analisis laboratorium dan studio. Analisis mineralogi dilakukan pada sampel sampel terpilih, menggunakan beberapa metode seperti : 1) Petrografi, untuk mengidentifikasi jenis / tipe batuan, intensitas dan derajat batuan terubah, 2) Mineragrafi, dilakukan pada batuan termineralisasi untuk mengidentifikasi kandungan mineral-mineral logam seacara (kualitatif). Selain itu dilakukannya juga analisa studio untuk menyelaraskan hasil data penelitian terdahulu, data lapangan, dan data laboratorium untuk menghasilkan model struktur urat berdasarkan data permukaan yang ada di daerah ini.

HASIL

Secara umum gejala mineralisasi tersingkap berupa zona ubahan argilik, silisifikasi, propolitik dan sub-propilitik. Kekar yang mengalami proses pengkayaan mineral logam terjadi

pada ubahan silisifikasi yang terbentuk di batuan beku andesit yang merupakan lava koheren dari Gunungapi Purba Tegalombo dan merupakan bagian dari Formasi Mandalika (Gambar 3). Gejala sesar yang tersingkap berupa kelurusan bentangalam, breksi sesar, bidang sesar dan kekar.

Alterasi hidrotermal yang tersingkap di Kali Mojo dibagi dalam 3 (tiga) zonasi batuan ubahan yang mengacu dari pembagian yang diteliti oleh Corbett dan Leach, 1998, yaitu:

 Silisifikasi (kuarsa, pirit, black sulfide, kalkopirit) dengan pola pervasif  Argilik (kaolin, illit, smektit, klorit, montmorilonit, limonit) dengan pola pervasif  Propilitik (klorit, epidot, ±kalsit, ±kalkopirit, ±pirit, ±hematit, ±2 nd Kuarsa, dan kaolin) dengan

pola pervasif

Zona Silisifikasi

Zona sislisifikasi ini menyebar dihampir 15% dari total luasan keseluruhan daerah penelitian yang dimana pembentukan zona alterasi sislisifikasi ini diakibatkan adanya bukaan/ zona lemah yang diakibatkan oleh proses tektonik serta tekanan fluida hidrotermal dari bawah yang, hal ini dikuatkan oleh asamnya sifat kimia fisik mineralogi zona alterasi ini, yang terdiri oleh mineral 2 nd kuarsa dan logam sulfida, yaitu pirit, kalkopirit, galena dan kalkosit .

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 3. Lava Koheren Andesit Yang Telah Mengalami Alterasi Dan Mineralisasi Yang Termasuk Kedalam Formasi Mandalika

Kenampakan zona alterasi silisifikasi ini memiliki ciri-ciri lapangan berwarna abu-abu kehitaman, putih, sampai dengan kuning pada zona yang mengalami proses oksidasi/ pelapukan akibat bersentuhan dengan atmosfer yang memilki oksigen sebagai reagen daripada oksidasi zona alterasi ini, serta memiliki pola alterasi pervasif dengan intensitas ubahan yang sangat kuat (Browne, 1989). Mineralogi zona alterasi ini terdiri atas 2 nd kuarsa dan kuarsa primer yang masif, pirit serta kovelit dan kalkosit yang menggantikan kalkopirit sebagai mineral bijihnya (Gambar 5), selain itu juga hadir mineral hasil dari pengkayaan/ supergen, yaitu jarosit yang merupakan mineral sulfat yang terbentuk oleh rekasi kimia antara besi dengan larutan sulfat yang bersifat asam. (Gambar 4).

Hasil pengamatan secara mikroskopis (Gambar 6) pada conto batuan yang diambil dari sungai di barat laut gunung Kurung, Desa Pucangombo, tepatnya di saah satu lintasan Kali Mojo menunjukan lava andesit yang merupakan batuan beku vulkanik bersifat intermediet telah terubah total silisifikasi, memiliki ciri pemerian berwarna putih, dengan ukuran Kristal 0,5 mm

– 1,2 mm , dengan komposisi mineralogi 2 nd kuarsa dan opak yang memiliki tekstur diseminasi di sayatan tipis batuan.

Gambar 4. Alterasi Silisifikasi Di Daerah Kali Mojo Yang Kaya Akan Mineral Sulfida.

Gambar 5. Kenampakan Mineral pirit, kalkopirit, kalkosit dan kovelit di dalam mineral kuarsa (urat).

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Tipe alterasi ini berasosiasi dengan rekahan-rekahan ataupun kekar-kekar yang merupakan jalur keluarnya fluida hidrotermal yang mengalterasi batuan samping (host rock) dan mengendapkan mineral-mineral bijih emas (Au) maupun tembaga (Cu). Batuan yang teralterasi menunjukkan tekstur diseminasi dengan ciri kehadiran mineral sulfida yang menyebar pada batuan samping yang diterobos oleh fluida hidrotermal. Temperatur stabil pengendapan mineral zona alterasi ini adalah 150º –300º C dengan kondisi larutan hidrotermal asam menurut White & Hedenquist (1995).

Gambar 6. Sayatan tipis alterasi silisifikasi: kiri: polarisasi sejajara; kanan: polarisasi silang

Zona Argilik

Zona argilik ini menyebar dihampir 10% dari total luasan keseluruhan daerah penelitian yang dimana pembentukan zona alterasi argilik ini diakibatkan pada tahapan metasomatisme batuan serta terjadinya penggantian dan perombakan ulang susunan kimia mineral primer pada tubuh batuan oleh mineral sekunder. Proses penggantian mineral sendiri seperti terdapatnya mineral lempung negatif, yaitu illit (dioktahedral) yang kemungkinan menggantikan mineral primer batuan yaitu muskovit dan (trioktahedral) yang menggantikan mineral biotit, serta monmorilonit yang memiliki karakter yang sama dengan illit dan kasus susunan ikatan kimia yang sama. Untuk kasus hadirnya smektit, penulis mengacu pada persamaan jika kandungan

Fe 3+ yang lebih tinggi pada monmorilonit yang dioktahedral. Kenampakan zona alterasi argilik ini memberikan kenampakan ciri-ciri lapangan berwarna abu-abu putih, sampai dengan kuning pada zona yang mengalami proses oksidasi/ pelapukan akibat bersentuhan dengan atmosfer yang memiliki oksigen sebagai reagen daripada oksidasi zona alterasi ini, serta memiliki pola alterasi pervasif dengan intensitas ubahan yang sangat kuat (Browne, 1989) (Gambar 7).

Gambar 7. Singkapan Alterasi Arigilik Dan Sayatan Tipis Batuan Ubahannya.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Berdasarkan kehadiran mineral kuarsa, illite, smektit, montmorilonit, dan kaolinit dengan pendekatan dalam menentukan suhu pembentukannya maka diperkirakan alterasi ini terbentuk pada suhu > 100 o

C (Hedenquist, 1997) (Lawless & White, 1997) (Corbett & Leach, 1996).

C sampai 300 o

Zona Profilitik

Zona alterasi ini menyebar dihampir 75% dari total luasan keseluruhan daerah penelitian dengan himpunan mineral yang terdiri dari klorit, epidot, ±kalsit, ±kalkopirit, ±pirit, ±hematit, ±2 nd Kuarsa, illit dan kaolin. Zona alterasi ini menyebar dibagian luar dari zona alterasi filik, zona alterasi argilik, dan argilik lanjut. Zona ini memiliki intensitas ubahan yang bervariasi, yaitu mulai dari intensitas ubahan lemah sampai dengan intensitas ubahan sangat kuat (Browne, 1989) (Gambar 8). Zona ini terbentuk pada suhu <300 O

C (Hedenquist, 1997., Corbett dan Leach,1996).

Gambar 8. Singkapan Alterasi Profilitik Di Daerah Kali Mojo.

