KERANGKA KONSEPTUAL

Gambar 2.1 Enam Tingkatan Berpikir dalam Kognitif

Evaluasi Synthesis Analysis Application Comprehension Knowledge

Dimensi Afeksi mencakup aspek perasaan, minat, emosi dan nilai. Menurut Bloom juga terdapat tingkatan dalam aspek afeksi (Krathwohl, Bloom & Maisa, 1984) ini yaitu :

1. Receiving (menerima) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar.

2. Responding (menanggapi) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving.

3. Valuing (menilai atau menghargai) artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding.

mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu

4. Organization (mengatur

atau atau

5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah memengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana.

Gambar 2.2 Lima Tingkatan Berpikir dalam Afektif

Menurut Notoatmodjo suatu sikap belum secara otomotasi terwujud dalam tindakan (overt behavior), diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan agar terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata. Notoatmodjo menyatakan perilaku merupakan tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dipelajari. Terdapat tingkatan dalam perilaku ini yaitu :

1. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih pelbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh indikator praktik tingkah laku.

3. Mekanisme (Mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat ketiga.

4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Jadi berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecendrungan individu dalam memahami, merasakan, dan berperilaku individu terhadap suatu objek sebagai hasil dari interaksi komponen kognitf, afektif dan konatif. Dalam hal ini sikap akan dilihat sebagai suatu penilaian positif atau negatif individu terhadap rangsangan atau stimulus tertentu.

2.2.1.2 Definisi Remaja

Remaja, dalam beberapa sumber literatur yang ditemukan oleh peneliti menunjukkan bahwa indikator usia merupakan parameter utama dalam mengkategorikan kelompok masyarakat sebagai kelompok remaja. Menurut BKKBN, remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1979, disebutkan bahwa anak dianggap sudah remaja ketika berusia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki. Organisasi kesehatan dunia yaitu WHO menyebutkan bahwa remaja adalah ketika anak telah mencapai usia 10-18 tahun.

Menurut Monks, Knoers, dan Haditono masa remaja dibedakan menjadi empat bagian: masa pra-remaja berusia 10-12 tahun, masa remaja awal yaitu di usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan di usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir berusia 18-21 tahun (Deswita, 2006: 192). Menurut seorang ahli psikologi remaja, Hurlock (1999), masa remaja adalah masa kritis identitas atau masalah identitas – ego remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat, serta usaha Menurut Monks, Knoers, dan Haditono masa remaja dibedakan menjadi empat bagian: masa pra-remaja berusia 10-12 tahun, masa remaja awal yaitu di usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan di usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir berusia 18-21 tahun (Deswita, 2006: 192). Menurut seorang ahli psikologi remaja, Hurlock (1999), masa remaja adalah masa kritis identitas atau masalah identitas – ego remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat, serta usaha

Jadi, remaja dalam penelitian ini adalah seseorang yang berumur 15-19 tahun dan belum menikah. Dasar peneliti dalam menentukan kategori belum menikah adalah untuk mendapatkan sampel yang belum pernah berhubungan seksual.

2.2.1.3 Penularan HIV dan AIDS

Menurut Panggih Dewi K (2008), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab penularan langsung HIV dan AIDS, antara lain:

1. Hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV,

2. Transfusi darah yang tercemar HIV,

3. Menggunakan jarum suntik, tindik, tato atau alat lain yang dapat menimbulkan luka yang telah tercemar HIV secara bersama-sama dan tidak disterilkan,

4. Transplansi dengan organ atau jaringan yang terinfeksi, dan

5. Dari ibu ke anaknya sewaktu kehamilan, persalinan, maupun sewaktu menyusui.

2.2.1.4 Pencegahan HIV dan AIDS

Menurut WHO (1990), terdapat empat cara utama untuk mencegah penularan HIV dan AIDS yang dikenal dengan singkatan ABCD.

Tabel 2.2 Definisi ABCD

A Singkatan dari Abstinence atau puasa atau menjaga keperawanan, yaitu tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, yang berarti bahwa hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah.

B Singkatan Be Faithful atau setia pada pasangan, yaitu kalaupun sudah menikah, hubungan seksual hanya dilakukan dengan pasangannya saja.