Gambar 9. Sayatan tipis alterasi profilitik; kiri:polarisasi sejajar; kanan: polarisasi silang.

Tipe alterasi propilitik ini terbentuk paling akhir di daerah telitian dan membentuk pola dengan melingkupi tipe alterasi argilik, argilik lanjut, maupun silisifikasi.. Kehadiran mineral karbonat berupa kalsit dan klorit pada tipe alterasi ini menunjukkan bahwa pH fluida larutan hidrotermal adalah netral dengan suhu < 300 o

C (Hedenquist, 1997 dan Corbett & Leach, 1996).

Tekstur Urat Kuarsa

Berdasarkan kenampakan fisik urat kuarsa yang ditemukan sepanjang lintasan Kali Mojo, didapatkan tekstur urat berupa massive quartz. Urat ini mengandung mineralisasi logam

yang beragam, yaitu kalkopirit, galena, pirit, dan kovelit serta kalkosit. Kehadiran mineral bijih tembaga seperti kalkosit dan kovelit tidak dominan di dalam urat. Kehadiran mineral logam di urat ini bertekstur disseminated di dalam urat kuarsa (Gambar 4).

Karakteristik Struktur

Dalam kaitannya dengan alterasi hidrotermal di daerah telitian, keberadaan sistem sesar mendatar kiri menjadi sangat penting sebagai pemicu adanya porositas sekunder pada tubuh batuan sebagai channel way (jalur utama) fluida hidrotermal yang mengubah batuan disampingnya sehingga pada akhirnya akan sangat mempengaruhi bagaimana pola sebaran dari

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

beberapa tipe alterasi dan mineralisasi hidrotermal. Didapatkan 2 (dua) bidang sesar yang diukur berdasarkan kedudukan semu dari arah breksiasi sesar beserta kekar penyerta di breksiasi yang merupakan sesar Mojo -1 dan juga berdasarkan kedudukan bidang sesar beserta kekar penyertanya yaitu kekar gerus dan kekar tarik yang merupakan sesar Mojo -2. Selain itu juga diidentifikasi sesar lainnya yang memiliki arah relatif Baratlaut – Tenggara sebagai sesar periode kedua, yaitu Sesar Tegalombo -1 dan Sesar Tegalombo -2.

Sesar Mojo -1 memiliki kedudukan bidang terkoreksi setelah dilakukan analisa stereografis adalah N 329 0 E/ 82 0 , rake dengan besaran 37 0 , dan kedudukan penunjaman sesar

35 0 , N 142 0 E, sedangkan kekar gerus yang menyertai sesar ini memiliki kedudukan umum N 262 0 E/ 68 0 dan kekar tarik dengan kedudukan umum N 308 0 E/ 85 0 . Sesar Mojo -2 memiliki kedudukan bidang sesar N 230 0 E/ 83 0 , rake dengan besaran 15 0 , dan kedudukan penunjaman

15 0 , N 231 0 E. Sedangkan kekar gerus yang menyertai sesar ini memiliki kedudukan umum N 276 0 E/ 74 0 dan kekar tarik dengan kedudukan umum N 353 0 E/ 80 0 . Sesar Tegalombo -1 memiliki kedudukan bidang sesar N 329 0 E/ 82 0 , rake sebesar 37 0 , dan kedudukan penunjaman

35 0 , N142 0 E. Sedangkan Sesar Tegalombo -2 memiliki kedudukan bidang sesar N 121 0 E/ 70 0 ,

rake sebesar 40 0 dan kedudukan penunjaman 47 0 , N 275 0 E.

DISKUSI

Data hasil pengukuran unsur struktur pada lokasi – lokasi pengamatan di lapangan, diolah dengan metoda stetreografis untuk mengklasifikasikan jenis sesar dan kinematika sesar (Gambar 10). Dari hasil analisa kekar gerus dan kekar terbuka serta bidang sesar yang telah

diolah, menunjukkan bahwa tegasan utama adalah 82 0 , N 192 0 E. Tegasan ini mengakibatan terbentuknya sesar periode I, yaitu sesar Mojo -1 dan sesar Mojo -2 yang mempunyai arah umum Timurlaut – Baratdaya dan membentuk sistem sesar mendatar kiri turun/ normal left slip

fault (Rickard, 1972). Sesar yang terbentuk pada periode ini sangat berpengaruh dalam pembentukan urat kuarsa dan intrusi andesit yang merupakan zona alterasi silisifikasi dan argilik, dan juga berpengaruh besar sebagai variabel hadirnya mineralisasi logam sulfida di dalam tubuh urat ini. Kemudian terbentuk sesar periode II yang mempunyai arah umum Baratlaut – Tenggara yang mematahkan sesar yang terbentuk pada periode sebelumnya, kedua

sesar ini ini memiliki tegasan N 86 0 , N 208 0 E dan membentuk sitem sesar mendatar kanan turun/ normal right slip fault (Rickard, 1972) (Gambar 11). Dari kinematik kedua sesar ini membentuk suatu sistem sesar mendatar kiri turun/ normal left slip fault (Rickard, 1972), yaitu Sesar Mendatar Turun Mojo -1 dan Sesar Mendatar turun Mojo -2. Dari pergerakan dua sesar ini membentuk kekar tarik/ tensional fracture yang terisi mineral kuarsa (vein) dengan pengkayaan mineral logam sulfida (kalkopirit, pirit, kalkosit dan galena) dan bijih tembaga lainnya seperti kovelit. Kekar – kekar tarik ini memiliki arah

umum kemenerusan berkisar antara N 355 0 E – N 155 0 E dengan kedudukan kemiringan umum

urat berkisar antara 36 0 – 71 0 (Gambar 12).

Gambar 10

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 11.Analisa Stereografis Sesar Dan Gejala Sesar Dilapangan.

Gambar 12.Analisa Statistik arah umum kemenerusan dan kemiringan urat kuarsa daerah Kali Mojo.

Dari hasil analisa kinematik struktur sesar dan juga kekar terbuka yang telah terisi mineral (vein) kuarsa, terdapat arah dominan kedudukan yang berarah Baratlaut – Tenggara yang merupakan kekar release joint dari pergerakan sesar Mojo -1 dan Sesar Mojo -2. Urat kurasa ini relatif hampir sejajar dengan arah tegasan utama yang merupakan penyebab terbentuknya suatu sistem sesar mendatar turun kiri, yang dimana besar diakibatkan oleh terbentuknya dilational jog pada segmen tersebut. Kemudian sistem urat di Kali Mojo ini membentuk sistem urat berikutnya akibat gaya tektonik tarikan dari pergerakan sesar, sehingga berkembang menjadi tensional vein – sigmoidal tenisonal vein (Gambar 13). Sedangkan kekar terbuka yang terbuka dan memiliki arah relatif tegak lurus dengan gaya utama dari pergerkan sistem sesar mendatar turun kiri merupakan extension joint, kekar ini juga mengalami mineralisasi akan tetapi tidak dominan di daerah Kali Mojo ini. Pada tahap akhir, beberapa urat dipatahkan oleh sesar yang terbentuk di periode kedua, yang memiliki kinematik dominan mendatar kanan turun (Gambar 14 ).

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 13.Interpretasi Pola Struktur Geologi Periode I Daerah Kali Mojo

Gambar 14. Interpretasi pola struktur geologi periode II daerah Kali Mojo KESIMPULAN

Mengacu dasar tatanan tektonik dan level erosi pada sistem hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996), maka sistem bukaan cebakan di daerah Kali Mojo ini merupakan tension fracture yang terbentuk sebagai bukaan di host rock yang terletak di antara sesar strike-slip dan umumnya mempunyai orientasi yang tergantung dengan gaya (stress) utama. Rekahan yang berkembang terdiri dari Tensional Fracture sampai dengan Sigmoidal Tensional Fracture, kedua jenis kekar ini ini merupakan faktor dominan terjadinya sistem urat emas – perak, dan kemungkinan hadirnya bijih utama lainnya, yaitu tembaga yang dilihat berdasarkan hadirnya mineral bijih tembaga, yaitu koveit dan kalkosit. Karakteristiknya tercermin bahwa panjang dari kekar tarik akan berakhir di sepanjang arah sesar.

Melihat dari faktor himpunan mineral alterasi, bijih logam maupun mineral sulfida yang berkembang, serta berdasarkan tekstur dan struktur urat yang berkembang, diinterpretasikan mineralisasi yang berkembang adalah Epithermal High Sulfidation, akan tetapi perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut lagi untuk mendapatkan klasifikasi endapan hidrotermal yang lebih tepat, seperti penelitian dan analisa geokimia meliputi XRD, AAS dan inkluisi fluida hidrotermal.

DAFTAR PUSTAKA

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Bemmelen, V. (1949). The Geology of Indonesia (Vol. 1). Hague: Governor Printing Office. Browne, P. (1989). Contrasting alteration styles of andesitic and rhyolitic rocks in geothermal

fields of the Taupo volcanic zone, New Zealand. Proceeding of 11th New Zealand Geothermal Workshop 1989, hal. 111-116.

Charlie, J.C. dan Mitchell, A.H.G. 1994. Magmatic Arc and Associated Gold and Copper Mineralization in Indonesia. Vitoria: Journal Of Geochemical Exploration. Corbertt, G.J. dan Leach, T.M. 1997. Southwest Pasific Rim Gold-Copper Systems : Structure, Alteration, and Mineralization. Short Course Manual. Fredy., dkk. 2016. Identification of Tegalombo Ancient Volcano: An Application Towards The Primary Minerals Exploration In Pacitan East Java. SICEST Proceedings. Palembang Hedenquist, J. (1987). Mineralization Associated with Volcanic Related Hydrothermal System in The Circum Pacific Basin. In : M.K. Horn, Trans. Fourt Circum: Pacific Energy and Mineral Resources.

Rickard, M.J., 1972, Fault Classification: discussion. Geological Society of America Bulletin,V. Samodra, H., Gafoer, S., dan Tjokrosapoetro, S. 1990. Tatanan Stratigrafi dan Tektonik

Pegunungan Selatan Jawa Timur Antara Pacitan – Ponorogo, Bidang Pemetaan Geologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Samodra, H., Gafoer, S., dan Tjokrosapoetro, S. 1990. Peta Geologi Lembar Pacitan, skala 1 : 100.000, P3G, Bandung. Sutanto. 2004. Distribusi spasial dan temporal batuan volkanik Tersier di Jawa Tangah Dan Jawa Timur, Jurnal Imu Kebumian Teknologi Mineral, Vol.17, No. 2, UPNV, Yogyakarta. hal. 65-

71. White and Hadenquist., 1995. Epithermal Gold Deposits: Styles, Characteristics, and Exploration. SEG Newsletter Publication, No.23.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

PENENTUAN KETAHANAN BATUAN CLAY SHALE TERHADAP PROSES PENGHANCURAN DI SENTUL, JAWA BARAT

Revia OKTAVIANI 1 , Paulus P RAHARDJO 2 , Imam A SADISUN 3

1 Mahasiswa S3, Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Ciumbuleuit No.94 Bandung,

2 Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Ciumbuleuit No.94 Bandung, Indonesia, 3 Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Ganesha No.10 Bandung, Indonesia Email : Revia_oktaviani@yahoo.com, Paulus.rahardjo@unpar. ac.id, imam@gc.itb.ac.id

ABSTRACT

Decreased rock strength resulting fro m the brittleness or weathering caused by changes in temperature, pressure and water, can cause instability problems in an area. Nongenetically, clay shale form by consolidation clay, silt, or mud that was charac terize by thin lamination which is almost parallel to the Coating field. Mechanical properties of clay shale when in dry condition is shrinking and hardening. But when absorbing water, will expand and in a certain limit will lose the shear strength. Clay shale when there s direct contact with air and water can easily decreased in durability fro m ti me to ti me. This interac tion is referred to as "slaking" and wi thin a certain time can cause the breakdown of particles, Cracks and peeling off th e surface layer. The more shale binding strength s decreasing, the faster it gets to disintegrate. That s why usually clay shale stabilization will be top priority if uses as foundation. Clay shale research in Sentul city, Bogor, west java area will be done with slacking dynamic testing that are supported by point load testing, and rock compressive strength testing. The durability index is the quantity of rock resistance measurement to the destruction process in two conditions: wet and dry conditions. Rock weathering can affect the durability value of rocks.

Keywords: Clay shale, durability index, slaking

ABSTRAK

Menurunnya kekuatan batuan akibat dari kerapuhan atau pelapukan yang disebabkan karena pengaruh perubahan temperature, tekanan dan air, dapat memberikan masalah ketidakstabilan pada suatu area. Secara non Genetik, Clay shale terbentuk dari konsolidasi Clay, Silt, atau Mud yang dicirikan oleh laminasi tipis yang hampir sejajar dengan bidang perlapisan. Sifat mekanis dari clay shale ketika dalam kondisi kering akan menyusut, dan mengeras, namun ketika menyerap air, akan mengembang dan pada batas tertentu akan kehilangan gaya gesernya. Clay shale mudah mengalami penurunan

durabilitas dari waktu ke waktu apabila ada kontak langsung dengan udara dan air. Interaksi ini disebut sebagai "slaking" yang dapat menyebabkan hancurnya partikel, retakan -retakan dan mengelupasnya lapisan permukaan dalam waktu tertentu. Semakin berkurang daya ikat clay shale, semakin cepat hancurnya. Oleh karena i tu stabilitas c lay shale umumnya akan menjadi perhatian khusus apabila material ini digunakan sebagai pondasi. Peneli tian tentang durabilitas Clay shale di seki tar Sentul City, Bogor, Jawa Barat akan dilakukan dengan pengujian slaking dinamik yang ditunjang dengan uji beban titik, uji kuat tekan batuan. Indeks durabili tas merupakan pengukuran secara kuantitas tingkat ketahanan batuan terhadap proses penghancuran pada dua kondisi yaitu kondisi basah dan kondisi kering. Pelapukan batuan dapat mempengaruhi nilai durabilitas dari batuan. Kata kunci : Clay shale, indeks durabilitas, slaking

PENDAHULUAN

Daerah Sentul yang terletak di sebelah timur kota Bogor, Jawa Barat saat ini sedang mengalami pengembangan dan giat melaksanakan pembangunan baik itu pembangunan untuk sarana bisnis, rumah sakit, tempat wisata maupun perumahan. Salah satu lokasi yang digunakan untuk pengembangan daerah Sentul adalah Sentul City. Sentul City adalah sebuah kawasan "kota pegunungan" yang terletak pada koordinat º

, 9 LS dan º , BT -

LS - º

º , BT. Pada ketinggian antara 200 m sampai dengan 750 m di atas permukaan

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

laut. dengan batuan dasar yang sebagian besar tersusun oleh clay shale. Formasi Jatiluhur, (Tmj): Napal, serpih lempungan dengan sisipan batupasir kuarsa, bertambah pasiran ke arah timur.berwarna abu-abu sampai hitam, bersifat mudah hancur dan mengembang, ekspansif jika terkena air, kedap air. Sebagian besar wilayah Kondisi alam berupa pegunungan menjadikan daerah ini memiliki kemiringan lereng yang bervariasi. Daerah Sentul City yang dapat dibangun merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih kecil dari 15%. Sedangkan daerah dengan kemiringan lebih besar dari 15% tidak boleh dibangun.