C Singkatan dari Condom atau menggunakan kondom, yaitu bagi mereka yang memiliki kebiasaan berganti-ganti pasangan.

D Singkatan dari Don’t drugs atau tidak menggunakan obat-obatan terlarang. Obat terlarang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah obat terlarang yang digunakan dengan media jarum suntik seperti heroin.

2.2.1.5 Sikap Remaja dalam Mencegah Penularan HIV dan AIDS

Penelitian ini melihat sikap remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS sebagai kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dalam pencegahan penularan HIV dan AIDS melalui empat cara utama yaitu tidak berhubungan seksual sebelum menikah (Abstinence), setia dengan pasangan (Be Faithful), penggunaan kondom (Condom), dan tidak memakai obat-obatan terlarang (Don't drugs ).

Ketiga komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku dapat mengukur bagaimana sikap remaja yang positif atau negatif dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Penelitian ini akan menggunakan seluruh dimensi tersebut. Dalam Tiarlan (2008) sikap remaja yang positif ditunjukkan dengan remaja tersebut mendekati, menerima atau mendukung upaya pencegahan terhadap penularan HIV dan AIDS, seperti memiliki wawasan yang luas mengenai HIV dan AIDS, tidak menggunakan narkoba suntik atau berupaya untuk tidak berganti-ganti pasangan. Sedangkan sikap remaja yang negatif ditunjukkan dengan remaja tersebut menjauhi atau menolak upaya pencegahan terhadap penularan HIV dan AIDS seperti tidak memiliki wawasan yang luas mengenai HIV dan AIDS atau tidak peduli terhadap informasi yang berkaitan dengan HIV dan AIDS.

2.2.2 Variabel Independen

Peneliti melihat sikap remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh beberapa variabel lain yang disebut sebagai variabel independen. Variabel independen adalah variabel yang (kemungkinan) menyebabkan atau memengaruhi hasil akhir (Creswell, 1994, p.94). Peneliti melihat sikap remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh beberapa variabel lain.

Mengingat realitas sosial bukan merupakan single factor, maka peneliti merumuskan dua variabel independen atau variabel yang memengaruhi sikap remaja terhadap pencegahan penularan HIV dan AIDS yaitu gaya hidup dan tingkat religiositas remaja.

2.2.2.1 Definisi Gaya Hidup

Kotler (1984) menjelaskan bahwa gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi. Dijelaskan menurut WHO (1998), bahwa gaya hidup adalah cara hidup yang didasari oleh pola-pola perilaku yang bisa diidentifikasi. Pola-pola perilaku ini dibentuk dari karakteristik individu, interaksi sosial, dan kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan hidupnya. Kotler menambahkan bahwa gaya hidup adalah cara hidup yang diidentifikasi dari bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang mereka anggap penting di lingkungannya (minat), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka dan dunia di sekitar mereka (opini).

Dalam teori mengenai gaya hidup, Sumarwan (2004: 58) menjelaskan konsep yang terkait dengan gaya hidup dalam membantu penelitian ini, yaitu psikografik, sebagai instrumen untuk mengukur gaya hidup seseorang. Psikografik merupakan suatu konsep yang terkait dengan gaya hidup. Psikografik merupakan suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif dan bisa menganalisis data yang sangat besar (Sumarwan, 2004:58). Jadi, psikografik merupakan suatu dimensi sebagai pengukuran kuantitatif gaya hidup, kepribadian, dan demografik seseorang. Psikografik juga sering dikaitkan dengan pengukuran AIO (Activities, Interests, Opinions). Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan dua dimensi gaya hidup yaitu Dalam teori mengenai gaya hidup, Sumarwan (2004: 58) menjelaskan konsep yang terkait dengan gaya hidup dalam membantu penelitian ini, yaitu psikografik, sebagai instrumen untuk mengukur gaya hidup seseorang. Psikografik merupakan suatu konsep yang terkait dengan gaya hidup. Psikografik merupakan suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif dan bisa menganalisis data yang sangat besar (Sumarwan, 2004:58). Jadi, psikografik merupakan suatu dimensi sebagai pengukuran kuantitatif gaya hidup, kepribadian, dan demografik seseorang. Psikografik juga sering dikaitkan dengan pengukuran AIO (Activities, Interests, Opinions). Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan dua dimensi gaya hidup yaitu

2.2.2.1.1 Dimensi Aktivitas

Aktivitas merupakan dimensi dari gaya hidup yang diartikan sebagai cara seseorang dalam menghabiskan waktunya (Kotler, 1984). Menurut American Heritage Dictionary, pengertian aktivitas adalah tindakan atau gerakan energik. Sedangkan aktivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008) didefinisikan sebagai keaktifan atau kegiatan. Dalam Oxford Dictionary aktivitas adalah sesuatu yang sedang atau telah dikerjakan oleh seseorang atau kelompok.

Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang aktivitas, peneliti memilih untuk menggunakan teori tentang aktivitas belajar untuk mengukur aktivitas remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Oemar Hamalik (2011) menjelaskan bahwa aktivitas belajar seorang siswa dapat dibagi menjadi delapan kategori, yaitu:

a. Aktivitas Visual, yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja dan bermain.

b. Aktivitas Lisan (oral), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.

c. Aktivitas Mendengarkan, yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.

d. Aktivitas Menulis, yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.

e. Aktivitas Menggambar, yaitu menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.

f. Aktivitas Metrik, yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun.

g. Aktivitas Mental, yaitu merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan.

h. Aktivitas Emosional, yaitu minat, membedakan, berani, tenang dan lain- lain.

Berangkat dari definisi aktivitas di atas, peneliti kemudian memilih indikator aktivitas yang dinilai relevan dalam membahas aktivitas remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS, serta merumuskan satu jenis indikator baru, indikator-indikator tersebut adalah:

1. Aktivitas visual: Aktivitas remaja berupa melihat dan membaca hal-hal yang terkait dengan aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS.

2. Aktivitas lisan: Aktivitas remaja berupa mengajukan pendapat dan pertanyaan mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS.

3. Aktivitas mendengarkan: Aktivitas remaja berupa mendengarkan penjelasan atau percakapan melalui diskusi mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS.

4. Aktivitas gerak: Merupakan indikator yang dirumuskan oleh peneliti sebagai perwakilan dari aktivitas menggambar dan menulis, dimana menggambar dan menulis merupakan aktivitas yang terkait dengan gerak fisik. Aktivitas gerak adalah aktivitas remaja terkait dengan aktivitas fisik yang rutin dilakukan oleh remaja terkait dengan aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS. Aktivitas metrik tidak dicantumkan karena dinilai terlalu rumit untuk

responden yang masih berusia remaja, sedangkan aktivitas mental dan emosional tidak dicantumkan karena beririsan dengan dimensi afeksi dari variabel dependen penelitian ini, yaitu sikap.

Aktivitas sebagai dimensi dari gaya hidup adalah mengenai bagaimana seseorang menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Aktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas remaja yang berhubungan dengan pencegahan penularan HIV dan AIDS, yang dapat bersifat mendukung dan tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Pengukuran yang dilakukan berupa sejauh mana aktivitas remaja dapat mendukung atau tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS.

2.2.2.1.2 Dimensi Opini

Opini adalah pandangan seseorang mengenai dirinya dan lingkungan di sekitarnya (Kotler, 1984). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008), opini adalah pendapat, pikiran, atau pendirian. Sedangkan dalam Oxford Dictionary, opini adalah pandangan yang dibentuk terhadap sesuatu yang tidak selalu berdasarkan fakta atau pengetahuan.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai opini, peneliti memilih untuk menggunakan teori opini publik untuk mengukur opini remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Opini memiliki empat indikator yaitu arah opini, intensitas opini, saliensi opini, dan stabilitas opini (Gitelson, Alan. R, dkk, 2012: 132).

Arah opini mengacu pada posisi setuju atau tidak setuju seseorang terkait sebuah isu, intensitas opini mengacu pada seberapa kuat seseorang menyetujui atau tidak menyetujui sebuah isu, saliensi opini mengacu pada persepsi seseorang tentang seberapa penting isu tersebut, dan stabilitas opini mengacu pada terjadi atau tidak terjadinya perubahan dalam opini seseorang terhadap suatu isu dari waktu ke waktu (Steward, John. P, 2013).