Clay shale pada umumnya berada pada zona tidak jenuh air (Unsaturated zone) karena efek kapilaritas lebih berperan pada daerah tersebut dan tergantung atas letak muka air tanah, serta perilaku shale tersebut termasuk sebagai material transisi tanah dan batuan (Deen, 1981). Efek kapilaritas sangat berpengaruh terhadap kekuatan clay shale. Gaya kapilaritas muncul akibat tegangan negativ yang muncul dan mampu meremukkan clay shale apabila ikatan clay shale tidak memadai.

Akibat degradasi tersebut, clay shale dapat mengalami penurunan durabilitas yang disebut slaking, apabila material berada dalam kodisi terbuka setelah kontak dengan udara dan air. Karena daerah ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi, tentunya akan menyebabkan lapisan lempung ini berreaksi dengan air.

METODOLOGI

Sample undisturbed diambil di daerah Sentul City, Bogor, Jawa Barat. Sentul City pada tiga titik pemboran yaitu DB - 01 yang terletak pada koordinat S 06 

 . , DB – 02 S 06 

. , ada kedalaman antara 20 m sampai dengan 30 m. Kondisi contoh DB 01 terdapat kandungan pasir yang berukuran kasar sampai medium dan hanya memiliki sedikit lempung. Pada contoh DB 02 kandungan pasirnya berukuran halus, serpih dan lempung. Sedangkan pada DB 03 kandungan materialnya berukuran serpih dan lempung. Dengan areal yang cukup luas, Sentul City memiliki variasi lereng yang cukup variatif. Kemiringan lereng pada kawasan Sentul City berkisar antara

. , DB – 03 S 06 

2% (datar) sampai dengan 40% (curam). Contoh batu diambil dengan menggunakan alat bor, sehingga bentuk contoh batuan berupa silinder. Dari lokasi pengambilan contoh, selanjutnya contoh dibungkus dengan plastic wrap, alumunium foil, plastic kemudian dimasukkan ke dalam tabung. Perlakuan contoh ini dimaksudkan untuk menjaga kadar air agar tidak berubah dan menghindari terjadinya slaking selama proses transportasi maupun penyimpanan.

Teknik pengujian untuk clay shale pada daerah Sentul City meliputi uji daya tahan/durabilitas batuan, uji beban titik dan uji kuat tekan. Hasil pengujian diharapkan berupa pengklasifikasian clay shale berdasarkan atas durabilitas dan kekuatannya. Penentuan daya tahan/durabilitas batuan, dilakukan dengan metode pendekatan standard ASTM-D 4644-87 menggunakan tes daya tahan batuan (menurut ISRM 1979).

Prosedur pengujian dilakukan dengan menggunakan Standard ASTM-D 4644 – 87, kecuali jumlah siklus yang meningkat menjadi lima. Beberapa contoh dipotong dengan ukuran yang representatif untuk setiap siklus, dengan berat contoh total berkisar 400-550 gr. Selanjutnya contoh ditempatkan di dalam drum bersih dan dikeringkan di oven pada suhu 105°

C selama ± 14-16 jam sampai berat konstan. Setelah contoh di keluarkan dari oven dan didiamkan selama 20 menit lalu ditimbang untuk menghitung kadar airnya. Masukkan drum yang berisi contoh ke dalam alat uji durability dan diberi air setinggi 15 Cm, Selanjutnya dilakukan pemutaran drum yang digerakkan oleh motor yang mampu memutar drum dengan kecepatan 20 rpm, dengan kecepatan konstan selama 10 menit. Suhu air diawal dan akhir pengujian harus dicatat. Setelah slaking untuk periode 10 menit pertama, contoh batuan tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada kering ditimbang untuk mendapatkan massanya. Pengujian dilakukan untuk beberapa siklus. Dengan adanya rotasi drum, berarti terjadi penyaringan hancuran batuan, dimana fraksi yang berukuran lebih besar dari 2 mm akan tertahan di dalam drum, sementara fraksi yang

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

berukuran kurang dari 2 mm akan keluar dari drum bersama dengan air. Setelah periode rotasi, drum dikeluarkan dari alat uji durability.

Perhitungan kadar air alami dilakukan pada contoh batuan yang telah dikeringkan di dalam oven, yang kemudian ditimbang setelah didinginkan pada suhu kamar selama 15 - 20 menit terlebih dahulu.

w = [(A- B)/(B - C)] x 100 ................................................................................................................................. (1) dimana : w

= Persen kadar air,

A = Berat drum ditambah sampel pada kadar air alami, gr,

B = Berat drum ditambah sampel kering sebelum siklus pertama, gr,

C = Berat drum, gr. Hasil kualitatif dari uji ini adalah slake durability index (Id) yang menyatakan prosentase

berat kering shale yang tertahan pada lubang saringan 2 mm setelah pada siklus tertentu direndam selama 10 menit dengan kecepatan abrasi 20 rpm, terhadap berat kering satu siklus sebelumnya. Id (2) = [ (WF – C)/(B- C)] x 100 ........................................................................................................................ (2) dimana : Id(2) = slake durability index (second cycle),

B = berat drum ditambah sampel kering sebelum siklus pertama, gr, WF

= berat drum ditambah sampel kering setelah siklus kedua, gr,

C = berat drum, gr. Hasil pengujian daya tahan batuan selanjutnya diklasifikasikan tingkat ketahanan

batuannya dengan menggunakan Tabel 1 Slake Durability Classification” dari Gamble (Goodman, 1980).

Gambar 1. Alat Uji Slake Durability

Tabel 1. Tabel Gamble “Slake Durability Classification (Goodman, 1980)

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Uji beban titik dilakukan dengan menggunakan Standard ASTM-D 5731 – 95 (ISRM RTH 325-89). Pengujian dapat dilakukan dengan uji diametral, uji aksial, uji blok dan uji irregular. Prosedur pengujian adalah dengan menempatkan contoh pada alat uji. Tentukan dan catat jarak

D dan L. Berikan penambahan beban hingga contoh mengalami retakan. Strength Index (Is) dapat dihitung dengan :

Is = P./ De 2 MPa ........................................................................................................................................................ (3)

I s(50) = F x Is .................................................................................................................................................................. (4)

................................................................................................................................................................. (5) dimana :

P= beban keruntuhan, N, De = Diameter, mm, Is (50) = Koreksi Strength index, F= Faktor koreksi Hubungan antar Strength index dengan kuat tekan uniaksial dapat diperoleh dengan menggunakan :

Tabel 2. Faktor C ASTM

Ukuran Core (mm) Nilai C 20 17.5

Uji tekan uniaksial pada prinsipnya adalah memberikan beban secara axial sampai contoh mengalami pecah tanpa adanya pengaruh dari arah lateral. Beban maksimum hingga contoh mengalami pecah disebut kuat tekan uniaksial, qu. FHWA (1982) mengklasifikasikan

kuat tekan batuan (qu) menjadi lima tingkatan, (Tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi Kekuatan Batuan (FHWA, 1982)

Kekuatan

Kuat Tekan Uniaksial

qu (kg/cm2)

Sangat Tinggi

Rendah (Lunak)

35 - 140

Sangat Rendah

.9 - 35

HASIL

Uji slake durability dilakukan dari tiga titik bor DB – 01, DB – 02, DB – 03, dengan masing-masing enam kali pengujian. Hasil untuk setiap siklus dari uji durabilitas dinamis terhadap contoh dinyatakan dengan persentase, tercantum dalam Tabel 3. Prosedur pengujian mirip dengan standar pengujian ASTM D4644, perbedaannya adalah bahwa pada pengujian ini dilakukan lebih dari dua siklus. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat slaking sampai ukuran terkecil seperti terlihat pada gambar 3.

Pengujian beban titik dilakukan dalam dua macam pengujian, yaitu pengujian yang sejajar atau hampir sejajar dengan perlapisan batuan, cara diametral dan pengujian yang tegak lurus atau hampir tegak lurus perlapisan batuan, axial. Gambar 4 memperlihatkan hasil uji beban titik yang dihubungkan dengan nilai daya tahan batuan. Hal yang sama pada gambar 5 dilakukan pada uji kuat tekan uniaksial .

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Tabel 4. Hasil Uji Slake Durability Index di Sentul City

No. Sample Berat sampel

Klasifikasi gr

Berat Kering Kadar Air

Indeks Durabilitas (Id) (%)

1 2 3 4 5 1 BD01-1

gr

4.90 97.94 91.75 86.60 80.41 74.23 Medium Durability 2 BD01-2

4.17 97.83 94.57 90.22 85.87 80.43 Medium Durability 3 BD01-3

3.92 97.96 95.92 93.88 91.84 88.78 Medium high Durability 4 BD01-4

5.38 95.45 93.18 90.91 86.36 81.82 Medium Durability 5 BD01-5

4.86 92.22 83.33 75.56 67.78 62.22 Medium Durability 6 BD01-6

4.06 97.65 96.47 94.12 91.76 90.59 Medium high Durability 7 BD02-1

6.86 87.37 71.58 57.89 46.32 36.84 Low Durability 8 BD02-2

6.45 82.76 63.22 50.57 42.53 34.48 Low Durability 9 BD02-3

6.38 93.18 84.09 72.73 64.77 56.82 Low Durability 10 BD02-4

5.71 90.91 77.78 63.64 53.54 46.46 Low Durability 11 BD02-5

5.78 88.64 72.73 57.95 48.86 42.05 Low Durability 12 BD02-6

4.71 86.42 72.84 60.49 50.62 41.98 Low Durability 13 BD03-1

6.19 83.52 65.93 49.45 40.66 34.07 Low Durability 14 BD03-2

5.56 84.71 64.71 50.59 41.18 34.12 Low Durability 15 BD03-3

6.52 82.56 58.14 44.19 33.72 26.74 Very Low Durability 16 BD03-4

5.68 85.54 59.04 46.99 37.35 28.92 Very Low Durability 17 BD03-5

5.19 91.78 71.23 60.27 52.05 42.47 Low Durability 18 BD03-6

6.52 83.72 61.63 48.84 40.70 32.56 Very Low Durability

Gambar 2. Kurva Uji Slake Durability

Contoh BD 01

Contoh BD 02

Contoh BD 03

Sampel Siklus 1

Siklus 1 Siklus 2

Siklus 4 Siklus 5

Gambar 3. Bentuk Sampel Setelah Mengalami Lima Siklus Pengujian

Gambar 4. Hubungan Antara Nilai Indeks Durabilitas Dan Indeks Point Load

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Gambar 5. Hubungan Antara Nilai Indeks Durabilitas Dan Kuat Tekan Uniaksial DISKUSI

Pada Tabel 4 dan Gambar 2, terlihat bahwa dari tiga titik pemboran dengan masing- masing enam kali pengujian, tingkat kerapuhan terbesar terjadi pada kelompok contoh BD 03 dengan nilai Indeks ketahanan batuan Id(1) = 82.56 % yang terus menurun sampai Id(5)= 26.74 %, dan menurut Tabel Gamble untuk kelompok batuan BD 03 diklasifikasikan pada batuan yang memiliki nilai ketahanan sangat rendah sampai rendah. BD 01 memiliki tingkat kerapuhan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan contoh BD 02 dan BD 03. Dengan nilai Indeks durability

62.22 % sampai 90.59 %, contoh BD 01 berada pada klasifikasi batuan yang memiliki nilai ketahanan menengah sampai menengah tinggi. Sedangkan untuk kelompok contoh BD 02 dengan nilai Indeks durability 34.48 % sampai 56.82 %, klasifikasi batuannya berada pada nilai ketahanan rendah.

Perubahan kondisi contoh dari siklus proses pembasahan dan pengeringan, mempengaruhi tingkat kerapuhan batuan. Perubahan bentuk hancuran yang terjadi pada setiap siklus dapat dilihat pada Gambar 3. Contoh DB 03 yang mengandung material berukuran serpih dan lempung,tereduksi menjadi serpih-serpih kecil bila di bandingkan dengan contoh dari DB 01 dan DB 02. Adanya material yang berukuran halus memiliki efek kapilaritas dan dapat meningkatkan tegangan Tarik pada air. Saat contoh batuan yang memiliki ukuran butir halus yang kering di masukkan ke dalam air, maka contoh batuan tersebut akan mengalami desintegrasi, dimana tegangan kapilaritas akan menarik air masuk ke dalam pori batuan sehingga akan mendorong udara yang ada di dalam batuan tersebut. Proses kembang susut dapat mengakibatkan slaking.

Uji beban titik memperlihatkan bahwa semakin rendah nilai index strength batuan maka semakin rendah pula nilai kerapuhan batuannya. Kekuatan batuan juga dipengaruhi oleh letak contoh terhadap beban titik. Contoh diametral memiliki nilai kuat tekan yang lebih rendah dibandingkan dengan aksial

Berdasarkan klasifikasi kekuatan batuan dari FHWA, 1982, bahwa untuk nilai kuat tekan uniaksial batuan yang berkisar 71.2 kg/cm 2 sampai 144.8 kg/cm 2 berada dalam kekuatan lunak. Dari hubungan antara nilai indeks durabilitas dengan kuat tekan uniaksial terlihat bahwa pada peningkatan nilai indeks durabilitas akan diikuti pula dengan peningkatan nilai kuat tekannya. Karena pada kuat tekan yang rendah, volume pori menjadi besar, sehingga rembesan air akan berjalan dengan cepat dan mengakibatkan ketahanan batuan menjadi rendah.

KESIMPULAN

Material batuan di sekitar Sentul city sebagian besar dikategorikan sebagai clay shale dengan durabilitas bervariasi dari sangat rendah sampai menengah tinggi. Clay shale dengan kandungan lempung yang lebih banyak cenderung akan memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah. Berdasarkan nilai kekuatan batuannya, FHWA (1982) mengklasifikasikan kedalam kekuatan lunak. Pada pengujian durabilitas ini dilaksanakan sampai siklus ke 5, tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa bila contoh dilakukan proses pengeringan dan pembasahan yang berulang-ulang, maka nilai ketahanan batuannya akan terus menurun.

Clay shale dapat dengan cepat mengalami pelapukan bila terkena pengaruh dari udara luar seperti perubahan cuaca dan iklim. Sehingga dalam kepentingan kontruksi perlu diminimalkan kontak dengan udara luar tersebut. Selain itu keberadaan clay shale juga

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

merupakan indikasi awal untuk kewaspadaan terhadap bangunan di atasnya, sehingga perlu dilakukan investigasi geologi dan geoteknik lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

A study of the durability of some shales, mudrocks and siltstones from Brazil, Eduardo A.G, Marques, Euri Pedes Do A. Vargas JR, and Franklin S. Antunes, Geotechnical and Geological Engineering (2005), 23: 321 –348

An Introduction to Geotechnical Engineering, Robert D. Holtz, William D. Kovacs, Prentice Hall Civil Engineering and Engineering Mechanics Series, 1981. Assessing the Behavior of Clay-Bearing Rocks Using Static and Dynamic Slaking Indices, M. Heidari,

B. Rafiei.,Y. Mohebbi, M. Torabi-Kaveh, Geotech Geol Eng (2015) 33:1017 –1030

Effect of Initial Water Content on Saturated Hydraulic Conductivity in Desalinization with Slaking and Drying, Abul Hasnat . Shamim• Takeo Akae, Paddy Water Environ, 2011, 9:221–228 Engineering geological classification of weak rocks, Marion Nickmann, Georg Spaun And Kurosch