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan opini remaja yang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya. Opini remaja terhadap dirinya sendiri tidak digunakan dalam penelitian ini karena beririsan dengan dimensi afeksi. Indikator dari opini yang peneliti gunakan untuk mengukur opini remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS berdasarkan teori opini publik, yaitu:

1. Arah opini: Posisi remaja memandang lingkungan di sekitarnya, baik setuju maupun tidak setuju terkait aspek-aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS.

2. Intensitas opini: Seberapa kuat remaja menyetujui atau tidak menyetujui aspek-aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS di lingkungan sekitarnya.

3. Salinitas opini: Seberapa penting remaja menilai aspek-aspek pencegahan penularan HIV dan AIDS di lingkungan sekitarnya. Stabilitas opini tidak diikutsertakan sebagai indikator dalam penelitian ini,

karena untuk melihat trend terjadinya perubahan opini remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS dibutuhkan penelitian yang sifatnya time series.

Opini sebagai dimensi dari gaya hidup remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS adalah sejauh mana pandangan remaja, baik setuju maupun tidak setuju terhadap aspek-aspek pencegahan HIV dan AIDS, dan apakah remaja menganggap aspek-aspek pencegahan HIV dan AIDS tersebut sebagai sesuatu yang penting, atau tidak penting. Opini remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS dapat bersifat mendukung, ataupun tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Pengukuran yang dilakukan berupa sejauh mana opini remaja dapat mendukung atau tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS.

2.2.2.1.3 Dimensi Minat

Penelitian ini mendefinisikan minat sebagai apa yang orang anggap penting di lingkungannya (Kotler, 1986). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008), minat didefinisikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, gairah, atau keinginan. Minat adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tertarik pada suatu objek atau menyenangi suatu objek (Sumadi Suryabrata, 1988 : 109). Sementara itu menurut Crow dan Crow, minat adalah pendorong yang menyebabkan seseorang memberi perhatian terhadap orang, sesuatu, aktivitas-aktivitas tertentu (Johny Killis, 1988 : 26). Minat merupakan bagian dari afeksi (Krathwohl, 2002) sehingga dalam penelitian ini, dimensi minat Penelitian ini mendefinisikan minat sebagai apa yang orang anggap penting di lingkungannya (Kotler, 1986). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008), minat didefinisikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, gairah, atau keinginan. Minat adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tertarik pada suatu objek atau menyenangi suatu objek (Sumadi Suryabrata, 1988 : 109). Sementara itu menurut Crow dan Crow, minat adalah pendorong yang menyebabkan seseorang memberi perhatian terhadap orang, sesuatu, aktivitas-aktivitas tertentu (Johny Killis, 1988 : 26). Minat merupakan bagian dari afeksi (Krathwohl, 2002) sehingga dalam penelitian ini, dimensi minat

Peneliti merumuskan gaya hidup remaja yang mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS sebagai gaya hidup yang dimensi aktivitas dan opininya bersifat positif terhadap komponen pencegahan HIV dan AIDS, seperti perilaku ABCD ( Abstinence, Be Faithful, Use Condom, Don’t Drugs) yang sudah dijelaskan di atas. Kemudian, untuk gaya hidup yang tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS, peneliti merumuskan perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku ABCD, misalnya melakukan hubungan seks pranikah, berganti-ganti pasangan, tidak memakai kondom saat berhubungan seksual, dan mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Gaya hidup remaja sebagai variabel independen memiliki pengaruh terhadap sikap remaja sebagai variabel dependen. Hubungan yang dihasilkan dari dua variabel ini adalah hubungan yang positif. Gaya hidup remaja yang mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS akan menghasilkan sikap remaja yang positif dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Sedangkan, gaya hidup remaja yang tidak mendukung dalam mencegah penularan HIV dan AIDS maka akan menghasilkan sikap remaja dalam mencegah penularan HIV dan AIDS yang negatif.