Thuro, IAEG2006 Paper number 492, The Geological Society of London 2006, 1-9. Engineering Geological Investigations Into the Border Between Hard and Weak Rocks, M. Nickmann, S. Sailer, J. Ljubesic & K. Thuro, Geologically Active – Williams et al. (eds), Taylor & Francis Group, London, ISBN 978-0-415-60034-7, 2010

Evaluation of Physical Determination of Slake-Prone Rock Subjected to Static Slaking Test, Imam A. Sadisun, Hideki Shimada, Masamoto Ichinose and Kikuo Matsui; The 11th Japan National Symposium for Rock Mechanics 2002

Fragility of a Dark Gray Shale in Northeastern Jamaica: Effects and Implications of Landslip Exposure, Mark Anglin Harris, Environ Earth Sci (2010), 61:369 –377 Improving the Jar Slake, Slake Index and Slake Durability Tests for Shales, Paul M. Santi, Environmental and Engineering Geo science, Vol IV, No. 3, 385-396, 1998. Methods for Predicting Shale Durability in the Field, Santi Paul M & Higgins Jerry D, Geotechnical Testing Journal Vol 21 No.3, ASTM, 1998 Pengaruh Derajat pelapukan Terhadap Potensi Mengembang Batulempung Formasi Subang, A. Nurjamil, I. A. Sadisun, dan Bandono, Proceedings Joint Convention Surabaya, 2005, 905- 912.Rock Mechanics, Alfred R Jumikis, Gulf Publishing Company, Houston London, 1983

Slaking Process and Mechanisms Under Static Wetting and Drying Cycles Slaking Tests in a Red Strata Mudstone, Jianfeng Qi, Wanghua Sui.Ying Liu,.Dingyang Zhang, Geotech Geol Eng (2015), 33:959 –972

Slope Instability of Road Cuts Due to Rock Slaking, I. A. Sadisun & Bandono, H. Shimada, M. Ichinose & K. Matsui, 12 th Asian Regional Conf. on Soil Mechanics & Geotechnical Engineering, Leung et al. (eds) © 2003, 747-750

Standard Test Method for Slake Durability of Shales and Similar Weak Rocks, ASTM International,

D 4644 – 87 (Reapproved 1998) Studi Karakteristik Clay shale Bukit Sentul (Bogor) Berdasarkan Uji Lapangan dan Uji Laboratorium, Budijanto Widjadja, Tesis Universitas Katholik Parahyangan, 2001 Suggested Method for Determining Point Load Strength, ISRM, RTH 325-89.

demo/t26/offline_IPIMS_s23560/resources/data/G4105.htm, 2016 Weathering and durability of the Goldsworthy Chalk Stones,South Downs, West Sussex, England, Cherith MosesÆ Rendel Williams, Environ Geol (2008) 56:495 –506

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Stratigraphy Sequence based on Carbonate Rocks Data Approach on Interpretating Tonasa Formation’s Depositional Environment Salo Mapella Field

Hari Wiki UTAMA 1 , Wahdaniah MUKHTAR 1 , Nurhikmah SUPARD 1

Geological Engineering, Graduate Program, Engineering Faculty, Universitas Gadjah Mada Grafika Street

No. 2 UGM Campus, Yogyakarta, 55281, Indonesia 1 Corresponding Author : h.wikiutama@yahoo.com

ABSTRACT

The study area Tonasa Formation is well exposed at located Salo Mapella river, Tompo, Barru subdistrict, Barru regency, South Sulawesi. Tonasa Formation is Middle Eocene carbonate dominated formation typified by the occurence of limestone. The paper emphasizes the case study of depositional environment utilising the concept of sequence stratigraphy as field observation and measuring section method has been done on the location which is supported by micropaleontological and petrographical analysis. The presence of Tonasa Formation was the consequence of sea level rise trend as a triggering factor for the growth of carbonate forming on numerous organism variety during Middle Eocene. The research area is dominated by mudstone, wackstone, packstone and grainstone. Characteristic of sedimentary structure in the form of bioturbation, lamination and reverse graded bedding. The presence of smaller benthic forams as Cibicides sp., Robulus sp., Cassidulina tricamerata, Lagena trinitatensis, Ellipsoidina abbreviata, Ellipsoglandulina labiata, Lagena sp., Robulus sp., Nodosaria obligua, and Nodosaria sp. Petrographical analysis have showed carbonate cement like granular to drussy type, meanwhile porosity showed channel, intraparticle and interparticle type, feature that diagenesis process. Based on characteristic lithology, sedimentary structure, smaller benthic forams contain and type of carbonate cement, so can be interpretating depositional environment is marine depositional environment with sedimentary facies of hipersaline lagoons, normal marine lagoons and carbonate platforms.

Introduction

Carbonate rock is rock could be function to hidrocarbon reservoir include more third of hidrocarbon reserve in the world. It s also to used as contruction material. Research about

carbonate rock s in South Sulawesi had done to researcher or scientist, such as Sukamto ( 9 , Wilson (1996), and Farida, et al (2013), where research concerning to limestone of Tonasa Formation. Researchs have done to still regional, with the result that detail datas about carbonate rocks in specific area is infrequently.

Based on above statement, researcher have motivation for to do this reasearch on the Salo Mapella, subdistrict, Barru regency, South Sulawesi (Figure 1). Research concerning to carbonate facies is very importance to understanding, the primary carbonate rock as hidrocarbon reservoir.

Aim of the research to know physis characteristic and foraminifers fossil contain to limestone Tonasa Formation, so we know specifical depositional environemnt this formation.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Figure 1: Research area Salo Mapella river, Tompo, Barru Subdistrict, Barru regency, South Sulawesi. Source topography map from BIG

Data and Method

Collected datas have been directly in the field using measured section method. Measurements have made with data retrieval of layer thickness whereas description include of lithology, sedimentary structures, examination patterns of rock units and elements, other stratigraphic elements, and taken rock samples that will be analyzed in the laboratory, finally result in geological map (Figure 2).

Figure 2: Geological Map In Research Area Salo Mapella River, Tompo, Barru Subdistrict,

Barru Regency, South Sulawesi

Laboratory analysis consists of micropaleontology analysis and petrographic analysis. Analysis of micropaleontology performed fossil preparation, observation, determination include of each planktic foraminifera species type found on each layer in the trajectory measurements refer to the publications and documentation of small benthic forams have founded in the Manual of planktic foraminifera, Postuma (1971). Smaller benthic forams publications and documentation of containt in An Illustrated Key to the Genera of the Foraminifera, Cushman (1983), creation of a cross- stratigraphic measured, as well as the determination of depositional environments by using a classification of depositional environment, Bandy (1967), Enos (1983), Armstrong and Brasier (2005). Petrographical analysis was conducted to determine the name of rock and fossil foraminifera content contained in thin slices. The classification used consisted of classification of Dunham (1962 ) and the classification of Selley (2001).

The data have been obtained from the results of laboratory analysis with data obtained in the field and then interpreted, which will eventually be known depositional environment a layer of rock is based on the content of foraminifera bentonic well as the characteristics of sedimentary structures in each layer.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Result and Discussion

Stratigraphy Section Salo Mapella Determination of the age of these research areas using zoning peak based on an abundance of fossils that were found in the form of fossil plantonik Globigerina boweri Bolli showing the Middle Eocene age Lower to Middle Eocene section Middle section ( P10 - P11 ) according to Postuma (1971 ). Based on physical properties such as the thickness of each layer , type of lithology , fossil content and structure of the sediment , then the sequence stratigraphy in the study area can be divided into four sequences, below:

The first sequence starts from layer 1 to layer 4 composed by lithology calcareous claystone , grainstone and packstone , sedimentary structures such as bioturbation and lamination , which begins with lithology claystone then lithology of limestone with a thickness of more upward layer of limestone progressively thicker identifying the depositional environment marine shallow. Based on these characteristics then interpreted depositional environment on the shelf at the inner shelf to be compared to middle shelf depositional environment according to Enos (1983 ) .

Bentonic foraminifera fossils found on this sequence consists of Robulus sp., Cassidulina tricamerata Gallewai and Heminway, Cibicides sp., and Lagena trinitatensis Nuttal (Table 1). Based on the the existence of fossils it can be concluded that the sequence I deposited on neritic

Middle environment that is at a depth of 30 to 91 meters or environme ntal normal marine lagoon and carbonate platforms be compared with the deposition environment according to Armstrong & Brasier (2005 ).

Table 1. Determination of Depositional Environment First Cycle

The second sequence starting from layer 5 to layer 6 were prepared by lithology calcareous claystone and wackstone with the appearance of the field is gray with sedimentary structures such as bioturbation and reverse grading beginning with lithology claystone followed limestone with a thickness of more upward layer of limestone getting thicker with the coarser grain identifying depositional environment towards superficial.

Based on these characteristics it is interpreted that this sequence deposited on the shelf environmental on middle shelfuntil the inner shelf environmentbe compared with the depositional environments according to Enos (1983).The content of fossil foraminifera bentonic encountered that Robulus sp., Cibicides sp., Ellipsoidina abbreviata Seguenza, and Lagena trinitatensis Nuttal (Table 2).

Table 2. Determination of Depositional Environment Second Cycle

Based on existence of fossil foraminifera Cibicide sp. with a total of 7, then the sequence is interpreted deposited on the environment normal marine lagoons and carbonate platforms be

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

compared with the depositional environments according to Armstrong & Brasier (2005) or on the environment Middle neritic with a depth of 30 to 91 meters be compared with the classification of depositional environments by Bandy (1967 ).

The third sequence starting from layer 7 to layer 14 prepared by lithology calcareous claystone, wackstone and grainstonewith the appearance of the field is gray with sedimentary structures such as bioturbation and lamination that preceded by lithology claystone carbonates followed limestone with a thickness of more upward layer of limestone identifying the thicker depositional environment towards superficial. Based on these characteristics, the layers in this sequence are interpreted deposited on the shelf depositional environment of the inner shelf until the middle shelf be compared with the depositional environments according to Enos (1983) .The content of fossil foraminifera bentonicwere found are Ellipsoglandulina labiata (Schwager), Lagena sp ., Robulus sp, Nodosaria obligua (Linne), and Nodosaria sp., Cibisides sp. Cassidulina tricamerata Galleway and Haminway (Table 3). Based on existence of fossil foraminifera, the sequence isinterpreted deposited on the environment Middle neritic with a depth of 30 to 91 meters be compared with the classification of depositional environments by Bandy (1967), or on the environment Normal marine laggons and carbonate platforms be compared with the depositional environments according to Armstrong & Brasier (2005 ).

Table 3. Determination of Depositional Environment Third Cycle

The fourth sequences starting from layer 15 to layer 24 prepared by lithology Calcareous claystone, Grainstone and Wackstone with the appearance of the field is gray in color, with sedimentary structures form bioturbationand lamination that preceded by lithology claystone carbonates followed limestone with a thickness of more upward layer of limestone more thick identifying depositional environment towards superficial.

Based on these characteristics, the layers in this sequence are interpreted deposited on the shelf depositional environment on the middle shelf to the inner shelf and back to the middle

shelf be compared with the depositional environments according to Enos (1983).he content of fossil foraminifera bentonic were found that Nodosaria sp. , Discorbis sp., Lagena trinitatensis Nuttal, Cassidulina sp., Lagena asperoides Galloway &Morrey, Cassidulina tricamerata Galleway and Haminway, Nodosarella sp, Ellipsoglandulina labiata (Schwager), Ellipsoidina abbrevieta Suguenza, Robulus sp., and Cibicides sp. (Figure 6).

Based on existence of fossil foraminifera, then interpreted that this sequence is interpreted deposited on the environment Middle neritic with a depth of 30 to 91 metersbe compared with the classification of depositional environments by Bandy (1967) or on the depositional environment hipersaline lagoons to normal marine lagoons and carbonate platforms be compared with the depositional environments by Armstrong and Brasier (2005).

Table 4. Determination of Depositional Environment Fourth Cycle

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Conclusion

Based on physical characteristics such as thickness, lithology, sedimentary structure, depositional environment in the research area divide to four cycle. First cycle interpreted to depositional environment to Inner shelf - Middle shelf, second cycle to Middle shelf - Inner shelf, third cycle to Inner shelf - Middle shelf, and fourth cycle to Middle shelf - Inner shelf - Middle shelf.

Based on presence of smaller benthic forams, on the fourth cycle depositional environment Middle Neritic is depth 30 to 91 metere whereas presence of smaller benthic forams Cibicides sp. First cycle, second cycle, and third cycle with depositional environment Normal marine laggons and carbonate platforms meanwhile on the fourth cycle met smaller benthic forams like Discorbis sp., and Cibicides sp., so interpreted fouth cycle depositional environment Hipersaline lagoons to Normal marine laggons and carbonate platforms.

Anknowledgment

This study is based on Wahdaniah Mukhtar undergraduate inal assignment in the Universitas Hasanudin . The authors acknowledge ro . Dr.rer.nat. Ir. A. . Imran and Dr. Eng. Meutia Farida, ST, MT for their discussion and motivation. Our gratitudes to the Department of Geological Engineering of Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanudin and Universitas

embangunan Nasional Veteran . Thanksgiving to Allah SWT, my parent, and would like to thanks to SEMNAS FTM UPN).

References

Armstrong, H. & Brasier, M., 2005, Microfossils, Blackwell, USA. Cushman, J.A., 1983, An Illustrated Key to The Genera of The Foraminifera, Sharon,

Massachusetts, U.S.A Dunham, R.J., 1962. Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Texture, Houston, Texas. Enos, P., 1983. Shelf Environment. Dalam Schole, P. A., D. G. Bebout, & C. H. Moore, 1983. Carbonate Depositional Environmets. Oklahoma: AAPG Memoir 33. Farida, M., Arifin, F., Husain, R., Alimuddin, I., 2013, Paleoseanografi Formasi Tonasa Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera daerah Barru, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Kebumian ke-6. UGM.

Fridolin, H., 2013, Geologi Daerah Tompo Kecamatan Barru Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia (Tidak Dipublikasikan). Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company, Amsterdam, Netherlands. Pringgoprawiro, H dan Kapid, R., 2000, Seri Mikrofosil Forraminifera Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi, ITB, Bandung Indonesia.

Selley, R.C., 2001, Applied Sedimentology 2 nd Edition, Academic Press, Florida, USA. Sukamto, R., 1982, Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat.

Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Bandung, Indonesia.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Wilson, M.E.J. and Bosence, D.J., 1995, The Tonasa Limestone Formation Sulawesi, Indonesia : Development of a Tertiary Carbonat Platform, Unpublished, PhD Thesis, University of London.