2.2.2.2 Definisi Religiositas

Variabel independen berikutnya dalam penelitian ini adalah tingkat religiositas remaja. Jika merujuk pada konsep religiositas menurut Glock dan Stark (1968, p. 12-18), mereka menekankan konsep religositas sebagai komitmen religius individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu tersebut terhadap agama yang dianutnya. Kadar religusitas individu dapat diketahui dengan lima dimensi berikut:

a. Kepercayaan dalam beragama (Religious Belief), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya; misalnya kepercayaan akan adanya malaikat, hari penghakiman, kehidupan sesudah kematian, surga, neraka, dan hal-hal lain yang bersifat dogmatik. Tingkat kepercayaan remaja terhadap hal-hal dogmatik di dalam a. Kepercayaan dalam beragama (Religious Belief), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya; misalnya kepercayaan akan adanya malaikat, hari penghakiman, kehidupan sesudah kematian, surga, neraka, dan hal-hal lain yang bersifat dogmatik. Tingkat kepercayaan remaja terhadap hal-hal dogmatik di dalam

b. Praktik dalam beragama (Religious Practice), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya; misalnya pergi ke rumah ibadah secara teratur, dan melakukan ritualitas lainnya secara pribadi di rumah, dan lain-lain. Tingkat ketakwaan remaja dalam menjalankan kewajiban-kewajiban di dalam ritual keagamaan akan dilihat pengaruhnya terhadap sikap remaja mencegah penularan HIV dan AIDS seperti dengan dijalankannya ritual-ritual yang di dalam agama meningkatkan kontrol diri terhadap perilaku berisiko penularan HIV dan AIDS.

c. Pengalaman atau perasaan dalam beragama (Religious Feeling), yaitu perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami yang dirasakan merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan; misalnya merasa dekat dengan Tuhan atau merasakan kehadiran Tuhan, merasa doanya dikabulkan oleh Tuhan, merasa diselamatkan oleh Tuhan, dan lain sebagainya. Tingkat pengalaman di dalam pengalaman beragama akan dilihat pengaruhnya terhadap sikap remaja di dalam mencegah penularan HIV dan AIDS seperti adanya pengalaman-pengalaman yang dialami oleh remaja yang memberikan ‘kesadaran’ akan dosa yang akan mereka dapatkan jika melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

d. Pengetahuan dalam beragama (Religious Knowledge), yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, yang terdiri dari pengetahuan dan konsep-konsep kognitif yang berhubungan dengan penciptaan, pengetahuan akan mukjizat, ajaran-ajaran alkitab, dan lain-lain serta aktivitasnya dalam menambah pengetahuan tentang agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci maupun buku-buku agama lainnya. Tingkat pengetahuan terhadap agama yang dimiliki oleh remaja akan dihubungkan dengan sikap remaja di dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Ajaran agama yang melarang umatnya untuk melakukan aktivitas d. Pengetahuan dalam beragama (Religious Knowledge), yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, yang terdiri dari pengetahuan dan konsep-konsep kognitif yang berhubungan dengan penciptaan, pengetahuan akan mukjizat, ajaran-ajaran alkitab, dan lain-lain serta aktivitasnya dalam menambah pengetahuan tentang agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci maupun buku-buku agama lainnya. Tingkat pengetahuan terhadap agama yang dimiliki oleh remaja akan dihubungkan dengan sikap remaja di dalam mencegah penularan HIV dan AIDS. Ajaran agama yang melarang umatnya untuk melakukan aktivitas

e. Konsekuensi dalam beragama (Religious Effect), yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi dan konsekuen dengan ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial; misalnya mengunjungi tetangganya yang sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan harta, tidak melakukan atau setuju dengan zinah, judi, korupsi dan lain-lain. Tingkat keberlakuan doktrin keagamaan akan dilihat pengaruhnya terhadap sikap remaja dalam upaya mencegah penularan HIV dan AIDS, seperti pada saat remaja menjalankan kegiatan sehari-hari, nilai-nilai agama yang ia miliki selalu dipengang secara teguh seperti tidak mengunakan narkoba, pengunaan tato, dan seks bebas. Sehingga sikap tersebut menghindarkan mereka dari penyakit HIV dan AIDS. Dari indikator-indikator yang telah disebutkan di atas, indikator

dirumuskan kembali dengan mengunakan 3 dimensi dari tingakt religiositas menurut Glock and Stark (1968, p. 12-18) yaitu kepercayaan dalam beragama (Religious Belief), ketakwaan dalam menjalankan ritual keagamaan (Religious Practice), dan pengalaman keagamaan (Religious Effect) yang akan dikaitkan dengan upaya mencegah penularan HIV dan AIDS di kalangan remaja di Desa Malangbong, Kecamatan Lewo Baru, Kabupaten Garut, Jawa Barat.