Wilson, M.E.J., 1996, Evolution and Hydrocarbon Potential Of The Tertiary Tonasa Limestone Formation Sulawesi, Indonesia, Unpublished.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

Serpentinisasi pada Ofiolit Pulau Sebuku Kalimantan Selatan

Faris Ahad SULISTYOHARIYANTO 1 dan Joko SOESILO 2

1 Alumni Teknik Geologi, U N Veteran Yogyakarta 2 FakultasTeknologi ineral, U N Veteran Yogyakarta

Alamat: Komplek Ayodya Citra Blok E -24 RT 13, Kecamatan Depok, Sleman, DIY, 76124 E-mail: farisahadsulistyo@gmail.com 1

j_soesilo@upnyk.ac.id 2

ABSTRAK

Ofiolit Pulau Sebuku memiliki kesamaan dengan Ofiolit Pulau Laut Kalimatan Selatan, berupa sekuen ofiolit lengkap dimana batuan ultramafik berasosiasi dengan rijang dan lava bantal. Ofiolit Pulau Laut berumur setidaknya Jura Tengah atau lebih tua. Keduanya mengindikasikan bagian dari ofiolit kerak samudra pasif margin Sundaland. Kegiatan tektonik bersamaan dan pasca pembentukannya mempengaruhi terjadinya proses serpentinisasi pada ofiolit Pulau Sebuku. Serpentinisasi pada ofiolit Pulau Sebuku memperlihatkan texture bastit, jala (mesh), jam pasir (hourglass), urat sejajar, tergerus (sheared), membilah (flaky), Urat halut (veinlet). Satuan gabbro pada ofiolit Pulau Sebuku sebagian besar resisten terhadap serpentinisasi dan umumny a bertextur bastit dan sebagian flaky. Satuan Piroksenit memperlihatkan tekstur bastit, jala, hourglass dan sea and island. Serpentinisasi lebih berpeluang terjadi terhadap piro ksen orto dibandingkan klino. Pada kedua satuan ini lizardit, krisotil hadir me waki li spesies serpentin. Satuan Ultra mafi k lainnya tidak tampak lagi di permukaan melainkan sudah mengalami serpentinisasi lanjut membentuk serpentinit. Pada serpentinit didominasi tekstur jala dan flaky yang mengindikasikan jenis serpentin suhu tinggi. Kehadiran antigorit menandai hal tersebut. Terdapat urat urat dan sebaran merata magnetit dan urat spinel dan talk dalam serpentinit. Hal tersebut mengindikasikan berasal dari peridotit berspinel kaya Mg 2+ . Selain itu terdapat serpentin milonit, berfoliasi dan rapuh yang memotong Utara Selatan satuan-satuan ofiolit Pulau Sebuku. Keywords: ofiolit, Pulau Sebuku, Pulau Laut, lizardit, krisotil, antigorit.

PENDAHULUAN

Pulau Sebuku merupakan bagian dari Kompleks Meratus yang merupakan kompleks geologi pada tepi Kraton Sundaland yang mana belum banyak dilakukan penelitian khususnya dibidang Ultramafik. Batuan yang terdapat pada Komplek Meratus sangat beragam khususnya batuan metamorf dan ultramafik yang berumur Jura. Batuan pada Kompleks Meratus adalah hasil dari proses yang berhubungan dengan zona subduksi antara Mikrokontinen Patenoster yang menyusup di bawah Sundaland yang kemudian diiukuti dengan kolisi pada Kapur Awal. Pulau Sebuku terdapat pada Kompleks Meratus bagian timur yang terdiri dari batuan Kompleks Meratus berumur Mesozoikum hingga Kenozoikum. Pada pulau ini terdapat kompleks ultramafik yang teranjakan (overthrusted) yang menurut Seosilo (2015) merupakan lempeng transisi yang terobduksikan diatas Lempeng Pasif Margin Sundaland bagian tenggara sejak Kapur oleh proses kolisi dengan lempeng Mikrokontinen Patenoster.

GEOLOGI PULAU SEBUKU

Keadaan Geologi Pulau Sebuku ditunjukan pada gambar 1 yang terbagi kedalam 3 kelompok, yaitu batuan berumur Kristalin Prakapur Akhir yang terdiri dari batuan metamorf dan ultramafik, kemudian secara tidak selaras diendapkan Batuan Sedimen Kapur Akhir, dan berikutnya secara tidak selaras tertutupi oleh batuan Sedimen Tersier Formasi Tanjung. Secara umum, Pulau Sebuku merupakan daerah anjakkan (overthrusting) dari ofiolit yang terdiri dari serangkaian sesar naik membentuk imbrikasi (sirapan) berarah hampir utara – selatan. Zona Sesar naik tersebut pada beberapa daerah terutama pada bagian timur Pulau Sebuku berkembang menjadi kataklastik dan milonit.

Seminar Nasional Kebumian XII

Hotel Sahid, 14 September 2017 Fakultas Teknologi Mineral, UPN ”Veteran” Yogyakarta ISBN 978-602-19765-5-5

1. Batuan Ultramafik Terdiri dari serpentinit, piroksenit terserpentinisasi, harzburgit terserpintinsasi, gabro, basal dan dunit terserpentinisasi dengan mineral aksesori spinel pikotit dan pleonaste. Diperkirakan berumur Jura Tengah atau lebih tua (Wakita 1998), didasarkan pada penarikan umur radiolarian dari rijang yang menindih langsung diatas batuan ultramafik Pulau Laut yang merupakan runtuhan ofiolit lengkap. Batuan ultrabasa bersentuhan sesar naik dengan satuan di sekitarnya. Batuan ofiolit tersebut dapat dibagi menjadi beberapa satuan tidak resmi yang terdiri dari satuan serpentinit, satuan piroksenit terserpentinisasi, dan satuan gabro.

2. Formasi Haruyan Lava basal, breksi aneka bahan dan tuf. Komponen breksi terdiri atas basal, rijang, batulanau dan grewake. Formasi ini menjemari dengan Formasi Pitap. Merupakan hasil dari kegiatan vulkanisme Kapur akhir yang dibeberapa daerah menghasilkan endapan turbidit gunung api bawah laut.

3. Formasi Pitap Perselingan konglomerat, batupasir wake, batupasir sela dan batulanau, bersisipan batugamping, breksi aneka bahan, batulempung, konglomerat dan basal. Konglomerat umumnya berlapis baik, komponen terdiri atas basal, batulempung, ultrabasa, rijang, batugamping, gabro, diabas, yang menghalus ke arah atas. Formasi Pitap diduga berumur Kapur Akhir dan terendapkan di lingkungan laut dangkal. Formasi Pitap menjemari dengan Formasi Haruyan.

4. Formasi Tanjung Perselingan konglomerat, batupasir dan batulempung dengan sisipan serpih, batubara dan batugamping. Bagian bawah terdiri dari konglomerat dan batupasir dengan sisipan batulempung, serpih dan batubara, sedangkan bagian atas terdiri atas batupasir dan batulempung dengan sisipan batugamping. Batugamping mengandung fosil Discocyclina sp., Nummulites sp. dan Lepidocyclina sp. berumur Eosen, diendapkan di lingkungan fluviatil di bagain bawah dan beralih ke delta di bagian atas. Formasi Tanjung menindih tak selaras Formasi Pitap dan Formasi Haruyan.

5. Endapan Alluvium Terdiri dari material lepas berupa kerakal, kerikil pasir, lanau, lempung dan lumpur, terdapat sebagai endapan sungai, rawa dan pantai.

Metode Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada kegiatan lapangan yang kemudian dilakukan analisis laboratorium yang dilakukan pada contoh batuan meliputi:

1. Analisis XRF (X-Ray Flourescence) untuk mengetahui unsur utama ( Major) kimia penyusun.

2. Analisis Petrografi untuk menentukan mineral batuan serta melihat tahapan pro ses serpentinisasi.

3. Serpentinisasi Batuan Ofiolit

Batuan ultramafik Proses serpentinisasi pada pulau sebuku meliputi segala unsur geologi yang didalamnya termasuk batuan dan struktur geologinya. Berdasarkan data kimia, batuan yang mengalami serpentinisasi memiliki nilai Mg 2+ yang diperkirakan berasal dari batuan ofiolit kaya akan unsur tersebut. Batuan ofiolit pada Pulau Sebuku yang mengalami proses serpentinisasi terdiri dari serpentinit, piroksenit, dan gabro. Penafsiran serpentinisasi ini dikaji melalui analisis petrografis dengan memperhatikan aspek tekstur (peseudomorfik dan non pseudomorfik) dan struktur yang beragam dan macam macamnya.